Agenda Besar Memperkuat Keluarga Indonesia Tahun 2014 ini merupakan momen bersejarah bagi masyarakat Indonesia dalam memasuki periode demokrasi baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hiruk pikuk pesta demokrasi yang rawan konflik horisontal sempat mengancam kehidupan berbangsa kita. Meskipun pada akhirnya masyarakat kita tetap dapat hidup berdampingan secara damai memasuki babak baru pemerintahan di era demokrasi ini. Pemerintahan baru dengan kebijakan yang lebih dapat menyejahterakan kehidupan masyarakat tentu saja menjadi harapan kita semua. Tulisan ini dibuat sebagai sebuah ungkapan keprihatinan penulis terhadap keberpihakan pemerintahan sebelumnya terhadap pembangunan kehidupan keluarga di Indonesia, tanpa bermaksud menafikkan keberhasilan-keberhasilan lain dalam pembangunan yang telah dicapai. Dengan harapan, berbagai kebijakan yang akan diambil oleh pemerintahan baru mampu menjadikan keluarga sebagai tonggak pembangunan manusia di negeri ini dan menciptakan manusia-manusia Indonesia masa depan yang lebih tangguh dan sejahtera. Sebuah momentum yang baik kiranya untuk kita kembali menilik apakah kebijakan pembangunan keluarga telah menjadi arus utama kebijakan pembangunan sumber daya manusia selama ini. Harapan baru bagi pemerintahan baru wajar kiranya kita berikan mengingat begitu banyak perubahan sosial yang terjadi di masyarakat kita yang menyebabkan berbagai perubahan dalam kehidupan berkeluarga. Hingga akhirnya ada beberapa pertanyaan yang mengemuka, apakah pembangunan keluarga telah secara efektif menjadikan pondasi masyarakat kita, yaitu keluarga, menjadi sebuah pondasi kehidupan yang berkualitas?. Apakah institusi keluarga saat ini sudah siap menjadi ujung tombak pembentukan manusia-manusia Indonesia yang mumpuni dan berdaya saing?. Seberapa tahankah keluarga Indonesia saat ini menghadapi berbagai tekanan ekonomi maupun sosial untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengisyaratkan betapa banyak pekerjaan rumah bagi negeri ini untuk dapat menjamin kehidupan keluarga yang lebih baik. Tulisan ini diharapkan dapat mengingatkan semua pihak yang berkepentingan, dan juga bahkan para keluarga Indonesia, betapa kita mempunyai agenda besar untuk menjadikan keluarga Indonesia menjadi keluarga tangguh, mumpuni, dan berkualitas demi mewujudkan kehidupan manusia-manusia Indonesia yang lebih baik. Mengapa Pembangunan Keluarga? page 1 / 7
Mengapa pembangunan keluarga perlu diberikan porsi penting dalam kebijakan pembangunan, khususnya pembangunan sumber daya manusia?. Keluarga adalah pondasi bagi terbentuknya masyarakat, keluarga yang berfungsi dengan baik dapat menjadi salah satu indikator bahwa masyarakat yang dibentuk juga akan berfungsi dengan baik. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) telah merumuskan delapan fungsi keluarga sebagai wahana menuju keluarga sejahtera. Kedelapan fungsi yang harus diemban keluarga tersebut bagi anggota keluarganya adalah keluarga merupakan wahana pembinaan bagi kehidupan beragama; wahana bagi pembinaan dan persemaian nilai-nilai luhur budaya; tempat untuk menciptakan suasana cinta dan kasih sayang dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; wahana terciptanya suasana aman, nyaman, damai, dan adil; tempat diterapkannya cara hidup sehat, khususnya dalam kesehatan reproduksi; wahan terbaik dalam proses sosialisasi dan pendidikan bagi anak-anaknya; tempat membina kualitas kehidupan ekonomi dan kesejahteraan keluarga; hingga sebagai wahana untuk menciptakan anggota keluarga yang mampu hidup harmonis dengan lingkungan masyarakat sekitar dan alam. Secara singkat, kedelapan fungsi keluarga ini mencakup fungsi agama, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, pendidikan, ekonomi, dan lingkungan. Secara konseptual, kedelapan fungsi tersebut telah menggambarkan peran apa yang harus dilakukan keluarga yang secara struktural merupakan unit terkecil pembentuk masyarakat. Pertanyaan yang mengemuka berikutnya, benarkah pembangunan keluarga selama ini telah mampu mendorong keluarga untuk dapat menjalankan kedelapan fungsi tersebut dengan baik? Beberapa fakta yang ada menunjukkan bahwa pondasi keluarga Indonesia masih belum cukup kuat untuk dapat mengemban kedelapan fungsi tersebut. The Wahid Institute pada April 2014 merilis data bahwa selama tahun 2013 terdapat 245 kasus kekerasan atas nama agama yang terjadi di Indonesia. Kasus terakhir yang sempat mencuat yang terjadi di Yogyakarta pada bulan Mei 2014 menambah daftar panjang kasus intoleransi agama di masyarakat kita. Diakui atau tidak, isu agama telah menjadikan keluarga cukup rentan untuk menghadapi ancaman konflik horizontal di masyarakat. Dengan kata lain, fungsi agama, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih dalam membangun kehidupan keluarga sebagai pondasi membentuk masyarakat yang toleran masih menjadi tantangan tersendiri bagi keluarga Indonesia. Fakta lain tentang kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang menunjukkan angka yang terus meningkat dan juga masih tingginya perilaku kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anak juga mencerminkan bahwa fungsi keluarga sebagai perlindungan dan sumber cinta kasih juga masih rentan. Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2012 mencatat bahwa 66% kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di tingkat rumah tangga. Beberapa page 2 / 7
penelitian yang dilakukan di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, IPB selama tahun 2013 dan 2014 juga menunjukkan bahwa sekitar 20% hingga 30% perilaku pengasuhan orang tua masih sarat dengan perilaku kekerasan baik fisik maupun emosi. Ironis memang, keluarga yang hendaknya dapat menjadi tempat pertama dan utama anggota keluarga memperoleh perlindungan dan cinta kasih justru menjadi tempat pertama yang tidak aman bagi anggota keluarganya. Rentannya fungsi reproduksi, pendidikan dan sosialisasi, dan juga ekonomi juga terlihat dari masih tingginya angka pernikahan usia muda, kenakalan remaja, dan anak yang bekerja akibat desakan ekonomi. Indonesia termasuk Negara dengan persentase pernikahan usia muda tinggi di dunia. Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 mencatat bahwa diantara perempuan menikah usia 10-54 tahun, terdapat 2,6% perempuan menikah pertama kali pada usia kurang dari 15 tahun dan 23,9% menikah pada usia 15-19 tahun. Angka ini menunjukkan bahwa satu dari empat perempuan menikah pada usia kurang dari 19 tahun yang berarti resiko terhadap kualitas kehidupan keluarga dan anak menjadi semakin tinggi. Selain itu, berbagai kasus kekerasan seksual yang sedang mencuat akhir-akhir ini di media dengan korban anak-anak memberikan pekerjaan rumah yang cukup besar bagi orang tua untuk dapat menjalankan fungsi reproduksi serta fungsi pendidikan dan sosialisasi di dalam keluarga secara tepat bagi anak-anaknya. Berbagai kasus permasalahan remaja mulai dari jumlah perokok anak dan remaja yang semakin meningkat; seks bebas, kehamilan di luar nikah, hingga praktek aborsi; penyalahgunaan obat terlarang; bullying; dan juga tawuran semakin menegaskan pentingnya peran keluarga untuk dapat menjalankan fungsi pendidikan dan sosialisasi secara baik. Penelitian yang dilakukan di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, IPB pada 200 remaja di Bogor menunjukkan bahwa meskipun mereka sudah tergolong pada kelompok akhir periode anak-anak, namun pengasuhan yang positif dan juga metode sosialisasi yang tepat memberikan kontribusi sebesar 30% terhadap pembentukan kualitas karakter remaja dalam rangka menekan perilaku antisosialnya. Begitu pula tekanan ekonomi dan pengetahuan orang tua yang rendah yang kemudian menyebabkan anak di bawah umur terpaksa bekerja dan tercabut haknya untuk mengakses pendidikan secara layak. Hal tersebut mengindikasikan rentannya keluarga untuk dapat menjalankan fungsi ekonomi secara baik, dan tentunya akan berdampak terhadap rendahnya pemenuhan fungsi keluarga yang lain. Berbagai fakta di atas, dan dalam bingkai keberfungsian keluarga yang harus dijalankan, maka pembangunan keluarga Indonesia dalam rangka mewujudkan kehidupan keluarga yang berkualitas mempunyai sederet agenda panjang. Kebijakan pembangunan keluarga di Indonesia yang terangkum pada Program Kependudukan, KB, dan Pembangunan Keluarga hendaknya mampu mengarahkan page 3 / 7
kebijakan dan strateginya untuk dapat mendorong keluarga-keluarga Indonesia dapat secara mumpuni menjalankan kedelapan fungsi keluarga yang telah dirumuskan di tingkat nasional. Oleh karenanya, pembangunan keluarga adalah sebuah tuntutan besar yang harus dilaksanakan dalam agenda pembangunan sumber daya manusia Indonesia saat ini. Jangan berharap bahwa bangsa ini akan menciptakan manusia-manusia yang berkualitas, mumpuni, dan berdaya saing; apabila pembangunan keluarga tidak lagi menjadi prioritas. Agenda Besar Pembangunan Keluarga Indonesia Hal mendasar yang perlu dijawab dalam tantangan membangun keluarga Indonesia saat ini adalah adakah keberpihakan untuk menjadikan pembangunan keluarga sebagai arus utama dalam pembangunan sumber daya manusia di negeri ini?. Berbagai rumusan program untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan keluarga sebenarnya sudah cukup banyak baik di tingkat nasional hingga ke daerah. Hanya saja, satu hal yang perlu dikritisi adalah ketepatan program dalam menjawab permasalahan keluarga seringkali tidak tepat sasaran dan menjadikannya tidak efektif. Salah satu penyebabnya adalah pendekatan program yang masih ego sektoral. Keberpihakan untuk menjadikan pembangunan keluarga sebagai arus utama pembangunan sumber daya manusia akan mengarahkan pada kebijakan dan strategi yang komprehensif untuk melibatkan semua dimensi kehidupan keluarga, baik fisik, ekonomi, psikologis, maupun sosial. Hal tersebut akan dapat mendorong keluarga-keluarga Indonesia untuk mampu menjalankan fungsi keluarga secara baik. Keempat dimensi kehidupan keluarga dan fungsi keluarga yang harus dijalankan tersebut dapat menjadi rambu-rambu parameter dalam merumuskan kebijakan dan strategi pembangunan keluarga secara komprehensif dan lebih multisektoral sehingga upaya peningkatan kualitas dan kesejahteraan keluarga dapat menjadi lebih efektif. Selain itu, upaya peningkatan kualitas dan kesejahteraan keluarga yang menyandarkan pada kelompok sasaran berdasarkan siklus kehidupan keluarga (Duvall 1971, Allyn & Bacon, 1989); mulai dari kelompok individu yang akan memasuki kehidupan pernikahan; pasangan baru menikah; keluarga dengan anak usia prsekolah; keluarga dengan anak usia sekolah; keluarga dengan anak usia remaja; keluarga dengan anak yang sudah bekerja dan menikah serta mulai meninggalkan rumah, hingga keluarga yang memasuki masa pensiun akan dapat page 4 / 7
mempermudah tercapainya program peningkatan kualitas dan kesejahteraan keluarga yang lebih tepat sasaran. Lebih lanjut, kelompok sasaran lain seperti keluarga dengan orang tua tunggal dan juga keluarga yang mengalami pernikahan kembali (remarriage) yang juga menjadi fenomena kekinian akibat adanya perubahan struktur keluarga (Ally & Bacon, 1989) juga memerlukan pendekatan program pembangunan keluarga yang lebih spesifik. Ketiga aspek tersebut, yaitu pertimbangan akan dimensi kehidupan keluarga, fungsi keluarga, dan siklus keluarga dapat menjadi landasan yang dapat menyatukan bagaimana program-program pembangunan keluarga dapat berjalan secara sinergis, komprehensif, dan yang terpenting melibatkan multisektoral. Berikut beberapa pemikiran yang penulis rumuskan untuk menyederhanakan ketiga konsep di atas dalam membangun parameter keberhasilan program-program peningkatan kualitas dan kesejahteraan keluarga. Dengan angka pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan telah ditetapkannya target pertumbuhan penduduk yang seimbang dalam Program Kependudukan, KB, dan Pembangunan Keluarga maka pemenuhan kebutuhan fisik yang mendasar bagi keluarga adalah terpenuhinya pangan secara mencukupi dan bergizi (khususnya pada keluarga dengan kelompok rentan seperti ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita); tinggal dalam rumah dan lingkungan yang sehat, aman, dan layak mendukung perkembangan anak (khususnya akses tempat tinggal bagi keluarga berpendapatan rendah termasuk keluarga dengan orang tua tunggal); terpenuhinya kebutuhan sandang; serta terjaminnya pemenuhan kebutuhan kesehatan dan pendidikan (khususnya kemudahan akses pendidikan bagi anak dari keluarga miskin dan kemudahan akses kesehatan pada ibu hamil, ibu menyusui, anak balita, dan juga lanjut usia). Sementara itu, pada dimensi ekonomi keluarga, seiring dengan berbagai tantangan kehidupan keluarga yang dihadapi saat ini; upaya peningkatan dan pengembangan ekonomi keluarga tidak bisa hanya sebatas upaya-upaya peningkatan pendapatan keluarga. Namun hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana mendidik keluarga-keluarga untuk dapat mengelola keuangan keluarga secara baik. Merencanakan pengelolaan keuangan untuk pendidikan anak, kesehatan, hari tua, dan juga bahkan pengelolaan keuangan keluarga untuk kehidupan sehari-hari dengan keterbatasan pendapatan yang dimiliki merupakan keterampilan kehidupan berkeluarga yang harus dikembangkan pada keluarga Indonesia saat ini. Pada keluarga kelas bawah baik yang tinggal di perdesaan ataupun perkotaan, ketidakmampuan keluarga dalam mengelola keuangan secara baik yang ditandai dengan menjamurnya fenomena jeratan hutang karena rentenir, bank keliling, dan juga godaan kredit memerlukan peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang positif dalam pengelolaan keuangan; bersamaan dengan upaya peningkatan pendapatan keluarga; sehingga keluarga lebih berkualitas secara page 5 / 7
ekonomi. Upaya peningkatan kualitas dan kesejahteraan keluarga, khususnya pada dimensi psikologis, juga telah mengantri banyak pekerjaan rumah. Betapa banyak permasalahan-permasalahan keluarga yang berawal dari rendahnya pengetahuan, sikap, dan keterampilan keluarga pada dimensi ini yang menyebabkan fungsi keluarga tidak dapat berjalan optimal. Kemampuan berkomunikasi dengan pasangan dan juga anak sebagai dasar yang penting dalam membangun interaksi keluarga yang baik, seringkali luput dari perhatian program-program pembangunan keluarga. Kasus-kasus KDRT, perilaku agresi dan pengabaian orang tua kepada anak, bahkan juga ketidakcakapan anak dalam mengelola emosi tidak jarang disebabkan oleh rendahnya kualitas interaksi antaranggota keluarga. Tekanan ekonomi yang menyebabkan orang tua sibuk bekerja sehingga membangun praktek pengasuhan yang cenderung terlalu keras atau bahkan terlalu longgar kepada anak; ketidakmampuan membangun komunikasi positif dengan pasangan dalam menghadapi berbagai periode kritis dalam keluarga; rendahnya pengetahuan orang tua tentang pengasuhan positif dan stimulasi psikososial yang tepat bagi anak; ketidakmampuan keluarga dalam beradaptasi dengan tahapan kritis dalam setiap siklus kehidupan keluarga mulai dari awal membangun kehidupan keluarga hingga masa lansia; hingga keterbatasan kemampuan strategi adaptasi pada keluarga-keluarga dengan orang tua tunggal dan dengan pernikahan kembali, memerlukan program pembangunan keluarga yang lebih sensitif terhadap permasalahan psikologis yang dihadapi pada setiap tipe dan siklus keluarga. Begitu pula pada dimensi sosial, keluarga yang juga berfungsi sebagai tempat untuk melatih anggota keluarganya agar mempunyai kehidupan sosial yang harmonis dengan lingkungannya; juga termasuk yang seringkali luput dari perhatian dalam pembangunan keluarga. Melunturnya modal sosial dalam masyarakat kita yang disebabkan nilai-nilai individualistis, hedonis, dan materialistis yang mewarnai nilai-nilai kehidupan saat ini menjadikan keluarga rentan memperoleh dukungan sosial yang sebenarnya bermanfaat meningkatkan kemampuan keluarga menjalankan fungsinya dengan baik. Berbagai bukti empiris menunjukkan bahwa dukungan sosial baik yang bersifat materi maupun nonmateri dari keluarga besar, lingkungan pertetanggaan, serta komunitas sekitar yang dekat dengan kehidupan keluarga sangat bermanfaat membantu keluarga menghadapi krisis. Hal ini mengaskan kembali bahwa pembangunan yang berfokus pada keluarga juga harus dapat mengembangkan kemampuan sistem-sistem sosial di sekitar kehidupan keluarga sehingga dapat memberikan dukungan positif menguatkan institusi keluarga sebagai unit dasar pembentuk masyarakat. page 6 / 7
Inilah tantangan kita semua dalam mewujudkan kehidupan keluarga Indonesia yang lebih baik. Harapan besar dipertaruhkan untuk kembali memperkuat institusi dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; yaitu keluarga. Cita-cita besar bangsa ini untuk dapat mewujudkan kehidupan manusia-manusia Indonesia menjadi manusia-manusia terbaik tidak akan terwujud jika kita tidak pernah memberikan perhatian lebih untuk berjuang dan berupaya mewujudkan kehidupan keluarga yang berkualitas. Semoga agenda pembangunan keluarga ke depan mampu mewujudkan hal tersebut. page 7 / 7