II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan, Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

ANALISIS LAND RENT SAWAH IRIGASI DAN LAHAN TERBANGUN DI KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DINAMIKA KEBERADAAN SAWAH di KECAMATAN TEMBALANG SEMARANG TAHUN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISIS TINGKAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN SUMBANG KABUPATEN BANYUMAS

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Sunda, dalam bahasa Jawa adalah lemah (karena berarti pula uncapable maka

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. manusia di buktikan dengan terdokumentasinya dalam Al-Qur an, salah satunya

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat

Bab V Analisis, Kesimpulan dan Saran

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

PENDAHULUAN Latar Belakang

Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS,

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

HASIL DAN PEMBAHASAN

B A B I PE N D A H U L U A N. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

BAB I PENDAHULUAN. siklus hidrologi. Siklus air adalah rangkaian peristiwa yang terjadi pada air

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief,

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lahan dapat disebutkan sebagai berikut : manusia baik yang sudah ataupun belum dikelola.


MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

BAB I PENDAHULUAN I.I

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

BAB I PENDAHULUAN. Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

PENDAHULUAN. Latar Belakang

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Contents 11/11/2012. Variabel-variabel Kemampuan Lahan. Land Capability

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,

KABUPATEN CIANJUR PERATURAN BUPATI CIANJUR

Luas dan Penggunaan Lahan Kabupaten Mamuju Tahun 2014

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN

SKRIPSI. Oleh : MUHAMMAD TAUFIQ

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pengertiannya seringkali rancu. Sesungguhnya pengertian lahan lebih luas

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. PENDAHULUAN. luas, yang mengkaji sifat-sifat dan organisasi di permukaan bumi dan di dalam

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Lahan merupakan sumberdaya pembangunan yang memiliki karakteristik antara lain (1) luasan relatif tetap, dan (2) memiliki sifat fisik yang bersifat spesifik lokasi seperti jenis batuan, kandungan mineral, topografi dan lain sebagainya. Menurut FAO (1976) dalam Balai Penelitian Tanah (2003), lahan merupakan bagian dari bentang alam dimana lingkungan fisik seperti topografi, tanah, hidrologi dan keadaan vegetasi alami yang meliputinya serta secara potensial akan mempengaruhinya terhadap penggunaan lahan. Untuk menjamin kelestarian sumberdaya lahan, pemanfaatan lahan memerlukan arahan disesuaikan dengan sifat fisiknya tersebut (Dardak, 2008). Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai bentuk campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual. Secara umum penggunaan lahan dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan nonpertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan atas lahan tegalan, sawah, kebun karet, hutan produksi, dan sebagainya. Penggunaan bukan pertanian dapat dibagi atas permukiman perkotaan dan pedesaan, industri, rekreasi, dan sebagainya (Arsyad,1989). Penggolongan penggunaan lahan secara umum, adalah: pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan, atau daerah rekreasi. Tipe pengunaan lahan merupakan penggunaan lahan yang diuraikan secara lebih terperinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk suatu daerah dengan keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu, yaitu menyangkut pengelolaan, masukkan yang diperlukan, dan keluaran yang diharapkan secara spesifik (Rayes, 2007). Penggunaan lahan merupakan proses yang dinamis, berubah terus menerus, sebagai hasil perubahan pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu, sehingga masalah yang berkaitan dengan lahan merupakan masalah yang kompleks (Saefulhakim dan Nasoetion, 1995). Di Indonesia penggunaan lahan memiliki tujuan umum yaitu untuk menjamin pengadaan pangan, sebagai sumber devisa bagi pembangunan untuk

4 pemukiman dan sarana atau prasarana fasilitas umum dan konservasi. Faktorfaktor yang mempengaruhi pola dan jenis penggunaan lahan di Indonesia adalah sifat fisik lahan (iklim, topografi, drainase, sifat fisik dan kimia tanah), kondisi faktor budaya dan ekonomi serta kebijakan pemerintah. Besarnya kontribusi faktor-faktor tersebut akan sangat beragam menurut waktu dan ruang (Lopulisa, 1995). Teknik interpretasi penggunaan lahan pada citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, 1. Interpretasi Visual Interpretasi data penginderaan jauh secara manual adalah interpretasi data penginderaan jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri (karakteristik) objek secara keruangan (spasial). Karakteristik objek yang tergambar pada citra dapat dikenali berdasarkan 9 unsur-unsur interpretasi yaitu, (1) rona/warna, (2) ukuran, (3) bentuk, (4) tekstur, (5) pola, (6) bayangan, (7) situs, (8) asosiasi.. Interpretasi ini dilakukan pada citra yang dikonversi dalam bentuk foto (Sutanto, 1986). 2. Digital Image Processing Interpretasi secara digital merupakan evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral yang disajikan pada citra. Analisis digital dapat dilakukan melalui pengenalan pola spektral dengan bantuan komputer. Dasar interpretasi ini berupa klasifikasi pixel berdasarkan nilai spectral dan dapat dilakukan dengan cara statistik. (Purwadhi, 2001) Proses interpretasi penggunaan lahan diklasifikasikan menurut sistem USGS tahun 1972 yang dimodifikasi (Tabel 1). Sistem ini dapat digunakan untuk citra dengan resolusi tinggi dengan skala menengah (1 : 25.000 dan 1 : 10.000) seperti SPOT dan Quickbird. Penggunaan skala berpengaruh terhadap pemilihan kedetailan klasifikasi, dimana semakin besar skala yang digunakan maka pengklasifikasian akan semakin detail (Danoedoro, 1996). Untuk mengukur bagaimana proporsi suatu jenis penggunaan lahan cenderung menyebar atau terkonsentrasi dapat menggunakan nilai entropi sebaran spasial tipe penggunaan lahan. Semakin tinggi nilai entropi maka tipe penggunaan lahan tersebut semakin menyebar pada suatu wilayah sehingga dapat mengkontrol penggunan lahan yang ada agar tidak terjadi ketimpangan penggunaan lahan dan

5 tetap mengupayakan adanya ruang terbuka hijau yang dapat menjadi daerah resapan sehingga tetap sesuai dengan penataan ruang yang telah direncanakan pemerintah. Tabel.1 Sistem Klasifikasi Tutupan Lahan USGS tahun 1972 No Tutupan Lahan 1 Kota dan Daerah Terbangun 2 Lahan Pertanian 3 Peternakan 4 Lahan vegetasi/tumbuahn 5 Air 6 Lahan Basah 7 Lahan Kosong 8 Tundra 9 Salju/Es abadi 2.2. Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan atau alih fungsi lahan adalah perubahan fungsi yang terjadi pada suatu lahan dalam kurun waktu yang berbeda. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut yaitu faktor politik dan faktor ekonomi. Faktor politik dapat mempengaruhi pola perubahan terhadap suatu lahan karena adaya kebijakan yang diambil oleh pengambil keputusan. Faktor ekonomi adalah perubahan pendapatan serta pola konsumsi yang menyebabkan kebutuhan akan ruang dan tempat rekreasi meningkat sehingga terjadilah perubahan penggunaan lahan (Dirjen, 2008). Permintaan akan sumberdaya lahan yang semakin meningkat disebabkan oleh meningkatnya aktifitas pembangunan dan keterbatasan serta karakteristik sumberdaya lahan mendorong beralih fungsinya lahan-lahan pertanian ke nonpertanian (Lopulisa, 1995). Menurut Nasoetion dan Winoto (1996) ada dua faktor yang langsung menentukan proses alih fungsi lahan baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu (1) sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah, dan (2) sistem non-kelembagaan yang berkembang secara alamiah di dalam masyarakat. Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah antara lain direpresentasikan dalam bentuk terbitnya beberapa peraturan mengenai konversi lahan.

6 Jumlah penduduk yang meningkat berpengaruh terhadap peningkatan kebutuhan pangan dan perumahan. Kebutuhan lahan dalam pemenuhan kebutuhan pangan perumahan telah menyebabkan pergeseran pola penggunaan lahan seperti pertanian semusim di daerah-daerah yang semestinya tidak diperbolehkan. Sedangkan penggunaan lahan yang tidak memperhatikan kaidah ruang dan kesesuaian lahan menyebabkan dampak lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti terjadi erosi, menurunnya fungsi hidrologis hutan, terjadinya degradasi lahan dan meningkatnya lahan kritis serta kerusakan lingkungan (Desman, 2007). Alih fungsi lahan sawah di Jawa mencapai 22.000 ha selama kurun waktu 1987 sampai 1993, untuk konversi lahan sawah sekitar 100.000 ha (sampai akhir 2000). Dalam hal ini dapat berpengaruh terhadap ketahanan pangan (Dirjen, 2008). Lebih lanjut Witjaksono (1996) menjelaskan bahwa alih fungsi lahan memiliki lima faktor sosial yang mempengaruhinya, yaitu perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Dengan asumsi pemerintah sebagai pengayom dan abdi masyarakat, seharusnya dapat bertindak sebagai pengendali terjadinya alih fungsi lahan. 2.3. Nilai Ekonomi Lahan (land rent) Land rent merupakan selisih penerimaan dan biaya dalam satu unit satuan lahan. Menurut Soeharjo dan Patong (1973) penerimaan usaha tani terdiri dari tiga komponen, yaitu hasil produk, produk yang dikonsumsi sendiri oleh keluarga, dan kenaikan nilai inventaris. Selanjutnya juga dinyatakan bahwa usaha tani merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh hasil produksi di lapangan pertanian, pada akhirnya akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh, dimana selisih dari keduanya merupakan pendapatan kegiatan usahanya. Menurut Barlowe (1978) manfaat ekonomi dianggap sebagai suatu surplus yang merupakan bagian dari jumlah nilai produk atau total pendapatan dari sisa setelah pembayaran yang didasarkan pada jumlah faktor biaya atau total biaya. Manfaat ekonomi suatu lahan umumnya dapat dinilai dari pendapatan bersih per meter persegi lahan per tahun untuk penggunaan tertentu. Manfaat

7 ekonomi lahan ditentukan oleh dua faktor, yaitu kualitas lahan sebagai mana yang dijelaskan dalam teori ricardiant rent (Gambar 1) dan faktor lokasi yang menjadi prinsip utama konsep locational rent (Gambar 2). PRODUKSI Y1 Q2 TANAH A Y2 Q1 TANAH B O Q Gambar 1. Ilustrasi Ricardiant Rent BIAYA Gambar 1 menjelaskan kondisi kualitas lahan yang berbeda mempengaruhi nilai lahan. Tanah A dan tanah B dengan biaya sebesar Q memiliki jumlah produksi yang berbeda. Tanah A memiliki produksi sebesar OY1 dab tanah B memiliki produksi sebesar OY2 maka nilai akan lahan yang harus di bayar untuk kualitas lahan yang berbeda dengan biaya yang sama pada tanah A dan B adalah selisih dari OY1 dengan OY2. Gambar 2 menjelaskan bahwa nilai lahan dipengaruhi oleh letak lahan tersebut terhadap pusat aktifitas/kegiatan. Lahan A akan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan B karena jaraknya yang lebih dekat. Biaya yang harus dikeluarkan untuk perbedaan letak lahan ini adalah selisih dari AA1 dengan BB1 (Reksohadiprojo dan Karseno,1997). Dalam kenyataannya nilai dan fungsi lahan tidak hanya ditentukan oleh dua faktor terbsebut tetapi juga ditentukan oleh faktor sosial yang keudian dikenal

8 NILAI RENT A1 LOCATIONA L RENT B1 PUSAT KEGIATAN A B JARAK Gambar 2. Ilustrasi Locational Rent sebagai sociocultural rent dan manfaat ekologi atau disebut juga ecological rent dan banyak faktor yang belum diketahui. Dengan demikian pemanfaatan lahan harus memenuhi persyaratan kesesuaian (suitability) secara fisik dan biologi, secara ekonomi menguntungkan (feasible) dan secara kelembagaan dapat dierima oleh masyarakat. Bersadarkan penelitian yang dilakukan oleh Sehani (2007) nilai land rent penggunaan lahan sawah di Kabupaten Karanganyar dengan pola tanam padipadi-padi memiliki nilai Rp 1.344,36/m 2 /tahun sampai dengan Rp 2.623,53/ m 2 /tahun. Sawah dengan pola tanam padi-bera-padi memliki nilai yag lebih kecil yaitu sebesar Rp. 0,67/ m 2 /tahun sampai dengan Rp 2.179,12/ m 2 /tahun dan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Rumiris (2008) nilai land rent pertanian di Kecamatan Dramaga adalah sebesar Rp 44,12/ m 2 /tahun sampai dengan Rp. 1.070,44/ m 2 /tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rumiris (2008) nilai land rent lahan terbangun pemukiman di kecamatan Dramaga memiliki rentang nilai antara Rp 208,33/ m 2 /tahun sampai dengan Rp 35.069,33/ m 2 /tahun.

9 2.4. Sawah Irigasi Sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dibatasi oleh pemantang, saluran untuk menyalurkan air, yang biasanya ditanami oleh padi sawah tanpa memandang darimana diperolehnya lahan tersebut (Deptan,2000). Sawah dibagi menjadi beberapa jenis, diantaranya sawah berpengairan, sawah tadah hujan, sawah pasang surut, sawah lebak, dan lain-lain. Sawah berpengairan dibedakan menjadi sawah beririgasi teknis, sawah beririgasi setengah teknis dan sawah berpengairan sederhana. Yang dimaksud sawah beririgasi teknis adalah sawah yang memperoleh pengairan dimana saluran pemberi terpisah dari saluran pembuangan dengan penyedia dan pembagi irigasi dapat sepenuhnya diatur dan diukur dengan mudah. Saluran induk serta pembuangannya dibangun, dikuasai, dan dipelihara oleh pemerintah. Sawah beririgasi setengah teknis adalah sawah berpengairan teknis tetapi pemerintah hanya menguasai bangunan penyadap untuk mengatur dan mengukur pemasukan air, sedangkan jaringan selanjutnya tidak diukur dan dikuasai pemerintah. Sawah berpengairan sederhana adalah sawah yang memperoleh pengairan dimana cara pengairan dan pembuangannya belum diatur, walaupun pemerintah telah membangun sebagian dari jaringan tersebut, misalnya bendungan. Sedangkan sawah tadah hujan adalah sawah yang pengairannya hanya tergantung pada air hujan (BPS, 1998). Luas sawah di Indonesia lebih kurang 8,6 juta ha dan terus menyusut dari waktu ke waktu. Sawah tersebut terdiri dari sawah Irigasi seluas 7.314.740 Ha dan sawah non irigasi seluas 1.265.304 Ha.Luas sawah di Pulau Jawa lebih kurang 4,2 juta ha, di Pulau Sumatera seluas 2,3 juta ha dan pulau jawa menjadi sentra sawah nasional. Pada tahun 1994 2004 luas sawah di luar pulau Jawa terjadi peningkatan seluas 602 ribu ha. Pertumbuhan luas sawah tersebut sebagian besar terdapat di Pulau Sumatera, yaitu seluas 460 ribu ha atau lebih kurang 76,42% dari keseluruhan pertumbuhan luas sawah di Indonesia. Sedangkan dalam kurun yang sama terjadi penyusutan luas sawah kelas satu di wilayah Pulau Jawa dan Bali seluas 36.798 ha atau sekitar 3.679 ha/tahun (BPN, 2007).

10 2.5. Lahan Terbangun Pada dasarnya lahan terbangun memiliki pengertian yang hampir sama dengan fasilitas karena memiliki pengertian yang luas meliputi prasarana dan sarana. Prasarana atau infrastruktur adalah alat atau tempat yang paling utama dalam kegiatan sosial atau ekonomi, sedangkan sarana adalah alat pendukung dari prasarana (Jayadinata, 1992). Sehingga ruang terbangun memiliki pengertian sebagai ruang-ruang dalam kota atau wilayah, baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area vertikal/horizontal dimana dalam pengguanaannya tinggi dan memiliki aspek fungsional yang jelas pada dasarnya lebih bersifat ekonomis memiliki bentuk bangunan. Dalam ruang terbangun, pemanfaatannya lebih berbentuk prasarana ruang tertutup, yaitu : 1. Sebagai perlindungan, yaitu rumah 2. Sebagai unit pelayanan umum, yaitu prasarana kesehatan dan keamanan misalnya balai pengobatan, rumah sakit, pos pemadam kebakaran, pos polisi, dsb 3. Sebagai kehidupan ekonomi, misalnya : pasar, bangunan bank, bangunan pusat perbelanjaan, bangunan pabrik, dsb 4. Sebagai unit kebudayaan pada umumnya, misalnya : bangunan kantor pemerintahan, bangunan sekolah, bioskop, musium, gedung perpustakaan, dsb.