BAB II KAJIAN PUSTAKA. samping terutama untuk tempat tinggal, juga untuk semacam itu yakni yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian petani adalah orang yang menggantungkan hidupnya pada lahan

BAB I PENDAHULUAN. berpikir sistematis, kritis, cermat, dan kreatif, serta mampu mengkomunikasikan

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sosial (termasuk religi), ekonomi dan ekologi sehingga hubungan hutan dan

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM. dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei, teori ini

BAB I PENDAHULUAN. juga dengan komunitas. Komunitas merupakan sekumpulan individu yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. mendukung statusnya sebagai negara agraris, dengan sebagian besar masyarakat

Draft Pertanyaan Strategi Adaptasi Petani Pemilik Lahan Terbatas

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Komunitas dapat diartikan sebagai masyarakat community atau masyarakat

Sosiologi. Kelompok & Organisasi Sosial MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 07

BAB I PENDAHULUAN. individu dan sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sebuah kelompok yang dibentuk oleh kepentingan bersama. Durkheim membagi

SOSIOLOGI KOMUNIKASI

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

Matakuliah : O0042 Pengantar Sosiologi Tahun : Ganjil 2007/2008 PERUBAHAN SOSIAL DAN MODERNITAS PERTEMUAN 09

SOSIOLOGI PERTANIAN ( )

BAB II KAJIAN TEORI. solidaritas dan sosial. Solidaritaas sosial merupakan perasaan atau

BAB I PENDAHULUAN. yang seharusnya dilakukan bagi setiap manusia dalam masyarakat untuk terus berinteraksi. Sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat istiadat dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lainnya memiliki kesamaan dalam beberapa hal. Rasa solidaritas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ini merupakan sifat dasar masyarakat. Perubahan masyarakat tiada hentinya, jika

WAWASAN SOSIAL BUDAYA. Kehidupan Pedesaan Dan Perkotaan

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan, serta berbagai peristiwa lainnya ternyata banyak ragamnya. Bagi

BAB II TEORI SOLIDARITAS EMILE DURKHEIM. ataupun kelompok sosial karena pada dasarnya setiap masyarakat membutuhkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LEMBAGA SOSIAL

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola

BAB II KERANGKA TEORI. dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam

4. KARAKTERISTIK DESA. Pertemuan 5

KELOMPOK SOSIAL GUMGUM GUMILAR, S.SOS., M.SI

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik semua kebudayaan. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam

Pembangunan di pedesaan adalah bagian dari proses pembangunan. nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. menjadi modal dasar pembangunan nasional disektor pertanian sebagai prioritas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. menyelenggarakan kehidupannya dalam pemenuhan kebutuhan hidup.

STUDI MASYARAKAT INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. satu suku yang dapat ditemui di Sumatera bagian Utara yang ber-ibukota Medan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB I PENDAHULUAN. mahluk biologis merupakan individu yang mempunyai potensi-potensi diri yang

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).

Kelopok Sosial. Fitri dwi lestari

BAB II KAJIAN TEORI. Sosiologi berasal dari kata Latin socius yang berarti kawan dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dalam melaksanakan ketetapan Garis Besar Haluan Negara (GBHN)

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI

I. PENDAHULUAN. bergaul, bekerja, tolong menolong, kerja bakti, keamanan, dan lain-lain.

KELOMPOK-KELOMPOK SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. beberapa tujuan, kebutuhan dan cita-cita yang ingin dicapai, dimana masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. data sosial ekonomi September 2013 sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja

BAB I PENDAHULUAN. mengelola tanah hingga menanam bibit sampai menjadi padi semuanya dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. dijalankan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Seorang individu

II.TINJAUAN PUSTAKA. dengan teori-teori yang telah dikemukakan oleh ahli. Untuk menghubungkan hasil penelitian dengan teori yang dikemukakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. karena hubungan-hubungan serupa itu mengandaikan sekurang-kurangnya satu

MASYARAKAT RITA RAHMAWATI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan (equilibreum).

Gotong Royong Dalam Kehidupan Masyarakat

BAB II : KAJIAN TEORITIK. mengajar di tingkat universitas memberikan khusus sosiologi pertama kali di

BAB I PENDAHULUAN. demikian merupakan salah satu bentuk dari solidaritas sosial. 1

B A B I P E N D A H U L U A N

BAB II TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DAN TEORI SOLIDARITAS. Solidaritas Dan Stratifikasi Antar Petani Tambak Di Dusun Dukuan Desa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB VIII KELEMBAGAAN MAKANAN POKOK NON BERAS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum tipologi masyarakat dikategorikan menjadi dua,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan tingkat keberagaman yang tinggi. Baik keberagaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. solidaritas di antara individu maupun kelompok. dengan yang lain atau (give and take) melalui berbicara atau saling menukar tanda

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yuvenalis Anggi Aditya, 2013

Nilai dan Norma Sosial

5. STRUKTUR SOSIAL PERDESAAN

BUDAYA SAMBATAN DI ERA MODERNISASI (Study Kasus Di Desa Gumukrejo, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Tentang Kegiatan Gotong Royong. beberapa atau kesemua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan

BAB IV SISTEM SOSIAL 4.1 Pengantar 4.2 Sistem Sosial

Bayu Setiyo Pamungkas Universitas Sebelas Maret

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kompetisi yang ketat. Pengaruh budaya asing juga sangat membentuk kepribadian

ETOS KERJA PETANI. (Studi DiDesa Sukamaju Kecamatan Wonosari Kabupaten Boalemo) SUMIATI PAKAYA DR. RAUF A HATU M.SI

LEMBAGA KEMASYARAKATAN (LEMBAGA SOSIAL)

BAB I PENDAHULUAN. bentukan manusia yang tidak lahir begitu saja yang bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. menumbuhkan benih-benih adab manusia untuk mencapai kualitas luhur

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Peranan Tokoh Masyarakat dalam Menumbuhkan

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Ciri dan Syarat Kelompok Sosial

BAB I PENDAHULUAN. Dalam suatu suku bangsa mempunyai berbagai macam kebudayaan, tiap

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup dalam melangsungkan kehidupannya

BAB II KERANGKA TEORI. 2.1 Industrialisasi dan Perubahan Sosial di Pedesaan

YENI KURNIAWAN Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta

PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA PASCA KONFLIK LAHAN ANTARA WARGA DENGAN TNI DI DESA SETROJENAR KECAMATAN BULUSPESANTREN KABUPATEN KEBUMEN RINGKASAN SKRIPSI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk telah diakui sejak merdeka

LEMBAGA KEMASYARAKATAN (LEMBAGA SOSIAL)

Nama :Rayendra Pratama NPM : 1A Kelas : 1 KA 39. Tugas ISB Bab 7

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku

LEMBAGA SOSIAL. Oleh : Lia Aulia Fachrial, M.Si

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, kesadaran masyarakat untuk melakukan gotong royong sangat

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Masyarakat Desa Pertanian Desa merupakan suatu daerah yang dijadikan tempat tinggal masyarakat yang sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian bersumber dari alam. Di dalam Rahardjo (2004: 29) mengatakan bahwa suatu desa ditandai dengan keterikatan warganya terhadap suatu wilayah tertentu. Keterikatan terhadap wilayah ini di samping terutama untuk tempat tinggal, juga untuk semacam itu yakni yang memiliki ikatan kebersamaan dan ikatan wilayah tertentu pengertiannya tercakup dalam konsep komunitas (community). Pada masyarakat desa masih minim mengetahui teknologi sehingga membuat mereka untuk bertani. Kondisi lingkungan yang masih asri dan subur merupakan faktor pendorong masyarakat desa tersebut mengelola lahan pertanian sebagai sumber kehidupan. Di dalam Henslin (2006: 98) menjelaskan bahwa adanya masyarakat pertanian didasarkan pada pemeliharaan tannaman dengan menggunakan peralatan tangan. Karena mereka tidak lagi harus meninggalkan suatu wilayah bilamana persediaan makanan habis, maka masyarakat ini mengembangkan pemukiman permanen. Pada awalnya hasil pertanian hanya digunakan untuk konsumsi keluarga petani, namun seiring perjalanan waktu para petani mulai menjual hasil pertanian mereka. Proses ini disebut juga dengan evolusi di mana manusia semakin mengenal

teknologi dan semakin maju dalam berpikir. Menurut Koentjaraningrat (1977: 11) menjelaskan bahwa semenjak keberadaan manusia kira-kira dua juta tahun lalu, manusia baru mengenal cocok tanam sekitar 10.000 tahun yang lalu. Sebelum itu cara hidup manusia masih dalam taraf food gathering economics seperti berburu, menangkap ikan, dan meramu. Dengan jenis mata pencaharian semacam itu mereka lebih banyak mengembara, dalam kelompok yang kecil-kecil dan tidak permanen serta belum hidup dalam tatanan masyarakat yang teratur. Pada tingkat ini belum diperkirakan adanya peradaban atau kebudayaan bahkan dalam bentuk yang sederhana sekalipun (Rahardjo, 2004: 31). Masyarakat petani secara umum sering dipahami sebagai suatu kategori sosial yang seragam dan bersifat umum. Artinya, sering tidak disadari adanya diferensiasi atau perbedaan-perbedaan dalam berbagai aspek yang terkandung dalam komunitas petani ini. Sebagai contoh, diferensiasi dalam komunitas petani itu akan terlihat berdasar atas perbedaan dalam tingkat perkembangan masyarakatnya, jenis tanaman yang mereka tanam, teknologi atau alat-alat yang mereka pergunakan, sistem pertanian yang mereka pakai, topografi atau kondisi-kondisi fisik-geografik lainya. Seperti yang dijelaskan di dalam Rahardjo (2004: 31), cocok tanam memaksa manusia untuk hidup menetap di suatu tempat untuk menjaga dan menunggui panenan. Karena pertanian dilaksanakan di tempat-tempat tertentu yang subur seperti lembah-lembah tepian sungai, daerah tepian danau, dan semacamnya, maka para pencocok tanam cenderung tidak berjauhan satu sama lain. Keadaan ini

memungkinkan mereka untuk saling berhubungan secara aktif dan teratur sehingga mengakibatkan terjadinya akumulasi pengetahuan dan tatanan perilaku bersama yang keseluruhannya berkemas dalam bentuk pola kebudayaan tertentu. Diantara gambaran-gambaran yang bersifat diferensiatif pada kalangan masyarakat petani pada umumnya adalah perbedaan antara petani bersahaja, yang juga sering disebut petani tradisional (termasuk golongan peasant) dan petani modern.secara garis besar golongan pertama adalah kaum petani yang masih tergantung dan dikuasai alam karena rendahnya tingkat pengetahuan dan teknologi mereka. Produksi mereka lebih ditujukan untuk sebuah usaha menghidupi keluarga, bukan untuk tujuan mengejar keuntungan (profic oriented). Sebaliknya, farmer atau agricultural entreprenuer adalah golongan petani yang usahanya ditujukan untuk mengejar keuntungan (profic oriented). Mereka menggunakan teknologi dan sistem pengelolaan modern dan menanam tanaman yang laku di pasaran. Mereka mengelola pertanian mereka dalam bentuk agrobisnis, agro industri atau bentuk modern lainya, sebagaimana umunya seseorang pengusaha yang profesional menjalankan usahanya. 2.1.1 Pengelolaan Pertanian Pengelolaan pertanian dapat diartikan sebagai suatu rangkaian pekerjaan atau usaha pertanian untuk menggali atau memanfaatkan sumber alam yang ada secara efektif untuk memenuhi kebutuhan. Di desa Padang Ranah pengelolaan pertanian dilakukan secara bersama-sama. Di dalam Rahardjo (2004: 158) menjelsakan bahwa ikatan sosial yang kuat, yang mewujud dalam bentuk tingkat

kerukunan yang tinggi, juga menyebabkan terciptanya semacam keharusan sosial bagi sesama petani untuk berbagi tanah garapan. Pada sistem pengolahan pertanian meliputi golongan lahan, pola tanam, pemupukan, pembrantasan hama serta proses panen hasil tanaman. 1. Pengolahan Lahan Pertanian Sebelum memulai kegiatan bertani, hal pertama yang dilakukan petani mengolah lahan, lahan yang digunakan petani untuk bertanam padi adalah lahan basa yang siap ditanam. 2. Pola Tanam Selain lahan, pola tanam juga harus diperhatikan. Pola tanam padi harus sejajar berurutan agar memudahkan pada proses penyiangan serta proses panen padi tersebut. 3. Pemupukan Proses pemupukan dilakukan pada tanaman yang berumur dua minggu. Pemupukan biasanya dilakukan dua sampai tiga kali tergantung keadaan tanaman. 4. Pemberantasan Hama Hama pada tanaman akan merusak kualitas tanaman tersebut. Lahan pertanian yang terserang hama akan mengalami gagal panen dan petani akan merugi, pemberantasan hama dilakukan dengan cara penyemprotan pestisida kepada tanaman. 5. Panen

Kegiatan terakhir dalam proses pertanian adalah panen. Hasil pertanian yang baik akan menghasilkan panen yang memuaskan. 2.1.2 Sistem Ikatan Kekerabatan Masyarakat Petani Menurut Ferdinand Toennies (J. Dwi Narwoko Bagong Suyanto. 2007:32-34), masyarakat dapat dibedakan kedalam dua jenis kelompok yang disebutgemeinschaft dan Gesellschaft. Gemeinschaft merupakan bentuk kehidupan bersama, dimana antara anggotanya mempunyai hubungan batin murni yang nyata dan organis. Bentuk ini dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat desa, keluarga, kerabat, dan sebagainya. Gesellschaft merupakan bentuk kehidupan bersama dimana para anggotanya mempunyai hubungan yang bersifat pamrih dan dalam jangka pendek serta bersifat mekanis. Bentuk ini dapat ditemukan dalam hubungan perjanjian yang berdasarkan ikatan timbal balik. Pada masyarakat desa yang bersifat Gemeinschaftlich, pada umumnya spesialisasi individu tidak menonjol sehingga kedudukan individual tidak begitu penting. Sehingga apabila salah seoarang anggotanya dikeluarkan maka tidak begitu terasakan oleh anggota lainya, berarti bahwa kedudukan masyarakat lebih penting dari pada kedudukan individu sehingga setrukturnya disini disebut mekanis. Sebaliknya, pada masyarakat yang bersifat kompleks (Gesellschaftlich) dimana sudah ada spesialisasi diantara para anggotanya sehingga tidak dapat hidup secara

tersendiri atau dapat dipisah-pisahkan, sehingga merupakan suatu kesatuan organisme oleh karenanya strukturnya merupakan struktur organis. Selanjutnya Tonnies membedakan Gemeinschaft menjadi tiga jenis, yaitu: 1. Gemeinschaft by blood, yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ikatan darah atau keturunan. Di dalam pertumbuhanya masyarakat yang semacam ini makin lama makin menipis. 2. Gemeinschaft of placo (locality), yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada tempat tinngal yang saling berdekatan sehingga dimungkinkan untuk dapatnya saling tolong menolong. 3. Gemeinschaft of mind yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ideology atau pikiran yang sama (J. Dwi Narwoko Bagong Suyanto. 2007:32-34). 2.1.3 Gotong Royong Pada Masyarakat Petani Istilah gotong-royong mengacu pada kegiatan saling menolong atau saling membantu dalam masyarakat. Tradisi kerjasama tersebut tercermin dalam berbagai bidang kegiatan masyarakat (Nasution, 2009: 10). Dalam hal ini gotong royong dalam bidang pertanian mulai dari pembibitan sampai panen hasil pertanian tersebut, para petani bekerja sama berpartisipasi dalam kegiatan gotong royong atas dasar kesadaran dalam anggota kelompok. Manifestasai gotong royong tersebut terdapat pada hampir tiap suku bangsa Indonesia. Dalam penelitian Koentjaraningrat (1977: 4) membagi gotong royong

menjadi empat macam, terdiri atas (a) gotong royong dalam produksi pertanian, (b)gotong royong formal antar tetangga, (c) gotong royong dalam perayaan dan pesta, (d) gotong royong dalam bencana dan kematian (Nasution, 2009: 10). Seperti yang terdapat di Kecamatan Sijunjung, Desa Padang Ranah merupakan gotong royong dalam produksi hasil pertanian. Namun dengan adanya gotong royong pada produksi pertanian, timbul rasa solidaritas di antara para petani yang menciptakan rasa saling memiliki. Di dalam hal ini akan menciptakan gotong royong dalam berbagai kegiatan seperti yang disebutkan sebelumnya, yaitu gotong royong formal antar tetangga, gotong royong dalam perayaan pesta dan gotong royong dalam bencana kematian. Sementara itu dalam hasil analisis pada literatur lain, Koentjaraningrat membagi gotong royong menjadi tiga macam, yaitu gotong royong dalam bidang pekerjaan pertanian, dalam tolong menolong, dan dalam bentuk kerja bakti (Nasution, 2009: 10).Dengan kata lain tiap gotong royong bertujuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan secara bersama-sama. 2.2 Lembaga Sosial Masyarakat Pedesaan Istilah lembaga sosial (social institution) artinya, bahwa lembaga sosial lebih menunjuk pada suatu bentuk perilaku sosial anggota masyarakat dalam kehidupan bersama, sekaligus juga mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya normanorma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut (Baswori, 2005: 93).

Menurut Koentjaraningrat, lembaga kemasyarakatan (pranata sosial) adalah suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan masyrakat (Ibrahim, 2003: 87). Berdasarkan pengertian lembaga kemasyarakatan yang telah dikemukakan dapat dikemukakan tiga unsur lembaga kemasyarakatan, yaitu: a) Adanya sistem norma. b) Sistem norma itu mengatur tindakan berpola. c) Tindakan berpola itu untuk memenuhi kehidupan manusia dalam kehidupan masyarakat (Ibrahim, 2003: 88). (Baswori, 2005: 93). Berdasarkan kekuatan mengikat anggotanya, normanorma sosial dibedakan menjadi: a) Cara (usage) b) Kebiasaan (folkways) c) Tata kelakuan (mores) d) Adat istiadat (custom) Lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi keperluan kehidupan kekerabatan sering disebut dengan lembaga kekerabatan (kinship institution) (Ibrahim, 2003: 92). Proses pembentukan lembaga kemasyarakatan berasal dari perilaku manusia yang lama kelamaan menjadi perilaku masyarakat yang disebut tata kelakuan atau

adat istiadat. Proses pembentukan lembaga kemasyarakatan mencakup dua proses, yaitu: a) Proses habitualisasi adalah proses menjadikan suatu perilaku manusia menjadi kebiasaan (kebiasaan orang perorang). Karena diulang-ulang, perilaku itu akhirnya memiliki pola tertentu sehingga mudah diketahui. b) Proses tipifikasi adalah proses penerimaan atau pembenaran suatu kebiasaan oleh sejumlah orang tertentu. Apabila ada kebiasaan orang mendapat pengakuan dari sekelompok orang teretenu, maka terbentuklah tipe yaitu kebiasaan yang berlaku untuk sekelompok orang tertentu. Orang lain mengakui atau membenarkan kebiasaan tadi karena mereka menganggap kebiasaan itu sebagai sesuatu yang bernilai. Tipe inilah yang disebut dengan lembaga kemasyarakatan (Ibrahim, 2003: 96). Proses pelembagaan sebenarnya bisa berlangsung lebih jauh lagi hingga suatu norma sosial menjadi internalized (mendarah daging), yaitu suatu taraf perkembangan di mana para anggota masyarakat dengan sendirinya ingin berperilaku sejalan dengan perilaku yang memang sebenarnya memenuhi kebutuhan masyarakat (Baswori, 2005: 95). 2.3 Solidaritas Sosial Masyarakat Petani Konsep solidaritas sosial merupakan kepedulian secara bersama kelompok yang menunjukkan pada suatu keadaan hubungan antara individu dan/ atau kelompok yang didasarkan pada persamaan moral, kolektif yang sama, dan kepercayaan yang

dianut serta diperkuat oleh pengalaman emosional (Johnson, 1981) (Nasution, 2009: 9). Prinsip solidaritas sosial adalah saling tolong menolong, bekerjasama, saling membagi hasil panen, menyokong proyek desa secara keuangan dan tenaga kerja dan lainnya (Nasution, 2009: 9). Solidaritas sosial dipengaruhi oleh interkasi sosial yang berlangsung karena ikatan kultural, yang pada dasarnya disebabkan munculnya sentimen komunitas (community sentiment), unsur-unsurnya menurut Redfield (dalam Laiya, 1983) meliputi: a) Seperasaan, yaitu karena seseorang berusaha mengidentifikasi dirinya dengan sebanyak mungkin orang dalam kelompok tersebut, sehingga kesemuanya dapat menyebutkan dirinya sebagai kelompok kami (warga). b) Sepenanggungan, yaitu setiap individu sadar akan peranannya dalam kelompok dan keadaan masyarakat sendiri sangat memungkinkan peranannya dalam kelompok yang dijalankan. c) Saling butuh, yaitu individu yang tergantung dalam masyarakat setempat merasakan dirinya tergantung pada komunitasnya meliputi fisik maupun psikologinya (Nasution, 2009: 9-10). Sumber solidaritas sosial adalah tradisi terawat rapi dari generasi ke generasi berikutnya, dikawal secara ketat melalui kontrol sosial, akan tetapi sementara kebudayaan tidak pernah ada yang statis, terjadilah berbagai perubahan secara

eksternal. Sedangkan unsur kekuatan yang merubah adalah proses modernisasi yang telah mempengaruhi tradisi selama ini dianggap sebagai sumber hidupnya solidaritas sosial, terutama berkaitan dengan hubungan dengan solidaritas tradisional (Nasution, 2009: 10). Pembedaan antara solidaritas mekanik dan organik merupakan salah satu sumbangan Durkheim (dalam Johnson, 1981) untuk menganalisis masyarakat dusun dengan masyarakat perkotaan. Dalam hal ini menggambarkan sesuatu mengenai elemen-elemen penting dari kedua tipe struktur sosial itu. Menurut solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolekif bersama yang menunjukkan pada totalitas keperrcayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama, dan solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan sebagainya (dalam Johnson, 1981) (Nasution, 2009: 12). Hal ini merupakan suatu solidaritas yang tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat sama dan menganut kepercayaan dan pola normatif sama pula. Karena itu, individualitas tidak berkembang, individualitas itu terus menerus dilumpuhkan akibat tekanan untuk konformitas yang besar sekali (Nasution, 2009: 12). Masyarakat tradisional dikaitkan dengan konsep mekanik, karena anggotanya secara spontan cenderung kepada suatu pola hidup bersama yang homogen. Perbedaan antara individu dianggap tidak penting, sehingga fungsi setiap individu

selalu dapat digantikan orang lain. Kesadaran kolektif mendominasi dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang dianggap baik oleh masyarakat dianggap baik pula oleh individu (Nasution, 2009: 13).