BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Dismenorea 2.1.1. Pengenalan. Dismenorea primer merupakan nyeri yang yang disebabkan oleh kontraksi uterus saat datangnya haid atau menstruasi tanpa adanya bukti kelainan yang patologis pada seseorang yang menderita dismenorea tersebut, ianya terjadi kira-kira kurang lebih 50% pada wanita yang mengalami menstruasi. Dismenorea yang di alami oleh sesetengah wanita ini menyebabkan terganggunya kualitas hidup dan merupakan alasan yang paling sering ketidakhadiran di tempat kerja maupun sekolah (Burnett et al, 2005). Berdasarkan pemahaman yang terkini menyatakan bahawa penyebab terjadinya dismenorea ini adalah akibat dari jumlah prostanoid dan juga kemungkinan eicasaniod yang dilepaskan oleh dinding endometrium uterus yang tidak seimbang dan juga berlebihan saat menstruasi. Pada saat menstruasi, uterus di induksi untuk berkontraksi secara berulangulang dan tidak teratur, sehingga terjadinya peningkatan tonus basal dan juga tekanan. Hiperkontraktilitas dari uterus akan menekan pembuluh darah di sekitarnya dan mengurangkan aliran darah dan juga terjadi peningkatan hipersensitivitas saraf perifer dan terjadinya nyeri di uterus tersebut. Jadi, untuk menegakkan diagnosa dismenorea ini haruslah disertai dengan anamnese yang baik dan dilakukan evaluasi supaya tidak dijumpai kelainan organik lain. Berdasarkan data dari evidence-based mendukung bahawa penghambat siklooksigenase seperti ibuprofen, naproxen sodium dan juga ketoprofen. Penghambat siklooksigenase ini bekerja dengan mengurangi jumlah sekresi prostanoid dengan secara bersamaan mengurangi hiperkontraktilitas uterus dan seterusnya mengurangi nyeri yang dialami (Dawood, 2006).
2.1.2. Etiologi Banyak teori telah dikemukan untuk menerangkan penyebab dismenore primer, tetapi patofisologinya belum jelas dimengerti. Rupanya beberapa faktor lain memegang peranan sebagai penyebab dismenorea primer antara lain: a. Faktor kejiwaan: pada gadis-gadis yang emotional yang tidak stabil, apalagi mereka yang tidak mendapatkan penerangan yang baik tentang proses haid, timbullah dismenorea (Wiknjosastro, 2005) b. Faktor konstitusi: Faktor ini, yang erat hubungannya dengan faktor kejiwaan, dapat juga menurunkan ketahanan terhadap rasa nyeri. Faktor-faktor seperti anemia, penyakit menahun dan sebagainya dapat mempengaruhi timbulnya dismenorea (Wiknjosastro, 2005) c. Faktor obstruksi kanalis servikalis: salah satu teori yang paling tua untuk menerangkan terjadinya dismenorea primer adalah stenosis kanalis servikalis. Pada wanita dengan uterus hiperantefleksi mungkin dapat terjadi stenosis kanalis servikalis, akan tetapi hal ini sekarang tidak dianggap sebagai faktor yang penting sebagai penyebab dismenorea. Banyak wanita menderita dismenorea tanpa adanya setenosis servikalis dan tanpa uterus dalam hiperantefleksi. Sebaliknya, terdapat banyak wanita tanpa keluhan dismenorea, walaupun adanya stenosis servikalis dan uterus terletak dalan hiperantefleksi atau hiperretrofleksi (Wiknjosastro, 2005) d. Faktor endokrin: pada umumnya ada anggapan bahawa kejang yang tejadi pada dismenorea primer ini disebabkan oleh kontraksi uterus yang berlebihan. Faktor endokrin mempunyai hubungan dengan soal tonus dan kontraktilitas otot usus. Novak dan Reynolds yang melakukan penelitian pada uterus kelinci berkesimpulan bahawa hormon estrogen merangsang kontraktilitas uterus, sedangkan hormon progesteron menghambat atau mencegahnya. Tetapi teori ini tidak dapat menerangkan fakta mengapa tidak timbul rasa nyeri pada pendarahan disfungsional anovulator, yang biasanya bersamaan dengan kadar estrogen yang berlebihan tanpa adanya progesteron ( Wiknjosatro,2005)
Penjelasan lain diberikan oleh Clitheroe dan Pickles. Mereka menyatakan bahwa karena endometrium dalam fase sekresi memproduksi prostaglandin F2 yang menyebabkan kontraksi otot-otot polos. Jika jumlah prostaglandin yang berlebihan dilepaskan ke dalam peredaran darah, maka selain dismenorea, dijumpai pula defek umum seperti diare, mual, muntah dan flushing. Faktor alergi: teori ini dikemukakan setelah memperhatikan bahawa adanya asosiasi antara dismenorea dengan urtikaria, migraine atau asma bronkiale. Smith menduga bahawa sebab alergi adalah toksin haid. Penyelidikan dalam tahun-tahun terakhir ini menunjukkan bahawa peningkatan kadar prostaglandin memegang peranan penting dalam etiologi dismenore primer ( Wiknjosatro, 2005). 2.1.3. Gejala Klinis Dismenorea primer biasanya terjadi saat usia menarke atau setelah beberapa bulan selepas haid yang pertama, yaitu kira-kira dalam masa 6 bulan karena dismenore ini biasanya terjadi semasa siklus ovulatori yang mana tidak semestinya pada saat usia menarke saja. Jangka masa yang paling lambat timbulnya dismenorea ini adalah lebih kurang satu tahun setelah haid yang pertama, apabila terjadi lebih dari satu tahun setelah menarke, harus curiga bahwa itu adalah dismenorea sekunder yaitu nyeri haid yang terjadi akibat dari kelainan organik di sistem reproduksi wanita tersebut. Karakteristik dari dismenorea ini adalah perasaan nyeri spasm dan berfluktuasi dan kadang-kadang dikatakan nyerinya sakit seperti mahu melahirkan, yang bermula hanya beberapa jam sebelum atau saat menstruasi ( Dawood, 2006) Lamanya dismenorea ini hanya akan berakhir kira-kira 2 hingga 3 hari. Nyeri akibat menstruasi ini paling parah dirasakan pada hari yang pertama atau hari yang kedua atau lebih tepatnya adalah 24 hingga 36 jam pertama masa menstruasi, dan nyerinya adalah konsisten sesuai dengan peningkatan jumlah prostaglandin di dalam darah menstruasi. Lokasi nyerinya adalah disekitar daerah suprapubik dan menyebar
ke dalam paha. Nyeri yang mencengkam ini biasanya disertai dengan nyeri di daerah punggung, mual, muntah dan juga diare. Pada kasus yang lebih serius, nyeri yang dirasakan pada daerah abdominal seakan-akan seperti nyeri akibat hamil di luar rahim (ectopic pregnancy). Pemeriksaan secara umum pada bahagian pelvis haruslah dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan tersebut. Sekiranya tidak terdapat apa-apa kelainan pada pemeriksaan tersebut, diagnosa dismenorea primer bisa ditegakkan. Latar belakang yang harus ditanyakan untuk menegakkan diagnosa ini termasuklah onset dismenorea primer dengan usia menarke, onset timbulnya gejala dengan onset datangnya menstruasi dan juga lamanya terjadi nyeri mencengkam ini ( Dawood, 2006). 2.1.4. Patofisiologi Kemajuan pada tiga dekade yang lalu dan juga pemahaman yang terbaru mengutarakan bahwa terjadinya dismenorea primer ini adalah akibat dari peningkatan prostanoid dan juga kemungkinan sekresi eicosanoid yang mana kedua-dua ini menyebabkan terjadinya kontraksi uterus. Kontraksi yang terjadi menghalang dan mengurangi aliran darah menstrual yang memicu terjadinya hipoksia pada dinding uterus. Peningkatan sekresi prostanoid yang merupakan penyebab utama terjadinya dismenorea primer di dukung oleh beberapa faktor yaitu: 1. Persamaan yang nyata antara gejala klinis dismenorea primer dengan kontraksi uterus pada persalinan dan aborsi yang diinduksi oleh prostaglandin. 2. Bukti menyatakan bahwa adanya korelasi antara jumlah prostanoid di dalam darah menstrual wanita yang mengalami dismenorea primer jika dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami dismenorea (eumenorrheic). 3. Terdapat banyak percobaan klinikal yang melakukan demostrasi tentang efikasi siklooksigenase (COX) inhibitor dalam mengurangi nyeri akibat dismenorea melalui
supresi dan pengurangan secara kuantitatif terhadap volume prostaglandin di alam darah menstruasi (Ronald, 2001) 2.1.4.1. Prostanoids Pada dismenorea primer, peningkatan kontraktilitas uterus yang terjadi adalah sama dengan terjadinya kontraktilitas uterus yang terjadi setelah diinduksi oleh prostaglandin seperti pada kasus aborsi dan juga persalinan. Simptom lain seperti mual, muntah dan juga diare yang terjadi kira-kira 60% pada pasien dismenorea adalah sama dengan efek samping akibat prostaglandin. Menurut pickles dan rakan-rakan (1963), menyatakan bahawa terdapat peningkatan menstrual stimulan atau prostaglandin di dalam darah menstrual wanita yang mengalami dismenorea primer jika dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami dismenore (Ylikorkala dan Dawood, 1978). Secara umumnya, semua wanita yang mengalami dismenorea primer, terdapat peningkatan prostaglandin F 2 (PGF 2 ) ketika fase menstruasi. Pelepasan prostaglandin ke dalam darah menstruasi merupakan suatu proses terjadi terusmenerus dan kadang-kadang sebaliknya. Intensitas atau tingkat keparahan nyeri yang dialami berkadar langsung dengan jumlah PGF 2. Berdasarkan informasi seperti di bawah:
Gambar 2.1.- Terdapat korelasi antara kadar prostaglandin F2 yang di keluarkan per jam dengan tingkat keparahan dismenorea. (Williams and Wilkins, 1982). Prostaglandin dan juga prostanoid disintesis dari asam arakhidonat melalui jalur COX. Asam arakhidonat merupakan hasil dari hidrolisa fosfolipid oleh enzim fosfolipase. Sekiranya persenyawaan tidak berlaku pada fase luteal, kadar hormon progesterone berkurang pada fase akhir luteal, terjadi labilisasi lisosomes dan terjadi pelepasan enzim fosfolipase yang akan menghidrolisa fosfolipid dari membran sel untuk menghasilkan asam arakhidonat. Berikut merupakan kaskade bagaimana terbentuknya prostaglandin dan juga prostanoid yang mana merupakan penyebab terjadinya dismenorea (Dawood, 2006).
Gambar 2.2. Proses pembentukan prostaglandin Fosfolipid fosfolipase Asam arakhidonat siklooksigenase Siklik endoperoxidase (PGG 2, P 2 H 2 ) Prostasiklin sintetase Isomerase, reduktase Tromboxane sintetase Prostasiklin PGI2 prostaglandin (PGFa 2, PGE 2 ) tomboxane a 2 (TxA 2 ) 2.1.4.2. Kontraksi Uterus Pada wanita yang normal, bentuk kontraksi yang terjadi adalah normal yang mana di pengaruhi oleh hormon seks, prostaglandin dan juga bahan-bahan uterotonik yang lain selama masa menstruasi. Saat menstruasi pada wanita yang normal, tonus basal uterus adalah minimal yaitu kurang dari 10mmHg dan terdapat hanya 3 hingga 4 kali kontraksi pada interval 10 menit dan tekanan yang aktif bisa mencapai 120 mmhg dan kontraksinya adalah sinkron. Berbeda dengan pasien yang mengalami dismenorea, terdapat empat kali kontrkasi yang abnormal pernah dilaporkan termasuklah peningkatan tonus basal (lebih dari 10mmHg), tekanan aktif yang lebih dari 120mmHg dan biasanya melebihi 150 hingga 180 mmhg, terdapat juga peningkatan jumlah kontraksi per menit (4 atau 5 kali) dan kontrkasinya tidak teratur. Abnormalitas ini juga memicu kepada kurangnya reperfusi dan oksigenasi dan meningkatkan intensitas nyeri (Lundstrom et al, 1976).
2.1.4.3. Aliran Darah Uterus Studi untuk menentukan aliran darah di uterus pada wanita adalah sulit karena memerlukan metode invasif yang tinggi dan memerlukan teknik yang mencabar termasuklah hidrogen clearance, nitrus oxida elektromagnetik flowmeter dan juga metode-metode lainnya. Pada wanita yang menstruasinya normal, kontraksi uterus tidak memberi efek pada pengaliran darah menstrual, berbeda dengan wanita yang mengalami dismenorea, kontrakasi uterus yang abnormal dan kuat akan menghambat dan mengurangkan aliran darah dan menyebabkan dinding miometrium menjadi iskemik dan menyebabkan nyeri. Contoh-contoh perubahan seperti ini bisa dilakukan dengan menginduksi kontraksi uterus secara farmakologi yang mana sekiranya zat tersebut berlebihan akan menghasilkan nyeri seperti mencengkam. Adminstrasi zat uteriolitik seperti NSAID akan mengurangkan hiperkontraltilitas aliran darah kembali normal (Altunyurt S, 2005). 2.2. Penanganan Dismenorea Terdapat tiga pendekatan yang utama untuk dismenorea primer yaitu, secara farmakologi, non farmakologi dan juga secara surgikal. Akan tetapi, penanganan secara farmakologi adalah lebih baik dan lebih efektif. Untuk menilai efikasi dari pengobatan, adalah sangat penting untuk menilai bukan saja pengurangan sakit, tapi efek plasebo terhadap 30-40% subjek penelitian yaitu pasein yang mengalami dismenorea (Dawood,1991). Riset telah mengidentifikasi bahwa terjadinya produksi prostaglandin yang berlebih dalam pada uterus yaitu (PGFa2 dan PGE2) yang mana merupakan faktor kontribusi terjadinya dismenorea primer. Non-steriod anti-inflammatory drugs (NSAID) merupakan analgesik yang mana akan menginhibisi enzim siklooksigenase (COX) dengan menginhibisi pembentukan prostaglandin. Pada satu penelitian metaanalisis
terhadap 56 percobaan, 4 jenis NSAID telah di evaluasi (naproxen, ibuprofen, asam mefanamat dan aspirin), keempat-empat jenis obat ini adalah efektif mengobati dismenorea primer, dan juga menjadikan rutin harian menjadi lebih baik. Terdapat juga penelitian lain, dilakukan penelitian terhadap 63 orang yang menderita dismenorea primer, dikatakan bahawa NSAID adalah lebih efektif secara bermakna untuk mengurangkan nyeri jika dibandingkan dengan placebo (Ronald, 2001). Tabel 2.1 Contoh-contoh obat NSAID adalah: Kelas NSAID Contoh obat NSAID COX-nonselektif -aspirin - indometasin - piroksikam -ibuprofen -naproxen -asam mefenamat NSAID COX-2 preferential - nimesulid - meloksikam - nabumeton - diklofenak - etodolak NSAID COX-2 selektif Generasi 1 - selekoksib -rofekoksib -valdekoksib Generasi 2 - lumirakoksib (Wilmana dan Gan, 2008)
2.2.1. Mekanisme Kerja dari NSAID Mekanisme kerja berhubungan dengan sistem biosintesis prostaglandin mulai dilaporkan pada tahun 1971 oleh Vane dkk yang memperlihatkan secara invitro bahwa dosis rendah aspirin dan indometasin menghambat produksi enzimatik prostaglandin. Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi dari asam arakidonat menjadi PGG 2 terganggu. Apabila terganggunya pembentukan siklik endoperoksidase (PGG 2 ) akan menyebabkan prostaglandin tidak akan terbentuk. Maka terjadilah pengurangan kontraksi uterus dan nyeri daerah suprapubik, vasodilatasi pembuluh darah dan terjadinya peningkatan ambang nyeri pada saraf yang diakibatkan oleh kadar prostaglandin dan juga prostanoids di dalam uterus serta dalam darah menstruasi. Mekanisme kerja obat NSAID adalah berikut seperti dibawah: Gambar 2.3. Cara kerja dari analgesik NSAID terhadap pembentukan prostaglandin. Fosfolipid fosfolipase Asam arakhidonat NSAID siklooksigenase Siklik endoperoxidase (PGG2, P2H2) Prostasiklin sintetase isomerase, reduktase tromboxane sintetase Prostasiklin PGI2 prostaglandin (PGFa2, PGE2) tomboxane a2 (TxA2) (Dawood, 2006) Kontraksi otot uterus Vasokontriksi pembuluh darah Hipersensitisasi saraf nyeri
Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan kekuatan dan selektivitas yang berbeda. Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform disebut COX-1 dan COX-2. kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda dan ekspresinya bersifat unik. Secara garis besar COX-1 esensial dalam pemeliharaan berbagai fungsi dalam kondisi normal di berbagai jaringan khususnya di ginjal, saluran cerna dan trombosit (Wilmana, Sulista Gan, 2008). 2.3. Efek NSAID terhadap Volume Darah Menstruasi. Secara anatomi, uterus terbentuk dari 3 lapisan otot yaitu lapisan paling luar terdiri dari otot yang disusun secara longitudinal, lapisan tengah yang paling tebal disusun oleh serabut-serabut otot yang saling mengunci dan lapisan yang paling dalam disusun secara sirkular. Kedudukan pembuluh darah pula adalah berada di antara serabut-serabut otot pada lapisan tengah (Ten Teachers, 2006). Pada saat menstruasi, kontraksi dari otot uterus akan menjepit pembuluh darah yang berada diantaranya dan ditambah pula vasokonstriksi pembuluh darah yang terjadi akibat dari kadar prostaglandin dan prostanoid yang berlebihan saat menstruasi pada penderita dismenorea, akibatnya aliran darah menstrual menjadi sulit dan terganggu. Penggunaan obat-obatan analgesik seperti NSAID yang mekanismenya menghambat pembentukan prostaglandin, akan menyebabkan kontraksi uterus tidak lagi terjadi dan nyeri turut berkurang, pembuluh darah tidak lagi dijepit, maka aliran darah menstruasi tidak lagi dihambat oleh kontraksi uterus, sehingga seterusnya volume darah menstruasi turut meningkat (Dawood, 2006)