17 Penganalisa Ukuran Partikel (PSA) (Malvern 2012) Analisis ukuran partikel, pengukuran ukuran partikel, atau hanya ukuran partikel adalah nama kolektif prosedur teknis, atau teknik laboratorium yang menentukan berbagai ukuran atau rata-rata ukuran partikel dalam sampel bubuk. Ukuran distribusi partikel ditetapkan dengan menggunakan hamburan cahaya dinamis. Hamburan cahaya dinamis (juga dikenal sebagai spektroskopi korelasi foton atau hamburan cahaya kuasi-elastis) adalah teknik dalam fisika yang dapat digunakan untuk menentukan profil distribusi ukuran partikel kecil dalam suspensi atau larutan. Pengukuran ukuran partikel sampel serbuk dilakukan dengan PSA dari Malvern Instrumen di kisaran 0.1 10.000 nm. Mikroskop Transmisi Elektron (TEM) (Williams dan Carter 1996) Mikroskop elektron transmisi merupakan difraksi elektron dan mikroskop yang sering digunakan untuk mengamati struktur non-periodik seperti cacat kristal dan dapat mengungkapkan informasi berharga tentang fase intergrowth dan superstruktur. Elektron memiliki muatan karena sinar elektron akan berinteraksi dengan kerapatan elektron dan potensi coulombic dari inti atom yang di atasnya. Elektron berinteraksi sangat kuat dengan bahan maka hamburan elektron dari alat TEM ini jauh lebih kuat dibandingkan dengan hamburan sinar-x. Elektron yang digunakan dalam transmisi mikroskop elektron ini dihasilkan oleh filamen yang dipanaskan dalam elektron gun termionik kemudian dipercepat melalui beda potensial. Elektron ini difokuskan oleh serangkaian medan elektromagnetik yang disebut sebagai lensa dan digunakan untuk mengendalikan faktor-faktor seperti balok aperture resolusi, pembesaran final dan dapat beralih menjadi gambar langsung dan mode difraksi. HASIL DAN PEMBAHASAN Cangkang tutut kering yang sudah terpisah dari dagingnya, dihaluskan dan dikalsinasi pada suhu 1000 C selama 5 jam dapat dilihat pada Gambar 4. a b c Gambar 4 (a) Cangkang tutut kering, (b) serbuk halus dan (c) serbuk hasil kalsinasi
18 Hasil ball-mill cangkang tutut kering berupa serbuk halus berwarna putih kekuningan yang digunakan untuk analisis komposisi. Setelah kalsinasi serbuk berwarna putih yang digunakan sebagai bahan dasar dalam proses sintesis. Analisis Komposisi Cangkang Tutut Sebelum Kalsinasi Analisis sampel kadar air dan kadar abu dalam cangkang tutut belamya javanica kering sebelum kalsinasi menggunakan metode gravimetri, sedangkan analisis komposisi unsur-unsurnya menggunakan spektroskopi serapan atom (AAS) dan UV-Vis yang dapat dilihat pada Lampiran 4. Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat dalam suatu bahan. Hasil pengujian kadar abu menunjukkan bahwa cangkang tutut memiliki kadar abu 54.57%. Dalam proses pembakaran, bahan bahan organik akan terbakar menjadi CO 2 dan logam menjadi oksida logamnya. Bobot yang hilang merupakan bahan organik yang dapat dikonversi menjadi kadar C-Organik setelah dikalikan 0.58, maka hasil perhitungan diperoleh kadar C-Organik sebesar 31.65% (Eviati dan Sulaeman 2012). Cangkang tutut mengandung mengandung senyawa CaCO 3. Hasil analisis sampel serbuk cangkang tutut menunjukkan bahwa kandungan kalsium yang terdapat dalam cangkang tutut adalah 64.73%. Kadar kalsium cangkang keong sawah dalam penelitian Winata (2012) sebesar 52% dan kadar kalsium cangkang keong dari penelitian Lugina (2013) sebesar 68.41% sehingga cangkang tutut yang kaya akan mineral kalsium ini cocok digunakan sebagai sumber kalsium untuk sintesis hidroksiapatit. Tutut hidup di tanah sawah berlumpur, oleh karena selain kalsium yang terdapat dalam cangkang diduga terdapat unsur lain yang terkandung dalam cangkang tutut yaitu magnesium, fosfor, natrium, besi, mangan, tembaga dan seng. Hasil analisis menunjukkan bahwa seluruh komposisinya memiliki kadar dibawah 0.05%, sedangkan kadar tertinggi sebesar 0.08% berasal dari unsur besi (Lampiran 4). Kadar ini masih dibawah syarat mutu yaitu 2.00% berdasarkan persyaratan dalam SNI 19-7030-2004 yang mengindikasikan bahwa cangkang tutut ini tidak termasuk limbah organik domestik yang membahayakan. Hasil Analisis XRD dan EDS Cangkang Tutut Sebelum Kalsinasi Kalsium dalam cangkang tutut memiliki satu komposisi fasa yaitu kalsium karbonat (CaCO 3 ). Hasil analisis difraksi sinar-x (XRD) menunjukkan bahwa serbuk cangkang tutut sebelum kalsinasi memiliki fasa utama adalah fasa aragonit (CaCO 3 ) dan fasa calcite (CaCO 3 ), Gambar 5.
19 Gambar 5 (a) Difraktogram sinar-x contoh cangkang tutut sebelum kalsinasi, (b) difraktogram sinar-x CaCO 3 dari basis data instrumen Pola difraksi sinar-x fasa utama CaCO 3 (Aragonite) dicirikan oleh puncak difraksi di sekitar sudut 2 26 53 berstruktur orthorhombic dengan parameter kisi a = 4.9617 Å, b = 7.9692 Å, dan c = 5.7427 Å. Fasa minor yaitu fasa calcite ditemukan pada sudut 2 29.342 berstruktur heksagonal dan parameter kisi a = 4.9910 Å, b = 4.9910 Å, dan c = 17.0680 Å. Analisis difraksi sinar-x terhadap serbuk cangkang tutut menunjukkan bahwa CaCO 3 merupakan komponen utama. Data hasil analisis XRD cangkang tutut sebelum kalsinasi dapat dilihat pada Lampiran 5a dan Gambar sistem kristal dapat dilihat pada Lampiran 6. Analisis unsur menggunakan EDS pada sampel cangkang tutut dilakukan sebelum kalsinasi. Hasil analisis ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil analisis EDS cangkang tutut sebelum kalsinasi No. Unsur Kandungan % (b/b) 1. Kalsium (Ca) 62.96 ± 2.5 2. Oksigen (O) 36.15 ± 5.8 3. Karbon (C) 0.89 ± 0.3 Kandungan unsur cangkang tutut sebelum kalsinasi yang diukur menggunakan EDS menunjukkan kandungan tertinggi didominasi unsur kalsium (Ca) sebesar 62.96% lalu oksigen (O) 36.15 % kemudian karbon (C) 0.89%. Pengujian EDS pada suatu titik/spot hanya menghasilkan keluaran dalam bentuk persentase unsur saja (bukan senyawa). Pengujian ini dilakukan untik memastikan bahwa kandungan unsur utama cangkang tutut adalah kalsium, oksigen dan karbon sehingga dapat diindikasikan bahwa terdapat unsur penyusun fasa dari CaCO 3. Hasil Analisis XRD dan EDS Cangkang Tutut Setelah Kalsinasi Proses kalsinasi diperlukan sebelum sintesis hidroksiapatit untuk mengubah kandungan CaCO 3 cangkang tutut menjadi CaO lalu terhidrasi pada suhu ruang menjadi Ca(OH) 2. Hasil pengukuran pola difraksi sinar-x cangkang tutut setelah kalsinasi dapat dilihat pada Gambar 6.
20 Gambar 6 Difraktogram sinar-x sampel cangkang tutut kering setelah kalsinasi Hasil analisis difraksi sinar-x (XRD) menunjukkan bahwa fasa utama cangkang tutut serbuk setelah kalsinasi adalah porlandite (Ca(OH) 2 ) yang dicirikan oleh puncak difraksi pada sudut 2 17.8 64.1 dengan struktur heksagonal dan parameter kisi a = 3.5890 Å, b = 3.5890 Å, dan c = 4.9110 Å. Identifikasi fasa ini merujuk pada literatur Swanson dan Tatge (1953) bahwa pola difraksi sinar-x porlandite atau Ca(OH) 2 berada di sekitar sudut 18.0 64.2 (Lampiran 5b). Dengan demikian cangkang tutut ini dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan HAp. Analisis unsur menggunakan EDS pada sampel cangkang tutut dilakukan sesudah kalsinasi. Hasil analisis ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil analisis EDS cangkang tutut setelah kalsinasi No. Unsur Kandungan % (b/b) 1. Kalsium (Ca) 58.60 ± 2.1 2. Oksigen (O) 40.53 ± 5.8 3. Karbon (C) 0.87 ± 0.2 Kandungan unsur cangkang tutut setelah kalsinasi menunjukkan kandungan penurunan kadar Ca menjadi 58.60%, O 40.53% dan C menjadi 0.87%. Tahap kalsinasi cangkang tutut berlangsung ada suhu 1000 C dan waktu selama 5 jam. Kondisi ini menyebabkan seluruh komponen organik cangkang tutut terbakar habis menjadi CO 2 dan H 2 O (Adak dan Purohit 2011). Langkah ini juga dapat membebaskan gas CO 2 dari fasa kalsium karbonat. Dengan demikian di akhir proses kalsinasi, seluruh cangkang tutut diharapkan dapat berubah menjadi CaO. Serbuk CaO yang terbentuk kemudian dibiarkan kontak dengan atmosfer pada suhu kamar selama 12 jam agar terjadi hidrasi sehingga menghasilkan Ca(OH) 2. Sintesis Hidroksiapatit dengan Metode Presipitasi dan Hidrotermal Sintesis nanopartikel HAp yang paling banyak dilakukan adalah metode presipitasi basah atau presipitasi kimia. Metode ini sering digunakan karena jumlah produk HAp yang dihasilkan relatif lebih banyak dan tanpa menggunakan
pelarut organik (Cunniffe et al. 2010). Larutan H 3 PO 4 sebagai sumber fosfat bersifat asam, maka diperlukan pemantauan dan penyesuaian ph yang baik agar dapat menghasilkan senyawa hidroksiapatit. Apabila ph larutan turun hingga di bawah 9 atau 7 akan menyebabkan terbentuknya kalsium monofosfat dan kalsium dehidrat yang mudah larut dalam air (Afshar et al. 2003). Oleh karena itu proses ini harus menggunakan ph meter sebagai pemantau ph dan larutan NH 4 OH 1 M digunakan sebagai penyesuai ph sehingga larutan tetap pada ph 10.0. Proses sintesis HAp menggunakan metode hidrotermal dilakukan melalui reaksi anion PO 4-3 yang mengendap perlahan dalam suspensi kation Ca 2+ pada ph rendah (Santos et al. 2004). H 3 PO 4 diteteskan pada suspensi Ca(OH) 2, agar ion hidroksil pada suspensi Ca(OH) 2 habis bereaksi dengan larutan H 3 PO 4. 21 Hasil Analisis Menggunakan XRD Pengukuran pola difraksi sinar-x dan identifikasi fasa sampel HAp hasil sintesis dengan metode presipitasi (Gambar 7) dicirikan oleh puncak difraksi di antara sudut 2 22 80. Gambar 7 Difraktogram sinar-x HAp hasil sintesis metode presipitasi Gambar 7 memperlihatkan pola difraksi sinar-x yang dicirikan oleh munculnya puncak difraksi intensitas sedang pada sudut 2 25.86 dan 39 53, dua puncak agak lemah di 28 29 dan 64 72, tiga puncak yang melebar di antara sudut 31 34. Hasil analisis dari pola difraksi sinar-x dengan cara pencocokan terhadap data Joint Cristal Powder Diffraction Standard (JCPDS) no 09-0432 (Lampiran 7d) menunjukkan bahwa sampel merupakan fasa tunggal yaitu fasa hidroksiapatit (Ca 10 (PO 4 ) 6 (OH) 2. Hasil analisis yang dilakukan Lee (2009) menggunakan program general structure analysis system (GSAS) menunjukkan struktur HAp adalah struktur heksagonal. Hasil pengukuran pola difrakasi sinar-x metode hidrotermal dan identifikasi fasa HAp dapat dilihat pada Gambar 8.
22 Gambar 8 Difraktogram sinar-x HAp hasil sintesis metode hidrotermal Hasil identifikasi pada Gambar 8 menunjukkan HAp hasil sintesis menggunakan metode hidrotermal terdiri dari dua fasa, yaitu fasa hidroksiapatit (Ca 10 (PO 4 ) 6 (OH) 2 dan fasa lime (CaO). Pembentukan HAp yang dicirikan oleh puncak dengan intensitas sedang di sekitar sudut 2 25 27 dan sekumpulan puncak di sudut 46 54 dua puncak agak lemah di 28 29 empat puncak yang berdekatan di 31-35 dengan rasio intensitas umumnya 3:2:2:1, dan dua puncak lemah yang saling berdekatan di sudut 39 40. Fasa CaO teramati pada sudut 37.40 dan 53.83. Menurut Afshar et al. 2003 dan Santos et al. 2004, fasa yang teramati pada sudut 36-38 adalah pengotor yang merupakan indikator terhadap kemurnian produk HAp. Hasil analisis menggunakan program GSAS menunjukkan fasa hidroksiapatit memiliki struktur heksagonal dan fasa lime dengan struktur kubik. Sintering perlu dilakukan untuk mendapatkan HAp murni. Selain hidroksiapatit, dapat terbentuk fasa apatit karbonat tipe A (AKA), bahkan masih ada sisa asam fosfat yang belum bereaksi dengan kalsium karbonat. Fase AKA dapat muncul karena adanya gugus hidroksil pada struktur HAp yang ditempati oleh gugus karbonat (Dahlan 2013). Berdasarkan pola difraksi yang dihasilkan pada kedua metode terlihat perbedaan pada lebar FWHM (Full Weight Half Maximum) yang mengindikasikan adanya perbedaan ukuran kristal dan derajat kristalin (Dahlan 2013). Banyaknya kandungan kristal dalam suatu material diperoleh dengan membadingkankan luasan kurva kristal dengan luasan kurva amorf dan kristal. Derajat kristalinitas yang diperoleh dari metode presipitasi adalah 79.83% sedangkan metode hidrotermal 85.99%. Metode presipitasi memiliki kurva FWHM yang relatif lebih lebar sehingga derajat kristalinnya lebih rendah dibandingkan metode hidrotermal. Derajat kristalinitas yang diperoleh dari hasil penelitian Winata (2012) menggunakan bahan cangkang keong dengan metode presipitasi sedikit lebih rendah yaitu 78.19%. Hasil Analisis Menggunakan EDS Hasil sintesis pada metode presipitasi dan hidrotermal diaanalisis unsurnya menggunakan EDS. Spektrum energi yang dihasilkan menunjukkan unsur mayoritas yang terkandung di dalam sampel HAp hasil sintesis dengan metode hidrotermal dan presipitasi adalah kalsium (Ca), phospor (P), oksigen (O). Kandungan unsur yang ada di dalam sampel cangkang tutut setelah proses sintesis ditunjukkan pada Tabel 6.
23 Tabel 6 Hasil analisis unsur cangkang tutut metode presipitasi dan hidrotermal menggunakan EDS No. Unsur Kandungan (wt.%) Presipitasi Hidrotermal 1. Kalsium (Ca) 36,18 ± 1.4 41.03 ± 1.6 2. Phospor (P) 16.35 ± 0.7 15.63 ± 0.7 3. Oksigen (O) 47.47 ± 5.7 43.34 ± 5.6 Berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan EDS menunjukkan bahwa rasio molar Ca/P pada sampel hasil sintesis metode presipitasi menghasilkan rasio molar Ca/P sebesar 1.71. Hal ini menunjukkan bahwa HAp hasil sintesis menggunakan metode presipitasi mengandung unsur kalsium sedikit berlebih dan mendekati stoikhiometri fasa HAp standar. Dengan demikian sampel HAp yang dihasilkan diduga memiliki satu komposisi fasa. Serbuk HAp yang memiliki stoikiometri yang tepat yaitu rasio molar Ca/P sebesar 1.67 dapat menghasilkan sifat mekanis HAp yang unggul (Chow 2009). Sedangkan hasil sintesis menggunakan metode hidrotermal menghasilkan rasio molar Ca/P sebesar 2.03. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada sampel mengandung unsur kalsium yang berlebih sehingga memungkinkan sekali akan terbentuk fasa lain selain fasa HAp. Hal yang sama pernah terjadi pada hasil penelitian Santos et al (2004), bahwa ion hidroksil pada suspensi Ca(OH) 2 diharapakan habis bereaksi dengan larutan H 3 PO 4, namun ternyata ada sejumlah kandungan Ca terperangkap dalam HAp yang mengendap dan membentuk fasa CaO. Hasil Analisis Menggunakan FTIR Analisis spektrum FTIR dilakukan untuk mengetahui gugug fungsi yang terdapat pada senyawa hasil sintesis. Gugus fungsi pada HAp ditandai dengan munculnya serapan pada bilangan gelombang 400 4000 cm -1. Spektrum infra merah HAp hasil sintesis metode presipitasi dan hidrotermal disajikan pada Gambar 9 dan analisis terhadap puncak-puncak serapannya disajikan pada Tabel 7. Gambar 9 Spektra gugus fungsi HAp hasil sintesis metode (a) presipitasi dan (b) hidrotermal.
24 Rasio intensitas sebagai fungsi frekuensi cahaya memberikan spektrum dalam bentuk transmisi, refleksi, dan absorbansi. Banyaknya getaran yang terjadi secara bersamaan menghasilkan spektrum penyerapan yang sangat kompleks dan memberikan karakteristik unik dari kelompok fungsional berupa molekul dan konfigurasi atom. Secara rinci puncak-puncak absorbansi dari spektra FTIR diperlihatkan pada Tabel 7. Presipiasi 470.63, 567.07, 601.79, 875.68, 960.55, 1041.56 Tabel 7 Puncak-puncak absorbansi dari spektrum FTIR Bilangan gelombang (cm 1 ) Hidrotermal Interpretasi Gugus Fungsi 405.05, 3641.60 Gugus kalsium oksida (CaO) (Ji et al.2009) 470.63, 570.93, 601.79, Gugus fosfat (PO 3-4 ) 875.68, 964.41,1053.13, (Destainville et al. 2003) 1091.71 1454.33 1442.75 Gugus karbonat (CO 2-3 ) (Meejoo et al. 2006) 1415.75 1411.89 Gugus karbon dioksida (CO 2 ) (Siva Rama Krishna et al. 2007) 3421.72, 3568.31 3572.17 Gugus hidroksil (OH - ) (Raynaud et al. 2002) Puncak-puncak absorbansi gugus fosfat (PO 4 3- ) dicirikan adanya serapan pada bilangan gelombang sekitar 470, 640 550, 963, 1120 1000 cm -1. Spektrum HAp yang dihasilkan dari metode presipitasi dan hidrotermal menunjukkan serapan pada rentang bilangan gelombang 470.63 1091.71 cm -1 yang mengindikasikan adanya vibrasi P O dari gugus PO 4. Metode presipitasi dan hidrotermal menghasilkan spektrum pada bilangan gelombang sekitar 1400 1600 cm -1 hal ini sesuai dengan serapan bilangan gelombang untuk gugus fungsi CO 3 2- (Meejoo et al. 2006). Gugus karbonat (CO 3 2- ) yang muncul pada bilangan gelombang 1415.75 cm -1 mengindikasi adanya vibrasi C O dari gugus CO 3. Adanya gugus OH pada HAp hasil sintesis metode presipitasi dan hidrotermal ditunjukkan dengan munculnya serapan pada bilangan gelombang sekitar 3421.72 3572.17 cm -1. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilaporkan Raynaud et al. 2002 bahwa gugus OH muncul pada bilangan gelombang 3572 3570 cm -1. Adanya gugus OH, PO 4, mengindikasikan telah terbentuk fasa hidroksiapatit dengan baik sedangkan keberadaan gugus CO 3 dalam campuran senyawa berada pada intensitas yang kecil sehingga kemungkinan terbentuk fase amorf. Hasil Analisis menggunakan SEM Pengamatan morfologi menggunakan SEM untuk partikel HAp yang di sintesis mengalami sedikit kendala karena partikel tersebut mengalami aglomerasi sehingga menyulitkan untuk benar-benar mengatahui morfologi dari partikel tunggal HAp. Kristal HAp cenderung aglomerat (Dedourkova et al. 2012) dengan
rentang ukur 210 410 dan rata-rata ukuran kristalnya sekitar 50 nm (Binnaz dan Koca 2009). Untuk lebih memastikan morfologi dari partikel HAp maka dilakukan preparasi sampel untuk uji SEM dengan teknik pelapisan menggunakan emas. Gambar 10 memperlihatkan hasil pengamatan morfologi sampel HAp hasil sintesis metode presipitasi dan hidrotermal menggunakan SEM dengan perbesaran 2500 kali. 25 (a) (b) Gambar 10 Citra SEM HAp hasil sintesis metode (a) presipitasi dan (b) hidrotermal Morfologi pada kedua produk HAp menunjukkan aglomerasi dengan karakteristik partikel tunggalnya cenderung bulat-bulat. Morfologi HAp hasil sintesis metode presipitasi membentuk gumpalan-gumpalan yang lebih kecil dibandingkan dengan yang dihasilkan dengan metode hidrotermal. Hal ini menunjukkan HAp hasil sintesis metode hidrotermal mengalami aglomerasi partikel, sehingga sangat sulit untuk mendispersikan partikel-partikel tersebut tanpa harus disonikasi terlebih dahulu (Binnaz dan Koca, 2009). Hasil Analisis menggunakan PSA Pengukuran distribusi ukuran partikel menggunakan PSA pada metode presipitasi dan hidrotermal dapat dilhat pada Gambar 11 yang memperlihatkan hubungan antara ukuran partikel tunggal dengan jumlah partikel yang terdistribusi dalam sistem koloid. Secara rinci distribusi ukuran partikel pada sampel HAp hasil sintesis menggunakan metode presipitasi dan hidrotermal diperlihatkan pada Lampiran 8.
26 (a) (b) Gambar 11 Distribusi ukuran partikel metode statistik HAp hasil sintesis metode (a) presipitasil dan (b) hidrotermal menggunakan PSA HAp hasil sintesis metode presipitasi memiliki ukuran partikel antara 89.15 nm sampai 223.93 nm, sedangkan metode hidrotermal antara 128.86 nm sampai 186.26 nm. Suatu partikel dikategorikan sebagai partikel nano jika memiliki ukuran 0.1 100 nm (Winarno, 2009). Metode presipitasi menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil dibandingkan metode hidrotermal, dihasilkan HAp dengan ukuran <100 nm sebanyak 50%, sedangkan metode hidrotermal tidak dapat mencapai ukuran tersebut. Namun demikian hasil yang diperoleh ini masih lebih besar dari hasil penelitian Binnaz & Koca (2009) yang melaporkan HAp hasil sintesisnya mencapai ukuran 50 nm Analisis PSA menunjukkan adanya ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel, tidak semua partikel. Hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan tumbukan yang terjadi antara partikel yang berukuran
kecil dengan partikel yang berukuran besar. Resultan tumbukan yang berlangsung dari segala arah ini menyebabkan perubahan arah gerak partikel sehingga terjadi gerak zig-zag atau gerak Brown yang diinterpretasikan dalam bentuk distribusi ukuran partikel (Maorters dan Peres 2010). 27 Hasil Analisis menggunakan TEM Hasil pengamatan ukuran partikel HAp hasil sintesis diamati menggunakan TEM dapat dilihat pada Gambar 12. Nampak bahwa HAp hasil metode presipitasi telah memiliki ukuran partikel nano dengan diameter 10 20 nm dan rata-rata diameter agregat sekitar 50 100 nm. (a) (b) Gambar 12 Pengamatan partikel HAp hasil sintesis metode (a) presipitasi dan (b) hidrotermal menggunakan TEM HAp hasil sintesis metode presipitasi ini memiliki ukuran partikel lebih kecil dibandingkan dengan ukuran partikel HAp dengan metode yang sama hasil penelitian Cunniffe et al. (2010) dan Dedourkova et al. (2012). Cunniffe et al. (2010) telah melakukan sintesis nanopartikel HAp dengan metode presipitasi yaitu H 3 PO 4 ditambahkan pada Ca(OH) 2 pada suhu kamar dengan pengadukan sonikasi selama10 menit dan ph larutan 9.5 diperoleh ukuran partikel kurang dari 100 nm.