BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem di Pulau Jawa. Dieng berada di ketinggian antara 1500

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ketinggian berkisar ± 1500 m diatas permukaan air laut. Kawasan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. DAS Serayu, terutama di bagian hulu DAS berkaitan dengan pemanfaatan lahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pengelolaan sumber

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

INTERNALISASI BIAYA KONSERVASI LAHAN PERTANIAN KENTANG DI DAS SERAYU

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. kayu, rotan, getah, dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain berupa jasa

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KERANGKA PIKIR PENELITIAN DAN HIPOTESIS. Referensi menunjukkan, bahwa keberadaan agroforestri mempunyai peran

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan dan memperbaiki kualitas lingkungan. besar sementara wilayah kawasan lindung dan konservasi menjadi berkurang.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Danau merupakan sumber daya air tawar yang berada di daratan yang

Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Waduk yang sangat strategis di karsidenan Banyumas yang terdiri dari

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Solehudin, 2015 Kajian Tingkat Bahaya Erosi Permukaandi Sub Daerah Aliran Sungai Cirompang

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN I-1

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PEMANFAATAN SUMBER MATA AIR DALAM KAWASAN HUTAN

I. PENDAHULUAN. satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung,

IMBAL JASA LINGKUNGAN DALAM PELESTARIAN SUMBER DAYA AIR (Studi kasus : Kabupaten Karanganyar Kota Surakarta) TUGAS AKHIR

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. kerusakan akibat erosi dalam ekosistem DAS (Widianto dkk., 2004). Kegiatan

Konsep Imbal Jasa Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air Oleh: Khopiatuziadah *

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat

I. PENDAHULUAN. Hutan Register 19 semula ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi

PERANAN LAHAN BASAH (WETLANDS) DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Kita tidak dapat

VIII. STRUKTUR HAK KEPEMILIKAN LAHAN DALAM KAWASAN SUB DAS BATULANTEH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase)

I. PENDAHULUAN. Bentuk-bentuk pertanian tradisional banyak ditemukan di seluruh dunia termasuk

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

IV.C.3 Urusan Pilihan Kehutanan

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

Departemen of Agriculture (USDA) atau klasifikasi kesesuaian lahan yang dikembangkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang

Erosi, Kesuburan Tanah, dan Keberlanjutan

BAB I PENDAHULUAN I - 1

IV. METODOLOGI PENELITIAN

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi areal vital bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan akan air. Pemanfaatan air sungai banyak digunakan sebagai pembangkit listrik, irigasi sawah, sumber air minum, pemandian dan sebagainya. Salah satu fungsi DAS yang utama adalah sebagai pemasok air dengan kualitas dan kuantitas yang baik terutama bagi orang di daerah hilir (Farida dan Noordwijk, 2004). Ketersediaan air sangat tergantung pada aktivitas yang dilakukan di hulu DAS karena daerah ini merupakan pintu utama dalam menjaga ketersediaan suplai air. Tingginya laju sedimentasi di sungai menjadi suatu permasalahan yang umum terjadi di berbagai DAS yang ada di Indonesia. Meningkatnya populasi manusia di wilayah hulu, terbatasnya pemilikan lahan, tingginya kemiskinan serta kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, cenderung memotivasi masyarakat untuk membuka lahan guna menghasilkan sumber pendapatan baru (Farida dan Noordwijk, 2004). Terbatasnya pengetahuan masyarakat dalam teknik budidaya dan pola pengelolaan lahan juga diduga sebagai pendorong terjadinya aktivitas masyarakat yang berakibat pada menurunnya kualitas & kuantitas air sungai. Munculnya lahan-lahan kritis sebagai akibat dari proses erosi dan longsor dari pola pengelolaan lahan yang tidak ramah lingkungan berdampak langsung pada meningkatnya proses sedimentasi di sungai. Kondisi ini merugikan banyak pihak, baik dari masyarakat hulu sendiri selaku pengelola maupun para pengguna air yang berada di daerah hilir selaku pemanfaat. Di satu sisi masyarakat merasa dirugikan dengan seiring menurunnya hasil pertanian dan berkurangnya areal lahan yang mereka miliki, sedangkan di sisi lain banyak pihak sebagai pengguna air yang tidak dapat melakukan kegiatan produksinya secara maksimal (Verbist dan Pasya, 2004). Kondisi di atas juga terjadi di DAS Serayu, tepatnya pada dataran tinggi Dieng. Masyarakat secara intensif mengusahakan lahan miliknya untuk budidaya tanaman semusim, terutama kentang. Usaha budidaya tanaman kentang yang selama ini dilakukan masyarakat cenderung tidak sesuai dengan kaidah konservasi

2 tanah dan sistem budidaya tanaman semusim di lahan kering. Masyarakat selama ini beranggapan bahwa guludan yang sejajar kontur akan membuat aliran air permukaan menjadi terhambat sehingga dikhawatirkan akan membuat tanah menjadi tergenang air hujan yang pada akhirnya akan menyebabkan umbi kentang menjadi busuk sehingga membuat mereka rugi. Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa pembuatan teknik konservasi cukup mahal. Paradigma ini yang menyebabkan proses pemahaman mengenai pentingnya pola pertanian ramah lingkungan di Dieng menjadi terkendala. Kondisi diatas berdampak pada produksi kentang yang terus merosot selama empat tahun terakhir. Apabila pada tahun 2004 per hektar tanaman kentang masih menghasilkan 17,6 ton, tahun 2007 bisa 15,4 ton, ternyata tahun 2008 panen hanya tertinggi 10-13,5 ton per hektar. Biaya produksi tanaman pun naik, kalau 2004 per hektar cukup Rp 25 juta, ternyata saat ini kisarannya Rp 40 juta-rp 48 juta per hektar untuk sekali musim tanam (TKPD 2008). Hal tersebut diperparah dengan semakin membanjirnya kentang impor dari China yang memiliki harga jual relatif lebih murah dibandingkan kentang Dieng, yaitu seharga Rp 3.500/kg sehingga menyebabkan daya jual kentang Dieng kalah bersaing. Memburuknya kualitas tanah dan panenan itu tak menyurutkan alih fungsi lahan. Menurut TKPD (2008), pada tahun 2005 luas lahan kentang di Dieng 5.724 hektar, tahun 2006 menjadi 6.902 hektar. Pada tahun 2008, lahan justru meluas menjadi 8.075 hektar. Tim Kerja Pemulihan Dieng TKPD (2008) mengidentifikasi kecenderungan-kecenderungan kerusakan sumberdaya lahan dan lingkungan sebagai berikut: Di Dataran Tinggi Dieng, tingkat erosi mencapai 161 ton per hektar per tahun. Di tahun 2002, terhitung tingkat erosi di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu mencapai 4,21 mm per tahun, dan 13,7 mm per tahun di hulu DAS Merawu. Sebelumnya, tingkat erosi di tahun 1990 tidak pernah melebihi 2 mm per tahun di kedua tempat tersebut. Pertambahan sedimen di Waduk Sudirman, Sungai Serayu, sejak tahun 1989. Pendangkalan di waduk ini telah mencapai 60,106 m3 atau 40% dari kapasitas

3 waduk. Penambahan sedimen tertinggi terjadi selama tahun 2000 (7,106 m3) pada saat terjadi penggundulan hutan besar-besaran di dataran tinggi Dieng. Empat danau besar yang ada pada kawasan Dieng, saat ini sudah mengering. Kini, di dataran tersebut hanya tinggal satu danau yaitu Telaga Warna yang masih berair, namun saat ini airnya sudah tidak lagi menampilkan warna yang mempesona seperti kondisi 15-20 tahun silam Penurunan produktifitas lahan dan banjir di daerah hilir Serayu dan anak-anak sungainya Penurunan kualitas dan kuantitas air menyebabkan mulainya kesulitan pemenuhan kebutuhan air bagi lahan pertanian dan konsumsi rumah tangga Kondisi demikian telah mendorong berbagai pihak untuk peduli terhadap pemulihan kawasan Dieng. Pemerintah Propinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kabupaten Wonosobo, telah memasukkan program rehabilitasi kawasan Dieng dalam Rencana Kerja Pembangunan Jangka Menengah 2010-2015. Hanya saja tampaknya pengelolaan sumberdaya lahan dan hutan di kawasan Dieng yang berkelanjutan belum efektif dan menghasilkan capaian-capaian sesuai harapan. Imbal Jasa Lingkungan-Payment for Environmental Services (PES) merupakan salah satu pendekatan dengan tujuan untuk mencari solusi dari permasalahan hulu-hilir yang banyak diterapkan di berbagai negara, baik itu negara maju maupun negara berkembang (Wunder et al. 2008). Pendekatan ini sudah mulai diterapkan di wilayah Amerika Latin, tetapi masih tergolong suatu hal yang baru di Asia, terutama di Indonesia (Leimona, 2007). Salah satu pendekatan inovatif dalam pengelolaan DAS adalah melalui skema pembayaran jasa lingkungan (payment for environmental services) dan imbal jasa lingkungan (rewards for environmental services) (Van Noordwijk, 2005; Van Noordwijk and Leimona, 2010). Dalam skema imbal jasa lingkungan, petani terutama yang tinggal di hulu suatu DAS, dipandang sebagai pengambil keputusan penggunaan lahan dan berkontribusi sebagai penyedia jasa lingkungan (environmental service providers). Di lain pihak, masyarakat luas yang menggunakan air dipandang sebagai pemanfaat jasa lingkungan (environmental service beneficiaries) (Leimona et all, 2009).

4 Kombinasi penerapan teknik pertanian yang bersifat ramah lingkungan dan penyediaan insentif melalui skema jasa lingkungan bagi para petani yang bersedia mengadopsi teknik tersebut, diharapkan menjadi salah satu solusi yang menguntungkan bagi kedua belah pihak, baik masyarakat maupun lingkungan. Tidak hanya memiliki manfaat dari sisi ekologi, akan tetapi juga manfaat dari sisi ekonomi dan sosial. B. Rumusan Masalah Tingkat pemanfaatan yang tidak diikuti dengan pengelolaan sumberdaya lahan yang berkelanjutan menyebabkan terlampauinya daya dukung kawasan Dieng. Karakteristik hak kepemilikan pribadi (private property rights) yang otonom dalam pengambilan keputusan menyebabkan pemilik lahan memiliki kebebasan dalam memanfaatkan lahannya yang terkadang tanpa memperhitungkan eksternalitas yang dihasilkan oleh pola pengelolaan lahan yang diterapkan. Keputusan-keputusan yang dibuat umumnya didasarkan pada rasionalitas jangka pendek dan untuk kemanfaatan individu, sementara kemanfaatan jangka panjang dan perlindungan lingkungan untuk kemanfaatan sosial jarang dijadikan acuan. Akibatnya dampak-dampak negatif pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan yang eksploitatif seperti banjir, tanah longsor, sulitnya memperoleh air dengan kualitas dan kuantitas yang memadai dan rusaknya kawasan wisata menjadi beban bagi orang lain. Kondisi demikian tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, karena akan menimbulkan masalah ekonomi di kemudian hari. Tidak saja bagi masyarakat umum dan pemerintah melainkan bagi petani kentang itu sendiri. Bagi petani pelaku aktif budidaya kentang misalnya, semakin lama biaya produksi usaha taninya semakin besar, sehingga tingkat keuntungan yang diperoleh akan semakin menipis. Akibat jangka panjangnya akan menurunkan kemampuan investasi petani dalam pengelolaan asset lahannya, sehingga pada suatu saat lahan yang mereka miliki tidak dapat lagi ditanami kentang atau tidak mampu lagi menghasilkan manfaat. Bagi pemerintah, kerusakan lingkungan yang parah akan menurunkan kesempatan penggunaan anggaran bagi pembangunan kesejahteraan

5 sosial karena dana yang ada dan terbatas habis untuk membiayai pencegahan dan penanganan bencana lingkungan seperti banjir dan tanah longsor. Namun demikian, kebijakan pemulihan kawasan Dieng tidak lantas diarahkan untuk menghentikan kegiatan budidaya kentang di kawasan Dieng. Kebijakan demikian mungkin akan menyelesaikan masalah rusaknya kawasan Dieng, tetapi tidak menjamin bahwa kerusakan serupa tidak terjadi di tempat lain seperti Garut, Lembang dan tempat-tempat lain yang memiliki kondisi agroklimat yang sesuai bagi budidaya kentang. Oleh karenanya kebijakan pemulihan kawasan Dieng seharusnya ditujukan untuk mengembalikan fungsi lindung kawasan Dieng tanpa mengabaikan kepentingan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Untuk itu pertimbangan-pertimbangan yang holistik diperlukan dalam pembuatan kebijakan pemulihan kawasan Dieng yang kompleksitas permasalahannya sangat tinggi dengan penyebab yang beragam mulai dari penyebab yang terkait dengan ekonomi, sosial dan kelembagaan masyarakat dan pemerintah, hingga kualitas sumberdaya manusia dan ketersediaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan dalam banyak kasus penyebab-penyebab tersebut terkait satu sama lain. Valuasi ekonomi sumberdaya lahan untuk kawasan Dieng dapat dijadikan input untuk intervensi kebijakan penyelesaian masalah yang terkait dengan ekonomi usaha tani yang berkelanjutan. Oleh karenanya valuasi ekonomi manfaat ekologis dan kerugian atas kerusakan sumberdaya lahan dan hutan di Kawasan Dieng perlu dilakukan. Namun demikian, disadari bahwa untuk melakukan penilaian ekonomi manfaat ekologis dan kerugian atas kerusakan sumberdaya lahan dan hutan bukanlah pekerjaan yang ringan. Untuk mendapatkan kualitas dan validitas yang memadai diperlukan kajian yang mendalam dan membutuhkan korbanan dana dan waktu yang tidak sedikit. Mengingat kemampuan yang ada pada saat ini belum dapat memenuhi keinginan melakukan valuasi ekonomi sesuai standar keilmuan baku, maka dalam kesempatan ini kajian akan dibatasi pada pengungkapan gambaran awal issue dan permasalahan kerusakan sumberdaya lahan di kawasan Dieng sebagai sarana untuk menuju valuasi ekonomi manfaat ekologis dan

6 kerugian atas kerusakan sumberdaya lahan dan hutan di Kawasan Dieng yang sesuai dengan standar ilmiah, berkualitas dan valid. C. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menghitung besaran nilai eksternalitas yang perlu internalisasi oleh petani kentang sebagai dasar dan acuan untuk merancang skema PES yang cocok, adil dan berkelanjutan bagi proses perbaikan kawasan Dieng. Tujuan ini dapat dicapai dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Membandingkan tingkat kesuburan tanah pada pertanian kentang yang diukur dari tingkat erosi dan limpasan permukaan yang dipengaruhi oleh pola konservasi yang diterapkan. 2. Menghitung besaran nilai ekonomi pertanian kentang yang dihasilkan yang diukur dari tingkat produksi dan keuntungan panen yang dipengaruhi oleh pola konservasi yang diterapkan. 3. Menghitung besarnya nilai internalisasi petani untuk menurunkan erosi dan limpasan permukaan dengan menggunakan pendekatan Opportunity Cost dan Willingness to Accept (WTA) serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya. D. Hipotesis 1. Tingkat erosi dan limpasan permukaan pada plot yang menerapkan teknik konservasi lebih rendah dibandingkan pada plot yang tidak menerapkan sistem konservasi 2. Hasil panen kentang pada plot yang menerapkan sistem konservasi lebih rendah dibandingkan pada plot yang tidak menerapkan sistem konservasi akan tetapi produktifitas kentang per tanaman pada plot yang menerapkan sistem konservasi lebih tinggi dibandingkan pada plot yang tidak menerapkan sistem konservasi 3. Nilai internalisasi petani untuk menurunkan erosi dan limpasan permukaan dengan menggunakan pendekatan WTA lebih rendah dari nilai opportunity cost

7 E. Kerangka Pemikiran Penelitian berikut: Secara skematis, kerangka konsep penelitian dapat digambarkan sebagai Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan berupa acuan kepada pihak pemerintah daerah Wonosobo untuk penyusunan Skema Imbal Jasa Lingkungan bagi pengelolaan DAS Serayu dimasa yang akan datang guna memotivasi masyarakat selaku pengelola jasa lingkungan di dalam menjaga dan memelihara kualitas DAS Serayu. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang terlibat di dalam pengelolaan kawasan Dieng, terutama bagi pemerintah dan masyarakat di dalam membuat kebijakan dan menentukan pola pengelolaan lahan pertanian kentang yang bernilai ekonomis dan ramah lingkungan.