8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencegahan Kecelakaan Pencegahan kecelakaan kerja ditujukan kepada lingkungan, mesin, peralatan kerja, perlengkapan kerja, dan terutama faktor manusia. Lingkungan harus memenuhi syarat lingkungan yang aman serta memenuhi persyaratan keselamatan, kondisi tempat kerja yamg memenuhi syarat keselamatan, dan perancanaan sepenuhnya yang memenuhi syarat keselamatan. Mesin dan peralatan kerja harus didasarkan perencanaan yang baik dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku, serta cukup dilengkapi alat pelindung ( Suma mur, 2009). Menurut Santoso (2004), kecelakaan kerja dapat dicegah dengan memperhatikan 4 faktor, yakni faktor: 1. Lingkungan 2. Manusia 3. Peralatan 4. Bahaya ( hal-hal yang membahayakan). 2.2 Pengendalian Faktor Bahaya di Lingkungan Kerja Moeljosoedarmo (2008), ada beberapa cara pengendalian terhadap bahaya di lingkungan kerja yang dapat diterapkan ialah : 1. Pengendalian secara teknis, ada beberapa pengendalian secara teknis yang dapat dilakukan, yaitu : a. Pengendalian langsung kepada sumbernya b. Pengendalian kepada lingkungan kerja
9 c. Pengendalian langsung kepada tenaga kerja 2. Pengendalian secara administratif 3. Alat-alat pelindung diri 2.2.1 Pengendalian Secara Teknis Langsung Kepada Sumbernya Apabila kita telah mempertimbangkan untuk melakukan suatu tindakan pencegahan terhadap timbulnya atau terjadinya gangguan kesehatan yang disebabkan oleh karena bahan-bahan kimia berbahaya. Pada prinsipnya pertamatama adalah mengurangi atau membatasi jumlah bahan kimia berbahaya yang ada di lingkungan kerja sesuai dengan jenis dan kebutuhan untuk proses produksi pada saat itu. Ada beberapa cara yang tepat untuk menekan jumlah bahan-bahan berbahaya, yaitu dengan subsitusi bahan berbahaya dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya.cara ini adalah tindakan yang paling baik untuk menghentikan penggunaan bahan kimia berbahaya ( Moeljosoedarmo,2008). 2.2.1.1 Pengendalian Lingkungan Keja Menurut Moeljosoedarmo (2008), ada beberapa cara pengendalian kepada lingkungan kerja, yaitu: 1. Ketata rumahtanggaan 2. Ventilasi keluar ( aliran udara keluar) 2.2.1.2 Pengendalian Langsung Kepada Tenaga Kerja Pengendalian langsung kepada tenaga kerja berupa pengendian bahaya yang dilakukan dengan memberikan peringatan, instruksi, tanda, label yang akan membuat pekerja waspada akan adanya bahaya dilokasi tersebut. penting bagi pekerja mengetahui dan memperhatikan tanda-tanda peringatan yang ada dilokasi
10 kerja sehingga mereka dapat mengantisipasi adanya bahaya yang akan memberikan dampak kepadanya ( Moeljosoedarmo,2008). 2.2.2 Pengendalian Secara Administratif Pengendalian tersebut adalah peraturan-peraturan yang mengatur tenaga kerja untuk membatasi waktu kontaknya dengan pencemar bahan kimia. Pengendalian terhadap bahaya kesehatan, antara lain seperti pengurangan waktu kerja, rotasi kerja, cara kerja yang tepat, pemeliharaan yang baik dan kebersihan kesehatan perseorangan (Moeljosoedarmo, 2008). 2.2.3 Alat Pelindung Diri Menurut Suma mur (2004), perlindungan keselamatan pekerja melalui upaya teknis pengamanan tempat, mesin, peralatan, dan lingkungan kerja wajib diutamakan. Namun kadang-kadang resiko terjadinya kecelakaan masih belum sepenuhnya dapat dikendalikan, sehingga digunakan alat pelindung diri ( personal protective device ). Jadi penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) adalah alternatif terakhir yaitu kelengkapan dari segenap upaya teknis pencegahan kecelakaan. Alat Pelindung Diri (APD) harus memenuhi persyaratan: 1. Enak (nyaman) dipakai 2. Tidak mengganggu pelaksanaan pekerjaan 3. Memberikan perlindungan efektif terhadap macam bahaya yang dihadapi. Alat proteksi diri beraneka ragam. Jika digolongkan menurut bagian tubuh yang dilindunginya, maka jenis alat proteksi diri tersebut adalah: 1. Kepala : Pengikat rambut, penutup kepala, topi pengaman, 2. Mata : Kaca mata pelindung ( protective goggles)
11 3. Muka : Pelindung muka (face shields) 4. Tangan : Sarung tangan 5. Kaki : Sepatu boot 2.2.3.1 Pemilihan Alat Pelindung Diri (APD) Menurut Ridley (2006), pemilihan Alat Pelindung Diri (APD) yang efektif harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut, yaitu : 1. Sesuai dengan bahaya yang dihadapi 2. Terbuat dari material yang akan tahan terhadap bahaya tersebut 3. Cocok bagi orang yang akan menggunakannya 4. Tidak mengganggu kerja pekerja yang sedang bertugas 5. Memiliki konstruksi yang sangat kuat 6. Tidak mengganggu Alat Pelindung Diri (APD) lain yang sedang dipakai secara bersamaan. 7. Tidak meningkatkan resiko terhadap pemakainya. 8. Disediakan secara gratis 9. Diberikan satu per orang atau jika tidak, harus dibersihkan setelah digunakan 10. Hanya digunakan sesuai peruntukannya 11. Dijaga dalam kondisi baik 12. Diperbaiki atau diganti jika mengalami kerusakan 13. Disimpan di tempat yang sesuai ketika tidak digunakan. Ridley (2006), pekerja yang menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) juga harus memperoleh hal-hal berikut ini, yaitu:
12 1. Informasi tentang bahaya yang dihadapi 2. Instruksi tentang tindakan pencegahan yang perlu diambil 3. Pelatihan tentang penggunaan peralatan yang benar 4. Konsultasi dan diizinkan memilih Alat Pelindung Diri (APD) yang tergantung pada kecocokannya 5. Pelatihan cara memelihara dan menyimpan Alat Pelindung Diri (APD) dengan rapi 6. Instruksi agar melaporkan setiap kecelakaan atau kerusakan. 2.2.3.2 Alat Pelindung Diri (APD) Perkebunan Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi RI Nomor: PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri (APD). Dalam hal ini jenis Alat Pelindung Diri (APD) yang dipakai pada pekerja perkebunan adalah : 1. Alat pelindung kepala, adalah alat pelindung yang berfungsi melindungi kepala dari benturan, kejatuhan atau terpukul benda keras yang melayang atau meluncur di udara. Jenis alat pelindung kepala yaitu: helm, topi atau tudung kepala. 2. Alat pelindung pernapasan, adalah alat pelindung yang berfungsi melindungi organ pernapasan dengan cara menyalurkan udara bersih dan sehat, menyaring cemaran bahan kimia, mikro-organisme, partikel debu, uap, asap dan sebagainya. Jenis alat pelindung pernapasan yaitu masker. 3. Alat pelindung tangan, adalah alat pelindung yang berfungsi melindungi tangan dan jari-jari tangan dari bahan kimia, tergores, terinfeksi zat
13 patogen dan jasad renik. Jenis alat pelindung tangan yang terbuat dari kulit, kain kanvas, karet, kain atau kain berlapis. 4. Alat pelindung kaki, adalah alat pelindung yang berfungsi melindungi kaki dari tertimpa atau berbenturan dengan benda-benda berat, tertusuk benda, tergelincir, terkena bahan kimia yang berbahaya dan jasad renik. 5. Pakaian pelindung, berfungsi melindungi badan sebagian atau seluruh bagian badan dari bahaya temperatur panas atau dingin yang ekstrim, tergores, binatang, mikro-organisme patogen dari manusia, binatang, tumbuhan dan lingkungan seperti virus, bakteri dan jamur. Jenis pakaian pelindung yaitu yang menutupi sebagian atau seluruh bagian badan. 2.3 Pentingnya Keselamatan Kerja Keselamatan kerja merupakan aspek penting yang harus diketahui oleh para pemilik perusahaan dan pengusaha. Tujuannya adalah agar petani atau buruh yang dipekerjakan oleh suatu perusahaan atau pengusaha tersebut selamat dalam melakukan pekerjaannya. Langkah kerja untuk berbagai pekerjaan harus benar sehingga selamat serta dengan prosedur kerja yang benar dapat menghindari ketidakamanan dalam bekerja (Riyanto, 2012). 2.3.1 Pengertian Kecelakaan Kerja Kecelakaan merupakan kejadian yang berlangsung secara tiba-tiba, tidak diduga sebelumnya, tidak diharapkan terjadi, menimbulkan kerugian ringan sampai yang paling berat, dan bisa menghentikan kegiatan pabrik secara total. Kecelakaan kerja merupakan kecelakaan seseorang atau kelompok dalam rangka melaksanakan kerja di lingkungan perusahaan. Kecelakaan kerja biasanya timbul
14 sebagai gabungan dari beberapa faktor, seperti faktor peralatan, lingkungan kerja, dan pekerja itu sendiri. Dalam suatu pabrik, terkadang ada mesin yang kurang baik, seperti tidak dilengkapi dengan alat pengamanan yang cukup, maka kondisi seperti ini menjadi sumber resiko. Lingkungan kerja yang tidak nyaman dan tidak sesuai dengan pekerjaannya turut menjadi kontribusi untuk terjadinya kecelakaan (Hadiguna, 2009 ). 2.3.2 Penyebab kecelakaan Setiap kecelakaan di tempat kerja tidak terjadi secara kebetulan, melainkan ada faktor penyebabnya. Oleh karena ada faktor penyebabnya, faktor penyebabnya harus diteliti dan ditemukan, agar selanjutnya dengan tindakan korektif yang ditujukan kepada penyebab itu serta dengan upaya preventif lebih lanjut kecelakaan dapat dicegah dan kecelakaan serupa tidak berulang. Ada dua golongan penyebab kecelakaan kerja. Golongan pertama adalah faktor mekanis dan lingkungan, yang meliputi segala sesuatu selain faktor manusia. Golongan kedua adalah faktor manusia itu sendiri yang merupakan penyebab kecelakaan. (Suma mur, 2009 ). 2.3.3 Kecelakaan Kerja Karena Faktor Manusia Menurut Santoso (2004), dalam buku Management Losses Bab II tentang The Causes and Effects Of Loss, hasil penelitian menunjukkan bahwa 80-85% kecelakaan disebabkan oleh faktor manusia, unsur unsur tersebut antara lain : 1. Ketidakseimbangan fisik atau kemampuan fisik tenaga kerja 2. Ketidakseimbangan kemampuan psikologis tenaga kerja
15 3. Kurang pengetahuan 4. Kurang terampil 5. Stres mental 6. Stress fisik 2.3.4 Kecelakaan Menurut Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan mempunyai peranan besar dalam menentukan macam kecelakaan. Macam kecelakaan yang terjadi di perkebunan atau kehutanan antara lain tertimpa kayu gelondongan, terjatuh, terjerembab, luka oleh gergaji atau perkakas tangan, dan sebagainya (Suma mur, 2009 ). Seperti halnya pada petani sektor informal ini, kecelakaan bisa kapan saja menimpa mereka saat melakukan pekerjaannya. 2.4 Domain Perilaku Menurut Notoatmodjo (2012), perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap rangsangan yang diterimanya dari luar organism (orang), tetapi dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain yang bersangkutan dengan orang tersebut. hal ini berarti, bahwa setiap orang memberikan respon yang berbeda-beda dari stimulus yang diterimanya. Menurut Notoatmodjo (2012), perilaku manusia dibagi dalam tiga domain dan dikembangkan menjadi 3 tingkat ranah perilaku sebagai berikut : 1. Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
16 raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan. a. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya b. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. c. Aplikasi (aplication) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
17 d. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. e. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas.
18 2. Sikap (attitude) Sikap merupakan reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan STIMULUS (Rangsangan) PROSES STIMULUS REAKSI TERBUKA (Tindakan) REAKSI TERTUTUP (Pengetahuan dan Sikap) Gambar 2.1 Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan
19 1. Komponen pokok sikap Dalam bagian lain Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2012), juga menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok. a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. 2. Berbagai tingkatan sikap Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan. a. Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan. b. Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut.
20 c. Menghargai (valving) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. d. Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. 3. Praktik atau Tindakan (Practice) Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Disamping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan dari pihak lain. Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan. 1. Respon terpimpin (guided response) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh merupakan indikator praktik tingkat pertama. 2. Mekanisme (mechanism) Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat kedua.
21 3. Adopsi (adoption) Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. pengukuran prilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu. Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden. Pengukuran praktik (overt behavior) juga dapat diukur dari hasil perilaku tersebut. 2.5 Sejarah Kelapa Sawit Kelapa sawit merupakan tumbuhan tropis yang diperkirakan berasal dari Nigeria (Afrika Barat) karena pertama kali ditemukan di hutan belantara di Negara tersebut. Kelapa sawit pertama masuk ke Indonesia pada tahun 1848, dibawa dari Mauritius dan Amsterdam oleh seorang warga Belanda (Hadi,2004). 2.5.1 Perkembangan Kelapa Sawit Perkebunan kelapa sawit komersial pertama di Indonesia mulai diusahakan pada tahun 1911 di Aceh dan Sumatera Utara oleh Adrien Hallet, seorang kebangsaan Belgia. Luas kebun kelapa sawit terus bertambah. Perkebunan kelapa sawit mulai berkembang pesat pada tahun 1969. Dengan semakin pentingnya peran kelapa sawit dalam peningkatan perekonomian rakyat, penyerapan tenaga kerja, dan sumber devisa Negara, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pengusahaan perkebunan kelapa sawit. Kebijakankebijakan tersebut antara lain pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR), sejak tahun
22 1978, pola kemitraan, pemberian kredit investasi oleh Bank Indonesia, dan pembatasan ekspor melalui penerapan pajak ekspor untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng di dalam negeri (Hadi,2004). 2.5.2 Proses Kerja Perkebunan Sebagai Negara agraris pada mulanya pekerjaan perkebunan dilaksanakan secara manual dan tradisional. Pada waktu itu kebun yang dibuka masih berskala kecil dengan resiko kerja yang tidak begitu diperhatikan. Sejak perkebunan dibuka dengan skala besar penerapan teknologi mulai berkembang, baik dalam penggunaan alat-alat besar, mesin-mesin, maupun penggunaan bahan kimia untuk pemberantasan hama dan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah sesuai dengan kebutuhan jenis tanaman, resiko kerja mulai dirasakan sebagai kendala keberhasilan pembangunan perkebunan. Melalui penggunaan teknologi yang semakin lama semakin canggih inilah muncul resiko kerja disektor perkebunan yang bila tidak dikendalikan dengan upaya-upaya keselamatan dan kesehatan kerja akan menimbulkan kerugian baik terhadap tenaga kerja itu sendiri, maupun terhadap perusahaan atau unit kerja tersebut. resiko ini dapat merupakan kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh faktor-faktor sikap manusia dalam melaksanakan pekerjaan dan faktor lingkungan kerja yang dihadapi (Nurdin,2002). Menurut Nurdin (2002), untuk mengetahui gangguan kesehatan pekerja dan kecelakaan kerja yang mungkin terjadi disektor perkebunan, harus diamati bagaimana metode dan proses ke pekerjaan tahap demi tahap dengan memperhatikan sikap tenaga kerja dalam melaksanakan metode kerja tersebut,
23 baik sikap kerja terhadap penggunaan alat dan mesin, maupun sikap kerja terhadap penggunaan bahan kimia serta bagaimana prosedur, sistem kerja, dan teknis kerja yang diterapkan. Tahap demi tahap proses kerja perkebunan adalah sebagai berikut : 1. Pembibitan 2. Pembukaan lahan 3. Pemeliharaan 4. Panen 2.5.3 Lingkungan Kerja Perkebunan Menurut Nurdin (2002), adapun lingkungan kerja disektor kerja perkebunan adalah sebagai berikut: 1. Faktor Lingkungan Kerja Fisik a. Faktor lingkungan kerja panas, oleh sinar matahari dihadapi oleh pekerja lapangan, sedangkan panas oleh mesin atau alat akan dihadapi oleh pekerja pabrik pengolahan. b. Faktor lingkungan kerja suara ribut, umumnya dihadapi oleh pekerja pabrik pengolahan. 2. Faktor Lingkungan Kerja Kimia Dapat terjadi akibat proses kerja pembakaran pada pembukaan lahan kebun yang pada skala besar dapat menimbulkan pencemaran udara. 3. Faktor Lingkungan Kerja Biologis Pada saat pembukaan lahan pekerja sudah harus berhadapan dengan faktor lingkungan kerja biologis. Adanya bangkai binatang dilahan tersebut yang
24 mungkin mengandung bakteri atau kuman juga harus dihadapi oleh pekerja disamping adanya insect yang cukup menggangu yang merupakan faktor lingkungan kerja biologis yang berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan akibat kerja. Serta kurang tersedianya fasilitas MCK (Mandi Cuci Kakus). 4. Faktor Lingkungan Kerja Ergonomis Faktor lingkungan kerja ergonomis ini merupakan faktor yang sangat berperan pada penggunaan alat-alat panen terhadap lokasi panen yang cukup tinggi seperti memanen TBS yang tingginya lebih 3 meter atau menderes yang lokasinya lebih tinggi dari kepala, akan berpotensi timbulnya kecelakaan kerja dan gangguan kesehatan akibat kerja. Harus diupayakan agar penggunaan alat dan mesin dapat dikendalikan dengan mempertimbangkan faktor kemampuan anatomi dan physiologis pekerja agar faktor lingkungan kerja ekonomis tidak menimbulkan kendala. 5. Faktor Lingkungan Kerja Psikologis Lokasi kebun yang jauh dari kota dengan fasilitas yang kehidupan serba terbatas dapat menciptakan faktor lingkungan kerja psikologis seperti belum memadainya fasilitas listrik, air bersih, sarana komunikasi dengan pesawat telepon. 2.6 Peranan Sektor Informal Bidang Perkebunan Peranan sektor informal cukup berperan dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Upaya penciptaan lapangan kerja telah dilakukan, namun masih belum mencukupi. Kondisi pasar kerja Indonesia menunjukkan sebagian besar dari
25 angkatan kerja bekerja pada lapangan kerja informal dengan tingkat pendidikan dan keterampilan rendah. Sektor informal adalah sektor yang tidak terorganisasi, tidak teratur, dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar. Sektor informal memiliki karakteristik seperti jumlah unit usaha yang banyak dalam skala kecil, kepemilikan oleh individu atau keluarga, teknologi yang sederhana dan padat tenaga kerja, tingkat pendidikan dan keterampilan rendah, produktivitas tenaga kerja yang rendah dan tingkat upah yang juga relatif lebih rendah dibandingkan sektor formal. (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2009). Provinsi Sumatera Utara memiliki peran penting dalam perekonomian wilayah dan nasional, terutama salah satu nya dari sektor perkebunan. Kabupaten Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Tapanuli Selatan, Samosir, Dairi, Simalungun, Nias Selatan, dan Langkat termasuk kategori daerah dengan pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata, tapi pengurangan pengangguran di atas rata-rata (low growth, pro-job). Hal ini mengindikasikan bahwa perluasan lapangan kerja terjadi pada sektor ekonomi dengan pertumbuhan rendah seperti pertanian dan perikanan. Dengan banyak nya daerah perkebunan kelapa sawit yang ada di daerah Sumatera Utara secara tidak langsung memberikan peluang besar dalam menciptakan lapangan kerja baru dengan menjadi pekerja di perkebunan. Begitu juga dengan perkebunan sektor informal yang kepemilikannya oleh individu,atau keluarga juga berperan dalam memberikan peluang kerja bagi masyarakat kecil yang berada di sekitar lingkungan perkebunan kelapa sawit tersebut (Perkembangan Pembangunan Provinsi Sumatera Utara 2014).
26 2.7 Kerangka Konsep Penelitian Variabel Bebas Faktor Tenaga Kerja 1. Pengetahuan 2. Sikap Variabel Terikat Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) 1. Lengkap 2. Tidak Lengkap Gambar 2.2 Kerangka konsep