II. TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

KEBIJAKAN HARGA. Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Harga_2. Julian Adam Ridjal, SP., MP.

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kemampuan sektor pertanian dalam

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

VII. SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di

Pengantar Ekonomi Makro. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang sehingga perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA TRI WAHYU NUGROHO

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. kantong-kantong kemiskinan sebagian besar berada di sektor pertanian.

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB I PENDAHULUAN. produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

Pengantar Ekonomi Makro. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM

KRISIS EKONOMI DI INDONESIA MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan

BAB I. PENDAHULUAN A.

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

1. Tinjauan Umum

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk melihat keberhasilan pembangunan suatu negara. Setiap negara akan

f f f i I. PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Mencermati data laporan Bank Indonesia dari berbagai seri dapat

Indikator Inflasi Beberapa indeks yang sering digunakan untuk mengukur inflasi seperti;.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

BAB 2 LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena

TINJAUAN PUSTAKA. fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi,

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam beragam bentuk, maksud, dan tujuan. Mulai dari keluarga, komunitas,

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

I. PENDAHULUAN. Perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. hal

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

VI. SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan barang dan jasa, investasi yang dapat meningkatkan barang modal,

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pangan nasional. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein. dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya.

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Pembangunan Pertanian Secara umum alat utama kebijakan pertanian diwujudkan melalui anggaran belanja pemerintah di sektor pertanian. Pembiayaan fiskal sangat penting untuk membuat berbagai macam tujuan di dalam pembangunan pertanian. Beberapa hal yang menyangkut format anggaran sektor pertanian merupakan investasi di dalam pembangunan infrastruktur sektor pertanian yang diwujudkan untuk tujuan seperti penyediaan irigasi, penyimpanan hasil panen, pemasaran dan transportasi, serta mengarahkan penyaluran kredit ke petani, pembiayaan perluasan riset dan produksi benih, membiayai defisit yang terjadi akibat program pembelian dari petani dengan harga mahal dan melakukan penjualan ke konsumen dengan harga yang lebih rendah, dan beberapa program pendukung lainnya (Norton, 2004). Sementara itu menurut Ellis (1992), kebijakan pembangunan pertanian diidentifikasi menggunakan pendekatan pengaruh yang dirancang khususnya terhadap sistem pertanian mikro. Kebijakan pertanian di sini dikaitkan dengan masalah output dan input pertanian, kebijakan tersebut antara lain : kebijakan harga, kebijakan pasar, kebijakan input, kebijakan perkreditan, kebijakan mekanisasi, kebijakan reformasi agraria, kebijakan penelitian, dan kebijakan irigasi.

12 2.1.1. Kebijakan Harga Kebijakan harga di sini adalah kebijakan harga output pertanian. Secara umum kebijakan harga output pertanian ini memiliki tiga fungsi utama di dalam sistem ekonomi. Ketiga fungsi tersebut antara lain : (1) untuk mengalokasikan sumberdaya pertanian secara merata, (2) untuk mendistribusikan pendapatan, dan (3) mendorong investasi dan formasi modal di sektor pertanian (Mellor dan Ahmed, 1988). Selain itu fungsi dari kebijakan harga output pertanian juga bisa dideskripsikan sebagai isyarat, insentif dan instrumen untuk alokasi sumberdaya dan pendapatan secara merata. Tiga tujuan utama dari kebijakan harga output pertanian adalah : pertama, untuk mempengaruhi output pertanian; kedua, untuk mencapai perubahan pada sisi distribusi pendapatan; dan yang ketiga adalah untuk mempengaruhi kontribusi sektor pertanian pada semua proses pembangunan ekonomi (Norton, 2004). Sementara itu Ellis (1992), juga menyebutkan bahwa instrumen dari kebijakan harga ini merupakan intervensi pemerintah yang bisa dilakukan dengan berbagai jalan. Instrumen disini dikelompokkan mengarah pada masing-masing tipe dampak pada tingkat dan stabilitas harga pertanian. Deskripsi dari instrumen kebijakan harga diikuti oleh beberapa observasi yang dikonsentrasikan pada interaksi antar instrumen, dan hubungan antara instrumen dengan tujuan. Instrumen tersebut antara lain adalah instrumen kebijakan harga itu sendiri, kebijakan nilai tukar, kebijakan pajak dan subsidi dan kebijakan atau intervensi langsung yaitu seperti memberikan batasan harga dasar pada komoditas pertanian tertentu pada saat panen.

13 Kebijakan harga dalam bidang pertanian berkaitan erat dengan kebijaksanaan dagang. Langkah-langkah yang diambil dalam perdagangan luar negeri dapat mempengaruhi baik harga di dalam maupun di luar negeri, sebaliknya kebijakan harga produk pertanian dapat mempengaruhi volume dan komposisi dagang. Kecuali untuk pembayaran defisit, bantuan ekspor diperlukan untuk menunjang harga produsen di negara-negara surplus, sedangkan dukungan impor diperlukan apabila harga konsumen harus dilindungi dari keadaan kekurangan pangan. Jenis pokok dari kebijakan harga dalam pertanian masuk dalam dua kategori, yaitu stabilitas harga dan penetapan tingkat harga (perlindungan harga), kebijakan akhir-akhir ini ditujukan untuk mendukung kelompok tertentu (produsen dan konsumen) pada sasaran produksi, anggaran atau akumulasi devisa tertentu. Stabilisasi harga menurut Ellis (1992) adalah salah satu hal yang akan dijadikan alasan umum bagi pemerintah untuk melakukan intervensi pada pasar pertanian, dan hal ini merupakan ciri yang sangat kuat adanya suatu kebijakan pertanian baik yang ada di negara maju maupun di negara berkembang. Intervensi pada pasar pertanian ini dilakukan karena pasar bebas pada produk pertanian terkenal cenderung memiliki harga yang fluktuatif. Analisis sederhana dari stabilisasi harga dapat dijelaskan menggunakan keseimbangan parsial yang ditunjukkan pada Gambar 2 berikut :

14 P D S2 Se P2 Pe a c d b e f S1 P1 0 Q2 Qe Q1 Q Gambar 2. Dampak Stabisasi Harga Akibat Pergeseran Penawaran Terhadap Kesejahteraan Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa : 1. Jika terjadi kekurangan penawaran, yang biasa terjadi ada musim paceklik maka penawaran akan turun menuju S2. Hal tersebut mengakibatkan harga meningkat menjadi P2. Penjualan dari stok penyangga akan mengembalikan menuju Pe. Consumer surplus gain = a + b Producer surplus loss = a Buffer stock income = d + g (dari hasil penjualan) 2. Jika terjadi kelebihan penawaran, yang biasa terjadi saat panen maka penawaran akan bergeser menuju S1 dan harga akan jatuh menuju P1. Penjualan yang dilakukan oleh stok penyangga akan mengembalikan harga pada Pe. Consumer surplus loss = c + d + e Producer surplus gain = c + d + e + f

15 Buffer stock costs = e + f + h (dari biaya pembelian) 3. Posisi akhir pada keseimbangan antara kesejahteraan dan perubahan sumberdaya adalah sebagai berikut : Buffer stock cancels out : d + g = e + f + h Consumer surplus loss : d (sebab c + e = a + b) Producer surplus gain Net welfare gain : d + e + f : e + f (pertambahan untuk produsen) Kebijakan harga barang hasil pertanian yang tepat memegang peranan kunci dalam pembangunan suatu perekonomian yang terbelakang. Harga barang pertanian sangat rawan terhadap keadaan permintaan dan penawaran. Karena output pertanian merupakan 50 persen dari produk nasional, maka tingkat harga pada umumnya ditentukan oleh perilaku harga barang pertanian. Kebijakan harga barang pertanian tersebut harus bertujuan mengurangi fluktuasi harga, sehingga mengurangi kerugian produsen akibat jatuhnya harga secara tajam karena hasil panen yang melimpah, dan meminimumkan konsumen akibat naiknya harga secara tajam karena kegagalan panen atau kelangkaan persediaan. Untuk kebijakan harga harus serba mencakup berbagai tindakan sejak produksi hasil pertanian sampai pada distribusinya. Tujuan penting dari kebijakan pertanian adalah untuk menentukan harga minimum dan maksimum semua barang hasil pertanian untuk kebutuhan pangan pokok. Kebijakan harga yang baik juga mencakup pengadaan cadangan penyangga dan pengoperasian melalui penjualan dan pembelian serupa harus diusahakan oleh negara dan organ -organnya (Jhingan, 2002).

16 2.1.2. Kebijakan Pasar Tujuan dari kebijakan pemerintah pada pemasaran komoditas pertanian tidak mencakup persepsi tentang struktur, perilaku dan bentuk dari hubungan pemasaran swasta/individu. Tujuan utama dari kebijakan pemasaran ini antara lain : (1) untuk memproteksi petani dan konsumen dari perdagangan yang bersifat menghisap, (2) untuk menstabilkan atau bahkan meningkatkan harga di tingkat petani, (3) untuk mengurangi margin pemasaran, (4) untuk meningkatkan kualitas dan memberikan standar minimum, dan (5) untuk meningkatkan ketahanan pangan (Ellis, 1992). Pada intinya kebijakan pasar ini bertujuan untuk memperpendek rantai pemasaran komoditas pertanian, sehingga produsen dan konsumen tidak mengalami kerugian akibat permainan harga di tingkat pedagang. Maka dari itu, pemerintah melakukan intervensi kebijakan ini melalui lembaga penyangga untuk membeli hasil pertanian dari petani, seperti misalnya Bulog. Selain itu pemerintah juga bisa membentuk lembaga pemasaran di tingkat petani sendiri. Kemudian pemerintah juga bisa mengambil peran lewat penerangan tentang informasi pasar. 2.1.3. Kebijakan Input Variabel kebijakan input memiliki tiga dimensi utama. Pertama, adalah pengendalian tingkat harga pada variabel input, dan kebijakan ini difokuskan untuk mempengaruhi harga yang harus dibayarkan oleh petani untuk keperluan input usahataninya, seperti untuk membeli pupuk dan pestisida. Kedua, adalah mengenai sistem distribusi variabel input, jenis kebijakan ini lebih dikonsentrasikan pada modifikasi sistem aliran / distribusi input kepada petani.

17 Ketiga, adalah sistem informasi yang baik kepada petani tentang tipe, kuantititas, dan kombinasi input yang tepat untuk sistem usahatani. Proporsi utama kebijakan subsidi input dan sistem penyalurannya dapat diambil dari referensi spesifik tentang pupuk dan bibit unggul. Pupuk kimiawi serta penggunaan bibit unggul dijadikan suatu variabel penting karena memiliki dampak yang signifikan terhadap peningkatan produksi dibandingkan input yang lain. Pemberian subsidi pupuk dan bibit baru yang dilakukan di India mampu meningkatkan has il beras nasionalnya dari 0.8 juta ton pada tahun 1965 menjadi 7.7 juta ton pada tahun 1983. Berikut dapat dilihat pada Gambar 3 tentang pengaruh optimalisasi penggunaan pupuk nitrogen (Urea) dan bibit unggul pada peningkatan hasil padi. Kurva yang menggunakan varietas unggul dan penggunaan pupuk nitrogen lebih optimal akan memberikan hasil yang lebih tinggi (Ellis, 1992). Hasil padi (ton/ha) 8 7 Varietas unggul 6 5 4 3 Varietas tradisional 2 1 0 100 200 300 400 500 600 Pupuk nitrogen (kg/ha) Gambar 3. Kurva Respon Penggunaan Pupuk Nitrogen dan Bibit Unggul Terhadap Hasil Panen Padi

18 Kebijakan input ini dilakukan untuk memberikan kemudahan bagi petani untuk memperoleh bahan baku untuk usahataninya, misalnya untuk pemenuhan kebutuhan bibit, pestisida dan pupuk. Kebijakan input ini secara umum didominasi oleh kebijakan masalah pupuk. Pupuk merupakan sarana produksi utama bagi peningkatan kualitas dan kuantitas produksi pertanian, maka dari itu barang sangat dibutuhkan oleh petani dalam bercocok tanam. Semakin meningkatnya jumlah penduduk yang berarti semakin meningkatnya permintaan akan pangan dan keberadaan lahan pertanian yang semakin sempit, memaksa pemerintah untuk mentargetkan peningkatan produksi pangan nasional. Maka dari itu tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain meningkatkan produksi pangan nasio nal dengan intensifikasi pertanian. Harga pupuk yang tinggi, mengakibatkan petani mengalami kendala dalam pemenuhan untuk optimalisasi usahataninya. Namun karena pemerintah terdesak untuk pemenuhan kebutuhan pangan yang semakin meningkat, seperti yang diungkapkan di atas, maka pemerintah memberikan subsidi untuk pupuk, sehingga diharapkan petani dapat menjangkaunya dan optimalisasi produksi dapat dilakukan. Apabila pemerintah mengeluarkan regulasi untuk mengurangi atau bahkan mencabut secara keseluruhan terhadap pupuk maka akan berakibat semakin lemahnya produksi pangan nasional. Hal tersebut disebabkan petani akan mengambil keputusan untuk beralih profesi, karena berusahatani akan semakin tidak menguntungkan. Maka secara tidak langsung akan mengakibatkan rendahnya produktivias pangan nasional (Simatupang, 2004).

19 2.1.4. Kebijakan Perkreditan Bagian penting dari kebijakan kredit pertanian yang paling sering ditemui di negara-negara berkembang ialah kebijakan penetapan tingkat bunga yang rendah, yang biasanya berhubungan erat dengan kebijaksanaan harga dan pajak usahatani. Tingkat bunga yang rendah pada umumnya menunjukkan pengaruh yang negatif. Sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya, tingkat bunga yang rendah menimbulkan kesulitan untuk merangsang simpanan deposito. Hal ini menghambat bank untuk menambah modal yang dimilikinya dan mendorong lembaga-lembaga menjadi semakin bergantung pada subsidi pemerintah. Pertumbuhan kredit menurun dan efektifitas bank terhambat. Sehubungan dengan alokasi sumber-sumber dana, tingkat bunga yang rendah akan menurunkan standar pemilihan dan menyebabkan investasi dengan produktivitas yang semakin lebih rendah. Secara keseluruhan ini mengakibatkan pengurangan produktivitas. Bahkan rendahnya tingkat bunga mengubah rasio faktor harga demi kepentingan modal, ini akan mendorong usaha produksi dan teknologi yang padat modal dan mempunyai pengaruh negatif terhadap pengurangan serta perkembangan teknologi yang tepat (Heinz, 1988). 2.1.5. Kebijakan Mekanisasi Pertanian Kebijakan mekanisasi pertanian ini merupakan bentuk kebijakan kepedulian dari pemerintah untuk meningkatkan efisiensi usahatani. Kegiatan mekanisasi ini merupakan suatu aktivitas yang dilakukan dengan ditunjang mesin untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi energi manusia dalam mengolah lahan pertaniannya.

20 Mekanisasi pertanian ini lebih lanjut dibedakan menjadi bentuk yaitu mekanisasi bergerak dan tidak bergerak. Mekanisasi yang bergerak yang dimaskud di sini seperti traktor pengolah lahan, sedangkan mekanisasi yang tidak bergerak dicontohkan seperti pompa air. Kebijakan mekanisasi pertanian ini pada intinya adalah memberikan efisiensi terhadap komponen tenaga kerja, sehingga petani akan lebih efisien dan memberikan hasil yang lebih cepat (Ellis, 1992). 2.1.6. Kebijakan Reformasi Agra ria Pengertian reformasi agraria/landreform secara luas mencakup pengaturan hubungan manusia dan lahan, termasuk redistribusi pemilikan lahan, konservasi, dan kelembagaan yang mengatur hubungan manusia dan lahan (Norton, 2004). Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai oleh adanya kebijaksanaan adalah pemerataan kesempatan yang menyangkut pemanfaatan lahan bagi warga masyarakat sehingga masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraannya. Atas dasar tersebut tujuan kebijaksanaan pertanahan dapat meliputi : 1. Pemerataan pemilikan dan penggarapan lahan. Pemilikan dicegah untuk tidak terpusat pada segelintir orang, yang menyebabkan menurunnya produktivitas lahan. Program landreform merupakan usaha meningkatkan produktivitas, usaha distribusi penguasaan lahan serta usaha mengubah landless menjadi pemilik lahan. Dengan demikian, pemerataan ini akan memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat. 2. Penentuan luas penguasaan lahan yang memungkinkan pemiliknya dapat memaksimumkan manfaatnya (skala usaha).

21 3. Pengaturan hubungan pemilik-penggarap (UU bagi hasil, dan lain-lain). 4. Penyebaran informasi/peraturan yang menyangkut pertanahan kepada masyarakat. 5. Pengaturan tentang konservasi/pelestarian sumberdaya lahan. 6. Pengaturan penggunaan lahan secara tepat (untuk pertanian, industri, pemukiman, hutan lindung, dan lain-lain). Adapun tujuan dari landreform adalah : (1) penyebaran/pemerataan pemilikan lahan sehingga terjadi pemerataan pendapatan, (2) peningkatan produktivitas pertanian, dan (3) peningkatan pendapatan nasional. Berdasarkan pengertian dan tujuan dari landreform, dapat dikemukakan beberapa keuntungan dari landreform, yaitu : 1. Pendapatan petani meningkat sehingga daya belinya juga meningkat. Peningkatan pendapatan tersebut diharapkan dapat merubah status buruh tani menjadi pemilik tanah. 2. Industri berkembang. 3. Secara multiplier akan meningkatkan GNP. Hal-hal di atas perlu menjadi perhatian karena kondisi pengusaan lahan di Indonesia yang diperuntukkan sebagai lahan pertanian mengalami penurunan luasan yang banyak akibat adanya konversi lahan (Silitonga, et al, 1995). Ketersediaan lahan pertanian di Indonesia semakin sempit terutama lahan sawah sehingga upaya peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan pangan semakin bermasalah. Hasil Sensus Pertanian menunjukkan bahwa penyebab penyempitan lahan sawah di Jawa antara lain konversi lahan sawah menjadi lahan non pertanian terutama untuk pembangunan kawasan pemukiman.

22 Konversi lahan ini, terutama Jawa sebagai gudang pangan nasional, menyebabkan gangguan yang serius dalam pengadaan pangan nasional. Konversi lahan sawah yang tidak terkendali akan dapat menyebabkan penurunan kapasitas penyerapan tenaga kerja pertanian dan pedesaan serta penurunan hilangnya aset pertanian bernilai tinggi. Akhir-akhir ini berkembang kecenderungan yang menunjukkan bahwa pertumbuhan hasil panen padi per hektar mengalami stagnasi akibat kejenuhan teknologi. Dalam situasi tersebut maka upaya untuk menekan kehilangan produksi pangan akibat konversi lahan sawah menjadi lebih penting. Untuk kasus di Jawa, memang sulit menghindari kenaikan lahan untuk kegiatan non pertanian, sedangkan lahan yang tersedia sangat terbatas. Atas pertimbangan itu, diperlukan upaya mengarahkan proses konversi lahan pada lahan pertanian yang kurang produktif, sedangkan lahan pertanian produktif dicadangkan bagi produksi pangan (Irawan, 2001). 2.1.7. Kebijakan Penelitian Pertanian Kebijakan penelitian ini adalah kebijakan mengenai peraturan pemerintah di dalam melakukan pendekatan alternatif untuk mengembangkan dan menyebarkan teknologi pertanian yang baru kepada rumah tangga petani. Ada beberapa dimensi yang termasuk dalam pengertian kebijakan penelitian ini. Pengembangan teknologi pertanian yang baru merupakan faktor utama untuk menunjang inovasi. Hal ini masuk dalam penetuan kekuatan topik penelitian, lembaga penelitian, pengalokasian sumberdaya dalam penelitian, manajemen penelitian dan hasil penelitian.

23 Penyebaran teknologi pertanian baru yang menjadi faktor utama dalam ukuran keberhasilannya adalah tingkat adopsi teknologi ditingkatan petani. Hal ini termasuk berkaitan dengan tingkatan lahan dan hambatan perekonomian yang juga ikut mempengaruhi adopsi teknologi (Ellis, 1992). 2.1.8. Kebijakan Irigasi Dalam proses budidaya yang berkesinambungan tentunya tidak bisa dilepaskan dari irigasi. Kebijakan pembangunan sarana irigasi merupakan jawaban untuk adanya efisiensi, pemerataan dan keberlanjutan usahatani, sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada alam yang berupa hujan. Dengan adanya irigasi yang lancar maka akan memungkinkan petani untuk berproduksi di berbagai musim. Dengan membangun sarana irigasi yang baik dan tertata juga akan menunjang keseimbangan lingkungan yang baik. Akan tetapi apabila pembangunan sarana irigasi tidak memperhatikan keseimbangan ekosistem maka akan merusak habitat alami, seperti misalnya konstruksi sistem irigasi akan menyebabkan kekeringan dan bahkan banjir pada area-area baru. Namun demikian, kerana kebutuhan akan pangan semakin tinggi maka tidak ada pilihan lain untuk tetap memprioritaskan pada pemenuhan permintaan pangan, maka dari itu pembangunan sarana irigasi sangatlah diperlukan (Norton, 2004). 2.2. Kemiskinan Dalam konteks strategi penanggulangan kemiskinan ini, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, lak i-laki

24 dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik lakilaki maupun perempuan, mempunyai hak -hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya. Dengan diakuinya konsep kemiskinan berbasis hak, maka kemiskinan dipandang sebagai suatu peristiwa penolakan atau pelanggaran hak dan tidak terpenuhinya hak. Kemiskinan juga dipandang sebagai proses perampasan atas daya rakyat miskin. Konsep ini memberikan pengakuan bahwa orang miskin terpaksa menjalani kemiskinan dan seringkali mengalami pelanggaran hak yang dapat merendahkan martabatnya sebagai manusia. Oleh karena itu, konsep ini

25 memberikan penegasan terhadap kewajiban negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin. Kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks, bersifat multidimensi dan tidak dapat secara mudah dilihat dari suatu angka absolut. Luasnya wilayah dan sangat beragamnya budaya masyarakat menyebabkan kondisi dan permasalahan kemiskinan di Indonesia menjadi sangat beragam dengan sifat-sifat lokal yang kuat dan pengalaman kemiskinan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Kondisi dan permasalahan kemiskinan secara tidak langsung tergambar dari fakta yang diungkapkan menurut persepsi dan pendapat masyarakat miskin itu sendiri, berdasarkan temuan dari berbagai kajian, dan indikator sosial dan ekonomi yang dikumpulkan dari kegiatan sensus dan survei (Bappenas, 2005). Sejak tahun 1976 Badan Pusat Statistik (BPS) membuat perkiraan jumlah penduduk miskin (dibedakan antara wilayah perdesaan, perkotaan dan propinsi di Indonesia) dengan berpatokan pada pengeluaran rumah tangga menurut data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Penduduk miskin ditentukan berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan pokok, yang terdiri dari bahan makanan maupun bukan makanan yang dianggap dasar dan diperlukan selama jangka waktu tertentu agar dapat hidup secara layak. Dengan cara ini, maka kemiskinan diukur sebagai tingkat konsumsi per kapita di bawah suatu standar tertentu yang disebut sebagai garis kemiskinan. Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan:

26 1. biaya untuk memperoleh makanan dengan kandungan 2100 kalori per kapita per hari; dan 2. biaya untuk memperoleh bahan bukan makanan yang dianggap dasar, seperti pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi dan pendidikan Tolok ukur individu dikatakan miskin memang masih menjadi perdebatan, ada yang menyebutkan bahwa kemiskinan diukur dari tingkat pendapatan di bawah 1 $ US / hari, di lain pihak ada yang menggunakan ukuran konsumsi kalori per hari yaitu sebanyak 2100 kalori, bahkan beberapa waktu yang lalu pemerintah memakai salah satu indikator kemiskinan adalah rumah yang tidak di plester (berlantaikan tanah) sehingga mengadakan program plesterisasi. Perbedaan terminologi di atas secara general sebenarnya memilki tujuan yang sama yaitu adanya ketidakmampuan untuk mencapai kesejahteraan (Kelompok Kerja Propenas, 2002). Kemiskinan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kemiskinan kronis (chronic poverty) atau kemiskinan struktural yang terjadi terus-menerus dan kemiskinan sementara (transient poverty) yang ditandai dengan menurunnya pendapatan masyarakat secara sementara sebagai akibat dari perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi kondisi krisis dan bencana alam. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, pendidikan dan kesehatan, kemampuan berusaha, dan mempunyai akses yang terbatas kepada kegiatan sosial ekonomi sehingga menumbuhkan perilaku miskin. Selain itu, perilaku miskin ditandai pula oleh perlakuan diskriminatif, perasaan ketakutan dan kecurigaan serta sikap apatis dan

27 fatalistis. Dalam kaitan itu, upaya penanggulangan kemiskinan terkait erat dengan upaya pemberdayaan masyarakat dan penyediaan berbagai kebutuhan pokok dengan biaya yang terjangkau sehingga secara bertahap mereka dapat meningkatkan kemampuannya untuk memanfaatkan peluang yang terbuka (Heinz, 1988). Secara umum upaya penanggulangan kemiskinan ada dua strategi utama yang ditempuh. Pertama, melakukan berbagai upaya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan melindungi keluarga dan kelompok masyarakat yang mengalami kemiskinan sementara akibat dampak negatif krisis ekonomi dan kemiskinan struktural. Kedua, melakukan berbagai upaya untuk membantu masyarakat yang mengalami kemiskinan struktural, antara lain, memberdayakan mereka agar mempunyai kemampuan yang tinggi untuk melakukan usaha, dan mencegah terjadinya kemiskinan baru. Gross National Product (GNP) yang selama ini menjadi indikator keberhasilan pembangunan suatu negara ternyata terkadang menyesatkan. Menurut Kuznets mengemukakan bahwa pola pertumbuhan historis negara maju pada tahap -tahap awal pertumbuhannya mengalami penurunan tingkat kesejahteraan, namun pada akhirnya akan membaik secara perlahan dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Observasi inilah yang dikenal secara luas sebagai kurva Kuznetz U-terbalik. Konsep tersebut memperoleh namanya dari bentuk rangkaian perubahan longitudinal (antar waktu) atas distribusi pendapatan (yang diukur dengan koefisien Gini) sejalan dengan pertumbuhan GNP per kapita (Todaro, 1999).

28 Koefisien Gini 0,75 0,50 0,35 0,25 0 GNP Per Kapita Gambar 4. Kurva Kuznets Berbetuk U Terbalik Kemiskinan berdampak pada kondisi keadaan kurang gizi dan tingkat kesakitan (morbiditas), dan hal ini merupakan suatu lingkaran setan yang akan membuat kondisi suatu bangsa semakin terpuruk. Masih relatif tingginya masalahmasalah gizi masyarakat itu menunjukkan bahwa aspek kemampuan ekonomi (daya beli) berpengaruh paling dominan dalam timbulnya masalah gizi masyarakat, disamping adanya faktor kurang sadar gizi, kondisi lingkungan sanitasi dan keterbatasan akses bagi golongan masyarakat yang kurang mampu. Kemampuan ekonomi keluarga yang rendah itu tidak terlepas dari faktor keterbatasan lapangan kerja, termasuk keterbatasan dalam hal kemampuan psikomotorik dan kognitif yang dapat dikembangkan untuk memperluas peluang mendapatkan tambahan pendapatan. Berikut ini gambaran keterkaitan beragam faktor dalam lingkaran setan kemiskinan, dimana faktor kekurangan gizi masuk di dalamnya (Todaro, 1999). Dampak dari kondisi kurang gizi pada jangka waktu lama akan tercermin pada beragam maslaah gizi masyarakat dan pada gilirannya menyangkut langsung pada sumberdaya insani yang memprihatinkan, yakni rendahnya produktivitas fisik, mental (ketahanan menerima stres) dan intelektual (kecerdasan) (Sitorus, 1996).

29 Cadangan dana/sumber daya terbatas Pendidikan rendah Kemampuan kognitif dan psikomotorik rendah Miskin gizi, kesehatan dan asset Kelahiran tinggi : future security Akses terhadap pekerjaaan rendah Status gizi dan kesehatan rendah Produktifitas (fisik, mental dan intelektual) rendah Pendapatan rendah Keterjaminan pangan (food security) rendah Gambar 5. Keterkaitan Beragam Faktor dalam Lingkaran Setan Kemiskinan Kelaparan kronis menyebabkan kemunduran intelektual, menghalangi pertumbuhan produktifitas dan menjadi penyebab utama timbulnya penyakit, sehingga orang atau komonitas menjadi tidak mampu untuk merealisasikan potensi yang dimilikinya. Kelaparan dan kekurangan nutrisi/gizi mikro diperkirakan akan menurunkan kapasitas belajar sampai dengan lebih dari 10%. Untuk keluarga miskin, kelaparan yang dihubungkan dengan kondisi sakit merupakan biaya yang tinggi bagi rumah tangga dan meningkatkan beban terhadap kesehatan anggota keluarga. Penyakit merupakan tambahan beban kesulitan yang sangat berarti. Ada dua indikator yang direkomendasikan dalam memonitor keberlangsungan pencapaian target untuk mengurangi kelaparan, yaitu meratanya bobot yang rendah pada anak-anak berusia di bawah lima tahun dan proporsi dari

30 populasi di bawah tingkat minimum menu konsumsi energi (Kelompok Kerja Propenas, 2002). 2.3. Keterkaitan Variabel Makroekonomi 2.3.1. Keseimbangan Pendapatan Nasional Keseimbangan pendapatan nasional dicerminkan oleh keseimbangan internal dan eksternal secara simultan. Keseimbangan internal terjadi apabila dalam pasar barang dan pasar uang terjadi keseimbangan. Sedangkan keseimbangan eksternal terjadi jika neraca perdagangan sama dengan neraca modal asing (net capital flow). Secara teoritis proses terbentuknya keseimbangan pendapatan nasional tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Pendapatan nasional yang dihitung berdasarkan sisi pengeluaran didefinisikan sebagai penjumlahan dari pengeluaran konsumsi rumah tangga, ditambah pengeluaran investasi swasta, ditambah pengeluaran pemerintah, dan ditambah ekspor neto. Sedangkan pendapatan yang siap dibelanjakan (disposible income) adalah pendapatan nasional dikurangi pajak (Glahe, 1977). Secara matematis dapat dijelaskan sebagai berikut : Y = C + I + G + ( X M )...(1) YD = Y T...(2) dimana : Y C I G X I YD T = Pendapatan nasional = Pengeluaran konsumsi rumah tangga = Pengeluaran investasi swasta = Pengeluaran Pemerintah = Ekspor = Impor = Pendapatan yang siap dibelanjakan = Penerimaan Pajak

31 Besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga didefinisikan sebagai pendapatan yang siap dibelanjakan dikurangi tabungan rumah tangga (S), secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : C = YD S...(3) Sedangakan dari sisi penerimaan secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : Y = C + S + T...(4) Keseimbangan umum terjadi apabila persamaan (1) sama dengan persamaan (4), yaitu : C + I + G + X M = C + S + T atau I + G + X = S + T + M...(5) Persamaan (5) merupakan persamaan keseimbangan di pasar barang. Keseimbangan tersebut membentuk kurva IS yang ditunjukkan pada gambar 6d. Pada Gambar 6d juga terdapat kurva LM yang menunjukkan keseimbangan di pasar uang yang terbentuk dari keseimbangan permintaan uang (MD) dan penawaran uang (MS) (Gambar 6e). Berdasarkan teori Keynes permintaan uang adalah mempunyai tiga motif atau tujuan, yaitu : (1) permintaan uang untuk tujuan transaksi, (2) permintaan uang untuk tujuan berjaga-jaga, dan (3) permintaan uang untuk tujuan spekulasi. Permintaan uang untuk tujuan transaksi dan berjaga merupakan fungsi dari pendapatan, sedangkan permintaan uang untuk tujuan spekulasi merupakan fungsi dari tingkat suku bunga yang secara teoritis dapat ditulis sebagai berikut : Mt = f (Y)...(6) Mj = f (Y)...(7) Msp = f (r)...(8)

32 S, T, M S+T+M S+T+M (a) Y 45 0 (b) Y r r r MS LM EB MD IS I+G+X (e) M P (d) AS Y (c) I+G+X EB AD Y P (f) Y Y=f(N) (h) N 45 0 (g) Y W NS ND (i) N Gambar 6. Keseimbangan Perekonomian

33 MD = Mt + Mj + Msp...(9) Keseimbangan terjadi apabila : MS = MD...(10) dimana : Mt Mj Msp MD MS Y r = Permintaan uang untuk transaksi = Permintaan uang untuk berjaga-jaga = Permintaan uang untuk spekulasi = Total permintaan uang = Total penawaran uang = Pendapatan nasional = Tingkat suku bunga Persamaan (10) merupakan keseimbangan di pasar uang dan membentuk kurva LM. Keseimbangan internal terjadi apabila terjadi keseimbangan di pasar barang dan pasar uang atau (IS = LM) yang akan menentukan tingkat pendapatan nasional yang diukur dari sisi pengeluaran yang ditunjukkan oleh kurva permintaan agregat (Gambar 6f). Perubahan-perubahan dalam aktivitas konsumsi, tabungan, pajak, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor akan merubah kurva IS yang selanjutnya akan merubah permintaan agregat. Begitu pula perubahan-perubahan dalam aktivitas moneter baik dari sisi permintaan maupun penawaran uang akan merubah kurva LM yang selanjutnya akan merubah permintaan agregat. Keseimbangan dalam pasar barang dan pasar uang ini akan menentukan tingkat bunga. Kebijakan fiskal dicerminkan oleh pergeseran kurva IS, sedangkan kebijakan pemerintah dari segi moneter dicerminkan pada kurva LM. Pendekatan pendapatan nasional tersebut didasarkan pada sisi pengeluaran, sehingga sulit digunakan untuk mengevaluasi perubahan-perubahan dalam sisi produksi. Pendapatan Nasional apabila diukur dari sisi produksi

34 ditunjukkan pada Gambar 6h. Dalam teori makro Glahe (1977), fungsi produksi agregat didefinis ikan sebagai berikut : Y = f ( K, L, T, N)...(11) dimana : Y K L T N = Pendapatan nasional = Modal = Lahan = Teknologi = Tenaga Kerja Dalam jangka pendek diasumsikan bahwa K, T, L adalah tetap sehingga hanya N yang menjadi variabel input. Oleh karena itu fungsi produksi agregat dituliskan menjadi : Y = f (N)...(12) Mengacu pada teori makro ekonomi dan mengasumsikan penawaran tenaga kerja elastis sempurna (perfectly elastic) pada upah W dan harga produk perusahaan adalah konstan pada P, maka keuntungan perusahaan dapat disajikan sebagai berikut : p = (P.Y) (W.N)...(13) Keuntungan maksimum terjadi apabila turunan pertama dari fungsi keuntungan adalah nol, sehingga dp/dn = P.dY/dN W = 0, dengan asumsi turunan kedua terpenuhi. Oleh karena dy/dn = MPn adalah produk marginal dari tenaga kerja, maka : W = P.MPn...(14) Persamaan (14) ini merupakan permintaan tenaga kerja yang digambarkan sebagai kurva permintaan tenaga kerja (ND) dalam Gambar 6i. Perubahan harga (P) akan menyebabkan pergeseran pada kurva permintaan tenaga kerja (ND). Jika

35 diasumsikan bahwa upah tenaga kerja (W) bersifat kaku terhadap perubahan harga dalam jangka pendek sebagaimana asumsi Keynes, maka adanya perubahan harga (P) akan terjadi perubahan dalam pasar tenaga kerja akibatnya akan terjadi perubahan permintaan tenaga kerja, sehingga akan menyebabkan perubahan jumlah produksi. Begitu pula apabila terjadi perubahan tenaga kerja akibat naiknya jumlah penduduk dan angkatan kerja, juga akan menyebabkan perubahan permintaan tenaga kerja. Penempatan kurva keseimbangan eksternal (EB) pada Gambar 6d dan 6f, maka akan diperoleh keseimbangan internal dan eksternal. Keseimbangan internal dan eksternal pada Gambar 6d adalah EB = IS = LM, dimana jika EB > (IS =LM) menunjukkan perekonomian dalam keadaan surplus, sebaliknya jika EB < (IS=LM) menunjukkan perekonomian dalam keadaan defisit, yang umumnya dilakukan dalam evaluasi jangka pendek. Sedangkan dalam jangka panjang keseimbangan internal dan eksternal ditunjukkan dalam Gambar 6f yaitu AS =AD = EB, dimana jika EB > (AS=AD) menunjukkan perekonomian dalam keadaan surplus, sebaliknya jika EB < (AS=AD) menunjukkan perekonomian dalam keadaan defisit (Glahe, 1977). 2.3.2. Nilai Hasil Produksi dan Harga Asnawi (2005), dalam tulisannya menyatakan bahwa secara garis besar perhitungan pendapatan nasional dari sisi nilai produksi (Q) dirumuskan sebagai penjumlahan dari nilai produksi sektor dan sub sektor (Qij) : Q =?Qij...(15) dimana : Q = Total produksi Qij = Produksi dari sektor i dan subsektor j

36 Masing-masing produksi Qij dianggap respon terhadap perubahan harganya, modal, dan tenaga kerja, sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut : Qij = f (Pij, Kij, Nij)...(16) dimana : Pij Kij Nij = Indeks harga dari sektor i dan subsektor j = Modal di sektor i dan subsektor j = Penggunaan tenaga kerja di sektor i dan subsektor j Kekuatan harga domestik tidak hanya dipengaruhi oleh kekuatan pasar dalam negeri saja, tetapi juga dipengaruhi oleh kekuatan pasar internasional. Oleh karena itu secara empiris besarnya harga domestik sangat dipengaruhi oleh produksi, konsumsi, harga impor dan ekspor, dan nilai tukar rupiah terhadap US dollar. Secara matematis dapat dirumuskan seb agai berikut : dimana : Pij = f ( Qij, Cij, PXij, PM ij, NT)...(17) Pij = Harga Qij = Produksi Cij = Konsumsi PXij = Harga ekspor PMij = Harga impor NT = Nilai tukar rupiah 2.3.3. Ekspor Impor Total ekspor merupakan penjumlahan dari masing-masing sektor atau sub sektor. Sementara total impor merupakan penjumlahan dari masing-masing sektor atau sub sektor. Besarnya ekspor dari masing-masing sektor dan sub sektor dipengaruhi oleh harga dunia, indeks harga ekspor, nilai tukar rupiah terhadap dollar US, harga domestik, produksi domestik dan pajak ekspor. Sedangkan

37 besarnya impor dari masing-masing sektor dan sub sektor dipengaruhi oleh pajak / tarif impor, indeks harga impor, harga dunia, nilai tukar rupiah terhadap dollar US, harga domestik, dan produksi domestik (Asnawi, 2005). Sedangkan mengenai dampak pengenaan tarif impor dan pajak ekspor dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Pengenaan Tarif Impor Pengenaan tarif sebagai pajak menyebabkan biaya perdagangan meningkat, harga barang-barang impor di negara pengimpor mengalami kenaikan, harga yang lebih rendah untuk barang-barang ekspor dan menurunnya volume perdagangan. Tarif dapat mengurangi pendapatan dunia, tetapi memberikan keuntungan bagi kelompok-kelompok tertentu dalam negara pengekspor dan pengimpor. Efek ekonomi dari pengenaan pajak ekspor sama dengan pengenaan tarif impor, karena pajak ekspor akan meningkatkan biaya ekspor dan mengurangi volume ekspor. Untuk negara-negara kecil, harga dunia tidak terpengaruh dan harga domestik lebih rendah sebesar jumlah pajak yang dikenakan (Caves dan Jones, 1981). Pengenaan tarif impor akan menguntungkan kepada produsen di negaranegara pengimpor karena harga produk domestik menjadi relatif lebih murah dibandingkan produk sejenis yang berasal dari impor. Tarif impor merupakan penerimaan bagi pemerintah yang merupakan pembayaran transfer dari sektor swasta ke pemerintah. Tarif akan mempengaruhi alokasi sumberdaya dalam perekonomian, yaitu apabila tarif menaikkan harga domestik dari barang-barang yang diimpor maka penggunaan tenaga kerja dalam sektor yang diproteksi akan mengalami kenaikan. Selanjutnya apabila sektor pengimpor dan sektor pengekspor mempekerjakan faktor produksi dalam proporsi yang berbeda, maka

38 tarif akan menggeser permintaan faktor relatif dan harga faktor relatif. Tarif impor memberikan efek yang berlawanan terhadap konsumen domestik dengan menaikkan harga barang-barang impor. Konsumen yang selalu mengkonsumsi barang-barang impor akan mentransfer pendapatannya kepada produsen domestik dengan membeli barang-barang domestik. Efek ekonomi dari pengenaan tarif impor dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini. P D S 6 P 1 P W 1 A E 2 B 7 3 C F 4 D D 0 Q 2 Q 4 Q 3 Q 1 D Gambar 7. Dampak Tarif Impor Permintaan domestik sebelum dikenakan tarif impor adalah sebesar 0Q 1, yaitu terdiri dari produksi domestik sebesar 0Q 2 dan impor sebesar Q 2 Q 1. Setelah pemerintah mengenakan tarif sebesar P W P 1 per unit, maka permintaan domestik akan berubah menjadi 0Q 3, yaitu terdiri dari produksi domestik sebesar 0Q 4 dan impor sebesar Q 4 Q 3. Dimana P W merupakan harga dunia, sedangkan P 1 merupakan harga domestik setelah diberlakukan tarif. Dengan adanya tarif, maka surplus produsen

39 bertambah dari sebesar luas area 5 menjadi sebesar 5 + 1, sedangkan surplu s konsumen berkurang dari sebesar luas area 1 + 2 + 3 + 4 + 6 + 7 menjadi sebesar luas area 6 + 7, dan penerimaan pemerintah dari tarif sebesar luar area 3. Dengan adanya tarif, maka telah terjadi deadweigh loss sebesar luas area 2 + 4, yaitu pada area 2 adalah inefisiensi akibat penambahan produksi domestik, sedangkan area 4 ditangkap oleh konsumen luar negeri. 2) Pengenaan Pajak Ekspor Efek ekonomi dari pengenaan pajak ekspor adalah sama dengan pengenaan tarif impor. Pengenaan pajak ekspor meningkatkan biaya ekspor dan mengurangi volume ekspor. Untuk negara kecil maka harga dunia tidak terpengaruh dan harga domestik lebih rendah sebesar jumlah pajak ekspor yang dikenakan (Gambar 6). Harga Q Q S Harga Ekspor E 2 s =E 1 s + t E 1 s P 1 P 2 A B C D E E d Q D 0 1 Q 2 Q 4 Q 3 Q 1 0 2 E 2 E 1 Gambar 8. Pengenaan Pajak Ekspor

40 Apabila keseimbangan mula-mula pada titik E, tingkat harga adalah 0 2 A = 0 1 P 1 dan volume ekspor 0 2 E 1. Pajak ekspor menggeser kurva penawaran ekspor naik ke E s 2 mengurangi ekspor ke 0 2 E 2. Harga domestik turun ke 0 2 B = 0 1 P 2, produksi turun ke 0 1 Q 3 dan konsumsi naik ke 0 1 Q 4. Pajak ekspor akan menurunkan harga baik untuk produsen domestik maupun konsumen. Pajak ekspor merupakan penerimaan bagi pemerintah (Caves dan Jones, 1981). 2.3.4. Kebijakan Fiskal dan Moneter Permasalahan utama dalam makroekonomi selalu dihubungkan dengan permasalahan kebijakan fiskal dan moneter. Kebijakan fiskal yang banyak menyangkut masalah pajak dan belanja pemerintah merupakan alat kebijakan yang diperankan oleh pemerintah eksekutif. Sedangkan kebijakan moneter dipegang oleh bank sentral selaku pemegang stok uang (Ekelund dan Tollison, 1996). Komponen kebijakan fiskal meliputi penerimaan pajak, pengeluaran pemerintah, dan investasi. Penerimaan pajak terdiri dari pajak ekspor yang besarnya tergantung dari nilai ekpsor, tarif impor yang besarnya tergantung dari nilai impor, pajak penghasilan yang besarnya tergantung dari pendapatan nasional, dan pajak lainnya. Sedangkan pengeluaran pemerintah adalah pengeluaran total yang besarnya tergantung dari total penerimaan pemerintah yang melaui pajak dan bukan pajak, dan kondisi perekonomian secara makro termasuk inflasi. Investasi secara teoritis merupakan fungsi dari tingkat bunga, selain itu investasi juga bergantung dari besarnya modal dan pendapatan disposibel. Secara

41 tidak langsung harga juga turut mempengaruhi tingkat invesatsi, karena dengan naik dan turunnya harga akan memberikan pengaruh terhadap perilaku investasi. Sektor moneter bisa didekati berdasarkan perilaku permintaan dan penawaran uang. Berdasarkan teori Keynes, permintaan uang mempunyai tiga tujuan, yaitu : (1) tujuan transaksi, (2) tujuan berjaga-jaga, dan (3) tujuan spekulasi. Permintaan uang untuk tujuan transaksi dan berjaga-jaga besarnya ditentukan oleh tingkat bunga, sehingga banyaknya permintaan uang banyak dipengaruhi oleh tingkat suku bunga dan juga tingkat inflasi. Sementara itu, jumlah penawaran uang sangat ditentukan oleh tingkat bunga pasar, inflasi, nilai tukar, dan intervensi pemerintah berupa giro wajib minimum atau cadangan wajib bank komersial. Oleh karena itu tingkat suku bunga dalam keseimbangan ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran uang (Asnawi, 2005). 2.3.5. Kebijakan Fiskal dan Moneter untuk Pengentasan Kemiskinan Mengurangi kemiskinan dapat dipandang sebagai salah satu tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa secara berkeadilan. Untuk mencapai hal ini, secara simultan, beberapa indikator pembangunan yang relevan seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan jumlah penduduk miskin hendaklah ditargetkan secara tepat. Pada propenas 2000-2004 ditetapkan bahwa pertumbuhan ekonomi mencapai 6-7 persen secara bertahap, tingkat pengangguran menurun menjadi 5.1 persen, dan jumlah penduduk miskin menurun menjadi 14 persen pada tahun 2004. Upaya untuk meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi menjadi 6-7 persen perlu dilakukan, mengingat angka kemiskinan serta tingkat pengangguran akan sulit ditekan apabila tingkat

42 pertumbuhan masih relatif rendah, yang diperkirakan hanya sekitar 5 persen pada tahun 2004. Keadaan ekonomi riil, khususnya pengangguran dan kemiskinan, hingga akhir-akhir ini belum menunjukkan perkembangan yang cukup baik, Sebelum krisis, jumlah penduduk miskin dibawah 16 persen, namun ketika krisis datang pada pertengahan 1997, meningkat menjadi 40 persen. Hingga tahun 1999, angka tersebut masih 23.4 persen dan pada tahun 2002 sekitar 18.2 persen. Pada tahun 2003, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup besar yakni mencapai 37 juta jiwa atau 17 persen dari julah penduduk. Diprediksikan dalam Propenas 2000-2004 bahwa angka kemiskinan tahun 2004 kemungkina hanya bisa ditekan hingga 16 persen. Komitmen untuk mengurangi utang luar negeri, yang akan membawa konsekuensi terhadap berkurangnya dana-dana pembiayaan pembangunan, mengurangi dana untuk penanggulangan kemiskinan. Upaya menekan angka pengangguran dan kemiskinan memerlukan kebijakan-kebijakan yang komprehensif. Kebijakan moneter yang diterapkan setelah diberlakukannya UU No. 23/1999, yang hanya memfokuskan pada pengendalian inflasi dan nilai tukar rupiah, sulit diharapkan secara langsung dapat menekan pengangguran dan kemiskinan. Dengan kata lain, stimulus ekonomi melalui kebijakan moneter sulit dilakukan. Kebijakan fiskal lebih efektif untuk merangsang perekonomian. Kebijakan fiskal melalui peningkatan tarif pajak akan berdampak pada dunia usaha, yang selanjutnya berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja. Tenaga kerja yang memiliki kemampuan rendah, yang biasanya merupakan tenaga kasar, akan sangat terpengaruh oleh kenaikan tarif pajak. Tenaga kerja ini memiliki peluang yang relatif tinggi menjadi pengangguran. Tenaga kerja terampil dan

43 berpendidikan memiliki kerentanan yang relatif kecil untuk menjadi penganguran (Yudhoyono, 2004). 2.4. Hasil Penenelitian Terdahulu Kemiskinan di pedesaan dipengaruhi secara nyata oleh pengeluaran pemerintah untuk pertanian, pertumbuhan ekonomi, tingkat upah, serta rezim pemerintahan. Masing-masing pengeluaran pemerintah untuk pertanian, pertumbuhan ekonomi dan upah berpengaruh negatif terhadap kemiskinan di pedesaan, menunjukkan peningkatan tiap-tiap variabel ini dapat mengurangi kemiskinan di pedesaan secara nyata. Sementara kemiskinan di perkotaan secara nyata dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, rezim pemerintahan dan desentralisasi (Yudhoyono, 2004). Sementara Simatupang (2000), mengungkapkan bahwa salah satu keunggulan sektor pertanian ialah dalam hal pengentasan kemiskinan yang merupakan tujuan utama pembangunan ekonomi nasional. Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pembangunan sektor pertan ian sangat efektif dalam pengentasan kemiskinan, nilai peningkatan pendapatan perkapita dan penurunan harga makanan khususnya harga beras. Penurunan harga beras sangat efektif menurunkan jumlah penduduk miskin di pedesaan maupun di perkotaan. Peningakatan pendapatan per kapita sektor pertanian terutama berpengaruh nyata terhadap jumlah penduduk miskin di pedesaan. Kontribusi langsung sektor primer dalam PDB memang cenderung menurun dan tidak lagi menduduki peringkat utama, sementara kontribusi langsung sektor industri cenderung meningkat dan telah meraih peringkat utama.

44 Namun sesungguhnya, sebagian besar PDB sektor industri ternyata berasal dari sub sektor agroindustri yang pada dasarnya sebagian terbesar merupakan kontribusi dari sektor pertanian. Oleh karena itu, apabila kontribusi melalui subsektor industri diperhitungkan maka kontribusi langsung sektor pertanian dalam PDB masih tetap yang terbesar dalam perekonomian Indonesia.