BioWallacea Jurnal Ilmiah Ilmu Biologi Januari 2016 Vol. 2 No. 1, p. 78-83 ISSN: 2442-2622 HUBUNGAN STRUKTUR KOMUNITAS SPESIES KELELAWAR DENGAN FAKTOR FISIK GUA: STUDI DI GUA WILAYAH SELATAN PULAU LOMBOK NUSA TENGGARA BARAT 1 Siti Rabiatul Fajri dan 2 Gito Hadiprayitno 1 Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Mataram 2) Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mataram Email: rabiatul_fajri@yahoo.com ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk menganalisis hubungan struktur komunitas spesies kelelawar dengan faktor fisik gua: Studi di gua wilayah selatan Pulau Lombok. Struktur komunitas meliputi kekayaan spesies, kelimpahan, indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan.sedangkan faktor fisik gua meliputi jumlah mulut gua, panjang lorong gua, lebar lorong gua, tinggi gua dan jumlah ventilasi gua.analisis data hasil penelitian dilakukakan denganmenggunakan analisis multivariat RDA (Redundancy analysis) dan PCA (Principal Component Analysis). Hasil RDA menunjukkan bahwa struktur komunitas (Kekayaan spesies (S), kelimpahan (N), indeks keanekaragaman (Hꞌ) dan indeks kemerataan (E)) berkorelasi positif dengan panjang gua (PG) dengan R=0,5707, lebar gua (LG) dengan R=0,4812 dan tinggi gua (TG) dengan R=0,0169 dan struktur komunitas berkorelasi negatif dengan mulut gua (MG) dengan R= -0,0801 dan ventilasi gua (VG) dengan R= -0,3439.Sedangkan hasil analisis PCAmenunjukkan bahwa terdapat 4 komunitas terpisah dalam 4 titik axis yang berbeda.pada axis 1 terdapat 2 komunitas yaitu komunitas gua Kenculit dan komunitas gua Pantai Surga.Sedangkan axis 2, 3 dan 4 masing-masing satu komunitas yaitu gua Gale-gale, gua Raksasa dan gua Buwun. Kata Kunci:Kelelawar, Struktur komunitas dan fisik gua PENDAHULUAN Habitat kelelawar pada umumnya dapat ditemukan di kolong atap rumah, terowongan, bawah jembatan, rerimbunan daunan, gulungan pohon pisang/palem, celah bambu, lubang batang pohon baik yang hidup ataupun mati dan pohon besar.namun pada umumnya kelelawar lebih sering ditemukan di dalam gua.suyanto (2001) menyebutkan bahwa 20% kelelawar sub ordo Megachiroptera dan lebih dari 50% kelelawar sub ordo Microchiroptera memilih tempat bertengger di dalam gua. Keberadaan kelelawar di dalam gua, menurut Wijayanti (2011) dapat berperan sebagai kunci penyedia energy ekosistem (key factor in cycle energy) bagi organisme yang ada di dalam gua.terkait hal tersebut, gua sangat berperan penting dalam mempertahankan keberadaan kelelawar. Rachmadi (2003) menyatakan bahwa gua merupakan tempat berlangsungnya proses adaptasi dan evolusi berbagai spesies organisme dan merupakan salah satu ekosistem yang paling rentan. Kerentanan ini disebabkan oleh kondisi mikroklimat gua yang cenderung stabil dan cenderung tidak mudah berubah.kerena itu, apabila ekosistem gua tidak dikelola dengan baik, dapat mengganggu keseimbangan ekosistem, baik ekosistem yang ada di dalam gua maupun ekosistem yang ada di luar gua. Gua sebagai habitat kelelawar di Pulau Lombok terutama wilayah selatan belum dilakukan pemanfaatan secara oftimal, hal ini terlihat dari adanya ketidaksesuaian dalam pemanfaatan lahan, penebangan pohon dan penambangan secara liar yang sangat mengganggu dan merusak ekosistem yang ada di wilayah tersebut. Bahkan sudah mulai ditemukan gua-gua yang runtuh (rusak) dan gua yang tidak dihuni oleh kelelawar karena adanya penambangan yang dilakukan oleh masyarakat.sebagai contoh gua yang ada di wilayah Karst Sekotong Barat. Aktivitas penambangan yang dilakukan oleh masyarakat di beberapa gua yang ada di wilayah selatan Pulau Lombok ini patut diduga sebagai
salah satu penyebab menurunnya populasi kelelawar di wilayah tersebut. Apabila tidak dilakukan upaya pencegahan tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan terjadinya kepunahan secara lokal pada spesies-spesies kelelawar tertentu. Apabila kondisi seperti ini terjadi, maka akan terjadi ketidakseimbangan ekosistem Kerusakan yang terjadi pada ekosistem gua ditengarai sebagai salah satu penyebab menurunnya populasi kelelawar.riswandi (2012) melaporkan bahwa populasi kelelawar endemik Jawa-Nusa Tenggara terus mengalami penurunan dan makin sulit untuk ditemukan, Hal ini disebabkan oleh terganggunya habitat kelelawar tersebut.penelitian yang dilakukan oleh Fajri dan Hadiprayitno (2013) di Pulau Lombok mengindikasikan adanya penurunan spesies kelelawar yang ditemukan dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Kitchener, dkk. (2002). Gua tempat ditemukan kelelawar dalam penelitian Fajri dan Hadiprayitno (2013) terdiri dari Gua Gale-Gale (Gunung Prabu-Kuta), Gua Jepang Tanjung Ringgit dan Gua Malimbu.Sementara itu masih terdapat beberapa gua yang berada di wilayah selatan Pulau Lombok yang memiliki potensi besar untuk dihuni kelelawar.gua-gua tersebut diantaranya ialah Gua Kenculit Pantai Semeti, Gua Bawun Kuta dan Gua Pantai Surga Ekas.Sampai dengan saat ini belum ditemukan adanya informasi yang memadai terkait dengan keberadaan spesies kelelawar yang ditemukan di gua tersebut.namun demikian, ditemukan beberapa aktivitas masyarakat yang melakukan kegiatan penambangan baik di dalam maupun di luar gua.penambangan di dalam gua dilakukan untuk mengambil guano kelelawar yang digunakan sebagai pupuk, sedangkan di luar gua masyarakat cenderung memanfaatkan untuk melakukan penambangan emas. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2015. Lokasi penelitian di 5 gua yang berada di wilayah selatan Pulau Lombok yaitu Gua Gale-Gale Lombok Tengah, Gua Buwun Lombok Tengah, Gua Kenculit Lombok Tengah, Gua Raksasa Lombok Timur, Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan ialah. Mist Net, tali rapia, jangka sorong, roll meter, dan kamera digital. Kekayaan Spesies Pengumpulan data kekayaan spesies kelelawar dilakukan dengan melakukan dengan metode Trapping dengan menggunakan Mist net. Kelimpahan Spesies kelimpahan kelelawar diperlukan untuk melakukan estimasi jumlah kelelawar yang menghuni masing-masing gua. Pengumpulan datanya dilakukan dengan melakukan penghitungan secara langsung pada kelelawar yang tertangkap jaring Mist Net. Analisisnya dengan Rumus sebagai berikut: N = Indeks Keanekaragaman Analisis indeks keragaman menggunakan persamaan Shannon-Wiener Indeks Kemerataan Analisis kemerataan menggunakan persamaan Evenness. Pengukuran Fisik Gua Pengukuran parameter fisik gua bertujuan untuk mendapatkan data tentang keadaan fisik gua. Parameter fisik gua yang diukur mengacu pada Wijayanti, dkk (2010): 1. Panjang Lorong Gua (PG) Panjang lorong gua diukur mulai dari mulut gua sampai ujung gua dengan menggunakan roll meter. Bila terdapat percabangan lorong gua semua percabangan itu juga diukur dan hasil pengukuran dijumlahkan. 2. Lebar Lorong Gua (LG) Lebar lorong gua diukur dengan menentukan 5 lokasi di dalam lorong gua secara acak, lalu kelima lokasi tersebut diukur lebarnya (tegak lurus dari satu dinding gua kedinding lain yang berseberangan) menggunakan pita meter dan dihitung rata-ratanya. 3. Tinggi Lorong Gua (TG) Tinggi lorong gua diukur dengan menggunakan haga meter. Sebelumnya ditentukan 3 titik (pembuatan titik menggunakan lasser point), kemudian dari masing-masing tiga titik tersebut ditembak menggunakan haga meter. Tinggi lorong gua adalah rata-rata dari hasil perhitungan dengan haga meter.
Mulut atau pintu gua adalah bukaan besar yang terdapat pada gua atau jalan utama kelelawar keluar masuk gua. 5. Ventilasi Gua (V). Ventilasi gua yang dimaksud adalah celahcelah kecil yang terdapat di dalam gua yang dapat tembus keluar gua dan dapat menerangi dalam gua Analisis hubungan antara struktur komunitas Analisis parameter fisik gua dengan struktur komunitas dianalisis dengan menggunakan analisis multivariat RDA (Redundancy analysis).analisis uji korelasi ini dilakukan dengan menggunakan software Canoco for Windows 4.5.Analisis selanjutnya terhadap data struktur komunitas dengan parameter fisik gua ialah analisis dengan PCA (Principal Component Analysis), tujuan analisis ini ialah untuk mengetahui titik-titik ordinasi (titik pemetaan) terhadap komunitas gua yang ada di wilayah selatan Pulau Lombok berdasarkan data struktur komunitas dan data fisik gua. HASIL DAN PEMBAHASAN Data hubungan struktur komunitas dengan parameter fisik gua diperoleh dengan cara mengumpulkan data struktur komunitas dan parameter fisik gua. Data struktur komunitas gua terdiri dari kekayaan spesies, kelimpahan, indeks keanekaragaman, dan indeks kemerataan. Sementara itu, data parameter fisik gua yang dianalisis terdiri dari jumlah mulut gua (MG), jumlah ventilasi gua (VG), panjang lorong gua (PG), lebar lorong gua (LG), dan tinggi gua (TG). Ringkasan data struktur komunitas dan parameter fisik gua yang diukur selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Ringkasan Data Struktur Komunitas dengan Parameter Fisik Gua di Wilayah Selatan Pulau Lombok Struktur Komunitas Parameter Fisik Gua No Lokasi S N Hꞌ E MG VG PG (m) LG (m) TG (m) 1 Gua Gale-Gale 3 25.3 0.832 0.209 4 5 24.9 16.6 16.2 2 Gua Buwun 4 9.3 1.349 0.658 2 0 10.5 4.5 3.3 3 Gua Kenculit 2 8.2 0.685 0.212 2 1 8.2 3.6 11.0 4 Gua Tanjung 5 27.5 1.556 0.451 2 0 27.6 15.9 15.9 Ringgit 5 Gua Pantai Surga 3 8.7 1.038 0.506 1 0 15.4 6.8 12.7 Keterangan: S = Kekayaan spesies VG = Ventilasi Gua N = Kelimpahan MG = Mulut gua Hꞌ = Indeks Keanekaragaman PG = Panjang lorong gua E = Indeks Kemerataan LG = Lebar lorong gua TG = Tinggi gua
Berdasarkan data pada Tabel 1, selanjutnya dilakukan analisis RDA (Redundancy analysis) untuk mengetahui hubungan masing-masing variabel yang diukur. Ringkasan hasil analisis RDA (n=18, P=0,05) pada tabel 2 berikut ini CanocoDraw dapat dilihat pada Gaambar 1. Tabel 2 Ringkasan hasil analisis RDA Fisik Gua Parameter Fisik Gua Panjang gua Nilai Korelasi (R) Eigen values (λ) Persentase Korelasi (%) 0,5707 0,573 57 Lebar gua 0,4812 0,331 90 Tinggi gua 0,0169 0,076 98 Mulut gua -0,3439 0,020 100 Ventilasi gua -0,0801 0,000 100 Berdasarkan pada Tabel 2 nilai korelasi dan nilai eigenvalue tertinggi ditunjukkan oleh panjang gua (PG) dengan R=0,5707 (R hitung R tabel, N=18, P<0,05), selanjutnya diikuti oleh lebar gua (LG) dengan R=04812 (R hitung R tabel, N=18, P<0,05), tinggi gua (TG) dengan R=0,0169 (R hitung R tabel, N=18, P<0,05), mulut gua (MG) dengan R= -0,3439 (R hitung R tabel, N=18, P<0,05) dan ventilasi gua (VG) dengan R= -0,0801 (R hitung R tabel, N=18, P<0,05). Sedangkan persentase korelasi tertinggi ditunjukkan oleh mulut gua dan ventilasi gua ialah sebesar 100%. Gambar 1. Hasil Analisis Hubungan Struktur Komunitas Kelelawar Gua dengan Parameter Fisik Gua Berdasarkan hasil analisis pada Gambar 1 dapat dikatakan bahwa struktur komunitas (Kekayaan spesies (S), kelimpahan (N), indeks keanekaragaman (Hꞌ) dan indeks kemerataan (E)) berkorelasi positif dengan panjang gua (PG) dengan R=0,5707, lebar gua (LG) dengan R=0,4812 dan tinggi gua (TG) dengan R=0,0169. Pada Gambar 1 juga menjelaskan bahwa struktur komunitas berkorelasi negatif dengan mulut gua (MG) dengan R= -0,0801 dan ventilasi gua (VG) dengan R= -0,3439. Analisis selanjutnya terhadap data struktur komunitas dengan parameter fisik gua ialah analisis dengan PCA (Principal Component Analysis), tujuan analisis ini ialah untuk mengetahui titik-titik ordinasi (titik pemetaan) terhadap komunitas gua yang ada di wilayah selatan Pulau Lombok berdasarkan data struktur komunitas dan data fisik gua. Hasil analisis dengan PCA pada Gambar 2. Selain itu analisis dengan RDA juga memperlihatkan hasil gambar dalam
Gambar 2. Titik Ordinasi Komunitas Kelelawar Gua Berdasarkan data Struktur Komunitas dan Fisik Gua Berdasarkan titik pemetaan ordinasi pada gambar 2 di atas menunjukkan bahwa terdapat 4 komunitas terpisah dalam 4 titik axis yang berbeda.pada axis 1 terdapat 2 komunitas yaitu komunitas gua Kenculit dan komunitas gua Pantai Surga.Sedangkan axis 2, 3 dan 4 masing-masing satu komunitas yaitu gua Gale-gale, gua Raksasa dan gua Buwun. Berdasarkan hasil Gambar 1 tersebut dapat disimpulkan semakin panjang, tinggi dan lebar gua maka semakin tinggi kekayaan spesies, kelimpahan, indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan.sebaliknya dengan mulut dan ventilasi gua. Hasil penelitian ini juga menguatkan hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh Wijayati (2011) di kawasan Karst Cibinong Kabupaten Kebumen Jawa tengah.hasil yang dilaporkan bahwa struktur komunitas berkorelasi positif dengan semua variabel parameter fisik gua, kecuali mulut dan ventilasi gua. Terbentuknya korelasi negatif antara struktur komunitas dengan mulut gua dan ventilasi gua akan dapat membentuk kesimpulan bahwa struktur komunitas kelelawar penghuni gua tidak akan terpengaruh dengan adanya banyak sedikitnya mulut dan ventilasi gua. Hal ini juga dikuatkan oleh Wijayanti, dkk.(2010) dan Wijayanti (2011) berdasarkan hasil uji RDA menunjukkan bahwa kelimpahan spesies tidak berkorelasi dengan ventilasi dan jumlah pintu/mulut gua. Semua spesies kelelawar yang bersarang dalam suatu gua cenderung menggunakansatu pintu atau ventilasi yang sama untuk keluar masuk gua. Hal ini sesuaidengan hasil penelitian Schnitzler et al. (2003) yang membuktikan ketika terbangmenuju lokasi sarang dan tempat pencarian makan, kelelawar cenderungmenggunakan jalur yang sama. Transfer informasi penggunaan jalur terbang inidilakukan dari orang tua (induk) kepada anak melalui perilaku mengikutim (following behavior). Berdasarkan hasil korelasi struktur komunitas dengan parameter fisik gua.parameter fisik yang memiliki korelasi tertinggi ialah panjang lorong gua, kemudian diikuti oleh lebar gua dan tinggi gua. Hal ini juga pernah dibuktikan pada penelitian Wijayanti (2011) bahwa korelasi tertinggi ditunjukkan oleh panjang gua (R=0,827). Hal ini sesuai dengan pendapat Maguran (2004) bahwa semakin luashabitat, semakin banyak makhluk hidup yang dapat hidup di dalamnya.lebihlanjut Baudinette et al. (1994) menjelaskan bahwa gua yang memiliki lorong panjang dapatmenyebabkan pemisahan mikroklimat di ruang gua.semakin banyak mikroklimatyang terbentuk, maka semakin banyak spesies kelelawar yang dapat bersarang diruangruang tersebut.sevcik (2003) menyebutkan bahwa gua dengan lorong sempit hanya dapat dihuni oleh jenis tertentu saja, yaitu jenis yang mampu malakukan manuver dengan baik.sebaliknya pada gua dengan lorong lebar, dapat dihuni kelelawar dengan
kemampuan lebih beragam.akibatnya, semakin lebarlorong gua, maka semakin banyak jenis yang dapat bersarang di dalamnya. Hasil RDA juga memperlihatkan bahwa mesikipun mulut gua dan ventilasi gua berkorelasi negatif dengan struktur komunitas namun memiliki persentase korelasi sebesar 100%. Hal ini dapat dikarenakan oleh kelelawar penghuni gua akan mendeteksi kualitas habitat yang akan dihuni melalui mulut gua dan ventilasi gua. Selain itu spesies kelelawar yang menghuni gua selalu berpatokan dengan mulut gua untuk mengetahui tempat dan jarak bertengger. Karena tiap jenis kelelawar memilih sarang dalam gua dengan jarak dari mulut gua berbeda, beberapa spesies akan memiiilih tempat bertengger didekat mulut gua atau bahkan jauh dari mulut gua. Hasil penelitian Maryanto & Maharadatunkamsi (1991) pada Gua-Gua di Pulau Sumbawa mendapatkan jenis Rhinolophus luctus (Rhinolopodidae: Microchiroptera) menyukai tempat bersarang di ujung gua. Dunn (1978) mendapatkan Hipposideros diadema dan H.armiger di atap gua pada jarak 200 kaki dari mulut Gua Anak Takun Malaysia.Pemilihan tempat bersarang yang jauh dari mulut gua, dapat menghindarkan kelelawar dari gangguan manusia dan predator serta dapat memilih mikroklimat yang stabil dan sesuai bagi tubuhnya.tetapi, pemilihan sarang dengan jarak jauh dari mulut gua harus didukung oleh kemampuan orientasi ruang dalam keadaan gelap dan kemampuan terbang dalam ruang dengan banyak rintangan. Berdasarkan titik pemetaan ordinasi oleh PCA pada gambar 2 di atas menunjukkan bahwa terdapat 4 komunitas terpisah dalam 4 titik axis yang berbeda.pada axis 1 terdapat 2 komunitas yaitu komunitas gua Kenculit dan komunitas gua Pantai Surga.Sedangkan axis 2, 3 dan 4 masing-masing satu komunitas yaitu gua Gale-gale, gua Raksasa dan gua Buwun.Bertemunya 2 komunitas pada axis 1 dapat disebabkan oleh miripnya kondisi fisik kedua gua tersebut. Kedua gua (gua Kenculit dan gua Pantai Surga) terletak di ujung tebing yang sangat dekat sekali dengan deburan ombak. Kondisi fisik gua hampir sama baik panjang, lebar dan tinggi gua. Hal inilah yang menyebabkan kedua komunitas terdapat dalam 1 axis pada analisis dengan PCA.Berbeda halnya dengan komunitas pada axis lainnya, dimana setiap axis menempati 1 komunitas.komunitas gua Gale-gale, gua Buwun dan gua Raksasa memiliki kondisi fisik gua yang berbedabeda dan kondisi fisik gua yang unik antara gua yang satu dengan lainnya.selain itu guagua tersebut dihuni oleh spesies yang beragam pula.oleh sebab itu ketiga komunitas terpisah satu dengan lainnya. KESIMPULAN Hubungan struktur komunitas dengan faktor fisik gua menunjukkan bahwa, struktur komunitas (Kekayaan spesies (S), kelimpahan (N), indeks keanekaragaman (Hꞌ) dan indeks kemerataan (E)) berkorelasi positif dengan panjang gua (PG) dengan R = 0,5707, lebar gua (LG) dengan R = 0,4812 dan tinggi gua (TG) dengan R = 0,0169. Selain itu, struktur komunitas berkorelasi negatif dengan mulut gua (MG) dengan R= - 0,0801 dan ventilasi gua (VG) dengan R = - 0,3439. DAFTAR PUSTAKA Baudinette, R.V., S.K. Churchill, K.A. Christian, J.E. Nelson & P.J. Hudson. 2000. Energy, Water
Balance And The Roost Microenvironment In Three Australian Cave-Dwelling Bats (Microchiroptera). J. Comp. Physiol. B, 170: 439-446. Fajri, S. R dan Hadiprayitno, G. 2013. Kelelawar Pulau Lombok. Proseding Seminar Nasional Penelitian dan Pembelajaran Sains Program Pascasarjana Universitas Mataram. Karst Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Penelitian Dana RAB UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta. Wijayanti, Fahma. 2011. Biodiversitas dan Pola Pemilihan Sarang Kelelawar: Studi Kasus di Kawasan Karst Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Institut Pertanian Bogor. Rachmadi.2003. Keanekaragaman Arthropoda di gua Ngerong, Tuban, Jawa Timur, Zoo Indo. 29: 19-26 Schnitzler HU, Moss CF & Denzinger A. 2003. From Spatial Orientation To Food Acquisition In Echolocating Bats. Trends In Ecology And Evolution. 18 (8):386-394. Sevcik M. 2003. Does Wing Morphology Reflect Different Foraging Strategies in Sibling Bat Spesies Sibling Bat Spesies Zone Bats: Plecotus auritus and P. austriacus?.fol. Zool. 52: 672-679 Kitchener D. J., Boeadi., Charlton L dan Maharadatunkamsi. 2002. Mamalia Pulau Lombok. Bidang Zoologi Puslit Biologi-LIPI, The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement. Bogor. Maryanto I & Maharadatunkamsi. 1991. Kecenderungan spesies spesies kelelawar dalam memilih tempat bertengger pada beberapa gua di Kabupaten Sumbawa. Media Konservasi. 3:29-34 Wijayanti, Fahma. 2010. Kelimpahan, Sebaran, dan Keanekaragaman Spesies Kelelawar (Chiroptera) pada Beberapa gua dengan Pola Pengelolaan Berbeda di Kawasan