Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

dokumen-dokumen yang mirip
KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh: Stenli Sompotan 2

KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT PEMBUKTIAN ATAS ADANYA TINDAK PIDANA MENURUT KUHAP 1 Oleh: Astuti Hasan 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2

SUATU TINJAUAN TERHADAP PEMBUKTIAN DALAM UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. :

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

Bagian Kedua Penyidikan

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

Lex Crimen Vol. III/No. 4/Ags-Nov/2014. Kata kunci: Pelanggaran, Hak-hak Tersangka.

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

Lex Administratum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

KEDUDUKAN SAKSI KORBAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Daff Terok 2

PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN MENURUT UU NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA Oleh: Jusuf Octafianus Sumampow 1

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

KEDUDUKAN KETERANGAN SAKSI UNTUK PENCARIAN KEBENARAN MATERIAL DALAM PERKARA PIDANA Oleh: Daud Jonathan Selang 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017


BAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

BAB II PENGATURAN PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA. A. Penangguhan Penahanan Menurut HIR dan KUHAP

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

FUNGSI DAN MANFAAT SAKSI AHLI MEMBERIKAN KETERANGAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA 1 Oleh: Prisco Jeheskiel Umboh 2

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB III PENUTUP. Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum

Kata kunci: Perintah, Jabatan, Tanpa Wewenang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

BAB II KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT HUKUM ACARA PIDANA

KEWENANGAN PENYIDIK POLISI TERHADAP PEMERIKSAAN HASIL VISUM ET REPERTUM MENURUT KUHAP 1. Oleh : Yosy Ardhyan 2

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

BAB I PENDAHULUAN. tetapi hakikat profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. bukti dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

Transkripsi:

KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti telah mendapatkan pengaturan yang memadai dalam KUHAP dan bagaimana pengaruh keterangan ahli terhadap pengambilan putusan oleh hakim. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Jika dalam sistem HIR, keterangan ahli tidak dicantumkan sebagai salah satu alat bukti yang sah, dan kedudukannya hanya sebagai pemberi keterangan saja kepada Hakim, maka dalam sistem KUHAP, keterangan ahli telah memiliki kedudukan sebagai salah satu alat bukti yang sah. Perbedaan rumusan keterangan ahli antara Pasal 1 butir 28 dengan Pasal 186 KUHAP adalah karena Pasal 1 butir 28 dimaksudkan untuk memberikan pengertian umum tentang keterangan ahli, yang mencakup permintaan keterangan ahli di luar dan di depan pengadilan. Pasal 186 memberi pengertian lebih khusus tentang keterangan ahli, yaitu keterangan ahli yang diberikan secara lisan di depan pengadilan. 2. Hakim tidak terikat/tidak wajib tunduk pada apa yang dikemukakan dalam keterangan ahli. Berdasarkan sistem pembuktian negatief-wettelijk (Pasal 183 KUHAP), selain harus ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah juga harus ada keyakinan hakim berdasarkan alat-alat bukti tersebut. Sekalipun demikian, Hakim tidak dapat mengabaikan keterangan ahli. Ini karena keterangan ahli berkenaan dengan ketepatan suatu ilmu pengetahuan. Kata kunci: Keterangan ahli, putusan hakim. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan Di masa berlakunya HIR (Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941 Nr.44), dalam praktek beracara pidana telah dikenal adanya orang-orang yang memiliki profesi tertentu yang memberikan keterangan berdasarkan keahlian mereka, baik dalam tahap penyidikan, penuntutan maupun dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Mereka ini, dalam praktek umumnya disebut sebagai saksi ahli. Tetapi, dalam rumusan Pasal 295 HIR, di mana ditentukan alat-alat bukti yang sah sebagai dasar putusan pengadilan, tidak disebutkan tentang keterangan ahli. Menurut Pasal 295 HIR, Yang diaku sebagai alat bukti yang sah, hanya: 1e. keterangan saksi (penyaksian); 2e. surat-surat; 3e. pengakuan; 4e. tanda2 (penunjukan). 3 Dalam rumusan Pasal 295 HIR tersebut hanya ditentukan adanya 4 (empat) alat bukti yang sah, yaitu: keterangan saksi, surat, pengakuan, dan penunjukan. Penunjukkan terhadap keterangan ahli nanti dapat ditemukan pada Pasal 306 ayat (1) HIR yang menentukan bahwa, Berita orang ahli yang diangkat karena jabatan untuk menyatakan pertimbangan dan pendapatnya tentang hal ihwal atau keadaan sesuatu perkara, hanya boleh dipakai untuk memberi keterangan kepada hakim. 4 Pasal 306 ayat (1) HIR menunjukkan bahwa keterangan ahli bukan merupakan alat bukti yang sah, melainkan hanya boleh dipakai untuk memberi keterangan kepada hakim. Dapat dipahami bahwa dasar pikiran pembentuk HIR yang tidak memasukkan keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti karena pemberi keterangan ahli merupakan orang-orang yang tidak melihat, mendengar, ataupun mengalami sendiri peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa. Dengan demikian, keterangannya juga tidak langsung mengenai peristiwa itu sendiri, walaupun memiliki sangkut paut erat dengan peristiwa itu. Berbeda halnya dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 1981, penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209), yang juga disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP ini menggantikan ketentuanketentuan acara pidana dalam HIR, 1 Artikel 2 Dosen pada Fakultas Hukum Unsrat. S1 Fakultas Hukum Unsrat, S2 Pascasarjana Unsrat. 3 R. Tresna, Komentar H.I.R., Pradnya Paramita, Jakarta, cetakan ke-6, 1976, hal. 258. 4 Ibid., hal. 264. 153

sebagaimana tampak dalam bagian konsiderans, di mana telah dinyatakan dicabut: 1. Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan dan Undangundang Nomor 1 Drt Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) beserta semua peraturan pelaksanaannya; 2. Ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, dengan ketentuan bahwa yang tersebut dalam angka 1 dan angka 2, sepanjang hal itu mengenai hukum acara pidana. 5 Dengan demikian, KUHAP telah menjadi peraturan pokok untuk beracara pidana di Indonesia. KUHAP ini juga merupakan kodifikasi hukum pertama yang dihasilkan oleh pembentuk undang-undang Indonesia sendiri guna menggantikan peraturan-peraturan hukum peninggalan masa Pemerintah Hindia Belanda. Sekalipun peraturan-peraturan acara perdata dalam HIR masih tetap berlaku, tetapi setidak-tidaknya sebagian dari ketentuanketentuan dalam HIR tersebut, yaitu yang mengenai peraturan-peraturan acara pidana, telah digantikan oleh KUHAP. Salah satu perbedaan antara KUHAP dengan HIR adalah mengenai jenis-jenis alat bukti yang sah. Pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP ditentukan sebagai berikut, Alat bukti yang sah ialah : a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. 6 Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang dikutipkan di atas, secara tegas telah disebutkan bahwa keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti yang sah, sejajar dengan beberapa alat bukti lainnya, yaitu keterangan saksi, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Tetapi, walaupun keterangan ahli telah diklasifikasi sebagai alat bukti yang sah, keterangan ahli hanya mendapatkan pengaturan yang amat singkat dalam beberapa pasal KUHAP. Pada Pasal 1 butir 28 KUHAP 5 A.H.G. Nusantara, et al, KUHAP dan Peraturan-peraturan Pelaksana, Djambatan, Jakarta, 1986, hal.4. 6 Ibid., hal. 63. diberikan definisi tentang apa yang dimaksudkan dengan istilah keterangan ahli, yaitu keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. 7 Beberapa pasal lainnya dari KUHAP, di mana disebutkan juga tentang keterangan ahli adalah Pasal-pasal 133, 180 dan 186. Pada Pasal 133 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Dalam ayat (2) ditentukan bahwa permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Selanjutnya dalam ayat (3) ditentukan bahwa mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat. Penjelasan Pasal Demi Pasal terhadap Pasal 133 KUHAP ini hanya ada keterangan terhadap ayat (2) saja. Terhadap ayat (2) diberikan penjelasan bahwa keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan. Pada Pasal 180 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan. Menurut ayat (2), dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim memerintahkan agar hal itu 7 Ibid., hal. 7-8. 154

dilakukan penelitian ulang. Dalam ayat (3) ditentukan bahwa Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) (ayat 3). Selanjutnya menurut ayat (4), penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh instansi semula dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai wewenang untuk itu. Pada Pasal 186 KUHAP ditentukan bahwa, Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. 8 Penjelasan Pasal Demi Pasal terhadap Pasal 186 hanya memberikan keterangan bahwa, Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim. 9 Pasal-pasal yang berkaitan dengan keterangan ahli tersebut hanya mengatur tentang alat bukti keterangan ahli tersebut secara singkat dan sederhana saja. Malahan pasal 186 KUHAP hanya bersifat memberikan definisi terhadap apa yang dimaksudkan dengan istilah keterangan ahli. Tidak ada keterangan lebih rinci seperti bagaimana Hakim harus memperlakukan keterangan ahli tersebut. Dengan demikian pertanyaan muncul mengenai apakah dalam rumusan-rumusan yang singkat tentang keterangan ahli dalam KUHAP itu telah tercakup pengaturan yang memadai berkenaan dengan keterangan ahli sebagai alat bukti. Selanjutnya, bagaimanakah peran keterangan ahli dalam pengambilan putusan oleh hakim, yaitu apakah Hakim terikat atau bebas sepenuhnya untuk menyampingkan suatu keterangan ahli. Dalam praktek, memang tidak semua perkara pidana memerlukan keterangan ahli. 8 Ibid., hal. 64. 9 Ibid., hal. 123. Tetapi, apabila dalam suatu kasus diajukan keterangan ahli, maka dapat dimengerti jika dikatakan bahwa keterangan ahli tersebut merupakan suatu alat bukti yang benar-benar dibutuhkan dan penting bagi penyelesaian kasus yang bersangkutan. Dengan demikian, dapat dikatakan terdapat kesenjangan antara rumusan yuridis dalam KUHAP, yang hanya mengatur keterangan ahli secara sepintas saja, dengan kenyataan tentang adanya peran penting dari keterangan ahli untuk kasus-kasus tertentu karena sampai memandang perlu untuk mendengarnya. B. PERUMUSAN MASALAH 1. Bagaiman keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti telah mendapatkan pengaturan yang memadai dalam KUHAP? 2. Bagaimana pengaruh keterangan ahli terhadap pengambilan putusan oleh hakim? C. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research), dengan mempelajari berbagai pustaka hukum yang ada kaitannya dengan pokok permasalahan, himpunan peraturan perundang-undangan, artikel, dan berbagai sumber tertulis lainnya. Analisis yang digunakan adalah analisis yuridisnormatif yang bersifat kualitatif. PEMBAHASAN A. Keterangan Ahli dalam Sistem KUHAP Dalam mencari arti dari suatu istilah yang digunakan oleh undang-undang, hal yang pertama-tama perlu dilakukan adalah dengan mencari keterangan dari dalam undang-undang itu sendiri. Dengan demikian, untuk mencari apa dari istilah keterangan ahli yang digunakan dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), perlu dilakukan pencarian dari dalam pasal-pasal KUHAP itu sendiri. Sebagai juga pada undang-undang lainnya, dalam KUHAP juga terdapat Bab I tentang Ketentuan Umum. Dalam bab ini dimuat penjelasan tentang arti dari sejumlah istilah yang sering digunakan dalam KUHAP. Penjelasan yang diberikan dalam Bab ini merupakan penafsiran otentik, yaitu penafsiran 155

yang diberikan oleh pembentuk undang-undang itu sendiri, dalam hal ini pembentuk KUHAP. Pada Pasal 1 butir 28 KUHAP (yang terletak dalam Bab I KUHAP) terdapat penjelasan mengenai istilah keterangan ahli, yaitu, Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. 10 Keterangan ahli berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 28 tersebut adalah: 1. Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan. Dalam bagian kalimat ini didefinisikan siapa yang menjadi subyek dari keterangan ahli, atau siapa yang dapat memberikan keterangan ahli, yaitu: seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan. 2. Untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksa. Bagian kalimat ini adalah mengenai fungsi dari suatu keterangan ahli, yaitu: untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dalam Bab XVI KUHAP: Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan, pada Bagian Keempat: Pembuktian dan Putusan dalam Acara Pemeriksaan Biasa, juga terdapat pasal yang memberikan definisi tentang keterangan ahli, yaitu Pasal 186. Menurut pasal ini, Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. 11 Pasal 1 butir 28 KUHAP dimaksudkan untuk memberikan definisi yang bersifat umum mengenai pengertian keterangan ahli. Dalam Pasal 1 butir 28 ini, tidak dibedakan apakah keterangan ahli itu diberikan secara lisan atau tertulis, juga apakah diberikan di depan atau di luar pengadilan. Dapat dikatakan bahwa pengertian istilah keterangan ahli dalam Pasal 1 butir 28 mencakup semua hal itu, yaitu baik lisan maupun tertulis, dan baik di depan pengadilan maupun di luar pengadilan. Jadi, sebagaimana dikemukakan di atas, definisi dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP merupakan suatu definisi yang bersifat umum. 10 Abdul Hakim G. Nusantara, KUHAP dan Peraturanperaturan Pelaksana, Djambatan, Jakarta, 1986., hal. 7-8. 11 Ibid., hal. 64. Rumusan istilah keterangan ahli dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP ini mencakup penggunaan istilah keterangan ahli yang terdapat dalam Pasal 133 KUHAP. Pasal 133 KUHAP merupakan salah satu pasal yang terletak dalam Bab XIV: Penyidikan, pada Bagian Kedua, yang juga berjudul: Penyidikan. Pada Pasal 133 ini diberikan ketentuan, (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. (3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan para ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat. 12 Dalam Pasal 133 KUHAP ini, pengertian keterangan ahli adalah berupa keterangan tertulis dari seorang ahli kedokteran kehakiman, dan diberikan di luar pengadilan. Keterangan tertulis dari ahli kedokteran kehakiman ini, yang diberikan di luar pengadilan, dikenal sebagai visum et repertum. Pengertian yang diberikan Pasal 186 KUHAP, yang terletak dalam Bab XVI: Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan, pada Bagian Keempat: Pembuktian dan Putusan dalam Acara Pemeriksaan Biasa, merupakan pengertian khusus dari istilah keterangan ahli, yaitu pengertian istilah itu di depan sidang pengadilan. Di sidang pengadilan, keterangan tertulis yang diberikan oleh seorang ahli di luar sidang pengadilan, tidak lagi dipandang sebagai alat 12 Ibid., hal. 46. 156

bukti keterangan ahli melainkan sudah merupakan alat bukti surat. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 187 huruf c KUHAP, di mana dikatakan sebagai salah satu alat bukti surat adalah surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya. Perbedaan pengertian istilah keterangan ahli menurut Pasal 1 butir 28 dengan Pasal 186 KUHAP, kemudian telah dijelaskan dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PW.07.03 Th. 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dalam Keputusan Menteri Kehakiman ini dikatakan bahwa, Pengertian umum dari keterangan ahli ini dicantumkan dalam pasal 1 butir 28, yang menyebutkan keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Selanjutnya, dalam pasal 186 menyebutkan pengertian keterangan ahli dalam proses yaitu apa yang seorang ahli nyatakan dalam sidang. Jadi keterangan tersebut harus dinyatakan dalam sidang. 13 Keputusan Menteri Kehakiman ini hanya menjelaskan bahwa pengertian keterangan ahli dalam Pasal 1 butir 28 merupakan pengertian umum, sedangkan pengertian keterangan ahli dalam Pasal 186 merupakan pengertian keterangan ahli dalam proses, yaitu proses di sidang pengadilan. Lebih tepat jika dikatakan bahwa pengertian keterangan ahli dalam Pasal 186 KUHAP merupakan pengertian untuk klasifikasi alat bukti yang akan dijadikan dasar putusan hakim. Hanya apa yang seorang ahli katakan di depan sidang pengadilan yang akan diklasifikasi sebagai alat bukti keterangan ahli. Keterangan yang diberikan oleh seorang ahli, apabila hanya diberikan di luar pengadilan, tidak akan diklasifikasi oleh hakim sebagai alat bukti keterangan ahli. Klasifikasi yang akan diberikan oleh hakim terhadap keterangan ahli seperti ini adalah sebagai alat bukti surat. Dari uraian di atas tampak bahwa ada dua macam tata cara pemberian keterangan ahli, yaitu: 1. Dimintakan oleh penyidik pada tahap pemeriksaan penyidikan. Keterangan ahli yang diberikan atas permintaan pada tahap penyidikan, ada yang berupa laporan tertulis, seperti visum et repertum, dan ada yang merupakan keterangan lisan yang dicatat dalam berita acara. 2. Keterangan ahli yang diminta dan diberikan di sidang pengadilan. Keterangan ahli yang dimintan dan diberikan di sidang pengadilan umumnya berbentuk keterangan lisan yang langsung diucapkan di depan pengadilan. B. Pengaruh Keterangan Ahli terhadap Putusan Pengadilan Berkenaan dengan kedudukan suatu keterangan ahli, pada Pasal 306 ayat (1) HIR diberikan ketentuan bahwa, Berita orang ahli yang diangkat karena jabatan untuk menyatakan pertimbangan dan pendapatnya tentang hal ihwal atau keadaan sesuatu perkara, hanya boleh dipakai untuk memberi keterangan kepada hakim. 14 Dengan demikian di bawah berlakunya sistem HIR, keterangan seorang ahli di depan pengadilan hanyalah berkedudukan sebagai pemberi keterangan terhadap hakim. Keterangan ahli ini tidak berkedudukan sebagai salah satu alat bukti. Wirjono Prodjodikoro memberikan kritik terhadap sistem yang dianut dalam HIR tersebut dengan mengemukakan alasan sebagai berikut, Timbul pertanyaan, apakah keterangan seorang ahli seperti ini dapat dinamakan alat bukti, yaitu sebagai hal yang dapat dipakai oleh Hakim untuk membuktikan yakni untuk menganggap benar adanya hal sesuatu. Pertanyaan ini harus dijawab dengan ya, dapat!, oleh karena keterangan tentang penghargaan dan kesimpulan dari para ahli sering kali mengenai sebab dan akibat dalam suatu perbuatan terdakwa, maka dapat membuktikan pula adanya suatu peristiwa pidana. 13 Ibid., hal. 300-301. 14 R. Tresna, Komentar H.I.R., Pradnya Paramita, Jakarta, cet.ke-6, 1976, hal. 264. 157

Misalnya ada orang yang dibunuh dan ada terdapat suatu luka pada badan si korban. Dari ujud luka ini oleh seorang ahli dapat dikatakan: macam alat yang dipakai untuk melukai yaitu antara lain barang tajam atau barang tumpul. Seorang ahli ini adalah seorang tabib, yang antara lain akan memeriksa pinggir-pinggir dari lukanya. Kalau pada badan seorang korban itu tidak terdapat suatu luka, tetapi sebelum ia meninggal dunia, ada hal-hal padanya yang menimbulkan persangkaan, bahwa ia telah diracun, maka seorang ahli kimia harus diminta pertolongan untuk memeriksa isi perut si korban dan memajukan pendapat tentang sebab dari kematian si korban. Dalam dua contoh ini orang-orang ahli mengemukakan pendapat tentang sebab (oorzaak) dari kematian orang. Sedang untuk menganggap terbukti suatu pembunuhan adalah perlu, bahwa matinya si korban disebabkan oleh sesuatu yang masuk lingkungan tindakan-tindakan seorang terdakwa. Kalau pendapat seorang ahli tentang sebab itu disetujui oleh Hakim, maka Hakim menganggap adanya sebab itu, dan sebetulnya Hakim menganggap terbukti pembunuhan itu antara lain dengan mempergunakan pendapat seorang ahli tentang sebab itu. Dilihat dari sudut ini maka teranglah kiranya, bahwa keterangan seorang ahli dapat dinamakan juga alat bukti. 15 Menurut Wirjono Prodjodikoro, keterangan ahli sering sering kali berkenaan dengan sebab dan akibat dari suatu perbuatan. Dengan diketahuinya hubungan sebab akibat berarti dapat dibuktikan bahwa suatu tindak pidana benar terjadi. Pandangan Wirjono Prodjodikoro yang mengusulkan agar keterangan ahli dimasukkan sebagai salah satu alat bukti akhirnya terwujud dalam KUHAP. Pasal 184 ayat (1) KUHAP secara tegas menunjuk keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti yang sah; sebagaimana yang dapat dilihat dalam rumusan pasal 184 ayat (1) KUHAP di mana ditentukan bahwa aalat bukti yang sah ialah : a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; 15 Ibid., hal. 106-107. d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. Tetapi, sekalipun keterangan ahli telah memiliki kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan dalam sistem HIR, menurut pendapat M. Yahya Harahap seorang Hakim tidaklah secara mutlak terikat pada suatu keterangan ahli. M. Yahya Harahap menulis mengenai masalah kekuatan pembuktian ini sebagai berikut:, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas atau vrij bewijskracht. Di dalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Terserah pada penilaian Hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan bagi Hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud. 16 Keterangan ahli, sebagaimana dikemukakan oleh M. Yahya Harahap, memiliki kekuatan pembuktian bebas (vrij bewijskracht), artinya tidak mengikat hakim melainkan terserah pada penilaian hakim. Tetapi, dengan hanya memiliki kekuatan pembuktian bebas, tidaklah berarti keterangan ahli merupakan alat bukti yang lemah. Pendapat M. Yahya Harahap ini selaras dengan sistem pembuktian negatief-wettelijk yang dianut dalam KUHAP, di mana alat-alat bukti berkedudukan sebagai dasar yang dapat menimbulkan keyakinan Hakim. Jadi, kekuatan suatu alat bukti pada dasarnya masih tergantung pada keyakinan Hakim. Sekalipun demikian, di lain pihak, keterangan ahli tidak dapat diabaikan begitu saja karena keterangan ahli memiliki sifat yang berbeda dengan keterangan saksi. Oleh Wirjono Prodjodikoro dikatakan bahwa, dalam hal kesaksian, Hakim harus yakin tentang kebenaran hal-hal yang dikemukakan oleh saksi, sedang dalam hal keahlian Hakim harus yakin tentang ketepatan pendapat yang dikemukakan oleh seorang ahli. 17 Seorang saksi mungkin saja tidak dapat mengingat secara sepenuhnya suatu peristiwa, 16 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, II, Pustaka Kartini, Jakarta, 1988, hal. 829. 17 Prodjodikoro, Op.cit., hal. 107. 158

salah lihat, salah dengar, sampai kemungkinan berdusta untuk memberatkan atau sebaliknya melindungi suatu pihak. Keterangan ahli lebih bebas dari hal-hal semacam ini. Persoalan dalam keterangan ahli, sebagaimana yang dikatakan oleh Wirjono Prodjodikoro, adalah lebih berkenaan dengan ketepatan pendapat. Dengan demikian, keterangan ahli selayaknya tidak dapat dengan mudah dikesampingkan oleh Hakim. Apabila Hakim belum yakin, maka yang seharusnya dilakukan oleh Hakim adalah mendengarkan keterangan dari seorang ahli yang lain. Hal ini juga dikehendaki oleh KUHAP sebagaimana ditentukan dalam Pasal 180 KUHAP bahwa, (1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan. (2) Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang. (3) Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2). (4) Penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh instansi semula dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai wewenang untuk itu. 18 Menurut pendapat penulis, jika semua ahli memberikan keterangan yang sama, tidak ada alasan bagi Hakim untuk tidak menggunakan keterangan yang diberikan oleh para ahli tersebut. Dari uraian di atas terlihat satu segi lain, yaitu keterangan 1 (satu) orang ahli saja sudah cukup untuk 1 (satu) pokok masalah. Misalnya keterangan 1 (satu) orang ahli permata dipandang sudah cukup untuk membuktikan keaslian suatu permata. Pengecualiannya, hanyalah apabila ada keberatan dari terdakwa atau penasehat hukumnya, atau Hakim masih 18 Ibid., hal. 61. belum yakin, barulah dimintakan keterangan yang lain lagi. Hal ini dapat diterima karena seorang ahli memberikan keterangan dengan dukungan ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Dapat dianggap bahwa ketepatan keterangan seorang ahli merupakan ketepatan ilmu pengetahuan yang bersangkutan. PENUTUP Kesimpulan 1. Jika dalam sistem HIR, keterangan ahli tidak dicantumkan sebagai salah satu alat bukti yang sah, dan kedudukannya hanya sebagai pemberi keterangan saja kepada Hakim, maka dalam sistem KUHAP, keterangan ahli telah memiliki kedudukan sebagai salah satu alat bukti yang sah. Perbedaan rumusan keterangan ahli antara Pasal 1 butir 28 dengan Pasal 186 KUHAP adalah karena Pasal 1 butir 28 dimaksudkan untuk memberikan pengertian umum tentang keterangan ahli, yang mencakup permintaan keterangan ahli di luar dan di depan pengadilan. Pasal 186 memberi pengertian lebih khusus tentang keterangan ahli, yaitu keterangan ahli yang diberikan secara lisan di depan pengadilan. 2. Hakim tidak terikat/tidak wajib tunduk pada apa yang dikemukakan dalam keterangan ahli. Berdasarkan sistem pembuktian negatief-wettelijk (Pasal 183 KUHAP), selain harus ada sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah juga harus ada keyakinan hakim berdasarkan alat-alat bukti tersebut. Sekalipun demikian, Hakim tidak dapat mengabaikan keterangan ahli. Ini karena keterangan ahli berkenaan dengan ketepatan suatu ilmu pengetahuan. Saran 1. Keterangan ahli perlu diatur secara lebih rinci dalam KUHAP. 2. Pasal 188 ayat (2) KUHAP perlu diperbaiki, yaitu dengan penambahan keterangan ahli, sehingga alat bukti petunjuk dapat diperoleh dari: a. keterangan saksi, b. keterangan ahli, c. surat; 159

d. keterangan terdakwa. 3. Karena keterangan ahli adalah berkenaan dengan ketepatan suatu ilmu pengetahuan, maka dalam putusan pengadilan perlu dikemukakan secara tegas dan jelas tentang alasan sehingga tidak diikutinya suatu keterangan ahli. DAFTAR PUSTAKA Enchede, Ch.J., dan A. Heijder, Asas-asas Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1982. Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, II, Pustaka Kartini, Jakarta, 1988. Nasution, A. Karim, Masaalah Hukum Pembuktian dalam Proses Pidana, I, tanpa pemerbit, Jakarta, 1976. Nusantara, Abdul Hakim G., et all, KUHAP dan Peraturan-peraturan Pelaksana, Djambatan, Jakarta, 1986. Prodjodikoro, R. Wirjono, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, cetakan ke-10, 1981. Seno Adji, Oemar, Hukum Pidana Pengembangan, Erlangga, Jakarta, 1985. Subekti, R., Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975. Tresna, R., Komentar H.I.R., Pradnya Paramita, Jakarta, cetakan ke-6, 1976. Sumber lain: In dubio pro reo dalam http://www.rechtslexikononline.de/in_dubio_ pro_ reo.html, translated version by Yahoo! Microsoft Encarta Encyclopedia, 2003. Why They were Indicted dalam (http://emperor.vwh.net/book/book17. htm 160