KOMUNITAS KELELAWAR DI GUA PUTRI DAN GUA SELABE KAWASAN KARST DESA PADANG BINDU KECAMATAN SEMIDANG AJI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SUMATERA SELATAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KOMUNITAS KELELAWAR DI GUA PUTRI DAN GUA SELABE KAWASAN KARST DESA PADANG BINDU KECAMATAN SEMIDANG AJI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SUMATERA SELATAN"

Transkripsi

1 KOMUNITAS KELELAWAR DI GUA PUTRI DAN GUA SELABE KAWASAN KARST DESA PADANG BINDU KECAMATAN SEMIDANG AJI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SUMATERA SELATAN Yusni Atmawijaya, Zulkifli Dahlan dan Indra Yustian Dosen Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Siriwijaya ABSTRACT The research about the bats community in Putri and Selabe Caves at the Karst Area of Padang Bindu Village, Semidang Aji, Ogan Komering Ulu, South Sumatera have done during February up to August The research is aimed to estimate the total number of bats in both caves and to know the bats spesies in Putri and Selabe Caves. The bat counting was done using two methods; counting of bats which go into and out the caves and direct counting in the roosting place. The estimated total number of bats community in Putri cave was 3887 individu and 5709 individu Selabe cave. The primary factor that cause the difference of bats in both caves is human activities. The bats spesies found in both caves were Hipposideros larvatus, Hipposideros diadema, Eonycteris spelaea, Penthetor lucasii, Rousettus sp and Miniopterus sp. Key Words : karst, ave, bats, population ABSTRAK Penelitian tentang komunitas kelelawar di Gua Putri dan Gua Selabe Kawasan Karst Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan telah dilakukan pada bulan Februari hingga Agustus Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui estimasi total individu komunitas kelelawar dan mengetahui jenis-jenis kelelawar di Gua Putri dan Gua Selabe. Penghitungan kelelawar dilakukan dengan dua cara yaitu dengan penghitungan kelelawar yang keluar masuk gua dan penghitungan langsung kelelawar ditempat bertengger. Hasil yang didapat menunjukkan rata-rata total individu komunitas kelelawar di Gua Putri 3887 ekor sedangkan di Gua Selabe 5709 ekor. Faktor utama yang mempengaruhi kelelawar di kedua gua yaitu aktivitas manusia (berupa wisata gua). Jenis-jenis kelelawar yang di temukan baik di gua Putri maupun di gua Selabe sebanyak 6 jenis, yaitu Hipposideros larvatus, Hipposideros diadema, Eonycteris spelaea, Penthetor lucasii, Rousettus sp dan Miniopterus sp. Kata kunci : karst, Gua, kelelawar, populasi PENDAHULUAN Kondisi bentang alam karst dengan kekayaan potensi sumber daya bawah tanah menjadi faktor yang menarik dalam dunia ilmu pengetahuan. Di dalam ekosistem karst terjadi peristiwa eksokarstik yaitu berupa bentukan bukit-bukit yang memilki besar dan ketinggian ISSN x 8

2 beragam, berbentuk kerucut, kubah, lembah dolina atau polje, adanya dekokan (closed depresions) dengan berbagai ukuran dan pengasatan (drainage) bawah tanah. Selain itu terjadi pula peristiwa endokarstik berupa terbentuknya gua. Lorong-lorong panjang bawah tanah menjadi habitat bagi berbagai jenis fauna. Beberapa jenis fauna terbawa ke dalam gua melalui banjir yang membawa serta bahan organik dari luar gua. Namun ada juga beberapa jenis fauna yang memang hidup bertahun-tahun di lingkungan gua sehingga mengalami proses evolusi untuk beradaptasi di dalam lingkungan gua yang gelap total dan minim pakan (Raharyono, 1999 dan Wedomartani, 2006). Kelelawar merupakan salah satu hewan yang sebagian besar berhabitat di gua (Whitten et al. 2000). Ekosistem gua mempunyai sumber bahan organik yang minim dan bervariasi dari satu gua ke gua lain. Salah satu sumber bahan organik yang paling penting di dalam gua adalah guano/ kotoran kelelawar karena biasanya terkumpul dalam jumlah yang banyak (Engel, 2007). Penelitian tentang kelelawar, khususnya penghitungan populasinya belum banyak dilakukan. Namun, di beberapa tempat di Indonesia terdapat kecenderungan penurunan populasi kelelawar. Contohnya kelelawar Lalai kembang (Eonycteris spelaea) di Gua Ciampea, Bogor dan kelelawar di Gua Lawa, Kabupaten Purbalingga di Jawa Tengah, yang telah hilang sama sekali keberadaannya. Hilangnya kelelawar ini disebabkan karena gua tersebut dibuka sebagai objek wisata (Suyanto, 2001). Fungsi ekologis kelelawar, seperti yang disebutkan oleh Suyanto (2001) bahwa sekitar 95 persen biji tumbuh-tumbuhan yang dipencarkan oleh hewan berasal dari kelelawar. Sisanya oleh hewan lain, seperti monyet, babi, badak dan burung. Di Indonesia khususnya Sumatera dan Kalimantan, kelelawar berperan penting juga dalam penyerbukan bunga, seperti: durian lokal (Durio sp). Ini disebabkan karena posisi bunga durian yang menghadap ke bawah menyebabkan benang sari dan putik tidak dapat melakukan penyerbukan sendiri. Bila bunga durian tersebut tidak diserbuki dengan segera maka serbuk sari tersebut akan jatuh dan mati. Bunga durian juga mekar pada malam yang menarik perhatian kelelawar. Nolan (1997) juga menyatakan bahwa sebagian besar kelelawar penghuni gua adalah pemakan serangga atau insectivora yang berperan penting dalam mengendalikan populasi serangga. Salah satu Kawasan Karst di wilayah Sumatera Selatan adalah Desa Padang Bindu yang terletak di Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu. Gua Putri merupakan gua yang telah menjadi objek wisata yang cukup terkenal di daerah tersebut (Pemerintahan Daerah OKU, 2004). Gua Putri merupakan gua yang relatif lebih banyak menerima aktifitas manusia karena telah dijadikan objek wisata, sedangkan gua Selabe merupakan gua yang relatif lebih sedikit aktifitas manusia walaupun berada pada kawasan karst yang sama. Penelitian ini Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui estimasi total individu komunitas kelelawar dan mengetahui jenis-jenis kelelawar di Gua Putri dan Gua Selabe Kawasan Karst Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. ISSN x 9

3 Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang perkiraan jumlah individu komunitas dan keanekaragaman jenis kelelawar di Gua Putri dan Gua Selabe Kawasan Karst Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Serta diharapkan dapat menjadi data dasar mengenai keanekaragaman hayati (Biodiversity) di kawasan karst tersebut dan untuk menunjang kebijakan pemerintah setempat dalam mengembangkan kawasan Karst Padang Bindu sebagai kawasan ekowisata/ ekokarst. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Agustus 2008, di Gua Putri dan Gua Selabe Kawasan Karst Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Identifikasi kelelawar sampai tingkat genus dan spesies dilakukan di lapangan. Sedangkan untuk jenis kelelawar yang belum dapat di identifikasi di lapangan, dilakukan di Laboratorium Zoologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya, Inderalaya. a. Gua Putri b. Gua Selabe Gambar 1. Peta Geologi Kab.Ogan Komering Ulu ISSN x 10

4 Deskripsi Lokasi Penelitian Gua Putri Gua Putri terletak di Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kab. Ogan Komering Ulu dan berada pada posisi koordinat ,5 Garis Lintang Selatan dan ,07 Garis Bujur Timur. Gua Putri mempunyai 5 entrance atau lubang tempat masuknya cahaya. Ukuran lebar pintu masuk lebarnya adalah meter dengan dinding-dindingnya yang mencekung, langit-langit gua membentuk kubah dan tampak beberapa stalaktit-stalakmit menyatu di gua tersebut. Mulut gua memiliki tinggi 5 meter dan panjang gua sekitar 350 meter. Di dalam gua terdapat sungai Semohon dengan lebar lebih kurang 1-1,5 meter dan kedalaman 0,5-2 meter yang mengalir melalui celah gua dan merupakan anak Sungai Ogan yang mengalir di depan mulut gua putri (Indriastuti, 2003 dan LCS Palembang, 2008) Gua Selabe Gua Selabe berjarak 300 meter dari gua Putri. Gua Selabe mempunyai 9 entrance. Gua Selabe menghadap timur-tenggara (N 115 ), dengan tinggi mulut gua sekitar 4 meter, dan lebar permukaan tanah 19,10 meter. Permukaan gua luas membentuk setengah lingkaran, bergelombang dan dinding-dindingnya mencekung. Langitlangit gua membentuk kubah dan banyak stalaktit dan stalakmit panjang dan runcing sampai menyentuh tanah. Aliran Sungai Semohon juga mengalir di bawah gua Selabe (Indriastuti, 2003 dan LCS Palembang, 2008). Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah botol plastik, hand tally counter, jaring bertangkai, kamera digital, senter, tali plastik dan thermometer. Tipe alat, merek dan buatan: Hand tally counter merk JOY- ART, Tipe HC-4DJA; Kamera Digital merk BenQ, Tipe DC640 made in China dan Thermometer, merk GEA, Copenhagen. made in Denmark. Sedangkan bahan yang diperlukan adalah Formalin 4%, kapas dan Kloroform. Cara Kerja Gua Putri dan Gua Selabe dipilih untuk membandingkan jumlah kelelawar antara gua yang relatif sudah terganggu aktivitas manusia (Gua Putri) dan gua yang masih relati alami (Gua Selabe). Gua selabe merupakan salah satu gua yang mewakili dari banyak gua yang masih relatif alami di sekitar kawasan Desa Karst Padang Bindu karena alasan teknis yaitu lokasi gua Selabe dengan gua Putri tidak terlalu jauh sehingga memudahkan dalam operasional pengamatan. Perbedaan pengaruh aktivitas manusia di gua Putri dan gua Selabe dapat dilihat dari adanya penerangan di dalam gua dan fasilitas wisata didalam gua, jumlah kerusakan (misalnya vandalisme dan membuang sampah sembarangan di dalam gua) serta jumlah pengunjung. ISSN x 11

5 Estimasi Kelelawar Penghitungan kelelawar yang keluar masuk gua Penghitungan kelelawar ini dilakukan pada jalur terbang yang dilalui koloni kelelawar. Berdasarkan pra penelitian/ survey penghitungan kelelawar yang keluar dari gua dilakukan mulai pukul WIB sampai pukul WIB karena kelelawar mulai banyak terlihat keluar dari gua dan penghitungan kelelawar yang kembali ke gua dilakukan pada pukul WIB sampai WIB. Kemudian ditentukan posisi observasi/ pengamatan dan dibuat garis khayal untuk menentukan arah perginya kelelawar. Dihitung semua kelelawar yang melewati garis khayal tersebut dengan menggunakan hand tally counter dan dicatat jumlah individu yang dihitung. Penghitungan dilakukan pada kedua gua, masing-masing selama 2 kali pengamatan untuk jalur terbang yang dilalui koloni kelelawar yang dilakukan secara bergantian. Bila keadaan cuaca tak mendukung (seperti: hujan deras), maka penghitungan akan dilakukan hari berikutnya. Penghitungan langsung kelelawar di tempat bertengger Penghitungan kelelawar dilakukan langsung terhadap semua individu kelelawar yang sedang bertengger didalam gua, dengan menggunakan hand tally counter dan dicatat jumlah individu yang dihitung. Penghitungan dilakukan pada kedua gua, yang masing-masing selama 2 kali pengamatan yang dilakukan secara bergantian. Penghitungan Jumlah Kelelawar Data yang didapat ditabulasi dan dihitung rata-rata jumlah individu komunitas kelelawar dengan menggunakan rumus : Estimasi Jumlah Kelelawar total kelelawar yang terhitung Jumlah pengamatan Identifikasi Kelelawar Dicari dan ditangkap sampel kelelawar yang berbeda jenis didalam gua dengan menggunakan jaring bertangkai, kemudian kelelawar dimasukkan ke dalam botol plastik yang didalamya dimasukkan kapas yang sudah diberi kloroform untuk membunuh kelelawar tersebut dan kemudian diawetkan dengan pemberian formalin 4%. Penangkapan kelelawar terus dilakukan sampai tidak ditemukannya lagi penambahan jenis. Kemudian sampel di identifikasi dengan menggunakan buku determinasi Kelelawar Indonesia (Suyanto, 2001), Mamalia Pulau Lombok (Kitchener et al., 2002) dan Mamalia di Kalimantan, Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam (Payne et al., 2002) Estimasi Jumlah Individu Komunitas Kelelawar Dari hasil penelitian yang dilakukan di Kawasan Karst Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu didapatkan estimasi jumlah individu komunitas kelelawar di Gua Putri dan Gua Selabe. Seperti dapat dilihat pada Tabel 1 ISSN x 12

6 Tabel 1. Estimasi Total Individu Komunitas Kelelawar di Gua Putri dan Selabe Nama Gua Pengamatan Jumlah Rata-rata Putri Selabe Keterangan : Pengamatan 1 & 2 = Penghitungan masuknya kelelawar ke gua, dilakukan pada pukul WIB. Pengamatan 3 & 4 = Penghitungan keluarnya kelelawar dari gua, dilakukan pada pukul WIB. Pengamatan 5 & 6 = Penghitungan langsung kelelawar di tempat bertengger, dilakukan siang hari antara pukul WIB. Estimasi total individu komunitas kelelawar didapatkan bahwa rata-rata jumlah kelelawar di gua Putri 3887 ekor sedangkan di Gua Selabe 5709 ekor. Estimasi tersebut diperoleh dari 6 kali pengamatan dengan 3 cara pengamatan yang berbeda yaitu metode penghitungan kelelawar keluar masuk gua dan penghitungan langsung di tempat bertengger (Roosting area). Estimasi rata-rata jumlah individu komunitas kelelawar di gua Putri lebih kecil dari gua Selabe, tetapi perbedaan tersebut mungkin tidak hanya disebabkan oleh terganggunya habitat kelelawar tersebut. Ko (1985) menyebutkan bahwa turun dan naiknya jumlah kelelawar di suatu gua tidak hanya disebabkan oleh terganggunya habitat kelelawar tersebut tetapi kemungkinan gua tersebut hanya digunakan sebagai tempat untuk berkembang biak, menurunya kualitas udara gua dan kemungkinan gua tersebut dijadikan tempat bermigrasi kelelawar tertentu. Meskipun demikian, keadaan di gua Putri sangat jelas memperlihatkan bahwa faktor utama yang menyebabkan perbedaan jumlah kelelawar di gua Putri dengan gua Selabe yaitu faktor aktivitas manusia atau gua yang dijadikan objek wisata, dimana keadaan di dalam gua telah berubah dari kondisi awalnya yaitu gelap kemudian berubah menjadi sangat terang karena diberi penerangan hampir di setiap ruang gua. Penerangan ini dihidupkan pada siang hari dimana kelelawar tersebut sedang tidur/ istirahat. Selain itu juga banyak terjadi perusakan (vandalisme) terhadap dinding gua dan ornamen-ornamen gua yang dilakukan oleh wisatawan yang tidak bertanggung jawab, sampahsampah anorganik (seperti: plastik dan karet) yang dibuang sembarangan dan penggangguan terhadap tempat bertengger kelelawar (roosting area). Keadaan ini sangat memungkinkan memaksa kelelawar untuk berpindah ke habitat lain karena merasa terancam dan terusik oleh keberadaan wisatawan dan pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan jumlah populasi kelelawar di gua tersebut. Keadaan gua Selabe dibandingkan dengan gua Putri relatif lebih alami karena di gua Selabe relatif lebih sedikit atau tidak ada gangguan aktivitas manusia karena gua tersebut tidak dijadikan sebagai objek wisata. Keadaan lingkungan gua Selabe masih relatif alami, dibuktikan dengan tidak ditemukan perusakan-perusakan ornamen gua dan vandalisme di dalam gua. Keadaan ini didukung pula oleh keadaan gua yang relatif basah terus ISSN x 13

7 menerus, karena di dalam gua mengalir sungai Semohon dan bila hujan deras gua tersebut dapat penuh terisi air hujan sampai ke atap gua, yang sangat berbahaya bagi orang yang berada di dalam gua tersebut. Dengan pertimbangan itu, Gua Selabe tidak cocok dijadikan objek wisata. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa ada beberapa faktor lain yang berpengaruh terhadap jumlah populasi kelelawar di gua Putri dan gua Selabe yaitu keadaan tempat bertengger (roosting area). Kelelawar sangat menyukai tempat bertengger seperti lorong-lorong atau cerukan yang tidak basah dan sunyi atau jauh dari gangguan bunyi. Pernyataan ini sesuai dengan Ko (1985) yang menyatakan bahwa kelelawar lebih suka di bagian atap gua yang kering bukan yang basah terus menerus sepanjang tahun karena kelelawar akan terganggu oleh tetesantetesan air dari rekahan-rekahan maupun pori-pori atap gua yang basah. Selanjutnya faktor fisika kimia tempat bertengger (roosting area) seperti: temperatur, kelembaban udara dan kadar CO 2 juga mempengaruhi jumlah populasi kelelawar menurut Cosewic (2004) kelelawar merupakan binatang yang sangat rentan terhadap perubahan baik secara fisik ataupun kimia, sehingga faktor fisika kimia tempat bertengger merupakan hal yang utama dalam kelangsungan hidup kelelawar tersebut. Pada penelitian ini tidak diukur faktor fisika kimia tempat bertengger kelelawar sehingga tidak dibahas lebih dalam. Meskipun demikian, pengukuran parameter fisika gua mendapatkan hasil bahwa temperatur di luar gua berbeda dengan temperatur di dalam gua. Dari pengukuran di zona gelap total menunjukkan bahwa semakin kedalam gua keadaan temperatur semakin rendah dan relatif konstan, dibandingkan di zona terang dan zona senja. Ini disebabkan karena keadaan di dalam gua terutama di zona gelap tidak dipengaruhi oleh keadaan di luar gua. Menurut Ko (2008) dan Rahmadi (2006) zona gelap total merupakan tempat yang temperatur dan kelembabannya mempunyai fluktuasi kecil bahkan konstan sepanjang masa, sehingga makhluk hidup didalamnya sangat beradaptasi terhadap lingkungan yang ekstrim tersebut. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap jumlah populasi kelelawar yaitu jumlah pakan. Pernyataan ini didukung oleh Septantri (2006) yang menyatakan bahwa ketersediaan pakan di sekitar tempat bertengger mempengaruhi jumlah populasi kelelawar, karena untuk terbang kelelawar membutuhkan banyak energi sehingga kelelawar mencari pakan dimulai dari sekitar daerah bertengger untuk menghemat energi dan bila sedikit mendapat pakan di sekitar daerah bertengger, kelelawar mencari pakan sampai perpuluh-puluh kilometer jauhnya. Penelitian ini mungkin hanya mewakili 10 30% dari total kelelawar yang ada, ini berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan bahwa masih banyak terdapat kelelawar yang keluar gua mulai pukul WIB sampai pukul WIB dan banyak kelelawar yang masuk ke gua tidak menentu mulai pukul WIB sampai WIB. Kelemahan dari penghitungan kelelawar yang keluar dari entrance gua ini disebabkan karena keterbatasan waktu dan penglihatan. Pengamat hanya dapat menghitung jumlah kelelawar yang melewati jalur terbang yang mulai pukul WIB sampai WIB, karena diatas jam WIB langit sudah gelap dan ISSN x 14

8 pengamatan tidak dapat dilakukan lagi, padahal masih banyak kelelawar yang melalui jalur terbang tersebut. Sedangkan untuk penghitungan jumlah kelelawar yang masuk ke entrance gua dilakukan mulai pukul WIB sampai WIB, kelemahannya sama yaitu daya penglihatan pengamat yang terbatas dan kembalinya kelelawar ke gua tidak menentu mulai pukul WIB sampai pukul WIB sehingga jumlah kelelawar yang terhitung lebih sedikit dibandingkan penghitungan kelelawar yang keluar di sore hari. Penghitungan langsung di tempat bertengger (roosting area) kelemahannya adalah keadaan dimana banyak individu kelelawar yang sangat aktif bergerak sehingga sangat menyulitkan dalam penghitungan, karena kelelawar yang telah terhitung kemungkinan juga dapat terhitung lagi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suin (2003) metoda yang paling tepat untuk mengetahui kepadatan populasi adalah dengan menghitung semua individu yang terdapat di daerah penelitian. Kesalahan lain yang mungkin adalah terjadinya penghitungan ulang terhadap satwa yang telah terhitung. Jenis-Jenis Kelelawar : Tabel 2. Jenis-jenis kelelawar di Gua Putri dan Gua Selabe Dari hasil identifikasi kelelawar yang ditemukan baik di Gua Putri maupun di Gua selabe sebanyak 6 jenis kelelawar seperti yang disajikan pada Tabel 2 di bawah ini: No Nama Lokal Nama Latin Family 1. Barong Sedang Hipposideros larvatus Hipposideridae 2. Barong Raksasa Hipposideros diadema Hipposideridae 3. Codot Fajar-Gua Kecil Eonycteris spelaea Pteropodidae 4. Codot Kecil-Kelabu Penthetor lucasii Pteropodidae 5. Nyap Rousettus sp Pteropodidae 6. Tomosu Miniopterus sp Vespertilionidae Dari Tabel 2 diatas famili dari Pteropodidae umumnya merupakan kelelawar herbivora (pemakan buah, daun, nektar dan serbuk sari). Sedangkan family dari Hipposideridae dan Vespertilionidae merupakan beberapa jenis dari kelelawar pemakan serangga (insektivora). KESIMPULAN Dari hasil penghitungan estimasi jumlah kelelawar dan identifikasi di gua Putri dan Gua Selabe (Juli 2008) diperoleh kesimpulan rata-rata total indivdu komunitas kelelawar di Gua Putri 3887 ekor lebih sedikit dibandingkan Gua Selabe 5709 ekor. Faktor utama yang mempengaruhi kelelawar di kedua gua yaitu aktivitas manusia (berupa kegiatan objek wisata) dan jenis-jenis kelelawar yang ditemukan baik di Gua Putri maupun di Gua Selabe sebanyak 6 jenis, yaitu Hipposideros larvatus, Hipposideros diadema, Eonycteris spelaea, Penthetor lucasii, Rousettus sp dan Miniopterus sp. DAFTAR PUSTAKA Cosewic COSEWIC Assessment and Update Status Report on the Fringed Bat Myotis Thysanodes in Canada. Committee on the Status ISSN x 15

9 of Endangered Wildlife in Canada. Ottawa. vii + 26 page.( us/ status_e.cfm). Engel, A.S Observations on the Biodiversity of Sulfidic Karst Habitats. Journal of Cave and Karst Studies. 69(1): Indriastuti, K Potensi Wisata Budaya Situs Goa Putri, Kab. Ogan Komering Ulu, Prov. Sumatera Selatan. Balai Arkeologi Palembang. palembang.go.id. 18 Februari Kitchener, D.J., L. Charlton & Maharadatunkamsi Mamalia Pulau Lombok. T.A. Pribadi & I. Maryanto (penterjemah). Puslitbang Biologi- LIPI, Bidang Zoologi. Bogor. ix+170 hlm. Ko, R.K.T Uraian Singkat Permasalahan Karstospeleologi Sebagai Bahan Introduksi dan Informasi. Makalah Ilmiah pada Simposium Nasional Lingkungan Karst, Jakarta. LCS-Palembang Deskripsi dan Peta Gua Putri dan Gua Selabe (Tidak Dipulikasikan). Nolan, V.P Management Initiatives for The Sustainability of Bat Populations. 14 Maret Payne, J., C.M. Francis & K. Phillipps Mamalia di Kalimantan, Sabah, Serawak dan Brunei darussalam. S.N. Kartikasari (penterjemah). WCS-Indonesia Program, Bogor, Indonesia. 386 hlm. Pemerintahan Daerah Kabupaten Ogan Komering Ulu Data Pokok Tahun Februari Raharyono, D Biota Gua. gkungan /message/ Januari Rahmadi, C Inventarisasi dan Karakterisasi Biota Karst Pegunungan Sewu dan Sulawesi. files. wordpress.com/2007/06/laporanp erjalanan-gunung sewu2006.pdf. 30 Januari Septantri, A.N Inventarisasi Kelelawar (Chiroptera) Penghuni Beberapa Gua di Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, DIY. Abstrak Seminar Nasional I. Biospeleologi dan Ekosistem Karst. Yogyakarta. Suin, M. N Ekologi Populasi. Andalas University Press. Padang. vii+170 hlm. Suyanto, A Kelelawar di Indonesia. Puslitbang Biologi- LIPI. Bogor. xiii+126 hlm. Wedomartani Pelatihan Pengelolaan Lingkungan Karst & Pesisir tahun Pusat Studi Lingkungan Lembaga Penelitian UPN Veteran Yogyakarta. / /. 7 Februari Whitten, T., S.J. Damanik, J. Anwar & N. Hisyam The Ecology of Indonesia Series Volume I: The Ecology of Sumatera. Periplus Edition (HK) Ltd. Singapore. xxxi page. ISSN x 16

10 ISSN x 17

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman hayati. Salah satu bentuk keanekaragaman hayati Indonesia adalah ekosistem karst. Ekosistem karst adalah kesatuan komunitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara lokal yang menyebabkan terbentuknya ruangan-ruangan dan lorong-lorong

I. PENDAHULUAN. secara lokal yang menyebabkan terbentuknya ruangan-ruangan dan lorong-lorong 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Sumatera Barat banyak ditemukan kawasan berkapur (karst) dengan sejumlah goa. Goa-goa yang telah teridentifikasi di Sumatera Barat terdapat 114 buah goa (UKSDA, 1999

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan

I. PENDAHULUAN. adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kelelawar sudah dikenal masyarakat Indonesia secara luas, terbukti dari adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan paniki, niki, atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste. Karst merupakan. saluran bawah permukaan (Setiawan et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN. antara Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste. Karst merupakan. saluran bawah permukaan (Setiawan et al., 2008). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Istilah karst sebenarnya diadopsi dari bahasa Yugoslavia. Istilah aslinya adalah krst / krast yang merupakan nama suatu kawasan di perbatasan antara Yugoslavia dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hamparan karst di Indonesia mencapai km 2 dari ujung barat sampai

BAB I PENDAHULUAN. Hamparan karst di Indonesia mencapai km 2 dari ujung barat sampai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah baik sumber daya alam hayati maupun non-hayati. Salah satu dari sekian banyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. andalan untuk memperoleh pendapatan asli daerah adalah sektor pariwisata.

I. PENDAHULUAN. andalan untuk memperoleh pendapatan asli daerah adalah sektor pariwisata. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka percepatan pembangunan daerah, salah satu sektor yang menjadi andalan untuk memperoleh pendapatan asli daerah adalah sektor pariwisata. Pariwisata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang 31 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1988:64), yaitu suatu metode penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis Arthropoda di Gua Putri dan Gua Selabe Kawasan Karst Padang Bindu, OKU Sumatera Selatan

Keanekaragaman Jenis Arthropoda di Gua Putri dan Gua Selabe Kawasan Karst Padang Bindu, OKU Sumatera Selatan Jurnal Penelitian Sains Volume 14 Nomer 1(D) 14108 Keanekaragaman Jenis Arthropoda di Gua Putri dan Gua Selabe Kawasan Karst Padang Bindu, OKU Sumatera Selatan Mustafa Kamal, Indra Yustian, dan Sri Rahayu

Lebih terperinci

POLA PENGGUNAAN RUANG BERTENGGER KELELAWAR DI GUA PUTIH HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI JAWA BARAT RIYANDA YUSFIDIYAGA

POLA PENGGUNAAN RUANG BERTENGGER KELELAWAR DI GUA PUTIH HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI JAWA BARAT RIYANDA YUSFIDIYAGA POLA PENGGUNAAN RUANG BERTENGGER KELELAWAR DI GUA PUTIH HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI JAWA BARAT RIYANDA YUSFIDIYAGA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT

KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT Hesti Wahyuningsih Abstract A study on the population density of fish of Jurung (Tor sp.) at Bahorok River in Langkat, North

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR (CHIROPTERA) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR (CHIROPTERA) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR (CHIROPTERA) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA Diversity of Bats (Chiroptera) at The Mountain of Ambawang Forest Protected Areas

Lebih terperinci

PELESTARIAN EKOSISTEM GOA MELALUI PENDIDIKAN KONSERVASI FAUNA GOA DI GOA KELASI 2, PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PELESTARIAN EKOSISTEM GOA MELALUI PENDIDIKAN KONSERVASI FAUNA GOA DI GOA KELASI 2, PROVINSI KALIMANTAN BARAT 1 PELESTARIAN EKOSISTEM GOA MELALUI PENDIDIKAN KONSERVASI FAUNA GOA DI GOA KELASI 2, PROVINSI KALIMANTAN BARAT Agung Gunawan, A Fajar Surahman, Asri Joni, Akbar Sumirto, Septian Wiguna Departemen Konservasi

Lebih terperinci

Kekayaan Jenis Kelelawar (Chiroptera) di Kawasan Gua Lawa Karst Dander Kabupaten Bojonegoro

Kekayaan Jenis Kelelawar (Chiroptera) di Kawasan Gua Lawa Karst Dander Kabupaten Bojonegoro ISSN: 2252-3979 http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/lenterabio Kekayaan Jenis Kelelawar (Chiroptera) di Kawasan Gua Lawa Karst Dander Kabupaten Bojonegoro Hendrik Nurfitrianto, Widowati Budijastuti,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki luas wilayah lebih dari 7,2 juta km 2 yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki luas wilayah lebih dari 7,2 juta km 2 yang merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki luas wilayah lebih dari 7,2 juta km 2 yang merupakan negara kepulauan dengan hamparan pulau-pulau dan garis pantai yang sepanjang 81.000 km.

Lebih terperinci

Jumat, 15 Januari 2010 Wisata Gua Minat Khusus di Hutan Pendidikan Gunung Walat. oleh : Fitri Handayani, Syafitri Hidayati, Asri Joni, Iman, Nina

Jumat, 15 Januari 2010 Wisata Gua Minat Khusus di Hutan Pendidikan Gunung Walat. oleh : Fitri Handayani, Syafitri Hidayati, Asri Joni, Iman, Nina Jumat, 15 Januari 2010 Wisata Gua Minat Khusus di Hutan Pendidikan Gunung Walat oleh : Fitri Handayani, Syafitri Hidayati, Asri Joni, Iman, Nina Kelompok Pemerhati Goa-HIMAKOVA Fakultas Kehutanan Institut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapat sebutan Mega Biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia,

Lebih terperinci

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT SALINAN Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : Mengingat : a. bahwa kawasan kars yang merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

Kelimpahan Spesies Kelelawar Ordo Chiroptera di Gua Wilayah Selatan Pulau Lombok NTB

Kelimpahan Spesies Kelelawar Ordo Chiroptera di Gua Wilayah Selatan Pulau Lombok NTB Kelimpahan Spesies Kelelawar Ordo Chiroptera di Gua Wilayah Selatan Pulau Lombok NTB Oleh: Siti Rabiatul Fajri 1, Agil Al Idrus 2, dan Gito Hadiprayitno 2 1) Program Pascasarjana Magister Pendidikan IPA

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur keseimbangan alam. Perairan merupakan ekosistem yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur keseimbangan alam. Perairan merupakan ekosistem yang memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Ekosistem perairan memiliki kontribusi dan keterlibatan yang sangat besar dalam mengatur keseimbangan alam. Perairan merupakan ekosistem yang memiliki peran sangat penting

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian 11 METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai Juni 2009. Pengamatan serangga dilakukan di dua lokasi, yaitu pada pertanaman H. multifora di lingkungan Kampus Institut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis dan mempunyai hutan hujan tropis yang cukup luas. Hutan hujan tropis mempunyai keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Timur. Fenomena permukaan meliputi bentukan positif, seperti

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Timur. Fenomena permukaan meliputi bentukan positif, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan Karst Gunung Sewu mempunyai bentang alam yang sangat khas, dengan luas area + 1730 km 2 berupa puluhan ribu bukit batu gamping dengan ketinggian antara 20-50

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan pada bulan Januari 2010 Februari 2010 di Harapan Rainforest, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. bumi, namun demikian keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sangat

BAB I PENDAHULUAN UKDW. bumi, namun demikian keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sangat BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan Tropis di dunia, walaupun luas daratannya hanya 1.32% dari luas daratan di permukaan bumi, namun demikian

Lebih terperinci

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6.1 Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Manapeu Tanahdaru Wilayah karst dapat menyediakan air sepanjang tahun. Hal ini disebabkan daerah karst memiliki

Lebih terperinci

V. SIMPULAN DAN SARAN

V. SIMPULAN DAN SARAN V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan mengenai Keanekaragaman di Gua Ngguwo Kawasan Karst Gunung Sewu Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, maka dapat dihasilkan

Lebih terperinci

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel :

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel : 19-20 November KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA Yusrina Avianti Setiawan 1), Muhammad Kanedi 1), Sumianto 2), Agus Subagyo 3), Nur Alim

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang secara khas berkembang pada batu gamping dan/atau dolomite sebagai

I. PENDAHULUAN. yang secara khas berkembang pada batu gamping dan/atau dolomite sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karst adalah bentang alam di permukaan dan di bawah permukaan tanah yang secara khas berkembang pada batu gamping dan/atau dolomite sebagai akibat proses pelarutan air.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan mungkin paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti rawa,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. penelitian serta data yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan.

III. METODE PENELITIAN. penelitian serta data yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan. 6 III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian digunakan agar terarah, tergambar keinginan dan tujuan dalam penelitian serta data yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia tergolong dalam 10 negara megadiversitas dunia yang memiliki keanekaragaman paling tinggi di dunia (Mackinnon dkk dalam Primack dkk, 2007:454). Keanekaragaman

Lebih terperinci

PENYUSUNAN MODUL PENGAYAAN KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR Subordo Microchiroptera DI GUNUNGKIDUL BAGI SISWA SMA

PENYUSUNAN MODUL PENGAYAAN KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR Subordo Microchiroptera DI GUNUNGKIDUL BAGI SISWA SMA 14 Jurnal Prodi Pendidikan Biologi Vol 6 No 2 Tahun 2017 PENYUSUNAN MODUL PENGAYAAN KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR Subordo Microchiroptera DI GUNUNGKIDUL BAGI SISWA SMA ARRANGING OF ENRICHMENT MODULE OF

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif, karena dalam penelitian ini, Lepidoptera yang menjadi variabel tidak diberi perlakuan khusus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia, termasuk juga keanekaragaman Arthropodanya. 1. Arachnida, Insecta, Crustacea, Diplopoda, Chilopoda dan Onychophora.

BAB I PENDAHULUAN. dunia, termasuk juga keanekaragaman Arthropodanya. 1. Arachnida, Insecta, Crustacea, Diplopoda, Chilopoda dan Onychophora. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis yang dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, termasuk juga keanekaragaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perairan merupakan ekosistem yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan. Perairan memiliki fungsi baik secara ekologis, ekonomis, estetika, politis,

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. secara langsung dari lokasi pengamatan. Parameter yang diukur dalam penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. secara langsung dari lokasi pengamatan. Parameter yang diukur dalam penelitian BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG BARAT

BUPATI BANDUNG BARAT 1 BUPATI BANDUNG BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN SITUS GUA PAWON DAN LINGKUNGANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dengan arus yang lambat atau bahkan tidak ada arus sama sekali. Waktu tinggal

PENDAHULUAN. dengan arus yang lambat atau bahkan tidak ada arus sama sekali. Waktu tinggal 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Danau merupakan suatu badan air yang tergenang sepanjang tahun. Danau juga berupa cekungan yang berfungsi menampung air dan menyimpan air yang berasal dari air hujan, air tanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Herlin Nur Fitri, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Herlin Nur Fitri, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diversitas atau keanekaragaman makhluk hidup termasuk salah satu sumber daya lingkungan dan memberi peranan yang penting dalam kestabilan lingkungan. Semakin tinggi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Mei 2011 di Stasiun Penelitian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Mei 2011 di Stasiun Penelitian 20 III. METODE PENELITIAN A. Waktu Dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Mei 2011 di Stasiun Penelitian dan Pelatihan Konservasi Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS),

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITAN

BAB III METODOLOGI PENELITAN 50 BAB III METODOLOGI PENELITAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif kuantitatif yaitu suatu penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi dan kejadian,

Lebih terperinci

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 7. CIRI KHUSUS HEWAN DAN TUMBUHANLatihan soal 7.1

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 7. CIRI KHUSUS HEWAN DAN TUMBUHANLatihan soal 7.1 SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 7. CIRI KHUSUS HEWAN DAN TUMBUHANLatihan soal 7.1 1. Ciri khusus yang ada pada makhluk hidup bertujuan untuk... Untuk mencari makanan Untuk menarik perhatian hewan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

S i s t e m M a s y a ra k a t y a n g B e r ke l a n j u t a n

S i s t e m M a s y a ra k a t y a n g B e r ke l a n j u t a n T E N T A N G P E R M A K U L T U R S i s t e m M a s y a ra k a t y a n g B e r ke l a n j u t a n A PA ITU P ERMAKULTUR? - MODUL 1 DESA P ERMAKULTUR Desa yang dirancang dengan Permakultur mencakup...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci

Koleksi dan Pengenalan Biota Gua : Arthropoda Gua 1

Koleksi dan Pengenalan Biota Gua : Arthropoda Gua 1 Koleksi dan Pengenalan Biota Gua : Arthropoda Gua 1 Cahyo Rahmadi, S.Si. Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong Email : cahyo.rahmadi@lipi.go.id Pendahuluan Indonesia mempunyai kawasan karst

Lebih terperinci

Gambar 29. Cynopterus brachyotis sunda Lineage

Gambar 29. Cynopterus brachyotis sunda Lineage 69 Nama Spesies : Cynopterus brachyotis sunda lineage Nama Lokal : Codot Nama Inggris : Lesser Short-nosed Fruit Bat Deskripsi : Panjang lengan = 55-65 mm, Panjang ekor =8-10 mm, panjang telinga= 14-16

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel langsung dari lokasi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 28 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan selama satu bulan, dimulai dari bulan November- Desember 2011. Lokasi pengamatan disesuaikan dengan tipe habitat yang terdapat di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 3.1 Lokasi dan Waktu BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kawasan Lindung Sungai Lesan. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 31 Juli sampai 19 Agustus 2010 di Kawasan Lindung Sungai

Lebih terperinci

FLORA DAN FAUNA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

FLORA DAN FAUNA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA FLORA DAN FAUNA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Indentitas Flora dan Fauna Indonesia Indonesia merupakan negara yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Yogyakarta yang memiliki luasan 1.485,36 kilometer persegi. Sekitar 46,63 %

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Yogyakarta yang memiliki luasan 1.485,36 kilometer persegi. Sekitar 46,63 % I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul merupakan wilayah dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki luasan 1.485,36 kilometer persegi. Sekitar 46,63 % dari luas wilayah Provinsi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. langsung dari lokasi pengamatan. Parameter yang diukur dalam penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. langsung dari lokasi pengamatan. Parameter yang diukur dalam penelitian BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan mengalir (lotik) dan perairan menggenang (lentik). Perairan mengalir bergerak terus menerus kearah

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian ini menemukan empat jenis burung madu marga Aethopyga di

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian ini menemukan empat jenis burung madu marga Aethopyga di V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Penelitian ini menemukan empat jenis burung madu marga Aethopyga di lereng selatan Gunung Merapi Yogyakarta, yaitu Burung Madu Gunung, Burung Madu Jawa, Burung Madu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

Prioritas Ekosistem Karst Dengan Perkembangan Ekonomi Masyartakat

Prioritas Ekosistem Karst Dengan Perkembangan Ekonomi Masyartakat Prioritas Ekosistem Karst Dengan Perkembangan Ekonomi Masyartakat Dwi Noviar ADITYA 1, PREMONOWAT 1, Hari Wiki UTAMA 12 Teknik Geologi UPN Yogyakarta, Indonesia 1 Pascasarjana Teknik Geologi UGM, Indonesia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan atau pengambilan sampel secara langsung pada lokasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu 46 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara Mega Biodiversity yang kaya akan keanekaragaman hayati. Menurut Asti, (2010, hlm. 1) bahwa Diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. 84 Pada

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. 84 Pada BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif - eksploratif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk mengumpulkan

Lebih terperinci

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG Sri Sumarni Fakultas Pertanian Universitas Kapuas Sintang e-mail : sri_nanisumarni@yahoo.co.id

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M/1431 H

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M/1431 H 18 KELIMPAHAN, SEBARAN DAN KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR (Chiroptera) PADA BEBERAPA GUA DENGAN POLA PENGELOLAAN BERBEDA DI KAWASAN KARST GOMBONG JAWA TENGAH AMIN ASRIADI PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

Co-evolusi dan Co-adaptasi sistem sosial dan ekosistem. Co-evolusi, berubah secara bersama Co-adaptasi, saling menyesuaikan diri

Co-evolusi dan Co-adaptasi sistem sosial dan ekosistem. Co-evolusi, berubah secara bersama Co-adaptasi, saling menyesuaikan diri Co-evolusi dan Co-adaptasi sistem sosial dan ekosistem Co-evolusi, berubah secara bersama Co-adaptasi, saling menyesuaikan diri Co-evolusi dan co-adaptasi sistem sosial manusia dan ekosistem Energi, materi,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu keaneragaman hayati tersebut adalah keanekaragaman spesies serangga.

BAB I PENDAHULUAN. satu keaneragaman hayati tersebut adalah keanekaragaman spesies serangga. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, salah satu keaneragaman hayati tersebut adalah keanekaragaman spesies serangga. Siregar (2009), menyebutkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 51 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Menurut Sugiyono (2013), metode penelitian kuanitatif merupakan metode penelitian yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yakni penelitian yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi air tawar yang kaya akan mineral dengan ph sekitar 6. Kondisi permukaan air tidak selalu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari

I. PENDAHULUAN. memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serangga (Kelas Insekta) merupakan kelompok makhluk hidup yang memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari separuh jumlah spesies makhluk

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

KEPADATAN POPULASI KATAK SAWAH (Rana cancrivora Gravenhorst) YANG DITEMUKAN DI BUNGO PASANG KECAMATAN IV JURAI KABUPATEN PESISIR SELATAN

KEPADATAN POPULASI KATAK SAWAH (Rana cancrivora Gravenhorst) YANG DITEMUKAN DI BUNGO PASANG KECAMATAN IV JURAI KABUPATEN PESISIR SELATAN KEPADATAN POPULASI KATAK SAWAH (Rana cancrivora Gravenhorst) YANG DITEMUKAN DI BUNGO PASANG KECAMATAN IV JURAI KABUPATEN PESISIR SELATAN JURNAL YULIA AFRITA YENI NIM. 09010159 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan teknik penentuan lokasi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan teknik penentuan lokasi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan teknik penentuan lokasi secara purposive sampling (penempatan titik sampel dengan tujuan

Lebih terperinci

DINAS KEHUTANAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

DINAS KEHUTANAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG UPAYA PELESTARIAN MENTILIN (TARSIUS BANCANUS) SEBAGAI SALAH SATU SATWA LANGKA YANG DILINDUNGI DARI KEPUNAHAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh HENDRI UTAMA.SH NIP. 19800330 199903 1 003 POLISI

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI MAKROFAUNA TANAH DI ZONA PASIF TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR KLOTOK KOTA KEDIRI

IDENTIFIKASI MAKROFAUNA TANAH DI ZONA PASIF TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR KLOTOK KOTA KEDIRI 15-133 IDENTIFIKASI MAKROFAUNA TANAH DI ZONA PASIF TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR KLOTOK KOTA KEDIRI Identification of Land Macrofauna Place in the Final Disposal Zone Passive Klotok City Kediri Budhi Utami,

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut yang hidup di sekitarnya. Ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi. Salah satu kekayaan fauna di Indonesia yang memiliki daya tarik tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

HUBUNGAN SALING KETERGANTUNGAN ANTAR MAKHLUK HIDUP

HUBUNGAN SALING KETERGANTUNGAN ANTAR MAKHLUK HIDUP HUBUNGAN SALING KETERGANTUNGAN ANTAR MAKHLUK HIDUP Hubungan Antarmakhluk Hidup Kita sering melihat kupu-kupu hinggap pada bunga atau kambing berkeliaran di padang rumput. Di sawah, kita juga sering melihat

Lebih terperinci