4. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
2. TINJAUAN PUSTAKA Letak geografis, administratif dan luas wilayah

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS KERENTANAN PESISIR TERHADAP ANCAMAN KENAIKAN MUKA LAUT DI SELATAN YOGYAKARTA AMANDANGI WAHYUNING HASTUTI SKRIPSI

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KAJIAN KERUSAKAN PANTAI AKIBAT EROSI MARIN DI WILAYAH PESISIR KELURAHAN KASTELA KECAMATAN PULAU TERNATE

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian

DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang memiliki wilayah sangat luas dan

DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

Gambar 3. Peta Resiko Banjir Rob Karena Pasang Surut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pertemuan antara air tawar dan air laut. Wilayah ini memiliki keunggulan berupa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

GEOMORFOLOGI BALI DAN NUSA TENGGARA

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

ANALISIS KERENTANAN PANTAI DI KABUPATEN TAKALAR. Eka Wahyuni Syahrir, Dr. Sakka, M.Si, Drs. Samsu Arif, M.Si

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi)

Analisis Arah Angin Pembentuk Gumuk Pasir Berdasarkan Data Morfologi dan Struktur Sedimen, Daerah Pantai Parangtritis, Daerah Istimewa Yogyakarta.

BAB III DATA LOKASI. Perancangan Arsitektur Akhir Prambanan Hotel Heritage & Convention. 3.1 Data Makro

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN BAB 1. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KONDISI UMUM LOKASI

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan kimia airtanah dipengaruhi oleh faktor geologi dan faktor antropogen.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perbandingan Peta Topografi

BAB III TINJAUAN LOKASI. 3.1 Tinjauan Umum Kabupaten Kulon Progo sebagai Wilayah Sasaran Proyek

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

sebagai sumber pendapatan masyarakat. Indonesia mempunyai potensi sumber memberikan kontribusi yang besar bagi rakyatnya.

I. PENDAHULUAN. Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI

BAB I PENDAHULUAN. bersifat komersial seperti kegiatan industri, pertanian, perkantoran, perhotelan,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

Gambar 6. Peta Kabupaten Karawang

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB IV GEOLOGI PANTAI SERUNI DAERAH TAPPANJENG. pedataran menempati sekitar wilayah Tappanjeng dan Pantai Seruni. Berdasarkan

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan

STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI MUARA SUNGAI PORONG BAB I PENDAHULUAN

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

BAB I PENDAHULUAN. bencana alam agar terjamin keselamatan dan kenyamanannya. Beberapa bentuk

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikeruh adalah merupakan Daerah Aliran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN MARGINAL KAWASAN PESISIR

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

Geomorfologi Terapan INTERPRETASI GEOMORFOLOGI CITRA SATELIT SEBAGAI DASAR ANALISIS POTENSI FISIK WILAYAH SELATAN YOGYAKARTA

BAB VI ALTERNATIF PENANGGULANGAN ABRASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II. Tinjauan Pustaka

III. METODOLOGI PENELITIAN

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

Transkripsi:

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Geomorfologi Bentuk lahan di pesisir selatan Yogyakarta didominasi oleh dataran aluvial, gisik dan beting gisik. Dataran aluvial dimanfaatkan sebagai kebun atau perkebunan, tegalan atau ladang, dan sawah irigasi. Bentuk lahan beting gisik dimanfaatkan sebagai daerah pemukiman, sedangkan bentuk lahan gisik hanya berupa hamparan bukit pasir yang luas yang disebut gumuk atau bukit pasir. Gumuk atau bukit pasir adalah gundukan dari pasir yang terhembus angin dan merupakan sebuah bentukan alam karena proses angin. Bentuk lahan gisik membujur sepanjang pantai dengan lebar ±300 meter dari garis pantai. Kenampakan geomorfologi di pantai selatan Yogyakarta dapat dilihat pada Gambar 7. Luasan dari bentuk lahan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 6.

Gambar 7. Kenampakan Geomorfologi di Pantai Selatan Yogyakarta Pengetahuan mengenai geomorfologi dapat memberikan informasi morfologi untuk perencanaan pengelolaan pesisir dalam penentuan satuan-satuan bentuk lahan yang akan digunakan sebagai lokasi untuk pemanfaatan tertentu (Haryono, 1991 in Suryoputro, 2007). Geomorfologi pesisir selatan Yogyakarta terutama disebabkan oleh proses asal fluvial dan marin (DPU, 2009a). Suryoputro (2007) mengemukakan bahwa bentuk lahan asal fluvial terbentuk dari material penyusun yang berasal dari endapan aluvium. Hal tersebut disebabkan karena adanya deposisi dari aliran permukaan yang lebih dominan. Satuan bentuk lahan dari bentuk lahan asal fluvial berupa dataran aluvial. Bentuk lahan asal marin merupakan bentuk lahan yang terjadi akibat proses-proses yang berasal dari tenaga laut seperti gelombang, arus, dan pasang surut. Satuan bentuk lahan dari bentuk lahan asal marin adalah gisik dan beting gisik. Bukit pasir atau gumuk pasir yang terbentuk di bantuk lahan gisik meluas ke arah barat sepanjang pantai selatan Yogyakarta hingga di wilayah pesisir Kabupaten Kulon Progo, yang mana material pasir vulkanik tersebut dibawa oleh

aliran Sungai Progo dan Bogowonto (Hendratno et al., 2001). Menurut Wenno dan Witasari (2001) di kawasan pesisir selatan Yogyakarta terdapat dua akumulasi endapan pasir yang berdampingan yaitu pasir dari pasir pantai dan pasir dari bukit pasir. Pasir dari keduanya adalah pasir vulkanik dengan komponen penyusunnya yang dominan adalah material vulkanik. Pemanfaatan lahan di lokasi penelitian didominasi oleh tegalan dan ladang terutama di Kecamatan Temon, Wates, Panjatan dan Galur. Sedangkan di Kecamatan Srandakan pemanfaatan lahan didominasi oleh sawah irigasi. Kondisi geomorfologi ini dapat memberikan informasi mengenai pengaruh tingkat erosi relatif dari jenis bentuk lahan yang berbeda pada suatu bagian pantai. Indeks kerentanan dari parameter geomorfologi di sepanjang pantai selatan Yogyakarta dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan gambar tersebut, seluruh kecamatan pesisir selatan Yogyakarta yang dijadikan sebagai lokasi penelitian termasuk kategori yang rentan dengan skor 4. Gambar 8. Skor Indeks Kerentanan Pesisir Selatan Yogyakarta Berdasarkan Parameter Geomorfologi

Sel dengan kategori rentan memiliki luasan dataran aluvial (sawah irigasi, sawah tadah hujan, tegalan/ladang dan kebun/perkebunan) yang lebih luas. Selain dataran aluvial, pesisir selatan Yogyakarta juga merupakan pantai berpasir. Hal ini menyebabkan wilayah pesisir tersebut akan lebih rentan terkena dampak genangan dan mudah mengalami abrasi. Pantai berpasir yang terdapat di pesisir selatan Yogyakarta merupakan gumuk pasir. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan (DISLAUTKAN) Provinsi DI Yogyakarta (2010) gumuk pasir ini tersebar merata disepanjang pantai Kabupaten Bantul sampai Kulon Progo. Volume dan luasan wilayah gumuk pasir terbesar dapat ditemui di Pantai Parangtritis, Parangkusumo, Depok, Samas, Pandansimo, Glagah Indah dan Congot. Gumuk pasir ini memiliki fungsi ekonomis dan ekologis penting, yakni sebagai kawasan wisata, areal penghijauan serta sebagai laboratorium riset di bidang geomorfologi. Fungsi lingkungan penting lain adalah sebagai barrier penahan ombak, gelombang, serta kenaikan massa air laut dan tsunami. 4.2. Perubahan Garis Pantai Perubahan garis pantai yang sudah terjadi dan baru terjadi dapat diintrepetasikan dan dipetakan dari citra Landsat. Perubahan garis pantai yang terdapat di pantai selatan Yogyakarta selama kurun waktu 22 tahun (1989-2011) dapat dilihat pada Gambar 9. Garis yang berwarna hijau menunjukkan garis pantai pada tahun 1989, sedangkan garis berwarna merah merupakan garis pantai tahun 2011.

Perubahan garis pantai yang terdapat di Kecamatan Temon, Wates, Galur dan Srandakan cenderung mengalami abrasi (Tabel 3). Kabupaten Temon dan Wates termasuk dalam kelas kerentanan sedang dimana laju perubahan garis pantai masing-masing sebesar -0,870 m/tahun dan -0,627 m/tahun. Sedangkan Kabupaten Galur dan Srandakan termasuk kedalam kelas sangat rentan dengan laju perubahan garis pantai masing-masing adalah -10,534 m/tahun dan -7,602 m/tahun. Kecamatan Panjatan dengan laju perubahan garis pantai sebesar 4,720 m/tahun termasuk ke dalam kelas sangat tidak rentan, karena cenderung mengalami sedimentasi. Sumber: Pengolahan Citra Landsat Gambar 9. Perubahan Garis Pantai di Pantai Selatan Yogyakarta Pada Tahun 1989-2011 Tabel 3. Perubahan Garis Pantai (m/thn) Periode 1989-2011 di Pesisir Selatan Yogyakarta 1989-2011 Kecamatan Perubahan (m/tahun) (-) (+)

Temon -2,725 0,984-0,870 Wates -1,254 0,000-0,627 Panjatan -1,023 10,463 4,720 Galur -21,068 0,000-10,534 Srandakan -15,204 0,000-7,602 Keterangan : (+) = Akresi (garis pantai maju) : (-) = Abrasi (garis pantai mundur) Sumber : Pengolahan citra Landsat Secara morfologis, daerah penelitian termasuk kedalam tipe pantai berpasir, dimana aktivitas yang dominan adalah proses sedimentasi material gunung api yang terbawa oleh sungai (Sungai Progo, Serang dan Bogowonto), maupun aktivitas pasang surut air laut. Umumnya perubahan garis pantai yang terjadi di pesisir selatan Yogyakarta berada pada daerah muara sungai. Gambar 10 memperlihatkan indeks kerentanan pesisir berdasarkan perubahan garis pantai tahun 1989-2011. Sel dengan indeks rentan di Kecamatan Temon merupakan sel yang dekat dengan muara Sungai Serang, sehingga kemungkinan untuk terjadinya perubahan garis pantai sangatlah besar. Hal ini juga terjadi dengan sel yang berada di Kecamatan Galur dan Srandakan. Terdapatnya Sungai Progo yang membatasi kedua kecamatan tersebut juga memberi pengaruh pada perubahan garis pantai. Perubahan garis pantai tiap selnya dapat dilihat pada Lampiran 7.

Gambar 10. Skor Indeks Kerentanan Pesisir Selatan Yogyakarta Berdasarkan Parameter Perubahan Garis Pantai Tahun 1989-2011 Skor indeks kerentanan pesisir selatan Yogyakarta berdasarkan parameter perubahan garis pantai (Gambar 10) memperlihatkan bahwa seluruh sel yang terdapat di Kecamatan Temon dan Wates masuk kedalam kelas sedang, dimana perubahan garis pantainya cenderung stabil. Kecamatan Panjatan yang terdiri dari delapan sel memiliki kelas perubahan garis pantai yang relatif bervariasi, dimana terdapat tiga sel yang berwarna kuning (kelas sedang), tiga sel berwarna hijau (kelas tidak rentan) dan dua sel berwarna biru (kelas sangat tidak rentan). Kecamatan Galur terdiri dari lima sel termasuk kedalam kelas sangat rentan, dikarenakan sel tersebut mengalami abrasi yang perubahan garis pantainya lebih dari 2 m/tahun. Tiga sel yang terdapat di Kecamatan Srandakan termasuk kedalam kelas sangat rentan dan satu sel termasuk kedalam kelas rentan. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik, dimana ekosistemnya terdiri dari komponen hayati dan fisik yang rentan terhadap perubahan. Hal ini disebabkan dataran pesisir merupakan kawasan transisi antara pengaruh

daratan dan laut, menyebabkan dataran pesisir merupakan kawasan yang dinamis. Sebagai daerah transisi menyebabkan kawasan pesisir memiliki perubahan fisik yang cepat, karena adanya proses fluvial, marin dan eolian yang saling berinteraksi (Suryoputro, 2007). Proses perubahan maju mundurnya garis pantai sangat ditentukan oleh proses tersebut, dimana perubahan maju (akresi) didominasi oleh proses fluvial, sedangkan perubahan mundur (abrasi) lebih ditentukan oleh proses marin yang kuat. Ongkosono (1982) dalam Kurniawan et al. (1994) membagi faktor-faktor penyebab perubahan pesisir menjadi dua macam, yaitu ; (1) faktor alami, seperti gelombang laut, arus, angin, sedimentasi, topografi pesisir dan pasut) serta (2) faktor manusia, seperti penambangan pasir, reklamasi pantai, pengerusakan vegetasi pantai. Penyebab utama dari bertambahnya areal pantai di daerah studi diperkirakan karena adanya proses sedimentasi. Kecepatan sedimentasi daerah pantai tergantung dari banyaknya muara sungai yang ada di pantai. Salah satu sungai di Yogyakarta yang bermuara di pantai adalah Sungai Progo. Sungai Progo merupakan sungai yang dijadikan sebagai batas administratif antara Kecamatan Galur dan Srandakan. Sedimentasi yang disebabkan oleh adanya masukan material dari Sungai Progo di Kecamatan Galur dapat dilihat dari garis pantai tahun 1989 (Gambar 9). Pengurangan areal pantai (abrasi) disebabkan oleh arus dan gelombang. Faktor utama yang menentukan abrasi terutama disebabkan oleh arah gelombang yang dominan serta arah arus pasang surut. Abrasi akan berlangsung dengan cepat pada daerah pantai yang menghadap langsung dengan arah datangnya arus

dan gelombang, dibandingkan dengan pantai yang sejajar atau searah dengan datangnya gelombang (Hermanto, 1986). 4.3. Elevasi Elevasi dapat mempengaruhi seberapa luas genangan air laut yang diakibatkan oleh kenaikan muka laut. Pada Gambar 11 menunjukkan penggolongan kelas kerentanan dari parameter elevasi. Pada gambar tersebut memperlihatkan bahwa pesisir selatan Yogyakarta yang dijadikan sebagai lokasi analisis kerentanan termasuk ke dalam kelas rentan dan sangat rentan berdasarkan parameter elevasi. Pesisir selatan Yogyakarta merupakan daerah dengan elevasi yang berkisar dari 0 sampai 10 meter. Oleh karena itu pesisir selatan Yogyakarta termasuk kategori yang cenderung rentan terhadap kenaikan muka laut. Elevasi yang terdapat di pesisir selatan Yogyakarta dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 11. Skor Indeks Kerentanan Pantai Selatan Yogyakarta Berdasarkan

Parameter Elevasi Gambar 12. Elevasi di Pesisir Selatan Yogyakarta Wilayah dengan elevasi rendah umumnya berbatasan dengan Samudera Indonesia. Ketinggian wilayah di Kecamatan Srandakan dan Sanden merupakan daerah terendah diantara kecamatan lain di Kabupaten Bantul, yaitu berkisar dari 0 sampai 25 meter dari permukaan laut (Pemerintah Kabupaten Bantul, 2007). Elevasi pantai merupakan salah satu parameter untuk menentukan potensi terhadap genangan. Menurut Marwasta dan Priyono (2007), apabila terjadi gelombang pasang maka pantai dengan morfologi landai dapat menyebabkan air akan masuk ke daratan relatif jauh sehingga luapan airnya sangat luas. Secara fisiografis kondisi Kabupaten Kulon Progo wilayahnya adalah daerah datar, meskipun dikelilingi pegunungan yang sebagian besar terletak di wilayah utara. Kawasan pantai selatan Kulon Progo merupakan lahan dengan kelerengan 0-3% atau termasuk dalam lahan dengan topografi datar. Ketinggian

wilayah kawasan pantai selatan berkisar 0-12 meter di atas permukaan laut (dpl). Titik terendah berada di garis tepian pantai, sedangkan titik tertinggi terletak di Cubung Kalangan, Desa Garongan (Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo, 2010). 4.4. Kenaikan Muka Laut Relatif Tabel 4 merupakan tabel dari kenaikan muka laut relatif (mm/tahun) di perairan selatan Yogyakarta hasil dari pengolahan data satelit Topex/Poseidon (T/P), JASON 1 dan JASON 2. Pada tabel tersebut dapat diketahui bahwa ratarata tinggi muka laut relatif di perairan selatan Yogyakarta adalah 4,62 mm/tahun, sehingga dapat dikatakan bahwa perairan selatan Yogyakarta termasuk kedalam kelas sangat rentan. Tabel 4. Tinggi Muka Laut Relatif (mm/tahun) di Perairan Selatan Yogyakarta KABUPATEN KECAMATAN KODE SEL Kulon Progo Temon Wates Panjatan Galur KENAIKAN MUKA LAUT RELATIF (mm/tahun) 21104 4,58 21105 4,58 21106 4,59 21107 4,59 21108 4,60 21109 4,60 21110 4,61 21111 4,61 21112 4,61 21113 4,62 21114 4,62 21115 4,62 21216 4,63 21217 4,63 21218 4,64 21219 4,64 21220 4,65 21221 4,65 21222 4,65 21223 4,66 21224 4,66 21225 4,67

Bantul Srandakan 21226 4,67 21227 4,69 21228 4,69 21229 4,69 Berdasarkan nilai kenaikan muka laut pada Tabel 4 dan visualisasi Gambar 13 diketahui bahwa wilayah yang dijadikan lokasi penelitian merupakan wilayah yang rentan terhadap kenaikan muka laut. Kenaikan muka laut di pantai selatan Yogyakarta lebih besar dari 4,0 mm/tahun. Menurut Gornitz (1991) kenaikan muka laut relatif lebih dari 4,0 mm/tahun akan sangat berbahaya bagi wilayah pesisir. Kenaikan muka laut relatif mengindikasikan bagaimana pengaruh kenaikan muka air laut terhadap suatu bagian dari garis pantai. Gambar 13. Skor Indeks Kerentanan Pesisir Selatan Yogyakarta Berdasarkan Parameter Kenaikan Muka Laut 4.5. Tunggang Pasang Surut Rata-rata

Tunggang pasang surut di pesisir selatan Yogyakarta berkisar antara 2,04-2,10 meter. Tunggang pasut terendah terdapat pada Kecamatan Temon dengan kode sel 21104 yaitu 2,04 meter, sedangkan tunggang pasut tertinggi terjadi di Kecamatan Srandakan dengan kode sel 21229 yaitu 2,10 meter. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Triatmodjo dan Nizam (2001), tunggang pasang surut yang terjadi di pesisir selatan Yogyakarta adalah 2,10 meter dengan nilai pasang surut rata-rata (mean tide level) dan maksimum berturut-turut adalah 1,2 meter dan 2,15 meter. Rata-rata tunggang pasang surut selama sebelas tahun di pesisir selatan Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 5. NAMA KEC Tabel 5. Rata-rata Tunggang Pasang Surut (m) Tahunan Periode 2001-2010 di Pesisir Selatan Yogyakarta KODE SEL TAHUN 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 RATA- RATA (m) Temon 21104 2.00 2,05 2,08 2,04 2,00 2,05 2,07 2,05 2,03 2,01 2,04 Temon 21105 2,00 2,05 2,08 2,04 2,00 2,05 2,07 2,06 2,03 2,01 2,04 Temon 21106 2,00 2,05 2,09 2,04 2,01 2,05 2,07 2,06 2,04 2,01 2,04 Temon 21107 2,00 2,05 2,09 2,04 2,01 2,05 2,07 2,06 2,03 2,01 2,04 Temon 21108 2,00 2,06 2,09 2,05 2,01 2,05 2,07 2,06 2,04 2,01 2,04 Temon 21109 2,00 2,06 2,09 2,05 2,01 2,06 2,08 2,06 2,04 2,01 2,05 Wates 21110 2,01 2,06 2,10 2,05 2,01 2,06 2,08 2,07 2,04 2,01 2,05 Wates 21111 2,01 2,06 2,10 2,05 2,01 2,06 2,08 2,07 2,04 2,01 2,05 Wates 21112 2,01 2,06 2,10 2,05 2,01 2,06 2,08 2,07 2,04 2,02 2,05 Wates 21113 2,01 2,07 2,10 2,05 2,01 2,07 2,09 2,07 2,04 2,02 2,05 Panjatan 21114 2,01 2,07 2,10 2,05 2,02 2,07 2,09 2,08 2,04 2,02 2,05 Panjatan 21115 2,01 2,07 2,11 2,06 2,02 2,07 2,09 2,08 2,05 2,02 2,06 Panjatan 21216 2,02 2,08 2,11 2,06 2,02 2,07 2,09 2,08 2,05 2,02 2,06 Panjatan 21217 2,02 2,08 2,11 2,06 2,02 2,08 2,10 2,08 2,05 2,02 2,06 Panjatan 21218 2,02 2,08 2,12 2,06 2,02 2,08 2,10 2,09 2,05 2,03 2,06 Panjatan 21219 2,02 2,08 2,12 2,07 2,02 2,08 2,10 2,09 2,05 2,03 2,07 Panjatan 21220 2,03 2,09 2,12 2,07 2,03 2,09 2,11 2,09 2,06 2,03 2,07

Galur 21221 2,03 2,09 2,13 2,07 2,03 2,09 2,11 2,10 2,06 2,03 2,07 Galur 21222 2,03 2,09 2,13 2,08 2,03 2,09 2,11 2,10 2,06 2,03 2,08 Galur 21223 2,04 2,10 2,13 2,08 2,03 2,10 2,12 2,11 2,06 2,04 2,08 Galur 21224 2,04 2,10 2,14 2,09 2,04 2,10 2,12 2,11 2,07 2,04 2,08 Galur 21225 2,05 2,11 2,14 2,09 2,04 2,11 2,13 2,11 2,07 2,04 2,09 Srandakan 21226 2,05 2,11 2,15 2,09 2,04 2,11 2,13 2,12 2,07 2,05 2,09 Srandakan 21227 2,05 2,12 2,15 2,10 2,04 2,11 2,13 2,12 2,07 2,05 2,09 Srandakan 21228 2,05 2,12 2,15 2,10 2,04 2,12 2,13 2,12 2,07 2,05 2,09 Srandakan 21229 2,05 2,12 2,15 2,10 2,05 2,12 2,14 2,12 2,07 2,05 2,10 Berdasarkan Tabel 5 tersebut, nilai rata-rata tunggang pasut selama sepuluh tahun (2001-2010) adalah 2,06 meter yang termasuk mesotidal. Tunggang rata-rata (mean range) pasut adalah perbedaan tinggi rata-rata pada saat pasang tertinggi dan surut terendah. Nilai rata-rata tunggang mempunyai arti penting dalam kerentanan pesisir, dimana tunggang pasang surut berkontribusi dalam penggenangan daerah pesisir. Gerakan pasang surut menyebabkan permukaan air laut senantiasa berubah-ubah setiap saat. Nilai indeks kerentanan berdasarkan parameter tunggang pasang surut di pesisir selatan Yogyakarta termasuk kedalam kelas sedang atau memperoleh skor 3. Penggolongan kelas tersebut dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Skor Indeks Kerentanan Pantai Selatan Yogyakarta Berdasarkan Parameter Rata-Rata Tunggang Pasang Surut Hasil analisis pasang surut dengan menggunakan perangkat lunak MIKE 21, diketahui bahwa tipe pasut di perairan selatan Yogyakarta adalah campuran condong ke harian ganda, dimana nilai bilangan Formzhal-nya adalah berada diantara 0,25 dan 1,50. Pasang surut campuran condong harian ganda (mixed tide, prevailing semidiurnal) merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalan satu hari, tetapi kadang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dengan memiliki tinggi dan waktu berbeda. Pasang surut jenis ini terdapat di pantai selatan Jawa dan Indonesia bagian timur (Wyrtki, 1961). 4.6. Tinggi Gelombang Berdasarkan hasil pengolahan data gelombang yang dibangkitkan oleh angin diketahui bahwa tinggi gelombang pecah yang terdapat di pesisir selatan Yogyakarta berkisar dari 0,655 sampai 0,669 meter (Tabel 6).

Tabel 6. Tinggi Gelombang Pecah di Pesisir Selatan Yogyakarta KABUPATEN KECAMATAN KODE SEL TINGGI GELOMBANG PECAH (m) Kulon Progo Bantul Temon Wates Panjatan Galur Srandakan Sumber: Pengolahan data ECMWF 21104 0,655 21105 0,665 21106 0,658 21107 0,665 21108 0,658 21109 0,663 21110 0,667 21111 0,658 21112 0,660 21113 0,667 21114 0,655 21115 0,665 21216 0,669 21217 0,663 21218 0,655 21219 0,655 21220 0,665 21221 0,662 21222 0,662 21223 0,669 21224 0,657 21225 0,665 21226 0,658 21227 0,658 21228 0,655 21229 0,657 Tinggi gelombang pecah pada Tabel 6 di atas memperlihatkan bahwa tinggi gelombang pecah yang terdapat di pesisir selatan Yogyakarta tidak terlalu berbeda jauh antara sel yang satu dengan sel lainnya. Tinggi gelombang pecah minimum terdapat di sel 21104 (Kec. Temon); 21114, 21217, 21219 (Kec. Panjatan) dan 21228 (Kec. Srandakan) dengan tinggi gelombang pecah yaitu 0,655 meter. Tinggi gelombang pecah maksimum di pesisir selatan Yogyakarta yaitu 0,669 meter yang terdapat pada sel 21216 (Kec. Panjatan) dan 21223 (Kec. Galur). Tinggi gelombang pecah di perairan selatan Yogyakarta termasuk ke

dalam kelas sangat tidak rentan yang diberi indikator warna biru. Kelas sangat tidak rentan terdapat di semua kecamatan yang dijadikan sebagai daerah penelitian. Visualisasi dari pembagian kelas kerentanan berdasarkan parameter tinggi gelombang pecah dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15. Skor Indeks Kerentanan Pesisir Selatan Yogyakarta Berdasarkan Parameter Tinggi Gelombang Pecah Gelombang merupakan parameter utama dalam proses erosi atau sedimentasi. Besarnya tergantung dari besarnya energi yang dihempaskan oleh gelombang ke pantai. Besarnya energi gelombang ditentukan oleh tinggi gelombang sebelum pecah. Nilai tinggi gelombang dalam kerentanan pantai dapat mempengaruhi perubahan garis pantai dan kondisi geomorfologi daerah tersebut. Selain itu, ketinggian gelombang berkaitan dengan bahaya pengenangan air laut dan transport sedimen di pantai (Pendleton et al., 2005). Wilayah perairan Laut Selatan Jawa dan khususnya di Pantai Selatan Yogyakarta, gelombang yang dihasilkan cukup besar dan sering dikatakan sebagai

daerah yang sangat ganas karena menimbulkan abrasi sepanjang tahun. Data angin yang dikorelasikan dengan bentuk garis pantai daerah menunjukkan bahwa frekuensi angin yang paling berpengaruh adalah berasal dari arah tenggara, selatan, barat daya dan barat (DISLAUTKAN Provinsi DI Yogyakarta, 2010). 4.7. Kerentanan Wilayah Pesisir Selatan Yogyakarta Tingkat kerentanan pesisir selatan Yogyakarta berdasarkan parameter kerentanan terhadap kenaikan muka laut dapat dilihat pada Tabel 7. Pada tabel tersebut terlihat bahwa terdapat tujuh sel yang termasuk dalam indeks tidak rentan, 15 sel termasuk dalam kelas sedang dan delapan sel yang termasuk dalam kelas sedang. Indeks kerentanan dapat pula digunakan sebagai indikator tingkat kerentanan. Tingkat kerentanan merupakan suatu hal yang penting untuk diketahui karena dapat berpengaruh terhadap terjadinya bencana. Bencana baru akan terjadi pada kondisi yang rentan. Pada tabel tersebut terlihat tingkat kerentanan yang dibagi menjadi tiga kelas yaitu kelas tidak rentan, sedang dan rentan. Pembagian kelas atau tingkat kerentanan didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Gornitz dan White (1992) dimana kelas tersebut dibagi berdasarkan persen dengan range antar kelas adalah 33 persen. Nilai yang termasuk dalam persen kurang dari sama dengan 33 termasuk kedalam indeks tidak rentan, yaitu CVI kurang dari 7,75. Nilai yang termasuk dalam persen antara 34 sampai 67 termasuk indeks sedang dengan CVI antara 7,75 8,66. Sedangkan nilai yang termasuk dalam persen lebih dari 67 termasuk indeks rentan dengan CVI lebih dari 8,66.

Tabel 7. Hasil Perhitungan Indeks Kerentanan Pesisir Selatan Yogyakarta KABUPATEN KECAMATAN KODE SEL CVI KELAS 21104 12,25 Sedang 21105 12,25 Sedang Temon 21106 12,25 Sedang 21107 12,25 Sedang 21108 12,25 Sedang 21109 12,25 Sedang 21110 12,25 Sedang Wates 21111 12,25 Sedang 21112 12,25 Sedang 21113 12,25 Sedang Kulon Progo 21114 10,00 Tidak Rentan 21115 8,94 Tidak Rentan Panjatan 21216 6,32 Tidak Rentan 21217 8,94 Tidak Rentan 21218 6,32 Tidak Rentan 21219 10,95 Tidak Rentan 21220 10,95 Tidak Rentan 21221 14,14 Rentan 21222 14,14 Rentan Galur 21223 14,14 Rentan 21224 14,14 Rentan 21225 14,14 Rentan 21226 15,81 Rentan Bantul Srandakan 21227 14,14 Rentan 21228 14,14 Rentan 21229 12,65 Rentan Nilai CVI pada Tabel 7 merupakan nilai yang dihasilkan dari pengolahan dan analisis skor parameter kerentanan pesisir. Parameter geomorfologi, kenaikan muka laut relatif, tunggang pasang surut rata-rata dan tinggi gelombang memiliki skor yang sama pada tiap selnya, sehingga masing-masing dari parameter tersebut memiliki pengaruh yang sama pula tiap sel. Dibandingan dengan parameter perubahan garis pantai dan elevasi memiliki skor yang berbeda, sehingga memberi pengaruh yang berbeda pula pada masing-masing sel. Adanya

parameter dengan persamaan skor pada setiap selnya diduga karena wilayah lokasi studi yang sempit. Gambar 16. Peta Indeks Kerentanan Pesisir Selatan Yogyakarta Peta kerentanan skala lokal pesisir selatan Yogyakarta disajikan pada Gambar 16. Dari gambar tersebut terlihat bahwa di Kecamatan Temon dan Wates termasuk kecamatan dengan tingkat kerentanan sedang terhadap kenaikan muka laut, dikarenakan semua sel yang terdapat di kecamatan tersebut termasuk kedalam kategori tidak rentan dengan nilai CVI antara 12,25 sampai 12,52. Kecamatan Panjatan dengan 8 sel, dimana 7 sel termasuk daerah yang tidak rentan, dan satu sel dengan kerentanan sedang terhadap kenaikan muka laut. Sel dengan kategori tidak rentan terhadap kenaikan muka laut memiliki nilai CVI kurang dari 12,25. Kecamatan Galur dan Srandakan termasuk dalam kategori rentan terhadap kenaikan muka laut. Hal ini dikarenakan nilai CVI pada kedua kecamatan tersebut lebih dari 12,52.

Gambar 17. Distribusi Tingkat Kerentanan Pesisir Selatan Yogyakarta Distribusi dari tingkat kerentanan pesisir di wilayah pesisir selatan Yogyakarta disajikan pada Gambar 17. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa panjang wilayah pesisir Yogyakarta yang dijadikan sebagai daerah penelitian secara keseluruhan memiliki kategori tidak rentan terhadap kenaikan muka laut adalah sepanjang 7 km (26,92% dari total panjang garis pantai). Panjang wilayah pesisir dengan tingkat kerentanan sedang adalah sepanjang 10 km (38,46% dari total panjang garis pantai). Panjang wilayah pesisir yang termasuk kategori rentan adalah sepanjang 9 km (34,62% dari total panjang garis pantai). Berdasarkan hasil studi dapat diketahui bahwa parameter yang sangat berpengaruh terhadap kerentanan wilayah pesisir di selatan Yogyakarta adalah perubahan garis pantai. Perubahan garis pantai akan memberikan pengaruh negatif terhadap daerah pesisir apabila perubahannya tersebut berupa pengurangan luas daratan (abrasi). Kecepatan perubahan garis pantai juga dipengaruhi oleh

faktor geomorfologi. Geomorfologi pesisir selatan Yogyakarta yang berupa gumuk pasir memberikan pengaruh terhadap kecepatan perubahan garis pantai. Pantai selatan Jawa, khususnya selatan Yogyakarta memiliki karateristik pantai yang sangat unik dibandingkan dengan pantai utara Jawa. Salah satu karakteristik pantai selatan Yogyakarta adalah gumuk pasir. Hal ini berbeda dengan pantai utara Jawa yang bertopografi hampir datar. Selain itu, pantai utara Jawa juga merupakan daerah potensial yang dijadikan kawasan pemukiman, industri dan rekreasi, sehingga pantai utara Jawa merupakan daerah yang rentan untuk terkena dampak dari kenaikan muka laut. Kenaikan muka laut merupakan suatu ancaman bagi pesisir dan pulaupulau kecil yang ada di dunia, termasuk di pesisir selatan Yogyakarta. Selain ancaman muka laut, pesisir selatan Yogyakarta juga termasuk daerah yang rentan terhadap bencana alam baik abrasi, banjir, longsor, gempa bumi, maupun tsunami (DISLAUTKAN Provinsi DI Yogyakarta, 2010). Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan kawasan yang memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap bencana alam perlu disertai dengan konsep mitigasi bencana, sehingga dampak terjadinya bencana alam dapat diminimalisasi. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan