1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kematian pada balita paling besar disebabkan oleh pneumonia yaitu sebesar 14% (WHO, 2013). Pada tahun 2011, dilaporkan 1,3 juta anak meninggal karena penyakit yang dapat dicegah dan diatasi tersebut. Selain itu, lebih dari 99% kematian karena pneumonia terjadi di negara negara berkembang (WHO, 2012). Rudan et al., (2008) menyatakan bahwa pneumonia di Asia Tenggara termasuk tinggi yaitu dengan penemuan kasus pneumonia baru sebanyak 60,95 juta per tahun, sedangkan Indonesia merupakan negara urutan keenam dari lima belas negara tertinggi kasus pneumonia. Perkiraan insiden pneumonia baru di Indonesia sebesar enam juta per tahun. Data dari Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 menunjukkan bahwa persentase penemuan dan penanganan penderita pneumonia pada balita tahun 2012 sebesar 24,74% lebih sedikit dibanding tahun 2011 (25,5%). Jumlah kasus yang ditemukan sebanyak 64.242 kasus, angka ini masih sangat jauh dari target Standar Pelayanan Minimal (SPM) tahun 2010 (100%). Berdasarkan data Profil Kesehatan Kabupaten Klaten tahun 2011, pneumonia pada balita ditemukan dan ditangani sebesar 18,56%, sedangkan pada tahun 2012, pneumonia pada balita ditemukan dan ditangani sebesar 17,24%. Hasil wawancara dengan pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten mendapatkan data bahwa cakupan penemuan pneumonia di Kabupaten Klaten 1
2 masih lebih rendah dari SPM. Rendahnya cakupan penemuan pneumonia ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu pihak puskesmas tidak melaporkan penemuan pneumonia atau tidak terdeteksinya kasus pneumonia di daerah. Berdasarkan Laporan Tahunan Program P2 ISPA Kabupaten Klaten, pada tahun 2011 cakupan penemuan pneumonia sebesar 13,7%, sedangkan pada tahun 2012 sebesar 11,7% dan pada tahun 2013 sebesar 14,4%. Angka tersebut masih di bawah dari cakupan penemuan pneumonia di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan Laporan Tahunan tersebut, selama tiga tahun terakhir Puskesmas Pedan menjadi Puskesmas dengan insidensi pneumonia tertinggi di Kabupaten Klaten. Pada tahun 2011, insidensi pneumonia di Kabupaten Klaten sebanyak 72,1%, sedangkan pada tahun 2012 sebanyak 63,3% dan pada tahun 2013 sebanyak 71,5%. Pneumonia merupakan salah satu penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Pneumonia pada anak ditandai oleh beberapa hal, diantaranya adalah batuk dan sukar bernapas. Masalah batuk dan sukar bernapas pada anak perlu diwaspadai oleh masyarakat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Baco (2012), faktor-faktor yang berpengaruh sebagai faktor prognosis pneumonia pada anak antara lain status gizi kurang/buruk dengan Rasio Odds (RO) 6,637 (IK 95% 1,29-34,11), status imunisasi RO 5,52 (IK 95% 1,79-16,97), keterlambatan membawa anak ke RS RO 4,41 (IK 95% 1,12-17,31) dan status ASI RO 4,39 (IK 95% 1,30-14,80). Upaya pengendalian pneumonia diperlukan dengan memperhatikan faktor prognosis pneumonia tersebut.
3 Pengendalian pneumonia merupakan prioritas dan esensial dalam mencapai Millenium Development Goals keempat yaitu menurunkan kematian anak (WHO, 2009). Global Action Plan for Prevention and Control of Pneumonia (2009) menyusun berbagai intervensi untuk mengontrol pneumonia pada balita yang dikategorikan menjadi protect (melindungi anak anak dengan menyediakan lingkungan yang rendah risiko terjadi pneumonia), prevent (mencegah anak menjadi penderita pneumonia) dan treat (merawat anak yang menderita pneumonia). Pada tahun 1992, World Health Organization (WHO) dan the United Nations Children s Fund (UNICEF) mengembangkan the Integrated Management of Childhood Illnessess (IMCI) untuk mengatasi lima penyebab utama kematian anak, yaitu diare, pneumonia, malaria, campak dan malnutrisi. Kemudian pada tahun 1997, IMCI dikembangkan menjadi Community IMCI (C-IMCI) dimana strategi ini mengembangkan praktek di rumah tangga dan komunitas. Community IMCI atau C-IMCI berfokus pada keenam belas peran kunci praktek kesehatan keluarga dan komunitas (CORE Group, 2009). Program C-IMCI di Malawi membuahkan hasil positif setelah berjalan selama dua tahun, diantaranya pencarian pelayanan kesehatan untuk anak sakit meningkat dari 71% menjadi 84%, vaksinasi pada anak anak meningkat dari 69% menjadi 96%, penggunaan vitamin A juga meningkat dari 54% menjadi 82% serta ASI eksklusif meningkat dari 40% menjadi 82%. Sebuah studi yang dilakukan oleh Sivhaga, Hlabano dan Odhiambo (2012) tentang pelatihan C IMCI di Afrika Selatan didapatkan hasil adanya peningkatan performa indikator kesehatan berupa
4 penurunan insidensi diare menjadi 5/1000 dari 54/1000, cakupan imunisasi menjadi 11%, cakupan vitamin A pada anak dibawah satu tahun meningkat menjadi 45% dari 27,2%. Aplikasi program C-IMCI di Indonesia disebut sebagai Manajemen Terpadu Balita Sakit di Masyarakat (MTBS-M). Pemerintah telah meresmikan program tersebut melalui Permenkes RI No. 70 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Manajemen Terpadu Balita Sakit Berbasis Masyarakat. Program MTBS-M ini merupakan pendekatan pelayanan kesehatan bayi dan anak balita terintegrasi dengan melibatkan masyarakat sesuai standar Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). MTBS-M merupakan strategi untuk mengatasi masalah batuk, demam dan mencret. Dalam Permenkes RI Nomor 70 tahun 2013 pasal 5 ayat (1) dijelaskan bahwa pelayanan MTBS M dilakukan oleh kader setempat yang telah mendapatkan pelatihan sebagai pelaksana. Pasal 7 menjelaskan juga bahwa kader berfokus pada kegiatan promotif dan preventif termasuk mempromosikan perilaku pencarian pertolongan kesehatan dan perawatan balita di rumah. MTBS-M ini diharapkan dapat menurunkan memburuknya keadaan balita dengan pneumonia. Manajemen pneumonia dalam tatanan komunitas merupakan strategi penting untuk meningkatkan akses ke kualitas perawatan pneumonia, salah satunya adalah melatih dan menyebarkan community health worker untuk mengkaji dan merawat anak dengan pneumonia. Beberapa studi menunjukkan bahwa anggota masyarakat yang berpendidikan dapat dilatih untuk mendeteksi dan mengelola pneumonia di komunitasnya (WHO,2014).
5 Pemerintah telah melakukan upaya pengendalian ISPA melalui beberapa kegiatan dengan ruang lingkup pengendalian pneumonia balita, pengendalian ISPA umur 5 tahun, kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemik influenza serta penyakit saluran pernapasan lain yang berpotensi wabah serta faktor risiko ISPA (Kemenkes, 2011). Salah satu bagian pengendalian ISPA adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya dalam penatalaksanaan kasus dan manajemen program. Pelatihan merupakan upaya untuk mencapai hal tersebut. Beberapa jenis pelatihan yang dapat dilakukan antara lain pelatihan pelatih (TOT), pelatihan bagi tenaga kesehatan, pelatihan autopsi verbal dan pelatihan pengendalian ISPA bagi tenaga non kesehatan (Kemenkes, 2011). Upaya melatih tenaga non kesehatan dalam hal ini adalah kader. Upaya pelatihan tersebut merupakan bagian dari promosi kesehatan. Menurut Notoatmodjo (2010), misi dari promosi kesehatan adalah advokasi, media dan pemberdayaan. Pemberdayaan didefinisikan sebagai upaya meningkatkan kemampuan kelompok sasaran sehingga kelompok sasaran mampu mengambil tindakan tepat atas berbagai permasalahan yang dialami. Pemberdayaan bertujuan untuk membantu klien memperoleh kemampuan untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi hambatan pribadi dan hambatan sosial dalam pengambilan tindakan. Pemberdayaan dilakukan melalui peningkatan kemampuannya, diantaranya melalui pendayagunaan potensi lingkungan.
6 Notoatmodjo (2010) menjelaskan bahwa upaya pemberdayaan merupakan serangkaian upaya untuk mencapai self efficacy (kemampuan penduduk untuk menolong dirinya sendiri) dan health literacy (sadar kesehatan). Health literacy dapat dicapai dengan upaya pendidikan masyarakat tentang pengenalan tema tema dan isu kesehatan tertentu dan terkini serta memberikan pelatihan sehingga masyarakat yang sudah memahaminya mampu dan mau mengkomunikasikannya kepada anggota masyarakat lain. Pemberdayaan merupakan suatu proses membantu memperkuat kemampuan masyarakat, sehingga menjembatani jarak komunikasi antara petugas dan kelompok sasaran. Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu peran perawat. Hal ini sesuai dengan UU RI Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan Pasal 30 dijelaskan bahwa dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang upaya kesehatan masyarakat, Perawat berwenang: a) melakukan pengkajian keperawatan kesehatan masyarakat di tingkat keluarga dan kelompok masyarakat; b) menetapkan permasalahan keperawatan kesehatan masyarakat; c.) membantu penemuan kasus penyakit; d) merencanakan tindakan keperawatan kesehatan masyarakat; e) melaksanakan tindakan keperawatan kesehatan masyarakat; f) melakukan rujukan kasus; g) mengevaluasi hasil tindakan keperawatan kesehatan masyarakat; h) melakukan pemberdayaan masyarakat; i) melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatan masyarakat; j) menjalin kemitraan dalam perawatan kesehatan masyarakat; k) melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling; l) mengelola kasus; dan m) melakukan penatalaksanaan keperawatan komplementer dan alternatif.
7 Pelatihan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesadaran kesehatan yang diperlukan bagi kader dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Efektivitas pelatihan dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah metode pelatihan. Penelitian terdahulu telah dilakukan oleh Halimuddin (2009) yang menjelaskan bahwa pelatihan terhadap kader dengan menggunakan ceramah, tanya jawab dan media audio visual lebih efektif daripada dengan modul. Hal ini juga diteliti oleh Rosida (2009) yang menjelaskan bahwa metode ceramah dengan modul lebih efektif dibandingkan dengan metode modul saja. Pemberian informasi pada ibu tentang pneumonia sangat penting. Sebuah studi yang dilakukan oleh Ferdous et al., (2014) menjelaskan bahwa ibu ibu yang menjadi responden dapat menjelaskan bahwa pneumonia merupakan penyakit yang serius dan mengancam nyawa, namun ibu tidak dapat menentukan apakah anaknya mengalami pneumonia atau tidak. Selain hal tersebut, terdapat hambatan utama dalam perilaku pencarian pelayanan kesehatan yaitu penyakit tidak dianggap serius atau jarak yang jauh dari fasilitas pelayanan kesehatan ataupun kurangnya keuangan untuk mencari perawatan. Kader merupakan bagian dari masyarakat yang mengambil peran penting. Kader memiliki beberapa tugas, salah satunya adalah memberikan penyuluhan atau pendidikan kesehatan pada ibu ibu. Namun tingkat pendidikan dan pengetahuan kader sangat beragam sehingga memungkinkan adanya kesenjangan dalam memberikan penyuluhan atau pendidikan kesehatan pada masyarakat, terutama dalam penatalaksanaan anak dengan batuk dan sukar bernapas. Berdasarkan data kader di Puskesmas Pedan, sebanyak 21% dari kader
8 keseluruhan berpendidikan SD, 19% berpendidikan SMP, 51% berpendidikan SMA, 3% berpendidikan Diploma 3 serta kader berpendidikan S1 sebanyak 6%. Puskesmas Pedan dipilih sebagai lokasi penelitian karena angka kesakitan pneumonianya tertinggi di Kabupaten Klaten. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Puskesmas, para kader di wilayah puskesmas tersebut belum pernah mendapatkan pelatihan tentang tatalaksana anak dengan pneumonia. Kegiatan kader masih seputar menimbang berat badan pada saat kegiatan Posyandu. Berdasarkan wawancara dengan petugas Kesehatan Ibu Anak (KIA), balita yang mengalami batuk dan sukar bernapas dilayani dengan pendekatan MTBS namun dilaksanakan melihat situasi yang ada, petugas juga menyatakan bahwa terbatasnya waktu serta sarana prasarana berupa timer dan formulir yang terbatas menjadi kendala dari pelaksanaan MTBS. Tenaga kesehatan yang terlatih MTBS sebanyak satu orang dan tiga orang yang lain diberikan penyegaran materi. Kegiatan Perkesmas (Keperawatan Kesehatan Masyarakat) di Puskesmas Pedan dilakukan dalam bentuk kegiatan penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit penyakit tidak menular, misalnya penyakit diabetes mellitus, hipertensi serta demam berdarah dengue. Adapun penyuluhan ini melibatkan tokoh masyarakat. Berdasarkan wawancara dengan petugas, kegiatan penyuluhan sebagai bentuk dari upaya Perkesmas telah dilakukan selama tiga kali. Berbagai kegiatan yang telah dilakukan oleh puskesmas diharapkan dapat membantu menurunkan kejadian pneumonia pada balita. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data kunjungan ulang pneumonia. Berdasarkan catatan di puskesmas, selama bulan April September 2014 terdapat 71 pasien baru dengan pneumonia
9 yang datang ke Puskesmas dan delapan pasien lama dengan pneumonia. Hasil wawancara dengan pihak puskesmas didapatkan bahwa kemungkinan pasien yang telah didiagnosa pneumonia tidak melakukan kunjungan ulang sangat tinggi. Berdasarkan wawancara pada lima keluarga yang memiliki anak dengan pneumonia dan memeriksakan anaknya di puskesmas, mereka tidak melakukan kunjungan ulang setelah tiga hari dikarenakan anak sudah sembuh. Dua anak diperiksakan kembali di fasilitas pelayanan kesehatan lain pada saat kambuh lagi dikarenakan waktu malam hari. B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah 1) masih tingginya angka kesakitan balita karena pneumonia yaitu 72,1% pada tahun 2011, kemudian pada tahun 2012 sebanyak 63,3 % dan sebanyak 71,5% pada tahun 2013, 2) beragamnya tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan kader, 3) kader belum pernah mendapat pelatihan tentang pneumonia atau batuk dan sukar bernapas, 4) kegiatan Perkesmas belum ditujukan pada penyakit yang sering dialami oleh anak-anak terutama tentang infeksi saluran pernapasan. Rumusan masalah penelitian ini adalah Apakah pelatihan manajemen anak sakit batuk berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap dan keterampilan kader dalam tatalaksana anak batuk dan sukar bernapas di Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten?
10 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pelatihan manajemen anak sakit batuk terhadap pengetahuan, sikap dan keterampilan kader dalam tatalaksana anak batuk dan sukar bernapas 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui: a. Pengetahuan kader dalam tata laksana anak batuk dan sukar bernapas sebelum dan sesudah diberikan intervensi antara kelompok perlakuan dan kontrol b. Sikap kader dalam tata laksana anak batuk dan sukar bernapas sebelum dan sesudah diberikan intervensi antara kelompok perlakuan dan kontrol c. Keterampilan kader dalam tata laksana anak batuk dan sukar bernapas sesudah diberikan intervensi antara kelompok perlakuan dan kontrol D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Profesi Perawat Hasil penelitian dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan dengan memberdayakan masyarakat melalui pelatihan manajemen anak batuk sebagai upaya menurunkan kejadian pneumonia.
11 2. Bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten Sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan untuk masa yang akan datang dalam pelaksanaan penanggulangan pneumonia di Kabupaten Klaten 3. Bagi Kader Posyandu Diharapkan pengetahuan, sikap dan keterampilan kader dalam tatalaksana anak sakit batuk dan sukar bernapas dapat semakin baik. 4. Bagi masyarakat khususnya keluarga dengan anak balita Diharapkan keluarga dengan anak balita semakin puas terhadap pelayanan kader karena kader semakin terampil. Selain hal tersebut, diharapkan keluarga juga mampu melakukan upaya promotif dan preventif pada anak sakit pneumonia. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran, penelitian yang berjudul Pengaruh Pelatihan Manajemen Sakit Batuk terhadap Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan Kader dalam Tatalaksana Anak Batuk dan Sukar Bernapas belum pernah dilakukan namun terdapat beberapa penelitian dengan topik yang hampir serupa antara lain:
12 Tabel 1. Persamaan dan Perbedaan dengan Beberapa Penelitian Lain No Penulis Judul Metode Hasil Persamaan dan Perbedaan 1 Mukanga Can lay community Merupakan penelitian yang Sembilan puluh tujuh persen a. Persamaan dengan penelitian ini,et al., health workers be mengukur kompetensi CHW dapat mengkaji riwayat terdapat pada subyek penelitian (2011) trained to use community health worker kesehatan, 96% CHW dapat dan kemiripan topik pelatihan diagnostics to (CHW) dalam mengkaji, menggunakan timer, 96% CHW b. Perbedaan dengan penelitian ini distinguish and treat mengklasifikasikan dan dapat menggunakan rapid adalah tempat penelitian, desain malaria and merawat balita dengan malaria diagnose test namun 87% CHW pelatihan, variabel yang diteliti pneumonia in dan pneumonia setelah mengklasifikasikan secara tidak children? Lessons pelatihan. Pelatihan dilakukan adekuat. from rural Uganda selama 8 hari pada 14 CHW. Masing-masing CHW melakukan 13 konseling. Observer mengukur performa CHW dalam konseling tersebut. Evaluasi dilakukan tiga hari setelah pelatihan dan berakhir dalam dua minggu 2 Parvez, The effects of Setelah mendapat program Wiroonp educational edukasi, kelompok intervensi anich, program on child memiliki pengetahuan dan sikap Naphapu care knowledge and yang lebih baik daripada nsakul (2010) behaviors of kelompok kontrol. mothers of children under five years with pneumonia Merupakan penelitian quasi experimental dengan desain pre test post test pada kelompok intervensi dan kontrol. Kelompok intervensi mendapat program edukasi pada ibu yang memiliki balita selama dua jam dengan ceramah dan media flip chart, leaflet, demonstrasi dan redemonstrasi. Kelompok kontrol mendapat perawatan rutin a. Persamaan dengan penelitian ini pada metode quasi eksperimen, desain dan topik penelitian batuk dan sukar bernapas b. Perbedaan dengan penelitian ini adalah metode pelatihan dimana kelompok intervensi diberi pelatihan dengan dengan metode ceramah, studi kasus, simulasi,demonstrasi, modul dan media audiovisual serta subyek penelitian ini adalah kader. Penelitian ini mengukur pengetahuan, sikap dan keterampilan kader
13 Tabel 1. Lanjutan No Penulis Judul Metode Hasil Persamaan dan Perbedaan 3 Thompso Impact of a Merupakan penelitian dengan Kampanye mencapai target. a. Persamaan dalam penelitian ini n dan community-based pre post independent sample Evaluasi program mendapat hasil adalah kemiripan topik dan Harutnyu integrated design. Penelitian ini praktek ASI eksklusif meningkat subyek penelitian. nyan management of mengevaluasi C-IMCI yang sebesar 31,4%, pengetahuan ibu b. Perbedaan dengan penelitian ini (2009) childhood illnesses dilaksanakan dengan tentang tanda anak sakit adalah desain penelitian, variabel (IMCI) community based peer health meningkat sebanyak 30%, yang diteliti, desain pelatihan dan programme in educators dan dikombinasikan pengetahuan tentang HIV tempat penelitian. Gegharkunik, dengan informasi publik serta meningkat sebanyak 28,5% dan Armenia kampanye media massa lokal. pelayanan dokter meningkat Penelitian melibatkan 387 sebesar 15%. peer health educators yang merupakan ibu-ibu dengan jumlah anak minimal satu orang dan berusia kurang dari dua tahun. Pelatihan dilakukan selama 16 jam (membahas isu, pengetahuan tanda dan gejala penyakit, praktek dan penggunaan pelayanan kesehatan primer yang tepat). Peer health educators tersebut memberi konseling pada sekitar 5000 pengasuh yang memiliki balita. Edukasi pada ibu hamil dan menyusui dilakukan di rumah (dua jam per sesi, selama satu minggu). Edukasi kelompok kepada orang tua baru (dua jam selama satu sesi). Guru diberi edukasi tentang topik IMCI
14 Tabel 1. Lanjutan No Penulis Judul Metode Hasil Persamaan dan Perbedaan dan pencegahan AIDS dimasukkan dalam kurikulum. Media kampanye melalui booklet, brosur, poster, tayangan TV dan media lain (puzzle, notepad). 4 Halimudd in (2009) 5 Rosida (2009) Pelatihan kader posyandu dalam penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Marabahan Kabupaten Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2008 Pelatihan kader posyandu dalam mendeteksi gizi buruk di Kecamatan Sungai Pinyuh Kabupaten Pontianak Merupakan penelitian eksperimen semu dengan rancangan control group design. Kelompok intervensi diberi pelatihan dengan ceramah, Tanya jawab dan media audiovisual sedangkan kelompok kontrol dengan modul. Menilai pengetahuan dan keterampilan dalam penemuan kasus pneumonia Merupakan penelitian eksperimen semu dengan rancangan control group design. Kelompok intervensi diberi pelatihan dengan ceramah dan modul sedangkan kelompok kontrol dengan modul. Menilai partisipasi, Pelatihan kader posyandu dengan metode ceramah tanya jawab menggunakan media audio visual lebih meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan kader posyandu dalam menemukan penderita pneumonia balita dibandingkan metode modul Terdapat perbedaan bermakna secara signifikan antara kelompok kontrol (modul) dan kelompok intervensi (ceramah dan modul), sehingga pelatihan kader posyandu melalui metode ceramah dan modul berpengaruh terhadap pengetahuan dan a. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada metode quasi eksperimen dan subyek penelitiannya kader posyandu. b. Perbedaan dengan penelitian ini adalah metode pelatihan dimana kelompok intervensi diberi pelatihan dengan dengan metode ceramah, studi kasus, simulasi,demonstrasi, modul dan media audiovisual serta topik penelitian ini adalah tatalaksana anak batuk dan sukar bernapas. Penelitian ini mengukur pengetahuan, sikap dan keterampilan kader. a. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada metode quasi eksperimen dan subyek penelitiannya kader posyandu. b. Perbedaan dengan penelitian ini adalah metode pelatihan dimana kelompok intervensi diberi pelatihan dengan metode
15 Tabel 1. Lanjutan No Penulis Judul Metode Hasil Persamaan dan Perbedaan pengetahuan dan keterampilan partisipasi kader posyandu dalam ceramah, studi kasus, kader dalam mendeteksi gizi mendeteksi gizi buruk simulasi,demonstrasi, modul dan buruk media audiovisual serta topik penelitian ini adalah tatalaksana anak batuk dan sukar bernapas. Penelitian ini mengukur pengetahuan, sikap dan keterampilan kader