BAB I. Pendahuluan. yang semakin kritis. Perilaku manusia dan pembangunan yang tidak

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. Indonesia terdiri dari pulau, daratan seluas 1,9 juta km 2, panjang garis pantai

BAB I PENDAHULUAN. potensial untuk pembangunan apabila dikelola dengan baik. Salah satu modal

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENGANTAR. laju pembangunan telah membawa perubahan dalam beberapa aspek kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan telah memunculkan kota sebagai pusat-pusat kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimilikinya selain faktor-faktor penentu lain yang berasal dari luar. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

AMDAL. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan By Salmani, ST, MS, MT.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bentuk CSO pada aras lokal yang berfungsi sebagai saluran aspirasi masyarakat

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

BAB I PENDAHULUAN. ini sudah merupakan salah satu masalah serius yang sering ditemui di lapangan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB II GAMBARAN UMUM PEMERINTAHAN KOTA YOGYAKARTA DAN BADAN LINGKUNGAN HIDUP YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia semakin memprihatinkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/PRT/M/2015 TENTANG

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 9 TAHUN TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN WADUK SERMO

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH

SKENARIO STRATEGI SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT

BUPATI BANTUL KEPUTUSAN BUPATI BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN FORUM DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) KABUPATEN BANTUL BUPATI BANTUL,


KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMANFAATAN SUMBER MATA AIR DALAM KAWASAN HUTAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN DESA PATEMON NOMOR 03 TAHUN 2015 TENTANG TATA KELOLA SUMBER DAYA AIR DESA PATEMON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA PATEMON

Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

Menyelamatkan Daerah Aliran Sungai (DAS): Saatnya Bertindak Sekarang

BAB I PENDAHULUAN. selain itu juga merupakan salah satu tujuan masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan.

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS. Wisata Alas Pala Sangeh Kabupaten Badung yang merupakan suatu studi kasus

BAB I PENDAHULUAN. Air dan sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

IMBAL JASA LINGKUNGAN DALAM PELESTARIAN SUMBER DAYA AIR (Studi kasus : Kabupaten Karanganyar Kota Surakarta) TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan yang dihadapi, di antaranya,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG SUNGAI

PENDEKATAN ASPEK LINGKUNGAN DALAM KEBIJAKAN PENATAAN RUANG NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami

BAB I PENDAHULUAN. manusia atau masyarakat suatu bangsa, dalam berbagai kegiatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah sebidang lahan yang menampung air hujan

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991);

BAB I PENDAHULUAN I-1

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAGIAN 1 PENDAHULUAN. 1.2 Latar Belakang Permasalahan Perancangan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Usaha konservasi menjadi kian penting ditengah kondisi lingkungan yang semakin kritis. Perilaku manusia dan pembangunan yang tidak mengedepankan aspek lingkungan menjadi penyumbang terbesar rusaknya lingkungan, tidak terkecuali di kawasan bantaran sungai. Sungai merupakan alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai). Sungai dalam fungsinya yang utama adalah menampung air hujan dan mengalirkannya kembali ke laut. Namun fungsi ini tentu tidak akan berjalan sempurna dengan menumpuknya sampah di beberapa titik bagian sungai. Perilaku manusia yang tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan tersebut tentu berimbas pada kerusakan lingkungan yang justru akan merugikan manusia sendiri. Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) seharusnya mampu menciptakan sinergi dan hubungan timbal balik antara kebutuhan manusia dengan kelangsungan ekosistem dalam DAS. Artinya setiap kegiatan yang dilakukan dalam pemanfaatan DAS haruslah memperhatikan kelestarian serta keberlanjutannya. Agar manusia dapat 1

merasakan kemanfaatan dari sumber daya alam tersebut dari generasi ke generasi. Zoebisch, et al (2005) menegaskan bahwa keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal dan kelestarian sumber daya alam menjadi syarat tercapainya tujuan pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Untuk mencapai syarat tujuan pengelolaan DAS sebagai sumber daya alam, Di Indonesia pertama kali diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung bahwa daerah hulu yang berfungsi untuk memberikan perlindungan kawasan di bawahnya dan daerah sempadan sungai seharusnya merupakan kawasan hutan. Peraturan ini kemudian diperbaharui dengan munculnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan di ikuti dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, yang ditegaskan bahwa setidaknya 30 persen kawasan DAS seharusnya merupakan kawasan hutan, dengan sebaran yang proporsional. Ini berarti kawasan hutan yang berada di DAS yang setidaknya sebesar 30 persen tersebar di seluruh DAS, bukan di bagian hulu semata. Namun dalam kenyataannya, di Indonesia terutama di kota-kota besar di Pulau Jawa, lahan kawasan hulu dan sempadan sungai adalah milik pribadi dan digunakan untuk berbagai macam kepentingan, tidak terkecuali pemanfaatannya sebagai lahan pemukiman. Dengan keadaan yang demikian, untuk mengembalikan fungsi kawasan tersebut sebagai kawasan hutan tentunya bukan lagi perkara yang mudah. 2

Pengelolaan DAS di Indonesia yang dilakukan secara terpusat ternyata belum mampu menciptakan sebuah bentuk pengelolaan yang mengutamakan keberlanjutan. Dari tahun ke tahun, DAS di Indonesia yang mengalami kerusakan terus bertambah banyak. Hal ini dapat dibuktikan dengan terus bertambahnya jumlah DAS yang dijadikan prioritas (dalam kaitannya dengan tingkat kekritisan lahan). Pada tahun 1984 ditetapkan 22 DAS yang menjadi prioritas penanganan, kemudian tahun 1999 meningkat menjadi 69 DAS yang ditetapkan sebagai DAS prioritas I, sedangkan di tahun 2009 jumlah itu berubah menjadi 108 DAS sebagai DAS prioritas yang dimuat dalam RPJM 2009-2014. Degradasi DAS tersebut dipicu pengelolaan konvensional yang bersifat sektoral, tidak terpadu dari hulu ke hilir, serta top down yang menekankan command and control, baik pada tataran kebijakan, operasional, maupun pelaksanaan (Nugroho, 2003). Setiap sektor berusaha untuk memenuhi kepentingan sektor masing-masing. Akibatnya permasalahan yang ada dalam DAS tidak pernah terselesaikan, dan justru menimbulkan degradasi lingkungan yang semakin meningkat. Selain itu, sistem top down yang menekankan pada fungsi command and control menempatkan masyarakat lokal hanya sebagai penerima proyek dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di DAS semata tanpa memiliki wewenang untuk berpartisipasi dan mengambil keputusan dalam pengelolaan DAS. 3

Semakin meningkatnya degradasi lingkungan yang dikarenakan kegagalan fungsi konvensional ini memaksa pemerintah untuk mencari alternatif dan pendekatan baru, yakni melibatkan peran serta dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan konservasi DAS. Dengan spirit tersebut, maka keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang didalamnya memuat konsep pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan DAS. Namun partisipasi masyarakat dalam peraturan ini masih sebatas memberikan saran, aspirasi, dan turut mengawasi dalam pengelolaan dan konservasi DAS. Masyarakat dipandang sebagai subjek belum memiliki wewenang dalam mengambil keputusan terkait dengan pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Tabel 1. Kebijakan Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia Keppres No. 32 Th. 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung daerah hulu yang berfungsi untuk memberikan perlindungan kawasan di bawahnya dan daerah sempadan sungai seharusnya merupakan UU No. 41 Th. 1999 tentang Kehutanan & UU No. 26 Th. 2007 tentang Tata Ruang 30 persen kawasan DAS seharusnya merupakan kawasan hutan, dengan sebaran yang proporsional PP No. 37 Th. 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan daerah aliran sungai. Adapun pendekatan yang dipandang sebagai strategi yang menempatkan masyarakat lokal sebagai aktor utama dalam pengelolaan 4

sumber daya alam untuk tujuan konservasi lingkungan adalah community based conservation (CBC). CBC mulai berkembang pada 1990an, dimana ketika itu organisasi-organisasi non-pemerintahan yang bergerak di bidang lingkungan mulai bereksperimen dengan menggunakan konsep CBC (Meyer & Helfman, 1993). Konsep utama CBC adalah dengan memberdayakan masyarakat lokal dalam proses manajemen, baik dalam tahapan perencanaan maupun implementasi penyelenggaraan proyek konservasi dengan menciptakan akuntabilitas (Spiteri, et al. 2006). Secara umum, CBC adalah pendekatan yang menempatkan masyarakat lokal sebagai aktor utama dalam kegiatan konservasi. Lewat tulisan ini, peneliti mengangkat isu konservasi berbasis masyarakat di Sungai Winongo. Sungai ini merupakan bagian dari DAS Opak-oyo. Daerah aliran sungai seluas 124.146,2 ha ini terdiri dari 4 Sub- DAS. Yakni Sub-DAS Opak dengan luas 48.659,08 ha, Sub-DAS Oyo I dengan luas 75.473,20 ha, Sub-DAS Winongo seluas 13.920,36 ha, dab Sub- DAS Gandri dengan luas 7.227,78 ha. (BPDAS Serayu Opak Progo, 2009). Sungai Winongo memiliki panjang total 43,75 km yang melintasi wilayah Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul. Dari total 43,75 kilometer, 18 kilometer alur sungai berada di wilayah administratif Kota Yogyakarta serta melewati 6 kecamatan, dan 11 kelurahan (Anonymous, 2013). Seperti sungai-sungai lain di kota besar, permasalahan 5

utama yang dihadapi Sungai Winongo adalah tercemarnya air dikarenakan banyaknya sampah. Sampah-sampah menumpuk sehingga menghambat aliran sungai yang mengakibatkan pemukiman penduduk tergenang pada saat musim hujan tiba. Hal tersebut diperparah dengan adanya pemukiman kumuh yang dibangun di sepanjang bantaran sungai (Datin, 2012). Data Badan Lingkungan Hidup Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menjelaskan bahwa Sungai Winongo telah dalam kondisi tercemar. Pencemaran sebuah sungai dapat diketahui dari tingkat bakteri Eschericia Coli di dalamnya. Dalam ambang baku mutu air kategori 2, 1 bakteri E Coli berjumlah 5000 per 100 mililiter air (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air). Berikut merupakan data dari Badan Lingkungan Hidup Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengenai tingkat pencemaran di Sungai Winongo dilihat dari jumlah bakteri E Coli per 100 mililiter air. Pengukuran dilakukan dilakukan dibawah Jembatan Jatimulyo, Kricak, Yogyakarta. 1 Klasifikasi air berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencema ran Air. Pasal 8. Dan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengkategorikan air sungai sebagai kategori 2. 6

Tabel 2. Jumlah Bakteri E-Coli per 100 mililiter Air Sungai Winongo Tahun Jumlah Bakteri E-Coli per 100 mililiter Air Sungai Winongo (dalam ribuan) Feb April Mei Juni Agust Sept Okt Nov Rata- Rata 2007 240 (*) (*) (*) 460 210 (*) 2400 827.5 2008 93 2400 (*) 2400 (*) (*) (*) (*) 1631 2009 (*) 150 (*) 75 93 (*) 230 (*) 137 2010 24 1898 (*) 1898 294 (*) (*) (*) 1028.5 2011 1100 43 (*) 23 (*) 21 (*) (*) 296.75 2012 150 (*) (*) 28 (*) (*) 93 (*) 90.33 2013 93 (*) 43 (*) (*) (*) 240 (*) 125.33 590.92 Keterangan: (*) = tidak dilakukan pengukuran Sumber: BLH Provinsi DIY Dari data tersebut, jelas terlihat bagaimana Sungai Winongo memiliki jumlah bakteri E Coli diatas ambang batas, dan dapat dikategorikan sebagai sungai yang tercemar. Untuk menghindarkan dari kerusakan lingkungan yang semakin parah, perlu diadakan program pelestarian lingkungan melalui usaha-usaha konservasi. Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi, konservasi adalah pengelolaan sumber daya lingkungan yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk 7

menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keragaman dan nilainya. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, konservasi sumber daya alam merupakan salah satu aspek yang sangat penting (Kodoatie et al, 2010). Tentu hal ini sejalan dengan apa yang pernah disampaikan oleh Arief Budiman (2000) dalam bukunya bahwa kesinambungan dan keberlanjutan merupakan salah satu indikator suksesnya pembangunan. Tentu ini semakin menguatkan bahwa pembangunan harus dilakukan dengan perhatian lebih pada lingkungan, atau sering dikatakan sebagai pembangunan berwawasan lingkungan. Lewat usaha-usaha konservasi, pembangunan berwawasan lingkungan akan terwujud. Di Sungai Winongo, kegiatan konservasi berbasis masyarakat dilakukan dengan pembangunan kepariwisataan. Program yang digagas oleh komunitas masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Winongo ini muncul sebagai jawaban atas kebijakan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Yogyakarta yang mengatakan pembangunan daerah bantaran sungai dilakukan secara bottom up. Pembangunan berbasis top down yang sempat diselenggarakan sekian tahun dinilai kurang efektif, terbukti dengan banyaknya hasil pembangunan yang tidak bisa dimanfaatkan dengan optimal oleh masyarakat (Esa, 2013). Untuk itu pembangunan perlu melibatkan masyarakat atau komunitas agar 8

pembangunan mengarah kepada situasi yang dibutuhkan dan diinginkan oleh masyarakat sekitar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Edy Muhammad, kepala Bappeda Kota Yogyakarta yang menyatakan: "Akan lebih efektif jika masyarakat sendiri yang merumuskan penataannya berdasarkan permasalahan yang dihadapi." ~ Edy Muhammad (Kepala Bappeda Kota Jogja), disampaikan pada Festival Winongo di RTH Becak Maju (11/11/2012). Dalam Esa (2013) Apa yang diungkapkan oleh Edy Muhammad selaku Kepala Bappeda tersebut menjelaskan bahwa upaya yang dilakukan untuk kegiatan konservasi ini bukan hanya domain pemerintah saja, melainkan melibatkan masyarakat setempat sebagai pihak yang paling memahami kondisi wilayahnya. Salah satu inisiatif penyelamatan DAS skala mikro sudah dilakukan oleh masyarakat Kelurahan Bener dan Kricak melalui konservasi berbasis masyarakat (community based conservation). Wilayah administratif Kelurahan Bener dan Kricak berada dalam area Sub-DAS Winongo. Sejak tahun 2009, masyarakat setempat mulai berupaya mengembalikan kelestarian Sungai Winongo dengan berfokus pada pembangunan kampung wisata pendidikan lingkungan. Mereka memanfaatkan potensi Sungai Winongo dan antusiasme warga setempat serta menempatkan produk wisata berupa Kampung Outbond Becak Maju sebagai daya tarik utama. Kampung Outbond Becak Maju adalah sebuah 9

rintisan destinasi wisata yang berkonsep tradisional-edukatif, dan sepenuhnya dikelola oleh masyarakat sekitar. Dengan target utama konsumen adalah anak-anak kelompok umur 8-12 tahun. Pengelolaan sumber daya untuk keperluan konservasi lingkungan tersebut dilakukan secara partisipatif dan melibatkan komponen-komponen masyarakat setempat. Pembangunan dan pengelolaan kampung wisata tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Masyarakat lokal menyadari bahwa kebersihan, keindahan, dan kelestarian lingkungan merupakan daya tarik kawasan yang sepantasnya dijaga untuk dijamin kelangsungannya agar dapat dinikmati dan bermanfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Karena itu, dalam pengelolaan kampung wisata ini pelestarian lingkungan adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan. Dalam implementasinya, beberapa langkah telah diambil untuk keperluan mengembalikan kelestarian lingkungan. Diantaranya adalah: (1) menetapkan zona wisata yang secara prinsip selaras dengan pelestarian lingkungan, (2) mengembangkan usaha-usaha alternatif untuk mendukung kelestarian lingkungan, dan (3) menyusun struktur organisasi Kampung Outbond Becak Maju sebagai produk utama kegiatan kepariwisataan dalam rangka pelestarian lingkungan. 10

1.2. Rumusan Masalah Paradigma baru tentang pegelolaan DAS yang lebih menekankan aspek partisipatif memberikan ruang bagi masyarakat setempat untuk berperan aktif dalam pengelolaan. Melalui community based conservation ini masyarakat memiliki wewenang untuk mengelola upaya konservasi DAS, baik secara langsung maupun tidak. Bentuk keterlibatan masyarakat ini bersifat multidimensi dimulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengimplementasian, dan pengawasan. Dari sedikit perumusan masalah diatas, perlu dilakukan kajian ilmiah untuk mengetahui apakah CBC di Kelurahan Bener-Kricak berhasil dalam upaya pelestarian DAS Sungai Winongo atau tidak. Selanjutnya dapat dirumuskan dalam poin pertanyaan berikut: Bagaimana upaya pengelolaan DAS yang dijalankan melalui penerapan aspek-aspek community-based conservation di Kelurahan Bener- Kricak? 1.3. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya pengelolaan DAS yang dijalankan melalui penerapan aspek-aspek 11

community-based conservation di Kelurahan Bener-Kricak. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui aspek-aspek konservasi berbasis masyarakat dalam upaya konservasi DAS di Kelurahan Bener dan Kricak, Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta. 2. Mengetahui aktivitas / fungsi pengelolaan dalam upaya konservasi DAS di Kelurahan Bener dan Kricak, serta peranan pihak luar dalam pengelolaan tersebut. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk akademisi, penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk melihat penerapan konsep community based conservation dalam upaya pelestarian daerah aliran sungai di kawasan perkotaan. 2. Untuk pengambil kebijakan, penelitian ini dapat memberikan masukan mengenai model konservasi daerah aliran sungai dan pelestarian lingkungan yang melibatkan masyarakat setempat sebagai aktor utama 12

3. Untuk masyarakat Kelurahan Bener dan Kricak, penelitian ini dapat memberikan masukan untuk penyempurnaan model konservasi dan pelestarian lingkungan yang melibatkan masyarakat setempat. 13