MANAJEMEN RISIKO PERBANKAN
Perbankan merupakan sektor usaha yang diatur dengan sangat ketat karena alasan-alasan tertentu. Bagian pertama bab ini membicarakan manajemen risiko yang dirumuskan oleh Komite Basel, yang berujung pada perhitungan modal yang berbasis risiko. Pembicaraan diteruskan dengan membahas peraturan manajemen risiko bank di Indonesia. Bagian kedua membicarakan manajemen risiko di Chase Manhattan Bank. Chase merupakan bank dengan operasi global.
RISIKO PERBANKAN Komite Basel merupakan komite yang terdiri dari perwakilan bank sentral dari negara G10 plus dua negara lainnya, yang mempunyai tiga tujuan dalam kaitannya dengan regulasi mengenai perbankan. Ketiga tujuan tersebut adalah: 1. Memperkuat kelayakan dan stabilitas sistem perbankan internasional 2. Menciptakan kerangka yang adil untuk mengukur kecukupan modal bank internasional 3. Mempunyai kerangka yang bisa diterapkan secara konsisten untuk menyamakan level playing field (ketidaksamaan landasan kompetisi) antar bank internasional. Komite tersebut merumuskan regulasi perbankan, yang pada akhirnya banyak diadopsi oleh regulator perbankan di negara lainnya. Bagian ini membicarakan rumusan aturan yang dikembangkan oleh komite Basel. Komite Basel 1 untuk pengawasan perbankan didirikan pada tahun 1974 oleh gubernur bank sentral Negara G10 plus 2 negara lainnya (Spanoly dan Luxemburg).
Tabel 1. Negara anggota Komite Basel Belgia Kanada Perancis Jerman Italia Jepang Belanda Swedia Swis Inggris Amerika Serikat Spanyol Luxemburg
Salah satu rumusan Basel 1 untuk mencapai tujuannya adalah konsep risk weighted assets (Aset berbobot risiko). Aset berbobot risiko adalah aset bank yang dikalikan dengan bobot risiko (risk weight), yang kemudian dipakai untuk perhitungan modal yang disyaratkan. Semakin tinggi risiko aset bank, semakin tinggi bobot risiko aset tersebut. Komite Basel menggunakan lima kategori kelas aset, yang berarti menggunakan lima kategori bobot risiko, yaitu 0%, 10%, 20%, 50%, dan 100%.
Tabel 2. Bobot Risiko Aset Bank Kategori Aset Bobot Risiko (%) Kas Pinjaman kepada pemerintah pusat Negara OECD 0 0 Pinjaman kepada pemerintah local Negara OECD dan sektor public Negara OECD 0-50 Pinjaman antar bank OECD dan bank pembangunan internasional Bank Non-OECD dengan jangka waktu kurang 1 tahun Pinjaman hipotik (mortgage) Pinjaman ke perusahaan dan personal Bank Non-OECD jangka waktu lebih dari 1 tahun Hutang pemerintah non-oecd 20 20 50 100 100 100
Sebagai contoh, misal bank memberikan pinjaman kepada bank non-oecd dengan jangka waktu enam bulan, sebesar Rp1 milyar. Aset berbobot risiko untuk pinjaman tersebut bisa dihitung sebagai berikut ini. Aset berbobot risiko = Rp1 milyar x 20% = Rp200 juta Selanjutnya, Komite Basel merumuskan target rasio modal yang ditetapkan sebesar 8% dari aset berbobot risiko. Target rasio modal bisa dirumuskan sebagai berikut ini. Target rasio Eligible capital Modal 8% = ------------------------------- x 100% = Risk weighted assets Dalam contoh di atas, modal yang diperlukan (yang dipegang) jika bank memberikan pinjaman kepada bank non-oecd adalah: Eligible capital = 0,08 x Rp200 juta = Rp16 juta Perhatikan bahwa jika bank mempunyai aset dengan risiko yang tinggi, maka bank tersebut harus memegang modal yang juga lebih besar.
Ekuivalen Risiko Kredit Item-item off-balance sheet (diluar neraca tetapi mempunyai konsekuensi sama dengan item on-balance sheet) harus dimasukkan dalam perhitungan modal. Contoh item on-balance sheet: hutang Contoh item off-balance sheet: menjamin (berjanji) akan memberikan hutang Item off-balance sheet dirubah ke on-
Tabel 2. Conversion Factor Item Off Balance Sheet Item off-balance sheet Penjaminan Item kontinjensi yang berkaitan dengan transaksi tertentu Perjanjian jual beli dengan recourse (risiko kredit masih di bank) Komitmen lainnya dengan jangka waktu kurang dari satu tahun Komitmen lainnya jangka waktu kurang dari satu tahun, Bisa dibatalkan setiap saat CF (Conversion factor) 100% 50 100 50 0
Kontrak derivative merupakan kontrak kontinjensi (off balance sheet) lainnya, tetapi mendapat perlakukan khusus. Contoh kotrak tersebut adalah forward, futures, opsi, dan swap (lihat bab mengenai derivative). Dalam kontrak derivative, besarnya kewajiban biasanya tidak sebesar nilai nominal kontrak. Sebagai contoh, misal dua bank melakukan swap tingkat bungan dengan nilai nominal Rp1 milyar. Bank A membayarkan tingkat bunga tetap sebesar 10% kepada bank B. Sebaliknya, bank B membayarkan tingkat bunga mengambang ke bank A (misal LIBOR+1%). Jika tingkat bunga LIBOR adalah 11%, maka bank A membayarkan 10%, dan menerima 12%. Dalam hal ini bank A hanya menerima sisa sebesar 2% (12% -10%), kemudian dikalikan dengan nilai nominalnya sebesar Rp1 milyar, yaitu Rp20 juta. Bank A menerima Rp20 juta meskipun nilai kontraknya adalah Rp1 milyar. Ada dua metode perhitungan credit equivalence untuk kontrak derivative, yaitu: Current exposure method Originak exposure method
Current Method Credit equivalence (CE) untuk transaksi derivative sebagai berikut ini. CE = nilai pasar saat ini + (notional amount x add on) Tambahan (add on) dilakukan karena risiko kredit dari transaksi derivative bisa berubahubah (tidak konstan). Untuk mengantisipasi perubahan risiko kredit tersebut, maka ada semacam cadangan kompensasi untuk kenaikan risiko kredit.
Tabel 3. Add-on Perhitungan Derivatif Sisa jangka waktu Tingkat bunga Kurs dan Emas < 1 tahun >1 dan < 5 tahun > 5 tahun 0% 0,5 1,5 1,0 5,0 1,5 Saham 6,0 8,0 10,0 Logam berharga (kecuali emas) 7,0 7,0 8,0 Komoditas lainnya 10,0 12,0 15,0 Misalkan Bank A melakukan kontrak swap dengan bank OECD senilai Rp1 milyar dengan jangka waktu enam tahun. Sisa kontrak adalah dua tahun (kontrak sudah berjalan selama empat tahun). Bank A berjanji untuk membayar bunga tetap 5%, dan akan menerima tingkat bunga LIBOR (tingkat bunga mengambang, bisa berubah-ubah. Biasanya perubahan diatur setiap enam bulan). Tingkat bunga saat ini mengalami kenaikan sehingga swap tersebut bernilai positif, misal nilai pasar kontrak tersebut adalah Rp150 juta. Berapa modal yang harus dipegang bank tersebut?
METODE ORIGINAL EXPOSURE Tabel 4. Credit Equivalence Metode Original Jangka waktu Kontrak tingkat bunga Kontrak Valas dan emas < 1 tahun 1 < jk waktu < 2 tahun Setiap tambahan 1 tahun 0,5% 1,0 1,0 2% 5,0 3,0 Untuk menghitung Credit Equivalence, angka tersebut (dalam tabel di atas), dikalikan dengan nilai nominal untuk perhitungan CE. Dengan metode tersebut, bank tidak perlu untuk menghitung nilai pasar kontrak tersebut.
ELIGIBLE CAPITAL Tier 1: Saham biasa yang disetor penuh dan saham preferen non-kumulatif perpetual, dan disclosed reserves Tier 2: Undisclosed reserves, cadangan dari revaluasi aset, provisi umum, cadangan kerugian kredit, instrument hybrid, dan hutang subordinasi Tier 2 tidak boleh melebihi 50% dari total modal.
Modal dasar tidak memasukkan: Goodwill Investasi pada perusahaan keuangan dan banking yang tidak dikosolidasi Investasi pada modal bank lain dan perusahaan keuangan (berdasarkan kebijakan pengawas di Negara tersebut) Investasi minoritas di perusahaan/bank yang tidak dikonsolidasi Tier 3 hanya bisa digunakan hanya untuk mendukung portofolio perdagangan.
Perbaikan Risiko Pasar (Market Risk Amendment 1996) Metode yang dikembangkan Basel Accord tersebut masih mempunyai kekurangan, terutama sensitivitas terhadap risiko yang dirasa masih kurang. Pada tahun 1996 komite Basel mengeluarkan Market Risk Amendment 1996. Amendment tersebut memfokuskan pada risiko pasar. Perbaikan (amendment) tersebut dilakukan setelah komite melakukan investigasi mengenai metodologi internal yang sering digunakan oleh bank-bank besar untuk mengukur risiko perbankan. Metodologi tersebut seringkali berbeda secara signifikan dengan metode aset berbobot risiko yang dikembangkan oleh komite Basel. Investigasi tersebut mengarah pada penerimaan metodologi internal yang dikembangkan oleh bank-bank besar tersebut. Model kuantitatif yang banyak digunakan oleh bank dan akhirnya diadopsi oleh komite Basel adalah VAR (Value At Risk). Bab mengenai pengukuran risiko pasar membicarakan tehnik perhitungan VAR.
Basel II Basel I mempunyai kelemahan seperti risiko yang dicakup untuk perhitungan permodalan adalah risiko kredit, yang kemudian diperbaiki dengan memasukkan risiko pasar. Bobot risiko untuk risiko kredit masih kasar dimana untuk pinjaman kepada perusahaan, hanya mempunyai satu tingkat pembobotan, yaitu 100%. Padahal risiko kredit perusahaan bisa berbeda satu sama lain. Sebagai contoh, perusahaan dengan rating rendah (misal AAA) mempunyai risiko yang rendah. Menggunakan hanya satu tingkat risiko dengan demikian kurang tepat. Pada tahun 1999, komite Basel bekerja sama dengan beberapa bank besar untuk mengembangkan permodalan bank yang baru. Basel II mempunyai kerangka permodalan yang lebih kompleks dibandingkan dengan Basel I. Dari sisi risiko, jika Basel I hanya membicarakan risiko kredit dengan risiko pasar, maka Basel II memasukkan risiko operasional dan lainnya.
Kerangka (Tiga Pilar) Basel II Pilar 1: Modal minimum Bank diwajibkan menghitung modal minimum yang harus dipegang untuk menutup risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional. Pilar 2: Review Pengawasan Proses review pengawasan ditujukan untuk memformalkan praktek sekarang yang dilakukan banyak regulator, khususnya bank sentral Amerika Serikat dan Inggris. Review pengawasan ditujukan untuk memfokuskan perhatian pada perhitungan modal diatas modal minimum pada pilar 1 dan tindakan awal yang diperlukan jika bank mengalami kesulitan. Pilar 2 juga memasukkan review risiko spesifik yaitu risiko tingkat bunga yang dihadapi perbankan (dituliskan pada paper Juli 2004). Pilar 3: Disclosure Pilar 3 memfokuskan pada disiplin pasar yang didefinisikan sebagai mekanisme corporate governance internal dan eksternal di pasar bebas diluar intervensi lansung dari pemerintah.
Basel II untuk pertama kalinya mencantumkan risiko operasional. Dengan demikian Pilar 1 Basel II mencantumkan risiko kredit, pasar, dan operasional. Risiko operasional didefinisikan sebagai risiko kerugian karena proses internal yang tidak memadai atau gagal, sistem dan orang, dan dari kejadian eksternal. Risiko operasional mencakup aspek yang sangat luas. Beberapa contoh sumber risiko operasional adalah: Risiko eksekusi, gangguan bisnis, transaksi Risiko orang, manajemen yang jelek Risiko criminal, pencurian, perampokan, dan lainnya Risiko teknologi, aset fisik Risiko kepatuhan dan risiko legal Risiko informasi Risiko tersebut mencakup aspek yang luas, meskipun ada beberapa risiko yang belum masuk dalam cakupan risiko operasional, seperti risiko bisnis, risiko strategis, dan risiko reputasi.
Review Pengawasan Basel II memasukkan review pengawasan sehingga regulator bisa meminta bank tertentu untuk meningkatkan modalnya jika regulator merasa bahwa bank tersebut mempunyai risiko yang lebih tinggi (risiko lainnya atau residual risks). Pilar 2 juga mencakup risiko yang spesifik yaitu risiko perubahan tingkat bunga. Jika suatu bank mempunyai risiko tingkat bunga yang tinggi, maka pengawas bank bisa meminta bank tersebut untuk menambah modalnya. Disamping itu Pilar 2 juga mencakup proses pengawasan sehingga tindakan dini bisa dilakukan jika suatu bank mengalami kesulitan.
Manajemen Risiko Perbankan Indonesia Perbankan di Indonesia diawasi oleh Bank Indonesia, yang merupakan bank sentral di Indonesia. Secara umum, Bank Indonesia mempunyai tujuan untuk mempertahankan nilai Rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia bertanggung jawab terhadap: Merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter Menjaga dan mempertahankan sistem pembayaran Mengatur dan mengawasi perbankan Manajemen risiko perbankan diatur melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) 5/8/PBI/2003 yaitu mengenai Pelaksanaan Manajamen Risiko Bank.
Bank diharuskan mengelola risiko secara terintegarsi dan membuat sistem, struktur manajemen yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Bank Indonesia mengharuskan bank untuk mengelola empat risiko berikut ini: Pasar: risiko karena harga pasar yang bergerak ke arah yang tidak menguntungkan Kredit: risiko karena counterparty mengalami gagal bayar (tidak bisa memenuhi kewajibannya) Operasional: risiko yang terjadi karena proses internal yang gagal, tidak memadai, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan masalah eksternal yang mempengaruhi operasi bank Likuiditas: risiko yang terjadi karena bank tidak bisa memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo
Untuk bank yang lebih besar dan kompleks, bank juga diharuskan untuk mengelola risiko: 1. Risiko legal: risiko yang muncul karena tindakan atau tuntutan hukum 2. Risiko reputasi: risiko yang muncul karena publisitas dan persepsi negatif mengenai operasi bank 3. Risiko strategis: risiko karena pelaksanaan strategi yang kurang baik, pengambilan keputusan yang kurang baik, kurangnya respons terhadap perubahan eksternal 4. Risiko kepatuhan: risiko kegagalan bank patuh terhadap hukum, peraturan, dan perundangan yang berlaku
ILUSTRASI MANAJEMEN RISIKO PERBANKAN : CHASE MANHATTAN Chase Manhattan merupakan bank dengan bisnis global yang mencakup tiga kelompok bisnis besar: Global Services, Consumer Services, dan Global Bank Sebagai bank besar, kegiatan bisnis Chase Manhattan lebih luas dibandingkan dengan kegiatan bisnis perbankan tradisional. Kegiatan bisnis perbankan tradisional memfokuskan pada menarik dana dari masyarakat dan meminjamkan dana tersebut. Bank memperoleh interest income dari bisnis tersebut. Kegiatan bank konvensional semacam itu mendatangkan dua risiko, yaitu risiko kredit (jika kredit yang diberikan macet) dan risiko likudiitas (jika masyarakat menarik dananya di luar perkiraan bank). Chase menjual sebagian besar kredit yang diberikan (hampir 90%). Chase kemudian memperoleh pendapatan dari fee (komisi) untuk memulai (credit initiation) dan melayani (servicing) kredit tersebut. Chase mengurangi risiko kredit, menghemat modal yang dipakai untuk bisnisnya (modal tidak perlu terikat pada kredit yang diberikan). Hampir separuh dari laba Chase berasal dari kegiatan pasar modal dan investasi saham individu (private equity investment) risiko pasar cukup besar.
Chase percaya bahwa kunci untuk mengelola risiko adalah diversifikasi dan pengendalian yang kuat. Bagian penting dari proses pengendalian adalah komite manajemen risiko. Chase muluncurkan program SVA sebagai bagian dari manajemen risiko bank tersebut. Chase ingin mengkomunikasikan konsep manajemen risiko yang tidak terlalu kompleks, mudah dipahami oleh semua tingkatan dalam organisasi. SVA pada dasarnya merupakan konsep residual income, yaitu menghitung laba dengan mengurangkan beban untuk modal dari pendapatan operasional. SVA = Pendapatan operasional Beban untuk modal
Bagaimana cara kerja SVA? SVA = Pendapatan operasional beban modal Misalkan ada dua orang trader (A dan B) sama-sama menggunakan dana sebesar Rp100 juta. Trader A memperdagangkan surat berharga pemerintah yang risikonya lebih rendah. Trader B memperdagangkan saham yang risikonya lebih tinggi. Karena risikonya lebih rendah, keuntungan yang disyaratkan (beban modal) untuk A adalah 6%, sedangkan untuk B adalah 11% (karena risikonya lebih tinggi). Jika A ingin memperoleh SVA yang positif, maka ia harus memperoleh keuntungan sebesar minimal 6%, sementara bagi B, ia harus memperoleh keuntungan sebesar minimal 11%. Melalui cara seperti itu, risiko akan secara otomatis diperhitungkan dalam evaluasi kinerja trader tersebut.
Risiko Pasar Chase Chase menggunakan beberapa ukuran risiko pasar, yaitu Value At Risk (VAR), stress-testing, dan ukuran non-statistik lainnya. Ketiga ukuran tersebut diharapkan memberikan gambaran risiko pasar yang komprehensif yang dihadapi oleh Chase. Chase menggunakan VAR harian dengan confidence level 99%. Chase menghitung VAR dengan metode histories, yaitu dengan menggunakan data satu tahun terbaru untuk indikator pasar seperti tingkat bunga, perubahan kurs, harga pasar saham dan komoditas, dengan asumsi indikator tersebut bisa memprediksi kondisi di masa mendatang. Metode simulasi data histories digunakan dengan menggunakan nilai indikator harian pada saat pasar tutup. Chase menghitung VAR untuk setiap posisi individu, dan agregat berdasarkan tipe bisnis, geografis, valuta asing, dan tipe risiko. Tentu saja Chase juga menyadari bahwa validitas model tersebut tergantung dari kualitas data yang dipakai, karena itu Chase juga melakukan back-testing untuk melihat akurasi model VAR tersebut.
Tabel 7. Perhitungan VAR oleh Chase Tingkat bunga Valuta asing Saham Komoditas Investasi Hedge Fund Dikurangi: Diversifikasi portofolio Rata-Rata VAR $20,2 7,0 6,3 3,5 4,1 VAR minimum $10,7 2,3 3,4 1,9 3,1 VAR maksimum $36,5 21,3 10,1 9,0 4,6 VAR 31Des99 $20,0 3,0 7,2 3,4 3,3 VAR 31Des98 $20,1 2,3 4,6 2,6 NA (17,0) NM NM (13,7) (8,9) Total VAR $24,1 $12,3 $41,8 $23,2 $20,7 NM: not meaningful (tidak banyak artinya), karena maksimum dan minimum bisa muncul pada waktu yang berbeda sehingga tidak bisa langsung dipakai untuk menghitung efek diversifikasi NA: not available (tidak tersedia) Sumber: 1999 Chase Manhattan 10-K filing, dikutip dari Barton, etc, 2002.
Chase melengkapi VAR dengan analisis stress-test yang cukup rinci. Berikut ini contoh hasil analisis stress-test yang dilakukan oleh Chase. Tabel 8. Perhitungan Stress Test Oleh VAR Rata-Rata VAR VAR minimum VAR maksimum VAR 31Des99 VAR 31Des98 Potensi Kerugian sebelum pajak- melalui Stress Test $(186) $(112) $(302) $(231) $(150) Sumber: 1999 Chase Manhattan 10-K filing, dikutip dari Barton, etc, 2002.
Ukuran Risiko Pasar Non-Statistik (Non-Kuantitatif) Indikator risiko pasar non-statistik digunakan untuk melengkapi indikator kuantititaif. Indikator yang digunakan antara lain adalah posisi terbuka bersih (net open position), nilai basis poin, konsentrasi posisi, dan perputaran posisi. Indikator tersebut diharapkan memberikan tambahan informasi mengenai besar dan arah dari eksposur. Sebagai contoh, nilai basis poin portofolio menunjukkan apakah perubahan indikator pasar sebesar satu basis poin (1 bps atau 1/100 dari 100%) akan mengakibatkan kerugian atau keuntungan dan seberapa besar.
Manajemen Risiko Pasar Beberapa manajemen risiko pasar yang digunakan oleh Chase adalah penetapan batas VAR dan stress-test yang disetujui oleh Dewan Direksi dan memasukkan ekspsur stress-test dalam metologi perhitungan alokasi modal. Jika batas tersebut terlewati, maka secara otomatis portofolio akan direview. Pengendalian yang pokok dilakukan melalui penetapan batas. Struktur penetapan batas tersebut berlanjut sampai ke level bawah (level trading desk), dan mencakup instrument yang bisa diperdagangkan, pengalaman dari trader, batas non-statistik, dan konsultasi kerugian. VAR dihitung baik pada level agregat maupun unit bisnis. Pembatasan non-statistik diperlukan karena dalam kondisi tertentu, misal krisis keuangan, asumsi statistic tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Batas non-statistik memasukkan faktor-faktor likuiditas pasar, strategi bisnis, kinerja sebelumnya, pengalaman manajer. Batas risiko direview secara regular minimal dua kali dalam satu tahun. Chase juga menggunakan anjuran stop-loss untuk mengendalikan risiko. Dengan demikian, Chase menggunakan indikator statistic (VAR, stress-test), non-statistik, anjuran stop-loss, untuk mengelola risiko pada kondisi pasar normal dan tidak normal
Risiko Kredit Chase menggunakan tehnik statistic untuk mengestimasi kerugian yang diharapkan dan kerugian yang tidak diharapkan (di luar perkiraan). Kerugian yang tidak diharapkan merupakan penyimpangan dari kerugian yang diharapkan. Estimasi tersebut menentukan alokasi biaya kredit untuk unitunit bisnis, yang kemudian dimasukkan ke dalam pengukuran SVA unit bisnis. Untuk kredit ritel (consumer), Chase menggunakan model portofolio yang canggih, model scoring kredit, dan alat kuantitatif lainnya untuk menghitung dan menetapkan standar risiko kredit ritel. Parameter ditentukan sejak awal, dan biaya kredit (misal persentase yang macet) merupakan bagian integral untuk penentuan haga dan evaluasi kredit. Portofolio kredit ritel dimonitor untuk mengidentifikasi penyimpangan dari standar yang diharapkan, dan pergeseran pola perilaku nasabah.
Untuk kredit komersial, proses manajemen risiko kredit dimulai dengan proses pemilihan nasabah. Pendekatan industri global yang dilakukan Chase membantu pengenalan risiko industri yang muncul, sehingga antisipasi bisa dilakukan lebih awal. Nasabah internasional juga penting diperhatikan. Chase memfokuskan pada perusahaan terbesar, pemimpin dalam sektornya, dengan kebutuhan pendanaan internasional. Manajemen konsentrasi kredit juga penting dilakukan. Chase mengelola konsentrasi kredit berdasarkan tingkat risiko, industri, produk, lokasi geografis.
Manajemen Risiko Kredit 1. Mentransfer risiko kredit ke pihak lain melalui penjualan kredit. Chase memberikan kredit sekitar $500 milyar setiap tahunnya, tetapi hanya menahan sekitar 7% dari kredit tersebut. Penjualan semacam itu secara signifikan mengurangi risiko kredit Chase. Chase memperoleh fee dari kegiatan memulai kredit dan pelayanan kredit. Disamping itu modal bisa cepat kembali, yang kemudian diputar lagi. Meskipun penjualan kredit cukup gencar dilakukan oleh Chase, tetapi Chase masih mempertahankan sebagian (kecil) dari kredit tersebut. Chase berargumen bahwa dengan mempertahankan sebagai kredit tersebut, Chase ingin menunjukkan bahwa Chase masih mempunyai komitmen dengan bisnis kredit tersebut. Jika ada kesulitan yang berkaitan dengan kredit, Chase masih bisa membantu dan mempunyai keahlian untuk menangani kredit tersebut. 2. Menggunakan metode SVA untuk mengevaluasi kinerja unit pemberi kredit. Melalui metode SVA, manajer unit kredit akan melihat risiko dari kredit yang akan diberikan sehingga mereka akan berhati-hati dalam mengambil keputusan pemberian kredit.
Risiko Operasional Kerugian dari risiko operasional lebih sulit diprediksi dan lebih sulit untuk dikuantifisir. Risiko operasional mencakup hal-hal seperti kejahatan oleh karyawan atau pihak luar, transaksi yang tidak diberi otorisasi, kesalahan pencatatan, kesalahan karena sistem computer atau telekomunikasi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Chase sudah melakukan pengendalian yang cukup, tetapi tidak ada jaminan bahwa kerugian akibat risiko operasional tidak terulang di masa mendatang.
Risiko operasional akan mempengaruhi perhitungan SVA, tetapi metodologi pengukuran risiko operasional masih relative sederhana. Perhitungan modal berdasarkan risiko operasional dilakukan setiap kuartal. Perhitungan risiko operasional didasarkan pada tiga hal: Biaya operasional (dalam dolar) Skor dari audit internal Ranking evaluasi risiko Manajer unit yang memperoleh skor risiko A (risiko rendah), maka modalnya (berbasis risiko) akan diperhitungkan lebih rendah, sehingga akan meningkatkan SVA manajer tersebut.
Disamping audit internal untuk mengevaluasi risiko operasional, Chase juga menggunakan COSO based selfassessment program untuk mengevaluasi risiko operasional. Melalui program tersebut, manajer diminta untuk mengevaluasi risiko operasional di unit bisnis yang dibawahinya, menggunakan kerangka yang dikembangkan oleh COSO (Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission). Kuesioner tersebut menjadi salah satu masukan untuk skor dari audit internal dan ranking evaluasi risiko. Bab mengenai risiko operasional menyajikan lebih lengkap evaluasi diri (self-evaluation) yang dilakukan untuk mengevaluasi risiko operasional Chase Manhattan dengan menggunakan kerangka COSO tersebut.