BAB II FONOLOGI, SINDROM DOWN, DAN PSIKOLINGUISTIK. bahasa. Lebih sempit lagi, fonologi murni membicarakan fungsi, perilaku, serta

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 4 4. TATARAN LINGUISTIK (1) : FONOLOGI

BAB II FONETIK 1. Bunyi Bahasa dan Terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. Kompetensi berbahasa secara fonologis hampir dimiliki setiap manusia

1. Menjelaskan Alat Ucap Manusia Dalam Proses Pembentukan Bunyi a. Komponen subglotal b. Komponen laring c. Komponen supraglotal

LAPORAN BACA. OLEH: Asep Saepulloh ( ) Hikmat Hamzah Syahwali ( ) Suherlan ( )

TATARAN LINGUISTIK FONOLOGI

Oleh: Hermanto SP, M.Pd. Hp / Telp. (0274) atau

BBM 1: OBJEK KAJIAN FONETIK, ALAT UCAP, KLASIFIKASI BUNYI BAHASA, DAN PROSES TERBENTUKNYA BUNYI BAHASA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Debby Yuwanita Anggraeni, 2013

ANIS SILVIA

2015 KAJIAN FONETIK TERHADAP TUTURAN

Dr. Jauharoti Alfin, M. Si Zudan Rosyidi, MA

Nama : Hari Agus Prasetyo NIM : Tataran Linguistik (1) : fonologi

BAB I PENDAHULUAN. berupa simbol yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa dihasilkan dari alat ucap

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. mengandung arti kata bunyi, yaitu : lafz, jahr dan saut sepadan dengan noise

Pengantar. Aspek Fisiologis Bahasa. Aspek Fisik Bahasa 13/10/2014. Pengantar Linguistik Umum 01 Oktober Aspek Fisiologis Bahasa

BAB 4 TATARAN LINGUISTIK (1): FONOLOGI

BAB IV TATARAN LINGUISTIK (1) : FONOLOGI

PENGGUNAAN BUNYI SEGMENTAL MELALUI PENERAPAN TEKNIK SHOW NOT TELL (MENUNJUKKAN BUKAN MEMBERITAHUKAN)

BAB 1 WACANA FONOLOGI SECARA UMUM

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. celah di antara kedua sisi kanan dan kiri dari bibir. Kadang kala malah lebih luas,

FONETIK BAHASA MELAYU BEDUAI DESA BERENG BERKAWAT KECAMATAN BEDUAI KABUPATEN SANGGAU. Desain SOLIANDRI ANAWATI

Hakikat Fonologi. Modul 1 PENDAHULUAN

PRODUKSI FONOLOGIS ANAK DOWN SYNDROME USIA TAHUN BERDASARKAN TINGKAT KECERDASAN DAN MASA TERAPI

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Deteksi Dini Pola Gangguan Artikulasi Pada Anak Tunagrahita Di Indonesia

Fonologi ialah bidang yang mengkaji bunyi-bunyi yang diucapkan melalui mulut manusia. Bunyi-bunyi itu pula ialah bunyi-bunyi yang bermakna.

Disusun Oleh : Nama : Siti Mu awanah NIM : Mata Kuliah : Bahasa Indonesia Dosen : Drs. Umar Samadhy, M.Pd.

TUTURAN PADA ANAK PENYANDANG TUNAGRAHITA TARAF RINGAN, SEDANG, DAN BERAT (KAJIAN FONOLOGI)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ana Roviana Purnamasari, 2015 Kajian Linguistik klinis pada penderita Bells s Palsy

Harimurti Kridalaksana FONETIK. Definisi dari Para Linguis 21/03/2014. Kamus Linguistik. Fonologi Jepang

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Penanganan mempunyai makna upaya-upaya dan pemberian layanan agar

KOMPETENSI LULUSAN. Berkomunikasi tertulis. Berfikir Analitis. Bekerja dalam Tim. Berfikir Logis. Bekerja Mandiri. Berkomunikasi Lisan

BAB 2. Landasan Teori

BUKU RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) DAN BAHAN AJAR FONOLOGI BAHASA NUSANTARA

Nama : MAOIDATUL DWI K NIM : BAB 4 FONOLOGI

SUBTITUSI KONSONAN PADA PENDERITA DISARTRIA. Retno Handayani Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdiknas

BAB I PENDAHULUAN. Posisi Indonesia terletak pada posisi silang jalur lalu-lintas dunia. Hal

BAB I PENDAHULUAN. huruf, kata dan bahasa. Bunyi bahasa yang dihasilkan penderita khususnya

Sindroma Down Oleh : L. Rini Sugiarti, M.Si, psikolog*

Bab 2. Landasan Teori. terkecil dari bahasa, yaitu bunyi. Menurut Okumura dalam Tjandra (2004:1), dalam

BAB III METODE PENELITIAN

KEDUDUKAN ALAT- ALAT ARTIKULASI DAN FUNGSINYA

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN. Dalam penelitian ini ada lima tesis yang digunakan untuk mendukung topik

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari untuk menyampaikan pesan, pendapat, maksud, tujuan dan sebagainya.

FONOLOGI MAKALAH. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Bahasa Indonesia Dosen : DR. Prana Dwija Iswara, S. Pd. M.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan pembicara dan pendengar (Finn, 2003). Cameron dan Widmer (2008)

BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. menganalisis bunyi bahasa secara umum. Fonologi mempunyai dua

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:588 ), konsep adalah gambaran mental dari

BAB I PENDAHULUAN. pikiran dan perasaan kepada orang lain. 1. lama semakin jelas hingga ia mampu menirukan bunyi-bunyi bahasa yang

IDENTITAS MATA KULIAH 16/03/2008 HERMAN 1

Konsep Dasar Artikulasi

BAB I PENDAHULUAN. melakukan interaksi sosial dan hubungan timbalbalik di sekolah khususnya

BBM 2: CARA MEMBENTUK FONEM BAHASA INDONESIA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan akal budi untuk memahami hal- hal lain (Alwi,

FONETIK DAN FONOLOGI. Ahmad Fazil Bin Zainal Abidin Jabatan Pengajian Melayu IPG Kampus Tuanku Bainun

Pendahuluan. 4-Nov-16 Adi Yasran, UPM

DRS. DUDI GUNAWAN,M.Pd

HAVE YOU CHECKED YOUR PRONUNCIATION? Oleh : Hj. Sri Mudjiwarti, Dra., M.Si

BAB I Pendahuluan. a. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI. pertumbuhan atau perkembangan mengalami kelainan atau penyimpangan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB 2 PROTRUSI DAN OPEN BITE ANTERIOR. 2.1 Definisi Protrusi dan Open Bite Anterior

LAPORAN RANCANGAN PEMBELAJARAN BERBASIS SCL MATA KULIAH FONOLOGI BAHASA ARAB

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. sebagai parameter dalam menentukan perkembangan anak. Bicara

BAB 2 LANDASAN TEORI. Universitas Indonesia. Please purchase 'e-pdf Converter and Creator' on to remove this message.

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjang dalam kehidupan manusia. Peranan suatu bahasa juga sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Gejala kelainan..., Dian Novrina, FIB UI, 2009

PERUBAHAN BUNYI PADA TUTURAN RESMI YANG DIGUNAKAN MAHASISWA IAIN SYEKH NURJATI CIREBON

REALISASI FONETIS KONSONAN GETAR ALVEOLAR BAHASA INDONESIA PADA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DEWASA

BAB I PENDAHULUAN. sistem penulisan tidak dapat menggambarkan bunyi yang diucapkan oleh manusia

BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Bicara sebagai suatu symbol linguistic merupakan ekspresi verbal dari

TOTOBUANG Volume 4 Nomor 1, Juni 2016 Halaman 27 39

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

FAKULTI PENDIDIKAN DAN BAHASA SEMESTER MEI / 2012 HBML1203 FONETIK DAN FONOLOGI BAHASA MELAYU

FONOLOGI BUNYI KONSONAN (Soalan Sebenar STPM: )

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Mereka

Pelafalan Bunyi Konsonan Nasal Bahasa Inggris Siswa Kelas IX SLB-B Negeri Sidakarya Denpasar

ALAT ALAT INDERA, ALAT PERNAPASAN MANUSIA, DAN JARINGAN TUMBUHAN

Bab 3. Analisis Data. Dalam menganalisis data dari bunyi-bunyi yang mengalami interferensi, penulis

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN IX (SEMBILAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PERNAPASAN MANUSIA. A. Organ-Organ Pernapasan

Studi Kasus Pemerolehan Bahasa Anak Usia 2 Tahun Hasil Pernikahan Pasangan Beda Daerah: Kajian Fonologi (Fonetik Artikulatoris)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

MAKALA LINGUISTIK UMUM FONOLOGI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang pada dasarnya mempunyai kesamaan. Diantaranya pendapat Roger Lass

BIMBINGA G N N P ADA S ISWA W DENGAN HAMBATA T N

Bab 5. Ringkasan. baik tata bahasa, bunyi, dan hal lainnya. Khususnya dari segi bunyi bahasa, pasti

BAB I PENDAHULUAN. trisomi kromosom 21. Anak dengan Down Syndrome memiliki gangguan

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru

Unit 4 STRUKTUR FONOLOGI DAN MORFOLOGI BAHASA INDONESIA. Muh. Faisal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

ANALISIS KONTRASTIS BAHASA JAWA DENGAN BAHASA INDONESIA. Riris Tiani Fakultas Ilmu Budaya Undip

Unit 3 FONOLOGI BAHASA INDONESIA. Munirah. Pendahuluan

Tahap Pemrolehan Bahasa

PENYISIPAN [ə] OLEH ANAK USIA 5 S.D. 6 TAHUN DALAM PENGUCAPAN KONSONAN RANGKAP PADA AWAL KATA (KAJIAN ANALISIS FONETIS)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hadirnya seorang anak merupakan harapan dari setiap orangtua.

Transkripsi:

12 BAB II FONOLOGI, SINDROM DOWN, DAN PSIKOLINGUISTIK 2.1 Fonologi Lass (1991:1) menjelaskan bahwa secara garis besar, fonologi merupakan sub-disiplin dalam ilmu bahasa atau linguistik yang membicarakan ihwal bunyi bahasa. Lebih sempit lagi, fonologi murni membicarakan fungsi, perilaku, serta organisasi bunyi sebagai unsur-unsur linguistik. Secara etimologi, fonologi berasal dari kata fon yang berarti bunyi dan logi yang berarti ilmu (Chaer, 2009:1). Bunyi bahasa merupakan unsur terkecil dalam sistem bahasa. Chaer (2009:1) secara rinci menjelaskan bahwa sebagai sebuah ilmu, fonologi lazim diartikan sebagai bagian dari kajian linguistik yang mempelajari, membahas, membicarakan, dan menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat-alat ucap manusia. Bunyi-bunyi bahasa tersebut dianalisis mulai dari proses terjadinya bunyi hingga bagaimana bunyi bahasa tersebut sampai ke telinga pendengarnya. Bunyi bahasa berkaitan dengan getaran udara. Getaran udara ini masuk ke telinga berupa bunyi atau suara. Bunyi tersebut terjadi karena dua benda atau lebih bergeseran atau berbenturan. Sebagai getaran udara, bunyi bahasa merupakan suara yang dikeluarkan oleh alat ucap yang kemudian gelombang bunyi tersebut diterima oleh telinga (Husen dan Sudaryat, 1996:3). Hal tersebut menunjukkan bahwa bahasa sebagai kontinum bunyi dianalisis secara fonetis.

13 Berdasarkan paparan di atas, dapat dipahami bahwa material bahasa adalah bunyi-bunyi ujar. Fonologi sebagai sebuah ilmu menganalisis bunyi bahasa berdasarkan dua sudut pandang, yakni fonetik dan fonemik. Muslich (2008:2) mengungkapkan bahwa fonetik memandang bunyi-bunyi ujar sebagai media bahasa semata, tak ubahnya seperti benda atau zat. Sementara itu, fonemik memandang bahwa bunyi ujar merupakan bagian dari sistem bahasa. Bunyi-bunyi ujar tersebut adalah unsur-unsur bahasa terkecil yang merupakan bagian dari struktur kata, sekaligus berfungsi membedakan makna. 2.2 Fonetik Fonetik merupakan bagian dari ilmu fonologi. Marsono (2006:1) menjelaskan bahwa fonetik (phonetics) adalah ilmu yang menyelidiki bunyi bahasa tanpa melihat fungsi bunyi itu sebagai pembeda makna dalam suatu bahasa (langue). Sudarjanto (Marsono, 2006:1) mengungkapkan bahwa fonetik menyelidiki bunyi bahasa dari sudut tuturan atau ujaran (parole). O Connor (1982:10-11; Ladefoged, 1982:1; Muslich. 2008:8) menjelaskan bahwa fonetik merupakan bidang kajian ilmu pengetahuan (science) yang menelaah bagaimana manusia menghasilkan bunyi-bunyi bahasa dalam ujaran, menelaah gelombang-gelombang bunyi bahasa yang dikeluarkan, dan bagaimana alat pendengaran manusia menerima bunyi-bunyi bahasa untuk dianalisis oleh otak manusia. Pada dasarnya, fonetik melihat bunyi bahasa secara fisik/fisiologis. Bunyi bahasa dianggap sebagai wujud yang dapat dianalisis berdasarkan proses terjadinya hingga berbagai perubahannya. Oleh karena itu, Verhaar

14 (2006:19) menegaskan pengertian fonetik sebagai cabang ilmu yang meneliti dasar fisik bunyi-bunyi bahasa. Terdapat dua segi dasar fisik tersebut, yaitu: segi artikulator (alat ucap) serta penggunaannya dalam menghasilkan bunyi bahasa; serta sifat-sifat akustik bunyi yang telah dihasilkan. Hal tersebut juga diungkapkan Bloomfield (1958:75) mengenai fonetik sebagai studi fonologi yang menyelidiki bunyi bahasa tanpa melihat fungsi bunyi itu sebagai pembeda makna dalam suatu bahasa. Fonetik juga mengkaji bagaimana suara itu dihasilkan (produksi), persepsi suara, dan sifat fisis bunyi itu. This phase of language study is known as phoenetics (experimental phoenetics, laboratory phoenetics).the phoenetics can study either the sound producing movements of the speaker (physiological phoenetics) or resulting sound waves (physical or acoustic phoenetics); we have as yet no means for studying the action of hearer s ear-drum. Dew dan Jensen (1977:19; Muslich, 2008:8) memaparkan secara umum bahwa fonetik terbagi menjadi tiga bidang kajian, yaitu fonetik fisiologis (fonetik artikulatoris atau organis), fonetik akustis, dan fonetik auditoris (fonetik persepsi) yang akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Fonetik Fisiologis Fonetik fisiologis (fonetik artikulatoris atau fonetik organis) merupakan fonetik yang mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara yang ada dalam tubuh manusia menghasilkan bunyi bahasa (Gleason, 1955:239-256; Malmberg, 1963:21-28; Mol, 1970:15-18; Marsono, 2006:2).

15 2. Fonetik Akustis Malmberg (1963:1; Muslich 2008:9) menjelaskan bahwa kajian fonetik akustis bertumpu pada struktur fisik bunyi-bunyi bahasa dan bagaimana alat pendengaran manusia memberikan reaksi kepada bunyi-bunyi bahasa yang diterima. Bunyi-bunyi bahasa diselidiki berdasarkan frekuensi getaran, ampitudo, intensitas, dan timbrenya. 3. Fonetik Auditoris Fonetik auditoris atau biasa disebut fonetik persepsi mempelajari bagaimana mekanisme telinga menerima bunyi bahasa sebagai getaran udara (Bronstein dan Jacoby, 1967:70-72; Marsono, 2006:3). Kajian fonetik auditoris meneliti bagaimana seorang pendengar menanggapi bunyi-bunyi yang perlu diproses sebagai bunyi-bunyi bahasa bermakna serta apakah ciri bunyi-bunyi bahasa yang dianggap penting oleh pendengar dalam usahanya untuk membedabedakan setiap bunyi (Singh dan Singh, 1976:5; Muslich, 2008:10). 2.3 Proses Artikulasi Fonetik sebagai sebuah ilmu yang meneliti fisik bunyi bahasa melalui proses terjadinya bunyi. Energi utama dalam memproduksi bunyi bahasa berasal dari udara dari paru-paru. Udara dihirup ke dalam paru-paru dan dihembuskan keluar saat bernafas. Udara yang dihembuskan (atau dihisap untuk sebagian kecil bunyi bahasa) itu kemudian mendapatkan hambatan di berbagai tempat alat bicara (artikulator) dengan berbagai cara sehingga menimbulkan bunyi bahasa.

16 Menurut Marsono (2006:4), tempat atau alat bicara (artikulator) yang dilewati di antaranya: batang tenggorokan, pangkal tenggorokan, kerongkongan, rongga mulut, rongga hidung, serta bagian-bagian kecil di dalamnya. Jika alat ucap disebut artikulator, tempat terjadinya hambatan atau gangguan terhadap bunyi ujar disebut dengan tempat artikulasi atau titik artikulasi (Chaer, 2009:29). Oleh karena itu, Chaer (2009:29) mengungkapkan bahwa proses artikulasi didefinisikan sebagai proses atau cara terjadinya bunyi. Dalam proses artikulasi, selain cara produksi bunyi, tempat artikulasi dan titik artikulasi pun dilibatkan. Pada akhirnya proses artikulasi mencakup suatu sistem dalam memproduksi bunyi bahasa. 2.3.1 Tempat Artikulasi Proses artikulasi menjadi salah satu pokok pembicaraan penting dalam ilmu bunyi bahasa. Proses artikulasi menjadi tahapan pertama dalam memproduksi bunyi bahasa. Dalam proses tersebut, peranan artikulator dan titik artikulasi menentukan bunyi yang diproduksi selama proses artikulasi. Seperti dijelaskan Chaer (2009:29), tempat artikulasi merupakan tempat terjadinya hambatan atau gangguan terhadap bunyi ujar. Tempat artikulasi disebut juga titik artikulasi, sedangkan alat-alat artikulasi disebut artikulator. Membicarakan tempat artikulasi berarti membicarakan pula artikulator. Dalam proses artikulasi, terdapat beragam jenis alat ucap yang selain berfungsi menjadi hambatan ketika produksi bunyi, juga memiliki fungsi lain yang bersifat fisiologis. Misalnya, paru-paru untuk bernafas, lidah untuk mengecap, dan gigi

17 untuk mengunyah (Chaer, 29:18). Berikut ini merupakan gambaran posisi alat ucap. Gambar 2.1

18 Alat Ucap Berdasarkan gambar alat ucap di atas, berikut ini merupakan nama-nama alat ucap sesuai dengan nomor pada gambar. 1) Paru-paru (lung) 2) Batang tenggorokan (trachea) 3) Pangkal tenggorokan (larynx) 4) Pita suara (vocal cord) yang di dalamnya terdapat glotis 5) Krikoid (cricoid) 6) Lekum atau tiroid (thyroid) 7) Aritenoid (arythenoid) 8) Dinding rongga kerongkongan (wall of pharynx) 9) Epiglotis (epiglotis) 10) Akar lidah (root of the tongue) 11) Pangkal lidah (back of the tongue, dorsum) 12) Tengah lidah (middle of the tongue, medium) 13) Daun lidah (blade of the tongue, laminum) 14) Ujung lidah (tip of the tongue, apex) 15) Anak tekak (uvula) 16) Langit-langit lunak (soft palate, velum) 17) Langit-langit keras (hard palate, palatum) 18) Gusi, ceruk gigi (alveolum) 19) Gigi atas (upper teeth, dentum) 20) Gigi bawah (lower teeth, dentum)

19 21) Bibir atas (upper lip, labium) 22) Bibir bawah (lower lip, labium) 23) Mulut (mouth) 24) Rongga mulut (oral cavity) 25) Rongga hidung (nasal cavity) Alat-alat ucap di atas selain memiliki fungsi fisiologi, memiliki fungsi penting sebagai bagian dari proses artikulasi atau produksi bunyi. Berikut ini merupakan fungsi dan cara kerja alat ucap. 1) Paru-paru (lung) Selain memiliki fungsi utama dalam proses pernafasan, sumber arus udara yang berasal dari paru-paru mutlak sebagai dasar terjadinya bunyi bahasa (cf. Pike, 1947:3; Malmberg, 1963:21-22; Marsono, 2006:8-9). Sebagian arus udara akan keluar saat proses pernafasan, sebagian lagi akan dihambat oleh artikulator untuk menghasilkan bunyi bahasa. Arus udara terbagi menjadi dua, yaitu udara egresif atau udara yang datang dari paru-paru dan menghasilkan bunyi egresif serta udara ingresif atau udara yang datang dari luar dan menghasilkan bunyi ingresif (Chaer, 2009:20). Arus udara ingresif dan bunyi ingresif tidak dikenal dalam bahasa Indonesia. 2) Pangkal tenggorokan (larynx), pita suara (vocal cord), glotis, dan epiglotis Pangkal tenggorokan atau laring (larynx) merupakan rongga pada ujung pipa pernafasan. Di ujung laring terdapat pita suara (vocal cord). Pita suara tersebut digerakkan oleh otot aritenoid (bagian dari laring). Pita suara dapat terbuka

20 lebar, terbuka agak lebar, terbuka sedikit, dan tertutup rapat, sesuai dengan arus udara yang dihembuskan ke luar (Chaer, 2009:20). Dalam peristiwa membuka dan menutupnya pita suara, maka terbentuklah suatu celah atau ruang di antara sepanjang pita suara yang disebut glotis (Marsono, 2006:9). Glotis merupakan awal terjadinya bunyi bahasa dalam proses artikulasi. Apabila glotis terbuka lebar, bunyi bahasa tidak dapat dihasilkan. Apabila glotis terbuka agak lebar, bunyi bahasa yang dihasilkan adalah bunyi bahasa tidak bersuara, sedangkan bunyi bersuara akan dihasilkan apabila glotis terbuka sedikit. Selain itu, glotis juga bisa tertutup rapat. Keadaan tersebut akan menghasilkan bunyi hamzah atau glotal. Proses-proses tersebut akan terjadi dengan bantuan epiglotis atau katup pangkal tenggorokan yang berfungsi membuka dan menutup jalannya pernafasan atau arus udara. 3) Rongga kerongkongan atau faring (pharynx) Rongga kerongkongan atau faring merupakan rongga yang terletak di antara pangkal tenggorokan dengan rongga mulut dan rongga hidung. Faring memiliki fungsi untuk menghasilkan bunyi faringal. Hal itu karena faring berbentuk tabung suara yang akan ikut bergetar bila pita suara bergetar. 4) Langit-langit lunak (velum), anak tekak (uvula), dan pangkal lidah (dorsum) Langit-langit lunak (velum) serta bagian ujungnya yang disebut anak tekak (uvula) dapat turun naik untuk mengatur arus udara ke luar masuk melalui rongga hidung atau rongga mulut. Bunyi yang dihasilkan oleh langit-langit lunak adalah bunyi velar. Dalam pembetukan bunyi tersebut, langit-langit lunak berperan sebagai artikulator pasif, sedangkan artikulator aktif adalah

21 pangkal lidah (dorsum). Bunyi yang dihasilkan oleh pangkal lidah disebut bunyi dorsal (Bloch & George L. Trager, 1942:16; Marsono, 2006:13). Bila pangkal lidah dan langit-langit lunak bekerjasama menghasilkan suatu bunyi, bunyi tersebut disebut dorso-velar. Bunyi yang dihasilkan oleh anak tekak disebut bunyi uvular. 5) Langit-langit keras (palatum), ujung lidah (apex), dan daun lidah (laminum) Dalam proses artikulasi, langit-langit keras (palatum) berlaku sebagai artikulator pasif, sedangkan artikulator aktif yaitu ujung lidah (apex) atau daun lidah (laminum). Langit-langit keras yang bekerjasama dengan ujung lidah akan menghasilkan bunyi apiko-palatal, sedangkan langit-langit keras yang bekerjasama dengan daun lidah akan menghasilkan bunyi lamino-palatal. 6) Ceruk gigi (alveolum) Sama seperti langit-langit keras, ceruk gigi (alveolum) berperan sebagai artikulator pasif. Yang berperan sebagai artikulator aktif adalah ujung lidah atau daun lidah. Oleh karena itu, bunyi bahasa yang dihasilkan oleh ceruk gigi bekerjasama dengan ujung lidah disebut apiko-alveolar, sedangkan bunyi yang dihasilkan ceruk gigi bekerjasama dengan daun lidah disebut bunyi laminoalveolar. 7) Gigi (dentum) Gigi (dentum) terbagi menjadi dua, yaitu gigi atas dan gigi bawah. Dalam proses artikulasi, gigi merupakan artikulator pasif. Oleh karena itu, ketika gigi bekerjasama dengan ujung lidah yang berperan sebagai artikulator aktif akan menghasilkan bunyi apiko-dental. Selain ujung lidah, apabila gigi bekerjasama

22 dengan bibir yang berperan sebagai artikulator aktif akan menghasilkan bunyi labio-dental. Adapun bunyi lain yang dihasilkan apabila ujung lidah berada di antara gigi atas dengan gigi bawah, yaitu bunyi interdental. 8) Bibir (labia) Seperti juga gigi, bibir (labia) terbagi menjadi bibir atas dan bibir bawah. Bibir bawah yang menjadi artikulator aktif bila bekerjasama dengan bibir atas yang menjadi artikulator pasif akan menghasilkan bunyi bilabial. Bibir bawah juga menjadi artikulator aktif ketika menghasilkan bunyi labio-dental yang bekerjasama dengan gigi atas. 9) Lidah (tongue) Lidah (tongue) terbagi menjadi empat bagian, yaitu ujung lidah (apex), daun lidah (laminum), punggung atau pangkal lidah (dorsum), dan akar lidah (root). Bagian tersebut memiliki fungsi berbeda-beda dalam proses artikulasi, tetapi memiliki peranan yang sama sebagai artikulator aktif. Posisi lidah juga akan menentukan jenis vokal yang dihasilkan. 10) Mulut dan rongga mulut Rongga mulut dengan bibir atas dan bibir bawah berperan penting dalam menghasilkan bunyi vokal. Jika bentuk mulut membundar, menghasilkan bunyi vokal bundar atau bulat. Sebaliknya, jika bentuk mulut melebar, menghasilkan bunyi vokal tidak bundar. Bunyi yang dihasilkan oleh rongga mulut disebut juga bunyi oral. 11) Rongga hidung

23 Jika arus udara di rongga mulut ditutup dan dikeluarkan melalui rongga hidung, bunyi yang akan dihasilkan melalui rongga hidup adalah bunyi nasal. 2.3.2 Klasifikasi Bunyi Bahasa 2.3.2.1 Vokal Bunyi vokal pada dasarnya dihasilkan apabila tidak terjadi hambatan pada artikulator, sehingga tidak terjadi artikulasi. Adapun hambatan pada bunyi vokal hanya terjadi pada pita suara sehingga tidak masuk dalam wilayah hambatan artikulasi (Verhaar, 1977:17; Marsono, 2006:16). Bunyi vokal biasanya diklasifikasikan dan diberi nama berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut. Posisi bisa bersifat vertikal dan bersifat horizontal. Secara vertikal dibedakan adanya vokal tinggi, misalnya [i] dan [u]; vokal tengah, misalnya, bunyi [e] dan [ə]; dan vokal rendah, misalnya, bunyi [a]. Secara horizontal dibedakan adanya vokal depan, misalnya, bunyi [i] dan [e]; vokal pusat, misalnya, bunyi [ə]; dan vokal belakang, misalnya, bunyi [u] dan [o]. Kemudian menurut bentuk mulut dibedakan adanya vokal bundar dan vokal tidak bundar. Disebut vokal bundar karena bentuk mulut membundar ketika mengucapkan vokal itu, misalnya vokal [o] dan vokal [u]. Disebut vokal tidak bundar karena bentuk mulut tidak membundar, melainkan melebar, pada waktu mengucapkan vokal tersebut, misalnya, vokal [i] dan [e]. Berdasarkan lidah dan bentuk mulut itu kita dapat membuat bagan atau peta vokal sebagai berikut:

24 Tabel 2.1 Peta Bunyi Vokal Berdasarkan posisi dan bentuk mulut itulah kemudian kita memberi nama akan vokal-vokal itu, misalnya: [i] adalah vokal depan tinggi tidak bundar [e] adalah vokal depan tengah tidak bundar [ə] adalah vokal pusat tengah tidak bundar [o] adalah vokal belakang tengah bundar [a] adalah vokal pusat rendah tidak bundar 2.3.2.2 Semi Vokal Bunyi semi vokal merupakan bunyi yang secara praktis termasuk konsonan, tetapi karena saat diartikulasikan belum membentuk konsonan murni,

25 bunyi-bunyi itu disebut semi vokal atau semi konsonan (cf. Verhaar, 1977:20; Marsono, 2006:96). Posisi bunyi semi vokal berada di antara konsonan dan vokal (Verhaar, 2006:40). Bunyi yang termasuk semi vokal yaitu [w] dan [y]. 2.3.2.3 Konsonan Bunyi konsonan adalah bunyi yang dihasilkan dengan cara menghambat arus udara pada sebagian artikulator (Marsono, 2006:16). Bunyi-bunyi konsonan biasanya diklasifikasikan berdasarkan empat kriteria berikut ini: 1) Tempat artikulasi Tempat artikulasi merupakan tempat bertemunya artikulator aktif dan artikulator pasif untuk menghasilkan bunyi konsonan. 2) Cara artikulasi Cara artikulasi yaitu bagaimana tindakan atau perlakuan terhadap arus udara yang baru ke luar dari glotis ketika proses artikulasi dalam menghasilkan bunyi konsonan (Chaer, 2009:48). 3) Pita suara Selama proses produksi bunyi, pita suara berperan dengan cara bergetar atau tidak. Apabila pita suara bergetar dan glotis terbuka sedikit akan menghasilkan bunyi konsonan bersuara. Sebaliknya, bila pita suara tidak bergetar dan glotis terbuka agak lebar akan mengasilkan bunyi konsonan tidak bersuara. 4) Striktur Striktur diartikan sebagai hubungan posisi antara artikulator aktif dan pasif. Jika tempat artikulator hanya memersoalkan ihwal titik terjadinya artikulasi,

26 striktur lebih membicarakan hubungan renggang atau melebarnya artikulator pasif dan artikulator aktif. Berdasarkan klasifikasi di atas, jenis-jenis bunyi konsonan dibedakan dalam peta bunyi konsonan bahasa Indonesia (cf. Aminoedin dkk., 1984:92; Marsono, 2006:101) berikut. Tabel 2.2 Peta Bunyi Konsonan Bahasa Indonesia 2.4 Perubahan Bunyi

27 Seiring perkembangan zaman dan perbedaan kondisi kebahasaan seseorang di suatu daerah tertentu, bukan tidak mungkin selalu ada perubahan bunyi terjadi pada kata-kata tertentu ketika dilafalkan. Saat berbicara dan melafalkan kata-kata, fonem tidak berdiri sendiri sehingga selalu berkaitan dan saling memengaruhi dengan fonem lainnya dalam suatu rangkaian (Chaer, 2009:96). Hal tersebutlah yang memengaruhi timbulnya perubahan bunyi. Perubahan bunyi tidak hanya dapat terjadi pada seseorang dengan kondisi kebahasaan normal, tetapi juga pada anak-anak berkebutuhan khusus. Berikut ini tipe-tipe perubahan bunyi yang mungkin terjadi pada seseorang ketika melafalkan bunyi bahasa. 2.4.1 Pelemahan Bunyi Pelemahan bunyi atau biasa disebut weakening merupakan sebuah gejala kebahasaan ketika bunyi lemah memengaruhi bunyi kuat sehingga terjadi perubahan bunyi. Tipe pelemahan bunyi terbagi menjadi dua, yaitu lenisi dan rotatisme seperti dijelaskan berikut ini. 2.4.1.1 Lenisi Lenisi menjadi istilah pertama untuk mewakili garis besar konsep pelemahan bunyi. Perubahan bunyi yang terjadi dalam lenisi pada umumnya adalah bunyi kuat diganti dengan bunyi lemah seperti diungkapkan Crowley (1987:26-27) berikut ini. Linguists speak of some sounds as being relatively stonger or weaker than others...similarly, stop rank higher than continuants in strength,

28 consonants are higher than semi-vowels, oral sounds are higher in rank than glottal sounds, and front and back vowels rank higher than central vowels. Berdasarkan penjelasan Crowley tersebut, berikut ini beberapa bunyi dimasukkan dalam tabel bunyi kuat dan bunyi lemah (Crowley, 1987:26; Fernandez, 1993/1994:16-17). Tabel 2.3 Bunyi Kuat dan Bunyi Lemah Bunyi Kuat b p f x b v a d s Bunyi Lemah p f h h w w ə l r k? 2.4.1.2 Rotatisme Fernandez (1993/1994:18) mengungkapkan bahwa rotatisme atau dikenal dengan istilah rotik merupakan bagian dari konsep pelemahan bunyi mencakup bunyi-bunyi getar, sentuhan, luncuran, dan sebagainya. Beberapa tipe bunyi yang menjadi bagian dari rotatisme adalah bunyi [r] dan [l], [s] dan [z], serta [w] dan

29 [z]. Seperti halnya lenisi, proses rotatisme terjadi dengan cara mengganti bunyi lemah menjadi bunyi kuat. 2.4.2 Pelesapan Bunyi Jika lenisi merupakan perubahan bunyi dengan mengganti bunyi kuat menjadi bunyi lemah, pelesapan bunyi berarti menghilangkan satu bunyi atau lebih pada posisi tertentu. Muslich (2008:123) menyebut istilah pelesapan bunyi sebagai zeroisasi yang berarti penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan. Pada anak-anak normal maupun berkebutuhan khusus, perubahan bunyi dalam proses ini kerap terjadi akibat kompetensi yang belum baik atau kondisi artikulator yang belum berkembang. Berikut ini merupakan beberapa proses pelesapan bunyi berdasarkan posisi bunyinya. 2.4.2.1 Aferesis Muslich (2008:125) mengungkapkan bahwa aferesis merupakan proses penghilangan, penanggalan, atau pelesapan satu atau lebih fonem pada awal kata. Pada umumnya, aferesis terjadi karena faktor perkembangan sejarah. Namun, gejala tersebut juga kerap muncul pada beberapa kasus kebahasaan anak-anak. 2.4.2.2 Apokop

30 Jika aferesis ditandai dengan hilangnya bunyi atau fonem di awal, Apokop merupakan penghilangan, penanggalan, atau pelesapan satu atau lebih fonem pada akhir kata. 2.4.2.3 Sinkop Seperti aferesis dan apokop, sinkop merupakan salah satu perubahan bunyi dengan cara menghilangkan, menanggalkan, atau melesapkan satu atau lebih fonem. Yang membedakan adalah fonem yang hilang berada di posisi tengah kata. 2.4.2.4 Reduksi Gugus Konsonan Fernandez (1993/1994:21) mengungkapkan apabila terdapat deret konsonan atau gugus konsonan dalam sebuah kata tanpa disisipkan vokal di antaranya terjadi pelesapan satu konsonan atau lebih disebut reduksi gugus konsonan. 2.4.2.5 Haplologi Haplologi berkaitan dengan bunyi silabe. Fernandez (1993/1994:23) menjelaskan bahwa haplologi merupakan perubahan bunyi yang penerapannya cenderung sangat sporadis dan jarang dijumpai yang ditandai dengan penghilangan silabe seutuhnya. 2.4.2.6 Kompresi

31 Hampir sejenis dengan haplologi, kompresi merupakan gejala penghilangan atau pelesapan silabe di akhir atau tengah kata. Terdapat jenis kompresi yang menyangkut penggunaan akronim atau ungkapan campuran (word mixes) dan bentuk singkatan yang berhubungan dengan reduksi fonologis. 2.4.3 Penambahan Bunyi Di samping pelemahan bunyi dan pelesapan bunyi, ada pula penambahan bunyi. Gejala penambahan bunyi merupakan proses fonologis yang ditandai dengan proses menambahkan satu atau lebih fonem atau bunyi pada suatu kata. 2.4.3.1 Anaptiksis atau Eksrensens Ekskresens atau anaptiksis mengacu pada proses yang sama. Fernandez (1993/1994:26-27) mengungkapkan bahwa ekskresens (atau anaptiksis) mengacu pada proses penambahan konsonan di antara dua konsonan dalam kata. Perubahan bunyi tersebut berlawanan dengan kecenderungan umum dalam bahasa-bahasa untuk menghilangkan silabe berstruktur konsonan dan vokal karena enskresens menciptakan gugus konsonan yang lebih panjang. Bunyi hambat yang muncul disisipkan itu titik artikulasinya sama dengan (bersifat hormoganis) nasal yang mendahuluinya. 2.4.3.2 Protesis Fernandez (1993/1994:28) mengungkapkan bahwa protesis adalah perubahan bunyi dengan cara menambahkan satu bunyi atau lebih pada awal kata.

32 2.4.3.3 Epentesis Epentesis digunakan untuk memerikan perubahan bunyi yang memperlihatkan penambahan vokal pada tengah kata untuk memisahkan dua konsonan di dalam gugus konsonan (Fernandez, 1993/1994:27). Muslich (2008:127) mengungkapkan bahwa perubahan bunyi dalam epentesis ditandai dengan proses penambahan bunyi pada awal kata, baik satu vokal atau konsonan maupun lebih. 2.4.3.4 Paragog Menurut Muslich (2008:127), istilah paragog digunakan untuk memerikan perubahan yang memperlihatkan penambahan bunyi pada akhir kata, baik satu bunyi maupun lebih. 2.4.4 Fusi Fernandez (1993/1994:30) mengungkapkan bahwa fusi ialah jenis perubahan bunyi yang ditandai dengan menyatunya bunyi yang mulanya merupakan dua bunyi yang berbeda menjadi bunyi tunggal yang mengandung sejumlah ciri fonetis dari kedua bunyi semula. 2.4.5 Modifikasi Vokal Modifikasi vokal sesungguhnya merupakan perubahan bunyi vokal akibat pengaruh bunyi lain yang mengikutinya (Muslich, 2008:121). Modifikasi vokal

33 dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) umlaut atau metafoni merupakan modifikasi vokal dari rendah ke tinggi, (2) harmoni vokal atau keselarasan vokal merupakan modifikisi vokal akibat pengaruh vokal lain pada silaba yang mengikutinya, (3) ablaut atau modifikasi internal merupakan perubahan bunyi vokal terkait unsur morfologis. 2.4.6 Monoftongisasi Muslich (2008:126) mengungkapkan peristiwa perubahan bunyi vokal yang disebut monoftongisasi sebagai proses perubahan dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) menjadi vokal tunggal (monoftong). 2.4.7 Labialisasi Labialisasi merupakan proses pelabialan atau pembulatan bentuk bibir ketika artikulasi primer berlangsung (Chaer, 2009:97). Misalnya, kata <tujuan> dilafalkan [t w uju w an]. 2.5 Sindrom Down Sindrom down (dikenal dengan sindroma down atau down syndrome) adalah sebutan bagi sebuah kelainan genetik yang ditemukan Dr. John Longdon Down pada tahun 1866. Delphie (2009:9) menjelaskan bahwa sindrom down merupakan penyakit yang disebabkan terjadinya penyatuan kromosom nomor 15 dan 21 (disebut trisomy) sehingga mengalami kelebihan kromosom.

34 Secara umum, sindrom down merupakan kelainan genetis kelebihan jumlah kromosom yang menyebabkan keterbelakangan fisik dan mental dengan ciri-ciri yang khas pada keadaan fisiknya, termasuk alat ucap. Tinggi badannya relatif pendek, bentuk kepala mengecil (microchephaly), hidung yang datar menyerupai orang Mongolia maka sering juga dikenal dengan Mongoloid, mulut mengecil dan lidah menonjol keluar (macroglossia), serta beberapa kekhasan fisik lainnya. Karena ciri-ciri fisik yang sama pada setiap penyandang sindrom down, mereka kerap mendapat julukan si kembar seribu. Hal tersebut juga didasarkan pada fakta bahwa sindrom down dapat terjadi pada segala ras dengan wajah sama secara internasional yang pada biasanya terjadi pada tiga bayi setiap dua ribu kelahiran dan satu dari sepuluh anak dengan keterbelakan mental (child with developmental impairment) (Delphie, 2009:8). Martinangoy (1995:14) memaparkan secara rinci mengenai kelainan genetis yang dialami anak sindrom down berawal dari miliaran sel di dalam tubuh manusia itu sendiri. Semua sel memiliki pusat informasi genetik yang disebut dengan kromosom. Pada keadaan normal, setiap sel tubuh manusia memiliki 23 pasangan kromosom (46 buah kromosom) atau terdiri atas 22 pasang autosom (nomor 1-22) dan 1 pasang kromosom seks. Kromosom seks perempuan disimbolkan XX, sedangkan kromosom seks laki-laki disimbolkan dengan XY (Delphie, 2009:17).

35 Pada kasus sindrom down, kelainan kromosom nomor 21 yang menyebabkan kelebihan kromosom (trisomy) mengakibatkan goncangan sistem metabolisme di sel. Hal itu menjadi dasar terjadinya sindrom down. Hingga saat ini, belum ada ahli yang mengetahui pasti alasan terjadinya kelainan kromosom pada sindrom down. Meskipun demikian, berdasarkan salah satu surat kabar nasional, para peneliti dari Amerika Serikat dewasa ini mengungkapkan teori terbaru penyebab sindrom down. Disebutkan bahwa hilangnya protein di otak dalam jumlah sedikit, bukan banyak seperti yang selama ini diduga, menjadi alasan terjadinya sindrom down. 2.5.1 Keterbelakangan Fisik Kelainan genetis yang mendasari terjadinya sindrom down mengakibatkan kelainan secara fisik. Manifestasi klinis yang khas pada fisik mengakibatkan kemiripan pada semua wajah sindrom down sehingga disebut si kembar seribu. Tinggi badan penyandang sindrom down relatif pendek, bentuk kepala mengecil (microchephaly), hidung yang datar menyerupai orang Mongolia (disebut mongoloid atau mongolismus), mulut mengecil dan lidah menonjol keluar (macroglossia), serta beberapa kekhasan fisik lainnya. Delphie (2009:9-10) mendeskripsikan kelainan sindrom down sebagai berikut. 1) Wajahnya yang khas dengan ukuran kepala kecil, wajah lebar, tulang pipi tinggi, hidung pesek, jarak antara kedua mata lebih lebar, mata sipit ke arah

36 samping, terdapat kelainan pada tirai mata (iris), dan lipatan pada kelopak mata. 2) Bibir dan lidah lebih tebal (macroglossia) serta pertumbuhan gigi terganggu. 3) Kulitnya lebih halus jika dibandingkan anak normal dan lipatan leher lebih banyak. 4) Apabila difoto dengan rontgen, terdapat kelainan dalam tulang jari tengan dan ujung jari, kelingking lebih pendek dan sedikit melengkung ke dalam, jarak antara jari kesatu dengan kedua pada tangan dan kaki terlihat lebih lebar, serta telapak tangannya keras (cimen crease). 5) Alat kelaminnya berukuran kecil 6) Otot-ototnya lembek. 7) Terdapat kelainan jantung bawaan. 8) Sering batuk dan pilek. 9) Cenderung mudah terkena leukeumia 10) Pertumbuhan semasa bayi tampak baik, tetapi berangsung-angsur memburuk setelah dewasa. Selain ciri fisik yang khas seperti dipaparkan di atas, sindrom down umumnya memiliki kelainan atau penyakit pernafasan serta kelainan dalam bentuk alat ucap (artikulator). Kelainan alat ucap, di antaranya otot lidah dan rahang lemah, mulut kecil, bibir tipis, langit-langit datar yang melengkung tinggi di bagian tengahnya, ruang/rongga mulut bagian dalam sempit, amandel dan jaringan di belakang hidung relatif besar, bahkan pada beberapa penyandang

37 sindrom down perkembangan rongga hidungnya tidak sempurna (Martinangoy, 1995:16). Secara umum, perkembangan dan pertumbuhan fisik sindrom down relatif lebih lambat. Sebut saja pertumbuhan tinggi dan berat badan. 2.5.2 Keterbelakangan Mental Selain keadaan yang khas pada bagian fisik, kelainan genetis pada sindrom down juga mengakibatkan kelainan atau keterbelangan mental (retardasi mental). Retardasi mental berdasarkan The American Association on Mental Deficiency (AAMD) ialah keberadaan tingkat intelektual (IQ) di bawah rata-rata (<70) bersamaan dengan kurangnya kemampuan beradaptasi selama masa-masa perkembangan (Martinangoy, 1995:12-13). Berdasarkan tinggat keparahannya, retardasi mental terbagi menjadi empat tingkatan sebagai berikut; 1) retardasi mental ringan (mild) IQ 50-55 sampai sekitar 70; 2) retardasi mental sedang (moderate) IQ 35-40 sampai 50-55; 3) retardasi mental berat (severe) IQ 20-25 sampai 35-40; 4) retardasi mental parah (profound) IQ di bawah 20 atau 25. Sementara itu, berdasarkan kemampuan belajar dan beradaptasi, Kirk (1962; Matinangoy, 1995: 13) membedakan retardasi mental dengan kategori sebagai berikut; 1) slow rearner IQ 70-75 sampai 90-95; 2) mampu didik IQ 50-70 sampai 80; 3) mampu latih IQ 25-30 sampai 50;

38 4) totally dependent IQ 0 sampai 25-30. Sindrom down merupakan bagian dari anak tunagrahita. Tunagrahita didefinisikan sebagai manifestasi dari kesulitan mereka dalam menilai situasi akibat rendahnya tingkat kecerdasan karena terdapat kesenjangan yang signifikan antara kemampuan berpikir (mental age) dengan perkembangan usia (kronological age) (Rochyadi dan Alimin, 2005:11). Pada dasarnya keterbelakangan mental atau retardasi mental yang dialami anak sindrom down berbeda-beda. Faktor genetis yang melatarbelakanginya mengakibatkan keterlambatan dalam perkembangan aspek kognitif, motorik, psikomotorik, juga bahasa. Gangguan pada otak kecil juga turut memperlambat proses berjalan, berpikir, berbahasa, berhitung sederhana, atau proses belajarnya. Anak sindrom down memerlukan waktu lebih lama untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan dengan dirinya sendiri. Pada kondisi retardasi mental ringan atau mampu didik sekalipun, anak sindrom down tetap memiliki beberapa kendala dalam proses penyesuaian diri sehingga untuk mandiri dan melakukan beberapa kegiatan memerlukan bimbingan dan pengawasan. 2.5.3 Kondisi Kompetensi Bahasa Keterbelakangan fisik dan mental secara umum telah memengaruhi kompetensi bahasa anak sindrom down. Kondisi artikulator yang khas, seperti lidah yang besar dan menonjol serta rongga mulut yang kecil membuat sindrom

39 down sering menjulurkan lidahnya, sulit merapatkan bibir, serta sulit melafalkan beberapa bunyi atau fonem. Lemahnya otot lidah dan rahang menjadi salah satu penghambat utama anak sindrom down saat melafalkan beberapa bunyi bahasa. Hal tersebut diperparah oleh gangguan pada otak kecil, gangguan pendengaran, serta gangguan pernafasan. Perkembangan kebahasaan sindrom down relatif lambat, baik dari segi pengujaran maupun pemahaman sehingga keterbelakangan kebahasaan tidak hanya pada bagian fonologis, tetapi juga semantis, morfologis, sintaksis, pragmatis, atau leksikon. Pada dasarnya, diperlukan suatu pembeda antara kompetensi bahasa dan bicara. Kompetensi bahasa mengacu pada tingkat pegujaran yang disertai pemahaman kebahasaan. Kompetensi bicara hampir serupa dengan bahasa, tetapi lebih mengacu pada proses artikulasi bunyi bahasa dan tingkat pengujaran saja. Seperti dijelaskan di atas, anak sindrom down memiliki keterbatasan dan perkembangan yang lambat, baik dalam kompetensi bahasa maupun bicara. Hal itu disebabkan keterbelakangan fisik dan mentalnya. 2.6 Psikolinguistik Fonologi sebagai cabang ilmu linguistik merupakan payung ilmu utama yang digunakan dalam penelitian. Fonologi digunakan sebagai alat untuk menganalisis kompetensi fonologis anak sindrom down berdasarkan data trankrip fonologis. Sementara itu, anak sindrom down yang tergolong dalam anak berkebutuhan khusus dengan retardasi mental mengakibatkan penelitian linguistik

40 mengenai hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari ranah ilmu psikologi. Beberapa fenomena kebahasaan (fonologis) perlu dijelaskan oleh ilmu psikologi. Oleh karena itu, psikolinguistik selanjutnya dipakai sebagai payung ilmu untuk mengetahui perkembangan kompetensi fonologis anak sindrom down. Psikolinguistik itu sendiri merupakan ilmu hibrida, yakni ilmu yang merupakan gabungan dari ilmu linguistik dengan psikologi (Dardjowijdojo, 2005:2). Fonologi dan psikologi bagi beberapa aliran ahli bahasa perwujudan bahasa dalam otak merupakan masalah pokok dalam ilmu linguistik (Lass, 1991:11). Keduanya dihubungkan oleh psikolinguistik. Clark dan Clark (1977:4; Dardjowodjojo, 2005:7) mengungkapkan bahwa psikologi bahasa (psikolinguistik) berkaitan dengan tiga hal utama: komprehensi, produksi, dan pemerolehan bahasa. Produksi bahasa didefinisikan sebagai proses-proses mental pada diri seseorang yang membuatnya berujar. Ujaran berbentuk bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap (artikulator) sebagai bagian dari proses mental. Pada anak dengan retardasi mental, terjadi beberapa perubahan dan kelainan pada ujaran mereka. Proses ujar anak dalam waktu berkala akan menununjukkan tingkat perkembangan kebahasaannya. Oleh karena itu, psikolinguistik perkembangan dengan teknik alamiah atau naturalistik berusaha menangkap perkembangan kompetensi berbahasa anak, terutama anak berkebutuhan khusus seperti anak sindrom down. Selain teknik naturalistik, psikolinguistik juga berusaha menelaah perkembangan bahasa anak dengan studi longitudinal. Jangka waktu yang panjang

41 dan sampel yang terbatas membuat studi psikolinguistik lebih mendalam terhadap kompetensi bahasa individu. Ilmu psikologi dan linguistik berhasil mendeskripsikan kompetensi bahasa seseorang ditinjau dari pengaruh internal atau lingkungan dalam diri manusia (psikologis dan biologis) serta pengaruh eksternal atau lingkungan di luar dirinya (sosial). Hal tersebut menjadi dasar penelitian kompetensi bahasa seorang anak, terutama anak berkebutuhan khusus dalam proses perkembangan dan pembelajaran bahasanya. Kondisi psikologis dan biologis merupakan pengaruh utama dalam perkembangan kompetensi kebahasaan anak berkebutuhan khusus. Terbatasnya fungsi dan berat otak, rongga mulut yang sempit, dan lidah yang relatif besar menyebabkan terbatasnya bunyi-bunyi bahasa yang dapat dilafalkan (Bachari dan Harras, 2009:64). Keterbatasan di atas dapat berupa kelainan bicara atau bahasa pada anak-anak terutama anak berkebutuhan khusus seperti anak sindrom down. Bachari dan Harras (2009:111) menjelaskan kelainan bicara dan/atau bahasa sebagai masalah dalam komunikasi dan bagian-bagian yang berhubungan dengannya seperti fungsi organ bicara atau alat ucap. Keterlambatan atau kelainan tersebut sifatnya bervariasi. IDEA (The Individuals with Disabilities Education Act) mendefinisikan anak-anak yang memiliki kesulitan bahasa dan bicara sebagai berikut: Anak-anak termasuk kategori ini apabila mereka mempunyai kelainan komunikasi seperti gagap, kelainan artikulasi, kelainan bahasa atau kelainan suara yang secara nyata

42 berpengaruh terhadap kinerja pendidikan mereka (Bachari dan Harras, 2009:111). Kelainan fisik seperti yang dialami anak sindrom down menjadi salah satu penyebab beberapa bunyi bahasa tidak dapat diartikulasikan secara sempurna. Dengan demikian, studi psikolinguistik merupakan ilmu yang tepat untuk meneliti kompetensi bahasa anak berkebutuhan khusus, di samping ilmu fonologi (tata bunyi) sebagai ilmu pokok. Psikolinguistik akan menguraikan faktor-faktor pengaruh kompetensi bahasa di luar struktur bunyi bahasanya.