III. METODA PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS NILAI KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT, MALUKU

III. METODE PENELITIAN

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. 1. Pangkep 4 33' ' ' ' 2, Takalar , Bulukumba

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

III. METODOLOGI KAJIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Batasan Penelitian...

III. BAHAN DAN METODE

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 hingga Maret 2014.

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

BAB III METODE PENELITIAN

3 METODOLOGI. Laut Jawa. D K I J a k a r ta PULAU JAWA. Gambar 3. Lokasi Penelitian (Kabupaten Tangerang) S e l a t M a d u r a.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way

IV. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

BAB III METODE KAJIAN

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

BAB III METODE PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN

METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Lokasi

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

3 METODE UMUM PENELITIAN

III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

IV METODE PENELITIAN Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperkuat dan mendukung analisis penelitian adalah:

III METODE PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

III METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN GALANGAN KAPAL UNTUK PEMBANGUNAN KAPAL TANKER DI PULAU BATAM

BAB III METODE PENELITIAN

OLEH : TOMI DWICAHYO NRP :

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

ANALISIS DATA Metode Pembobotan AHP

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

III. METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT

3. METODOLOGI PENELITAN

METODE PENELITIAN. 4.1 Metode Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Amalia, ST, MT

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

BAB 2 LANDASAN TEORI

METODE PENELITIAN. San Diego Hills. Visi dan Misi. Identifikasi gambaran umum perusahaan dan pasar sasaran

Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian

BAB III PENGOLAHAN DATA. Pada bab ini akan dibahas tentang aplikasi dan pelaksanaan penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini.

METODE PENELITIAN. Gambar 3. Citra Landsat TM Kabupaten Belu Tahun 2002 dan 2003

III. METODE PENELITIAN

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

METODOLOGI PENELITIAN

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Teknik Pengambilan Data Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Kepiting Bakau

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D)

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 di Repong Damar Pekon

III. METODOLOGI KAJIAN

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

Transkripsi:

III. METODA PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB),yang terdiri dari empat kecamatan, yaitu Kecamatan Seram Barat, Kecamatan Huamual Belakang; Kecamatan Taniwel dan Kecamatan Piru. Batas koordinat wilayah Pulau Seram mulai dari 127 o 28 16,33 sampai 128 o 50 31,59 Bujur Timur dan 2 o 49 46,93 sampai 3 o 34 15,45 Lintang Selatan (Gambar 3). Penentuan stasiun pengamatan dilakukan berdasarkan data Citra Satelit landsat 7 ETM+ akuisisi 2004 dan peta penyebaran dan kerusakan mangrove. Stasiun pengamatan terdiri dari empat stasiun dengan luasan mangrove yang berbeda, yaitu Stasiun I : Teluk Piru, Kecamatan Seram Barat (751,66 Ha); Stasiun II dan III : Teluk Kotania dan Pelita Jaya, Kecamatan Seram Barat (553,84 Ha); Stasiun IV : Selat Seram, Kecamatan Piru (187,49 Ha). Waktu penelitian dilaksanakan selama 12 bulan mulai bulan April 2007 sampai Maret 2008. Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian 35

3.2. Alat dan Bahan Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain : seperangkat komputer, perangkat lunak ERDAS Imagine 9.1 digunakan untuk pengolahan data citra secara digital dan ArcView ver 3.3 digunakan untuk overlay citra dan tampilan citra; Criterium Decision Plus digunakan untuk AHP; dan peralatan lapangan berupa: Global Positioning System (GPS), kompas, meteran dan tali sheet. Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah : Citra Landsat 7 ETM + wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat tahun 2003 dan tahun 2005; peta dasar Kabupaten Seram Bagian Barat berupa peta topografi, peta land use, peta sebaran dan kerusakan mangrove; Peta Rupa Bumi Indonesia (1 : 250.000) daerah Maluku. 3.3. Tahapan Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan dalam empat tahapan secara sekuensial. Tahapan penelitian dideskripsikan sebagai berikut : 1. Tahap pertama: mengidentifikasi indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan berdasarkan studi literatur dan pengamatan di lapangan. 2. Tahap kedua : menginventarisasi dan menganalisis kondisi ekologi, ekonomi dan sosial. a. Aspek ekologi, menginventarisasi dan menganalisis keadaan vegetasi, satwa dan perubahan penutupan lahan mangrove. Analisis yang digunakan adalah analisis vegetasi, analisis deskriptif dan analisis perubahan penutupan lahan (land cover). Analisis ini akan menghasilkan keadaan vegetasi (kerapatan, frekwensi, dominansi dan INP), keadaan satwa (jumlah, jenis dan penyebaran) serta keadaan perubahan penutupan lahan mangrove. b. Aspek ekonomi, menginventarisasi dan menganalisis data ekonomi masyarakat, yang meliputi tingkat pendapatan masyarakat dan nilai manfaat langsung hutan mangrove serta peran hutan mangrove bagi pembangunan wilayah. Analisis yang digunakan adalah Analisis Nilai Ekonomi (Direct Use Value) yang akan menghasilkan nilai manfaat langsung hutan mangrove bagi masyarakat. Disamping itu dilakukan analisis deskriptif untuk mengetahui peran hutan mangrove bagi pembangunan ekonomi wilayah. 36

c. Aspek sosial, menginventarisasi data karakteristik sosial responden yang meliputi : jumlah penduduk, tingkat pendidikan, mata pencaharian, peranserta masyarakat, akses masyarakat di sekitar hutan mangrove dan pola hubungan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove. Selanjutnya dilakukan analisis deskriptif. Analisis ini akan mendeskripsikan kondisi sosial masyarakat di sekitar hutan mangrove. 3. Tahap ketiga : menganalisis nilai indeks keberlanjutan sistem pengelolaan hutan mangrove dengan menggunakan Rap-Mforest metode Multidimensional Scaling (MDS) modifikasi dari Rapfish. 4. Tahap keempat : menentukan prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat. Kebijakan ini disusun dalam hirarkhi prioritas kebijakan dengan menggunakan model AHP. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. Tahap 1 Menentukan indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan Kajian kondisi ekosistem Tahap 2 EKOLOGI EKONOMI SOSIAL Tahap 3 Menentukan nilai indeks keberlanjutan Analisis Rap-Mforest Menentukan prioritas kebijakan Tahap 4 AHP Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan Gambar 4. Diagram Alir Tahapan Penelitian 37

3.4. Metode Pengumpulan Data Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Kebutuhan data primer diperoleh melalui survey ke lokasi penelitian. Pengambilan data vegetasi dilakukan dengan metode transek ukuran 10 x 10 m terhadap semai, belta dan pohon. Data primer sosial ekonomi dilakukan dengan teknik wawancara dengan masyarakat yang berdomisili di sekitar areal hutan mangrove. Pengumpulan data utama dilakukan dengan kuesioner, pendapat Pakar dan dokumentasi. Wawancara dilakukan juga dengan pakar dan informan kunci dari stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Teluk Kotania dan Teluk Piru yaitu : petugas dari Dinas Kehutanan Seram Bagian Barat, Dinas Perikanan dan Kelautan Seram Bagian Barat, Bapedalda Maluku, Bappeda Seram Bagian Barat, Dinas Lingkungan Hidup, LSM, Tokoh masyarakat, serta peneliti dari Perguruan tinggi dan LIPI Ambon. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran dokumen - dokumen yang berkaitan dengan wilayah penelitian meliputi :data statistik kecamatan/desa, data hasil penelitian sebelumnya serta dokumendokumen ilmiah lainnya dari berbagai instansi terkait yang relevan untuk bahan penelitian. Secara rinci, metode pengumpulan data penelitian disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Metode Pengumpulan Data Penelitian No Jenis Data Metode Sumber Data 1. Data Primer Data vegetasi Survey Wilayah Pesisir SBB Data satwa Survey Wilayah pesisir SBB Data fisik Survey, SIG Citra Landsat, Peta topografi, Peta RBI Data Sosek Wawancara, Masyarakat wilayah pesisir Aspirasi Stakeholder, Masyarakat, LSM, Pendapat Pakar, Instansi terkait,pemkab SBB, MDS, AHP Peneliti. 2. Data Sekunder : Data demografi Penelusuran dokumen BPS, Pemkab SBB, Pemda Maluku, LIPI Ambon, UNPATTI dan instansi terkait Data penelitian sebelumnya Penelusuran dukumen LIPI dan UNPATTI. 38

3.5. Analisis Data 3.5.1 Analisis Vegetasi Hasil pencacahan analisis vegetasi digunakan untuk menghitung kerapatan jenis, frekuensi jenis, dominansi jenis, dan indeks nilai penting (Kusmana, 1995 dan Bengen, 2000) sebagai berikut : 1. Kerapatan Jenis i (D i ) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area. Rumus : D i n i = A dan ni RDi = X 100 % n dimana : D i = Kerapatan jenis i (Ind/m 2 ); A = Luas total area pengamatan sampel (m 2 ); n i = Jumlah total tegakan jenis I; RD i = Kerapatan relatif jenis I (%) dan n = Jumlah total tegakan seluruh jenis 2. Frekuensi Jenis i (F ) adalah peluang kehadiran jenis i dalam plot. Rumus : dan F i = i P i P Fi RFi = X 100 % F dimana : Fi = Frekuensi jenis i; P i = Jumlah plot ditemukannya jenis i; p = Jumlah total plot yang diamati; Rf i = Frekwensi relatif jenis i (%); F = Jumlah frekwensi seluruh jenis 3. Dominansi jenis i (C i ) adalah Luas penutupan jenis i dalam plot. Rumus : BA C i = A dan Ci RCi = C x 100 % dimana BA = π DBH 2 /4 39

dimana : C i = dominansi jenis dalam satu unit area ; A = Luas total plot (m 2 ) ; C = Jumlah penutupan dari semua jenis ; RCI = Penutupan relatif jenis i (%) ; DBH = lingkar batang (m) 3. Indeks Nilai Penting (INP) merupakan nilai penting dari jenis mangrove berkisar antara 0 sampai 300 %. Nilai penting ini memberikan gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas itu sendiri, rumusnya : INP = KR + FR + DR dimana : KR = kerapatan relatif jenis ; FR = Frekuensi relatif jenis ; DR = dominansi relatif jenis. 4. Keanekaragaman Keanekaragaman yang diwujudkan dalam indeks keanekaragaman adalah suatu penggambaran keanekaragaman berdasarkan nilai penting jenis dalam komunitas. Indeks keanekaragaman yang digunakan adalah indeks keanekaragaman Shannon Wiener (Magurran,1991) : H = - pi log2 pi = ni/n log2 ni/n dimana ; p i = proporsi species ke-i.= n i /N n i = banyaknya individu species ke-i N= total banyaknya individu 3.5.2. Analisis Perubahan Penutupan Lahan (Land cover) Analisis perubahan penutupan lahan (land cover) hutan mangrove dilakukan dengan metode SIG yaitu dengan overlay terhadap dua citra yang telah diolah, sehingga dapat diketahui perubahan luasan obyek yang diamati. Dengan cara ini dapat diketahui luas perubahan penutupan lahan yang terjadi pada ekosistem hutan mangrove. Adapun tahapan-tahapannya sebagai berikut : 1. Persiapan data Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2001 dan 2005. 2. Pemulihan Citra (Image restoration) (Lillesand dan Kiefer, 1990) 40

Pemulihan berfungsi untuk memulihkan citra yang mengalami distorsi atau rusak, ke arah gambaran yang sebenarnya atau ke arah yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di bumi, sehingga citra dapat bermanfaat untuk analisis. Langkah yang dilakukan yaitu dengan menggunakan koreksi geometrik. Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan metode berdasarkan titik kontrol lapangan (GCP) dengan tahapan sebagai berikut : Pemilihan titik kontrol lapangan (GCP) secara tersebar merata di seluruh citra pada obyek yang relatif permanen dan tidak berubah dalam kurun waktu pendek Perhitungan root mean squared error (RMSE) setelah GCP terpilih. Sebaiknya RMSE bernilai kurang dari 0,5 piksel. Resampling, yaitu proses penerapan alih ragam geometrik terhadap data asli. 3. Pemotongan Citra (image cropping) Pemotongan citra dilakukan untuk membatasi citra sesuai dengan lokasi yang akan diteliti. Pemotongan dilakukan setelah citra tersebut dikoreksi. 4. Penajaman Citra (image enhancement) (Lillesand dan Kiefer, 1990) Penajaman citra dilakukan untuk menguatkan tampakan kontras diantara kenampakan pada citra, sehingga meningkatkan jumlah informasi yang dapat diinterpretasikan secara visual pada citra. False colour composite (FCC) merupakan penajaman dengan menggunakan warna dalam meningkatkan kontras citra dengan menggabungkan tiga warna primer, yaitu : biru, hijau dan merah. Pada citra Landsat, FCC yang digunakan untuk mendeteksi atau membedakan secara visual hutan mangrove dengan hutan darat adalah citra komposit warna semu RGB kombinasi band 453. 5. Klasifikasi Citra (image classification) (Lillesand dan Kiefer, 1990) Dalam penelitian ini klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification). Klasifikasi tidak terbimbing merupakan klasifikasi tanpa menggunakan daerah contoh yang ditetapkan. Klasifikasi dilakukan berdasarkan nilai piksel secara statistik dan kelas yang diperoleh merupakan kelas yang abstrak. Jumlah kelas citra Landsat tahun 2003 sama dengan jumlah kelas tahun 2005. Citra klasifikasi yang sebelumnya memiliki format data raster (*. ers) dikonversi 41

menjadi format data vektor (*.shp) pada Arc View 3.3 untuk mengetahui jumlah luasan penutupan lahan. 6. Setelah format diseragamkan citra dianalisis dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi (GIS) dengan software Arc view 3.3. Proses overlay dilakukan dengan menggabungkan kedua citra Landsat dan hasilnya dapat digunakan untuk mengetahui perubahan penutupan lahan (land cover) hutan mangrove. Diagram Alir Tahapan kerja Analisis Perubahan Penutupan Lahan (Land cover) hutan mangrove adalah sebagai berikut : 42

Penyiapan Data Citra Landsat ETM+ tahun 2001 Peta RBI Citra Landsat ETM+ tahun 2005 Koreksi Geometrik Koreksi Geometrik Pemotongan Citra Pemotongan Citra Penajaman Citra Penajaman Citra Komposit band 453 Komposit band 453 Klasifikasi tak terbimbing Klasifikasi tak terbimbing Citra Hasil Klasifikasi Citra Hasil Klasifikasi Overlay Data Perubahan Penutupan Lahan (Land cover) Mangrove Gambar 5. Diagram Alir Tahapan kerja Analisis Perubahan Penutupan Lahan (Land cover) Hutan Mangrove 43

3.5.3. Analisis Ekonomi Analisis manfaat dan biaya dilakukan untuk seluruh jenis fungsi dan manfaat sumberdaya mangrove. Dalam mentransformasi nilai-nilai ekonomi sumberdaya mangrove, menurut Ruitenbbek (1991) dan Bann (1998) dapat dilakukan sebagai berikut : (1) mengidentifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya mangrove; (2) mengkuantifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya mangrove ke dalam nilai uang. 1. Mengidentifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya mangrove Analisis ekonomi hanya dilakukan terhadap nilai manfaat langsung (direct use value) hutan mangrove. Nilai manfaat langsung hutan mangrove adalah nilai manfaat yang langsung diperoleh dari suatu sumberdaya mangrove. Total manfaat langsung dapat dihitung dengan menjumlahkan semua manfaat langsung tersebut. Nilai Manfaat Langsung dihitung dengan rumus berikut : NML = ML H i + MLP i dimana : ML = manfaat langsung; ML H i = manfaat langsung hasil hutan (i = 1,2) 1 = kayu bakar ; 2 = bibit mangrove) sehingga : 2 ML Hi = H i = 1 i ML Pi = manfaat langsung perikanan (i = 1, 2, 3) 1 = kepiting bakau, 2 = udang; 3 = ikan 3 ML Pi = P i = 1 i 2. Mengkuantifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya mangrove ke dalam nilai uang. Pendekatan nilai pasar digunakan untuk komoditi-komoditi yang langsung dapat diperdagangkan, seperti kayu bakar, kepiting bakau dan ikan. 44

3.5.4. Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Hutan Mangrove Penilaian keberlanjutan sistem pengelolaan hutan mangrove saat ini dilakukan dengan pendekatan Rap-Mforest melalui beberapa tahapan, yaitu : 1. Tahap penentuan indikator-indikator ekosistem hutan mangrove secara berkelanjutan untuk masing-masing dimensi (ekologi, ekonomi dan sosial) dan multidimensi. 2. Tahap penilaian setiap indikator dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan untuk setiap faktor dan analisis ordinasi yang berbasis metode multidimensional scaling (MDS) 3. Tahap penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat. Untuk setiap indikator pada masing-masing dimensi diberikan skor yang mencerminkan kondisis keberlanjutan dari dimensi yang dikaji. Rentang skor ditentukan berdasarkan kriteria yang dapat ditemukan dari hasil pengamatan dan analisis data sekunder. Rentang skor berkisar antara 1-3, tergantung pada keadaan masing-masing indikator yang diartikan mulai dari buruk sampai baik. Nilai buruk mencerminkan kondisi paling tidak menguntungkan bagi pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjutan, sebaliknya nilai baik mencerminkan kondisi paling menguntungkan. Tabel 2 menyajikan indikator-indikator dan skor yang akan digunakan untuk menilai kondisi keberlanjutan sistem pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat. Indikator-indikator tersebut diperoleh dari studi pustaka CIFOR dan LEI menyangkut Sustainable forest management (SFM), serta berdasarkan pengamatan di lapangan sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Tabel 2. Indikator-indikator dan skor keberlanjutan ekosistem hutan mangrove Dimensi dan indikator Skor Baik Buruk Keterangan Dimensi ekologi Perubahan keragaman habitat 1; 2; 3 3 1 (1) banyak; (2)sedikit; (3) tidak ada Struktur relung komunitas 1; 2; 3 3 1 (1) banyak ; (2) sedikit perubahan; (3) tidak menunjukkan perubahan 45

Ukuran populasi dan struktur demografi 1; 2; 3 3 1 (1)sangat berubah; (2) sedikit berubah; (3) tidak berubah Tingkat keragaman hutan mangrove 1; 2; 3 3 1 (1) tidak beragam, (2) cukup beragam; (3) sangat beragam Perubahan kualitas air 1; 2; 3 3 1 (1) banyak; (2) sedikit; Rantai makanan dan ekosistem Dimensi sosial kebijakan dan perencanaan pengelolaan hutan mangrove Koordinasi antar lembaga Akses masyarakat lokal terhadap hutan mangrove Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya sumberdaya hutan mangrove Tingkat pendidikan masyarakat Kerusakan sumberdaya hutan oleh masyarakat (3) tidak ada 1; 2; 3 3 1 (1) banyak terkontaminasi; (2) sedikit terkontaminasi; (3) tidak terkontaminasi 1; 2; 3 3 1 (1) tidak ada; (2) ada, tapi tidak dilaksanakan; (3) ada dan dilaksanakan 1; 2; 3 3 1 (1) tidak ada; (2) ada, tapi tidak dilaksanakan; (3) ada dan dilaksanakan 1; 2; 3 3 1 (1) tidak punya sama sekali; (2) rendah; (3) tinggi 1; 2; 3 3 1 (1) rendah, (2) sedang; (3) tinggi 1; 2; 3 3 1 (1) di bawah rata-rata nasional; (2)sama dengan rata-rata nasional ;(3) di atas rata-rata nasional 1; 2; 3 3 1 (1) besar; (2) sedang; (3) kecil Pola hubungan antar stakeholder Pengetahuan masyarakat tentang hutan mangrove 1; 2 2 1 (1) tidak saling menguntungkan (2) saling menguntungkan 1; 2; 3 3 1 (1) rendah,(2) sedang ;(3) tinggi 46

Peranserta masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove Dimensi ekonomi Pemanfaatan mangrove oleh masyarakat Rencana pengelolaan hutan mangrove Keterlibatan stakeholder Zonasi pemanfaatan lahan mangrove Rehabilitasi hutan mangrove Hasil inventarisasi pemanfaatan hutan mangrove Peran mangrove terhadap pembangunan wilayah 1; 2; 3 3 1 (1)rendah;(2) sedang; (3) tinggi 1; 2; 3 3 1 (1) rendah; (2) sedang; (3) tinggi 1; 2 2 1 (1) tidak tersedia; (2) tersedia 1; 2;3 3 1 (1 ) tidak; (2) melibatkan hanya beberapa stakeholder; (3) melibatkan berbagai stakeholder 1; 2; 3 3 1 (1)tidak tersedia; (2) tersedia, tapi belum dipatuhi; (3) tersedia dan dipatuhi 1;2;3 3 1 (1)tidak ada; (2) sedikit;(3) banyak 1;2 2 1 (1) tidak tersedia; (2) tersedia 1;2;3 3 1 (1) kecil; (2) sedang; (3) besar Selanjutnya nilai skor dari masing-masing indikator dianalisis secara multi dimensional untuk menentukan posisi keberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good) dan buruk (bad), untuk memudahkan visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi. Proses ordinasi Rap-Mforest ini menggunakan perangkat lunak modifikasi Rapfish (Kavanagh, 2004). Proses algoritma Rap-Mforest juga pada dasarnya menggunakan proses algoritma Rapfish. Dalam implementasinya Rapfish menggunakan teknik yang disebut Multidimensional Scaling (MDS). Obyek atau titik yang diamati dipetakan di dalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga obyek atau titik tersebut diupayakan sedekat mungkin terhadap titik asal. Dengan kata lain, dua titik atau obyek yang sama digambarkan dengan titik-titik 47

yang berjauhan (Fauzi dan Anna, 2005). Teknik ordinansi (penentuan jarak) dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance dalam ruang yang berdimensi n. Konfigurasi atau ordinasi dari suatu obyek atau titik di dalam MDS kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian (d ij ) dari titik ke i ke titik ke j dengan titik asal (d ij ) dituliskan dalam persamaan berikut : d ij = a + bd ij + e Selanjutnya digunakan algoritma ALSCAL yang merupakan metode yang sesuai untuk Rapfish dan mudah tersedia pada hampir setiap software statistika (SPSS dan SAS). Metode ALSCAL mengoptimisasi jarak kuadrat terhadap data kuadrat dalam tiga dimensi. Perangkat lunak Rapfish merupakan pengembangan MDS yang terdapat di dalam SPSS, untuk proses rotasi, kebalikan posisi dan beberapa analisis sensitivitas yang telah dipadukan menjadi satu perangkat lunak. Melalui MDS ini posisi titik keberlanjutan tersebut dapat divisualisasikan dalam dua dimensi (sumbu horisontal dan vertikal). Untuk memproyeksikan titik-titik tersebut pada garis mendatar dilakukan proses rotasi dengan titik ekstrem buruk dengan nilai skor 0 % dan titik ekstrem baik dengan nilai skor 100 %. Posisi status keberlanjutan sistem yang dikaji akan berada diantara dua titik ekstrem tersebut. Nilai ini merupakan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan mangrove pada saat ini. Ilustrasi hasil ordinasi nilai index berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 6. buruk baik 0% 50% 100% Gambar 6. Ilustrasi Penentuan Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Hutan Mangrove Skala nilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan mangrove mempunyai rentang 0 % sampai 100 %. Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai lebih dari 50 %, maka sistem tersebut dikategorikan sustainable dan sebaliknya jika nilai kurang dari 50 % maka sistem tersebut dikategorikan belum sustainable. Dalam penelitian ini disusun empat kategori status keberlanjutan berdasarkan skala dasar (0 100) seperti disajikan dalam Tabel 3. 48

Tabel 3. Kategori Status Keberlanjutan Pengelolaan Hutan Mangrove Berdasarkan Nilai Indeks Hasil Analisis Rap-Mforest. Nilai indeks Kategori < 25 tidak berkelanjutan 25< x < 50 kurang berkelanjutan 50 < x < 75 cukup berkelanjutan 75 < x < 100 berkelanjutan Nilai indeks berkelanjutan setiap dimensi dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) seperti pada Gambar 7. EKOLOGI 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 SOSIAL EKONOMI Gambar 7. Ilustrasi Indeks Keberlanjutan Setiap Dimensi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat Analisis sensitivitas dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi indikator yang sensitif dalam memberikan kontribusi terhadap Mforest di lokasi penelitian. Pengaruh dari setiap indikator dilihat dalam bentuk perubahan root mean square (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu x atau skala sustainabilitas. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu indikator tertentu, maka semakin besar pula peranan indikator tersebut dalam pembentukan nilai Mforest pada skala sustainabilitas, atau dengan kata lain semakin sensitif indikator tersebut dalam keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove di lokasi penelitian. 49

Untuk mengevaluasi pengaruh galat (error) pada proses pendugaan nilai ordinasi pengelolaan hutan mangrove digunakan analisis Monte Carlo. Menurut (Kavanagh dan Pitcher, 2004) analisis Monte Carlo juga berguna untuk mempelajari hal-hal berikut : 1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor indikator yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap indikator atau cara pemberian skor indikator. 2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda 3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi) 4. Kesalahan pemasukan data atau adanya data hilang 5. Tingginya nilai stress hasil analisis Rap-Mforest (nilai stress dapat diterima jika < 25 %). Secara umum metode Rap-Mforest akan dimulai dengan mereview indikatorindikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan melalui studi literatur dan pengamatan di lapangan. Tahap selanjutnya adalah pemberian skor yang didasarkan pada ketentuan yang sudah ditetapkan dalam Rap-Mforest. Setelah didapatkan hasil skoring maka setiap indikator dianalisis dengan menggunakan multidimensional Scaling (MDS) guna menentukan posisi relatif dari pengelolaan hutan mangrove terhadap ordinasi good dan bad. Langkah selanjutnya menganalisis nilai stress dengan menggunakan ALSCAL logaritma. Dari hasil ordinasi dengan MDS dan nilai stress melalui alogaritma ALSCAL dilakukan rotasi untuk menentukan posisi pengelolaan ekosistem hutan mangrove pada ordinasi bad dan good. Langkah berikutnya adalah menggunakan analisis Monte Carlo untuk menentukan aspek ketidakpastian dan analisis leverage untuk menentukan aspek anomali dari indikator yang dianalisis. Secara lengkap tahapan analisis Rap-Mforest menggunakan metode MDS dengan aplikasi Rapfish disajikan pada Gambar 8. 50

Start Kondisi pengelolaan hutan mangrove saat ini Penentuan indikator sebagai kriteria penilaian MDS (Ordinasi setiap indikator) Penilaian (skor) setiap indikator Analisis Monte Carlo Analisis Sensitivitas Analisis Keberlanjutan Gambar 8. Tahapan Analisis Rap-Mforest 3.5.5. Analytical Hierarchy Process Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan sebagai tindak lanjut proses membuat urutan prioritas kebijakan dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove. AHP dilakukan untuk mendapatkan pilihan langkah operasional dari pandangan/aspirasi stakeholder terkait dengan pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Pemilihan responden ditentukan oleh keterlibatannya dalam penentuan prioritas kebijakan dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove terkait dengan pelaksanaan kebijakan dan pencapaian prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Kelompok stakeholder tersebut adalah pemerintah, swasta, LSM, tokoh masyarakat dan peneliti/perguruan tinggi. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan yang kompleks dan tidak terstruktur, strategis dan dinamis serta menata dalam suatu hirarkhi. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subyektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibanding dengan variabel lainnya. Dengan 51

berbagai pertimbangan kemudian dilakukan sintesis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin, 2004). Pendekatan AHP, adalah suatu pendekatan proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor yang paling berpengaruh dalam penentuan prioritas kebijakan pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat yang didasarkan pada persepsi masing-masing stakeholder. Metode yang digunakan dalam penentuan bobot dan prioritas kebijakan dalam pengelolaan hutan mangrove adalah AHP dengan software criterium decision plus. Analisis dilakukan pada setiap level dari hirarkhi penentuan kebijakan dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan. Bobot dan prioritas yang dianalisis adalah hasil dari combined dari judgement seluruh stakeholder pada setiap matriks perbandingan berpasangan. Pembahasan tentang strategi implementasi kebijakan dalam pengelolaan hutan mangrove di Wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat dilakukan dengan melibatkan semua stakeholder utama secara partisipatif. Metode pembahasan yang digunakan adalah Focus Group Discussion (FGD) Menurut Saaty (1991) tahap-tahap dalam AHP adalah sebagai berikut : 1. Mendefinisikan persoalan dan rincian pemecahan yang diinginkan 2. Membuat struktur hirarkhi yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah. 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat diatasnya, perbandingan berdasarkan judgement dari para pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. Untuk mengkuantifikasi data kualitatif digunakan nilai skala komparasi 1 9. Penyusunan skala kepentingan dilakukan berdasarkan Saaty. 4. Melakukan perbandingan berpasangan 5. Menguji konsistensi Judgement stakeholder dengan menghitung indeks konsistensi. Jika nilai konsistensi (>0,1) maka pengambilan data diulangi atau 52

dikoreksi. Perhitungan indeks konsistensi dan menyatakan ukuran tentang kosisten tidaknya suatu penilaian atau pembobotan berpasangan. Pendekatan yang digunakan sebagai kriteria AHP yaitu skala banding berpasangan (Skala Saaty) dengan kisaran mulai dari nilai bobot 1 sampai 9 (Saaty, 1991) dapat dilihat pada Tabel 3. Vektor pembobotan elemen-elemen penelitian terdiri dari A 1,A 2 dan A 3 dinyatakan sebagai vektor W, dimana W = w 1,w 2 dan w 3, maka nilai intensitas kepentingan elemen penelitian A 1 dibandingkan A 2 yang dinyatakan perbandingan berpasangan A 1 terhadap A 2 atau w 1 /w 2 = A 12. Nilai wi/wj, dimana ij =1,2,3,...,n, yang diperoleh dari para expert (stakeholder) yang memiliki kemampuan, pengetahuan dan kompetensi terhadap permasalahan ekosistem hutan mangrove. Jika hasil observasi disusun dalam bentuk matriks, kemudian dikalikan dengan vektor kolom W (w 1,w 2,w 3...,n) diperoleh hubungan sebagai berikut : AW = nw... (1) Bila matrik A diketahui dan ingin diperoleh W, maka dapat diselesaikan melalui persamaan berikut : [A - ni ] W = 0... (2) dimana : I = matriks identitas Selanjutnya dilakukan perhitungan akar ciri, vektor ciri dan hasil yang diperoleh tidak konsisten maka diulangi atau dikoreksi kembali. Untuk mendapatkan akar ciri (n) dapat dihitung berdasarkan matriks berikut : [ A-nI ] W = 0... (3) 53

Tabel 4. Skala Banding Berpasangan oleh Saaty Intensitas pentingnya 1 3 5 7 9 2,4,6,8 Resiprokal/Kebalikan Definisi Kedua elemen sama penting Elemen satu sedikit lebih penting daripada yang lainnya Elemen satu sangat penting dibanding yang lain Elemen satu jenis lebih penting dari elemen yang lain Elemen satu mutlak lebih penting dari elemen yang lain Nilai-nilai diantara dua pertimbangan yang berdekatan Jika untuk aktifitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikan dari I Penjelasan Sumbang peran dua elemen sama besar pada sifat tersebut Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas yang lain Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat mendukung satu elemen atas yang lain Satu elemen dengan kuat dominannya telah terlihat dalam praktek Bukti menyokong kuat elemen satu secara tegas lebih dominan Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan contoh dengan menggunakan matriks A, maka : a 11 a 12 a 13 1 0 0 a 21 a 22 a 23 - n 0 1 0 = 0 atau a 31 a 32 a 33 0 0 1 1 a12 a 13 1 0 0 a 21 1 a 23 - n 0 1 0 = 0 a 31 a 32 1 0 0 1 Sedangkan untuk mendapat nilai vektor ciri (w) yang merupakan bobot setiap elemen, untuk mensintesis judgement (pendapat) yang digunakan dalam menentukan prioritas. Vektor ciri dapat dihitung dari akar ciri (n) maksimum dari perhitungan di atas disubstitusikan dengan persamaan berikut : [ A ni ] = 0; 54

Dengan menggunakan normalisasi w1 + w2 + w3 = 1, misalnya didapatkan nilai maksimum 2, maka perkaliannya menjadi sebagai berikut : [ A ni ] [ W ] = 0... (4) 1-2 a 12 a 13 w a 21 1-2 a 23 - w = 0 a 31 a 32 1-2 w sehingga diperoleh matriks berikut : 1-2 a12 a 13 w 1 a 21 1-2 a 23 - w 2 = 0 a 31 a 32 1-2 w 3 langkah terakhir yang dilakukan yaitu perhitungan indeks konsistensi atau Consistensi Indeks (CI), menyatakan penyimpangan konsistensi dan menyatakan ukuran tentang tingkat konsistensi suatu penilaian atau pembobotan perbandingan berpasangan, dapat dihitung dengan persamaan berikut : λ max n CI = n 1... (5) dimana : λ max = akar ciri maksimum n = banyaknya alternatif nilai pengukuran konsistensi diperlukan untuk memenuhi konsistensi jawaban dari responden yang sangat menentukan tingkat akurasi hasil. Untuk mengetahui apakah CI dengan besaran tertentu cukup baik atau tidak, perlu diketahui rasio yang dianggap baik apabila nilai CR < 0,1, dimana CR (Consistency Ratio), RI (Random Indeks) dengan rumus sebagai berikut : Nilai RI mengikuti Tabel yang dikeluarkan oleh Oarkride Laboratory dapat dilihat pada tabel 5 berikut. Tabel 5. Standarisasi nilai RI (Random Indeks) N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56 55