BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Forecasting Forecasting (peramalan) adalah seni dan ilmu untuk memperkirakan kejadian di masa yang akan datang. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan data historis dan memproyeksikannya ke masa mendatang dengan suatu bentuk model matematis atau prediksi intuisi bersifat subyektif (Heizer & Barry, 2009). Hasil peramalan mampu memberikan gambaran tentang masa depan perusahaan atau institusi, sehingga dapat dibuat suatu perencanaan, peluang bisnis, ataupun mengatur pola investasi dari perusahaan tersebut. Berdasarkan sifatnya, peramalan dibedakan atas dua macam, yaitu teknik peramalan kualitatif dan teknik peramalan kuantitatif. Menurut Makridakis, Wheelwright dan Hyndman (1998) pada umumnya peramalan kuantitatif dapat diterapkan bila terdapat tiga kondisi: 1. Tersedia informasi tentang masa lalu (data historis) 2. Informasi tersebut dapat dikuantitatifkan dalam bentuk data numerik 3. Dapat diasumsikan bahwa beberapa aspek pola masa lalu akan terus berlanjut di masa mendatang. Salah satu jenis metode peramalan kuantitatif, yaitu time series (deret waktu). Time series merupakan sekumpulan statistik yang dikumpulkan secara berkala dan terjadi secara alami di segala area. Dalam analisis deret waktu yang menjadi variabel yang dicari adalah waktu. Analisis deret waktu merupakan hubungan antara variabel yang dicari dengan variabel yang mempengaruhinya. 2.2. Transformasi Data Sebelum peramalan dilakukan, transformasi diperlukan untuk mengatur nilai data pada suatu range menjadi nilai yang lebih kecil, guna menghindari data yang tidak
7 konsisten (Siang, 2009). Dalam kasus ini, data dinormalisasi dalam jangkauan 0,1 0,9. Konsistensi data merupakan suatu syarat agar data dapat disebut berkualitas untuk selanjutnya diproses menjadi informasi yang bermanfaat. Transformasi juga diperlukan untuk menyesuaikan nilai data dengan range fungsi aktivasi dalam jaringan. X i = + 0,1 (2.1) 2.3. Ketepatan Peramalan Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan peramalan yaitu galat (error), yang mana hal ini tidak dapat dipisahkan dalam metode peramalan. Dalam semua situasi peramalan, mengandung derajat ketidakpastian. Fakta ini didapatkan dengan memasukkan unsur kesalahan (galat) (Sungkawa & Megasari, 2011). Untuk mendapatkan hasil yang mendekati data asli, maka seorang peramal berusaha membuat kesalahan sekecil mungkin. Besar kesalahan suatu peramalan dapat dihitung dengan beberapa cara: 1. Mean Square Error (MSE) Mean Square Error (MSE) sudah dikenal sebagai tolok ukur utama untuk membandingkan kinerja metode peramalan, dikarenakan kemudahan komputasi dan relevan dengan statistika. MSE = ( Yˆ ) 2 (2.2) Dimana: : nilai aktual pada periode t Yˆ : nilai hasil peramalan pada periode t n : jumlah peramalan 2. Mean Absolute Percentage Error (MAPE) Mean Absolute Percentage Error (MAPE) menjumlahkan rata-rata seluruh persentase kesalahan untuk suatu data set yang diperoleh tanpa menghiraukan tanda. MAPE = Yˆ (2.3)
8 3. Root Mean Squared (RMSE) Root Mean Squared (RMSE) merupakan tolok ukur yang baik untuk mengukur akurasi peramalan. Biasa digunakan untuk mengukur perbedaan antara nilai-nilai peramalan oleh model atau estimator. Perhitungan RMSE (Ramlan et al. 2015) dapat dilihat pada persamaan berikut. RMSE = ( Yˆ ) 2 (2.4) 2.4. Jaringan Saraf Tiruan Jaringan saraf tiruan (Artificial Neural Network) didefinisikan sebagai suatu sistem pemrosesan informasi yang memiliki karakteristik layaknya jaringan saraf biologis manusia. Jaringan saraf tiruan didesain pertama kali oleh Warren McCulloch dan Walter Pitts (1943). Mereka berpendapat bahwa dengan mengkombinasikan banyak neuron sederhana sehingga menjadi sistem jaringan saraf dapat menjadi sumber peningkatan tenaga dikomputasi. Jaringan saraf tiruan didesain menirukan proses kerja otak manusia dalam menyelesaikan masalah dengan melakukan proses pembelajaran melalui bobot sinapsisnya. Jaringan saraf tiruan juga dikenal sebagai teknologi kotak hitam (Black Box Technology) atau tidak terlihat (opaque) karena tidak dapat diterangkan bagaimana suatu hasil didapat. Hal inilah yang membuat jaringan saraf tiruan mampu menyelesaikan persoalan yang tidak terstruktur dan sulit untuk didefinisikan. Jaringan saraf tiruan dikembangkan berdasarkan model matematis dengan asumsi yang sama dengan jaringan saraf biologis: 1. Informasi diproses oleh elemen-elemen sederhana yaitu neuron, 2. Link koneksi berfungsi untuk meneruskan sinyal antara dua buah neuron, 3. Setiap sambungan antara dua neuron memiliki bobot masing-masing yang akan mengalirkan sinyal yang ditransmisikan. 4. Fungsi aktivasi terhadap input jaringan diterapkan di setiap neuron (jumlah sinyal input terbobot). Bertujuan untuk menentukan sinyal output. Fungsi aktivasi yang biasa digunakan yaitu fungsi nonlinier.
9 Jaringan saraf tiruan tidak diprogram untuk menghasilkan keluaran (output) tertentu. Keluaran atau kesimpulan yang ditarik oleh jaringan diambil berdasarkan pengalamannya selama mengikuti proses pembelajaran. Jaringan akan dilatih untuk memberikan jawaban yang bisa diterima, hal ini bisa terjadi karena pola-pola input dan output dimasukkan saat proses pembelajaran berlangsung (Puspitaningrum, 2006). Sistem jaringan saraf tiruan memiliki tiga karakteristik utama (Desiani & Arhami, 2006): 1. Pola hubungan antar neuron, merupakan pola-pola yang terhubung dengan neuron yang nantinya membentuk suatu jaringan. 2. Penentuan bobot, merupakan metode untuk menentukan nilai bobot hubungan. Terdapat dua jenis metode, yaitu metode pelatihan/pembelajaran dan metode pengenalan. 3. Fungsi aktivasi, merupakan fungsi untuk menentukan nilai output berdasarkan nilai total input pada neuron. 2.4.1. Arsitektur jaringan saraf tiruan Jaringan saraf tiruan dirancang menggunakan suatu aturan yang bersifat general (menyeluruh), dimana seluruh model memiliki konsep dasar yang sama. Arsitektur sebuah jaringan akan menentukan keberhasilan pencapaian target, karena tidak semua masalah dapat diselesaikan dengan arsitektur jaringan yang sama. Jaringan saraf tiruan terdiri atas jaringan layer tunggal dan jaringan layer jamak (Hermawan, 2006): 1. Single-layer net (Jaringan layer tunggal) Jaringan ini memiliki satu buah lapisan bobot koneksi. Single-layer net terdiri dari unit-unit input yang menerima sinyal dari luar, dan unit-unit output yang membuat kita dapat membaca respons dari jaringan saraf tiruan tersebut. Input Layer Output Layer Gambar 2.1. Single-layer Network (Fausett, 1994)
10 2. Multilayer net (Jaringan layer jamak) Merupakan jaringan dengan satu atau lebih lapisan tersembunyi (hidden layer). Multilayer net ini mampu memecahkan masalah dengan baik namun pembelajarannya akan lebih rumit. Input Layer Hidden Layer Output Layer Gambar 2.2. Multilayer Network (Fausett, 1994) 2.4.2. Paradigma pembelajaran Karakteristik yang menarik dari jaringan saraf tiruan adalah kemampuannya untuk belajar. Pelatihan yang diajarkan padanya menunjukkan kesamaan dengan perkembangan intelektual manusia. Sebagian besar jaringan saraf tiruan menyesuaikan bobot-bobotnya selama prosedur pelatihan berlangsung. Terdapat dua macam pelatihan dalam metode ini, yaitu pelatihan terawasi (Supervised learning) dan pelatihan tidak terawasi (Unsupervised learning). Perbedaan antara kedua jenis pelatihan tersebut tergantung pada bagaimana algoritma pelatihan menggunakan jenis pola. 1. Supervised learning (Pelatihan terawasi) Pelatihan terawasi menggunakan input-input yang kumpulan outputnya telah diketahui. Perbedaan output aktual dan output yang diinginkan digunakan untuk mengoreksi bobot jaringan saraf tiruan agar mampu menghasilkan jawaban semirip mungkin dengan jawaban yang telah diketahui oleh jaringan saraf tiruan. Beberapa metode yang menggunakan supervised learning adalah Backpropagation, Boltzmann, dan Learning Vector Quantization.
11 2. Unsupervised learning Dalam pelatihan ini, jaringan saraf tiruan mengatur dirinya sendiri untuk membentuk vektor-vektor input yang serupa, tanpa menggunakan contoh maupun data pelatihan. Paradigma pembelajaran ini mengorganisir pola-pola kedalam kategori-kategori berdasarkan korelasi yang ada. Beberapa metode yang menggunakan unsupervised learning, yaitu Kohonen SOM, Proyeksi Sammon, dan Kuantisasi Vektor (Puspitaningrum, 2006). 2.4.3. Fungsi aktivasi Fungsi aktivasi merupakan bagian penting dalam langkah perhitungan output dari suatu algoritma. Sinyal aktivasi diperlukan oleh suatu neuron untuk menyalakan atau memadamkan penjalaran sinyal dari neuron tersebut. Ada beberapa fungsi aktivasi jaringan saraf tiruan, yaitu fungsi identitas, tangga biner, sigmoid biner, dan sigmoid bipolar. Fungsi Sigmoid adalah fungsi yang paling populer dan memiliki beberapa varian, seperti sigmoid logaritma, sigmoid tangen, sigmoid biner, dan sigmoid bipolar (Desiani & Arhami, 2006). 2.5. Backpropagation (Propagasi balik) Backpropagation dikembangkan oleh Rumelhart, Hinton dan Williams sekitar tahun 1986, yang kemudian membuat minat terhadap jaringan saraf tiruan kembali diminati. Metode Backpropagation merupakan metode pembelajaran lanjut yang dikembangkan dari metode Perceptron. Backpropagation memiliki arsitektur jaringan multilayer sedangkan Perceptron menggunakan Single-layer (Desiani & Arhami, 2006). Metode Backpropagation merupakan metode yang baik dalam menyelesaikan permasalahan kompleks. Hal ini dimungkinkan karena jaringan metode ini dilatih dengan Supervised learning (Pelatihan terawasi). Ketika sepasang pola inputan dan pola yang diinginkan diberikan, bobot-bobot diubah untuk memperkecil perbedaan pola output dan pola yang diinginkan. Latihan ini dilakukan berulang-ulang agar semua pola yang dikeluarkan dapat memenuhi pola yang diinginkan. Metode ini memiliki dua tahap, yaitu perambatan maju dan perambatan mundur. Kedua tahap tersebut dilakukan untuk setiap pola yang diberikan selama
12 jaringan dalam pelatihan. Backpropagation memiliki tiga lapisan unit bahkan lebih, yaitu lapisan input, lapisan tersembunyi, dan lapisan output. Output Layer Hidden Layer Input Layer Gambar 2.3. Arsitektur Backpropagation (Fausett, 1994) Susunan langkah algoritma pelatihan untuk jaringan dengan satu lapisan tersembunyi (Desiani & Arhami, 2006): Langkah 0 : Inisialisasi bobot (tetapkan dalam nilai acak yang kecil). Langkah 1 : Selama kondisi berhenti tidak terpenuhi, lakukan langkah 2 8. Langkah 2 : Lakukan langkah 3 8 untuk setiap pasangan data pelatihan. Tahap feed forward (propagasi maju) Langkah 3 : Setiap neuron pada lapisan input (, i=1, 2,, n menerima sinyal dan meneruskannya ke lapisan tersembunyi. Langkah 4 : Jumlahkan bobot pada lapisan tersembunyi, (j=1, 2,, p, dengan persamaan 2.5. Nilai output Z j diperoleh dengan menggunakan fungsi aktivasi sigmoid biner. Z_net j = + (2.5) = = (2.6)
13 Langkah 5 : Untuk setiap neuron pada lapisan output, (k=1, 2,, m), hitung seluruh output jaringan dengan persamaan 2.7. Nilai output Y k diperoleh dengan menggunakan fungsi aktivasi sigmoid biner. Y_net k = + = = (2.7) (2.8) Tahap backward (propagasi mundur) Langkah 6 : Hitung faktor di unit keluaran, (k=1, 2,, m) dengan menggunakan persamaan 2.9. = ( ) (2.9) merupakan unit kesalahan yang digunakan untuk mengubah bobot layer pada langkah selanjutnya (langkah 7). Kemudian hitung perubahan bobot (digunakan nanti untuk mengubah nilai yang baru) dengan learning rate ( ) menggunakan persamaan 2.10. (2.10) Langkah 7 : Hitung penjumlahan pada hidden layer, (j=1, 2,, p dengan menggunakan persamaan 2.12. hitung faktor pada unit tersembunyi menggunakan persamaan 2.13. Kemudian hitung suku perubahan bobot (yang digunakan untuk memperoleh nilai bobot yang baru) dengan menggunakan persamaan 2.14. = z j (1-z j ) (2.11) (2.12) (2.13) Tahap update bobot dan bias Langkah 8 : Untuk setiap neuron pada lapisan output bobot dan biasnya,, (k=1, 2,, m), ganti nilai (2.14)
14 Setiap neuron pada lapisan tersembunyi biasnya., (j=1, 2,, p, ganti nilai bobot dan (2.15) Setelah pelatihan jaringan selesai dilakukan, maka pengenalan pola dapat dilakukan. Pada pelatihan Backpropagation, nilai ouput jaringan hanya diperoleh pada fase feed forward. Fungsi aktivasi yang digunakan adalah fungsi sigmoid biner. 2.6. Penelitian Terdahulu Penelitian yang berhubungan dengan peramalan sekaligus mengimplementasikan metode jaringan saraf tiruan Backpropagation pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Mislan et al. (2015) menggunakan Backpropagation untuk memprediksi curah hujan di Tenggarong, Kalimantan Timur Indonesia. Data curah hujan berjumlah 276, diambil dari tahun 1986 sampai 2008. Sebanyak 216 data (75%) digunakan untuk pelatihan dan 60 data (25%) untuk pengujian. Penelitian tersebut menghasilkan akurasi peramalan yang baik dengan nilai MSE 0.00096341 dengan jumlah epoch 1000. Pada penelitian lain, Muhammad (2010) meramalkan kurs rupiah terhadap dollar AS bulan Januari - Februari 2010 dengan menggunakan metode Backpropagation dan metode ARIMA (Box-Jenkins). Data pelatihan yang digunakan sebesar 80% dan 20% untuk pengujian. Nilai MAPE hasil peramalan dengan Backpropagation 0,925062 % sedangkan ARIMA (Box-Jenkins) 1,07946 %. Hal ini menunjukkan bahwa Backpropagation terbukti lebih akurat daripada ARIMA (Box- Jenkins) karena memiliki nilai error terkecil. Muwakhidin (2014) pernah melakukan penelitian dengan menggunakan metode jaringan saraf tiruan Backpropagation dan Radial Basis Function untuk memprediksi indek saham syariah Indonesia. Pada arsitektur Backpropagation, peneliti menggunakan 4 lapisan input, 5 lapisan tersembunyi dan 1 lapisan output. Pada arsitektur Radial Basis Function peneliti menggunakan 4 lapisan input, 8 lapisan tersembunyi dan 1 lapisan output. Diketahui bahwa metode Backpropagation menjadi metode terbaik dibandingkan Radial Basis Function karena menghasilkan MAPE masing-masing sebesar 0,023% dan 0,53%.
15 Mahrina (2014) membandingkan metode jaringan saraf tiruan Backpropagation dan LVQ dalam memprediksi curah hujan di kota Medan. Backpropagation dianggap mampu memberikan keakuratan dalam prediksi curah hujan pada 30 tahun terakhir dibandingkan LVQ. Keduanya memberikan hasil yang baik dalam prediksi musim kemarau. Tingkat akurasi untuk Backpropagation antara 75-99% dan LVQ 60-82%. Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu No. Peneliti (Tahun) Metode 1. Mislan et al. (2015) Backpropagation Keterangan MSE 0.00096341 2. Muhammad (2010) 3. Muwakhidin (2014) 4. Mahrina (2014) Backpropagation & ARIMA (Box-Jenkins) Backpropagation & Radial Basis Function Backpropagation & LVQ MAPE 0,925062 % dan 1,07946 % MAPE 0,023% dan 0,53% Backpropagation 75-99% & LVQ 60-82%