TINJAUAN PUSTAKA. s Hak atas Pangan. Ketersediaan Pangan. Pemberdayaan. Akuntabilitas. Berbasis Hak Asasi Manusia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

EVALUASI PEMENUHAN HAK ATAS PANGAN DAN GIZI DI INDONESIA DALAM TIGA DEKADE TERAKHIR DEVI SANDY AMBARPRATIWI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lampiran 1 Perkembangan indeks harga konsumen (IHK) dan pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga berlaku dan konstan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

Gambar 3 Hubungan ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbidity, konsumsi pangan dan status gizi Balita

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Cara Pemilihan Contoh

KETAHANAN PANGAN : SUBSISTEM KETERSEDIAAN

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tetapi pada masa ini anak balita merupakan kelompok yang rawan gizi. Hal ini

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang

BAB II LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis)

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dijamin dalam kualitas maupun kuantitas yang cukup untuk pemenuhan aspirasi

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

World Hunger Organization (WHO), terdapat empat jenis masalah kekurangan. Anemia Gizi Besi (AGB), Kurang Vitamin A (KVA) dan Gangguan Akibat

METODE PENELITIAN Desain Penelitian Teknik Penarikan Contoh

Pengantar Makro Ekonomi. Pengantar Ilmu Ekonomi

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

Konsep dan Implementasi Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan: Upaya Mendorong Terpenuhinya Hak Rakyat Atas Pangan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. sebagai manusia sehat yang cerdas, produktif dan mandiri. Upaya peningkatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Karakteristik Anak Sekolah Dasar

INDEKS TENDENSI KONSUMEN JAWA TENGAH TRIWULAN I-2014

TINJAUAN PUSTAKA. B. PENILAIAN STATUS GIZI Ukuran ukuran tubuh antropometri merupakan refleksi darik pengaruh 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Food Coping Strategy : Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Status Gizi Balita

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

I. PENDAHULUAN. suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan. terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis.

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ada beberapa defenisi ketahanan pangan, antara lain :

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juni 2007 Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. H.

KETAHANAN PANGAN DAN STATUS GIZI KELUARGA PEROKOK DI KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO

BAB I PENDAHULUAN. pendekatan penanggulangnya harus melibatkan berbagai sektor terkait.

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

PENDAHULUAN. tahun 2004, konsumsi protein sudah lebih besar dari yang dianjurkan yaitu

I. PENDAHULUAN. Pada hakekatnya pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1)

METODOLOGI. n = 2 (σ 2 ) (Zα + Zβ) δ 2

Gambar 1 Hubungan pola asuh makan dan kesehatan dengan status gizi anak balita

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. tahun 1970an bersamaan dengan adanya krisis pangan dan kelaparan dunia

METODOLOGI. 3. Cakupan Imunisasi Lengkap, Departemen Kesehatan RI Badan Pusat Statistik RI (BPS RI)

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) ialah. menurunkan angka kematian anak (Bappenas, 2007). Kurang gizi merupakan

Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan. Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI

INDIKATOR MAKROEKONOMI KABUPATEN PAKPAK BHARAT

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. mengimbangi pertambahan angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja. memungkinkan berlangsungnya pertumbuhan ekonomi secara terus-menerus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. yang mendasar atau bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang penyelenggaraannya

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik (BPS, 2009).

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

I. PENDAHULUAN. Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Ketahanan Pangan dan Gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

Transkripsi:

5 TINJAUAN PUSTAKA Aspek Hak atas Pangan Hak atas pangan yang cukup dibangun dari konsep ketahanan pangan. Hak atas pangan yang cukup memberikan penekanan lebih besar pada individu manusia bukan pada istilah umum "all people (semua orang)" (FAO 2008). Atribut substantif dari hak atas pangan yang cukup pada dasarnya sama dengan ketahanan pangan yang didefinisikan oleh FAO, yaitu memiliki tiga pilar: ketersediaan pangan (food availability), akses pangan (food accessibility), dan kecukupan pangan (food adequacy) (FAO 2006a). Pendekatan berbasis hak pada hak atas pangan memperluas ruang lingkup konsep ketahanan pangan (FAO 2008). s Hak atas Pangan Martabat Manusia Akuntabilitas Pemberdayaan Non-diskriminasi Partisipasi Transparan Penegakan Hukum Ketersediaan Pangan Akses Pangan Kecukupan Pangan Berbasis Hak Asasi Manusia Gambar 1 Komponen-komponen hak atas pangan (FAO 2006a) Ketersediaan Pangan Ketersediaan pangan di suatu daerah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi penduduk. Pola konsumsi pangan penduduk suatu daerah yang meliputi jumlah dan jenis pangan biasanya berkembang dari pangan yang tersedia setempat atau telah ditanam di daerah tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo 1989). Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, dari segi kuantitas, kualitas, keragaman, dan keamanannya. Terdapat acuan kuantitatif untuk ketersediaan

6 pangan, yaitu Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang direkomendasikan Widyakarya Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004, dalam satuan rata-rata per kapita per hari untuk energi sebesar 2.200 kkal dan protein 57 gram. Angka tersebut merupakan standar kebutuhan energi bagi setiap individu agar mampu menjalankan aktivitas sehari-hari. Pada rekomendasi WNPG sebelumnya, angka kecukupan energi adalah 2.550 kkal/kap/hari dan kecukupan protein sebesar 55 gram/kap/hari. Di samping itu juga terdapat acuan untuk menilai tingkat keragaman ketersediaan pangan, yaitu Pola Pangan Harapan (PPH) dengan skor 100 sebagai PPH ideal. Kinerja keragaman ketersediaan pangan pada suatu waktu dapat dinilai dengan metode PPH (Bappenas 2008a). Ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu: (1) produksi dalam negeri; (2) impor pangan; dan (3) pengelolaan cadangan pangan. Mengingat jumlah penduduk yang cukup besar dengan kemampuan ekonomi yang relatif lemah, serta kemauan untuk menjadi bangsa yang mandiri, bangsa Indonesia telah sepakat untuk memenuhi sebesar mungkin kebutuhan pangannya dari produksi dalam negeri. Impor pangan merupakan pilihan akhir apabila terjadi kelangkaan produksi dalam negeri. Hal ini secara politik dianggap penting untuk menghindarkan bangsa ini dari ketergantungan pangan terhadap negara lain, yang dapat berdampak pada kerentanan terhadap campur tangan asing secara ekonomi dan politik. Kemampuan memenuhi kebutuhan pangan dari produksi sendiri, khususnya bahan pangan pokok, juga menyangkut harkat dan kelanjutan eksistensi bangsa (Bappenas 2008a). Akses Pangan Menurut Bappenas (2010b), akses pangan adalah kondisi penguasaan sumberdaya (sosial, teknologi, finansial, alam, manusia) yang cukup untuk memperoleh dan/ atau ditukarkan untuk memenuhi kecukupan pangan. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumahtangga mampu dan memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut. Akses pangan setiap individu sangat tergantung pada ketersediaan pangan dan kemampuan untuk mengaksesnya secara kontinu (Bappenas 2007). Aksesibilitas pangan atau keterjangkauan pangan oleh masyarakat dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain: harga pangan, tingkat pendapatan atau daya beli, kestabilan keamanan sosial, anomali iklim, bencana alam, lokasi dan topografi

7 wilayah, keberadaan sarana dan prasarana transportasi, kondisi jalan perhubungan, dan lainnya (DKP 2011). Permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan umumnya bersifat kronis yang meliputi aspek fisik, ekonomi, dan sosial. Aspek fisik berupa infrastruktur jalan dan pasar, dan aspek ekonomi berupa daya beli yang masih rendah karena kemiskinan dan pengangguran, serta aspek sosial berupa tingkat pendidikan yang rendah (Bappenas 2010b). Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah mendasar yang menjadi perhatian semua negara. Pada kerangka UNICEF (1998), kemiskinan dianggap sebagai akar penyebab terjadinya masalah gizi buruk. Hal ini menunjukkan bahwa apabila jumlah penduduk miskin dalam suatu wilayah meningkat maka peluang terjadinya kasus gizi buruk akan semakin tinggi. Untuk itu, kemiskinan merupakan sebuah indikator untuk kemajuan suatu bangsa. Menurut Suhardjo (2008), kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi pertama pada kondisi yang umum. Hal ini harus mendapat perhatian serius karena keadaan ekonomi ini relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan. Golongan miskin menggunakan bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan, di mana untuk keluarga-keluarga di negara berkembang sekitar dua pertiganya. Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Pendekatan tersebut memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang dikukur dari sisi pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non makanan (GKNM). Garis kemiskinan makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kkal per kapita per hari yang diwakili oleh 52 jenis komoditas. Garis kemiskinan non makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan yang diwakili oleh 51 jenis komoditi untuk perkotaan dan 47 jenis komoditi untuk pedesaan (BPS 2008). World Bank menggunakan garis kemiskinan absolut yang sama untuk membandingkan angka kemiskinan antar negara. Hal ini bermanfaat dalam

8 menentukan arah penyaluran sumber daya finansial dan menganalisis kemajuan dalam memberantas kemiskinan. Ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia ada dua, yaitu pendapatan US$ 1 per kapita per hari dan pendapatan US$ 2 per kapita per hari (BPS 2008). Masalah gizi berkaitan dengan masalah kemiskinan merupakan lingkaran setan yang menjadi penghambat bagi pembangunan negara. Situasinya dapat digambarkan seperti berikut. Kemiskinan menyebabkan makanan tidak seimbang sehingga menjadi kurang gizi yang pada akhirnya akan sakit. Keadaan tersebut menyebabkan pertumbuhan badan terhambat dan proses belajar menjadi lambat yang mengakibatkan individu dewasa menjadi kecil dan produktivitasnya rendah. Rendahnya produktivitas berdampak pada kemampuan bekerja yang rendah sehingga akan menimbulkan pengangguran. Pada akhirnya kondisi tersebut menyebabkan kemiskinan kembali, dan akan seperti itu seterusnya (Suhardjo 1989). Pengangguran Salah satu penyebab terjadinya kekurangan pangan yaitu masih tingginya angka pengangguran di Indonesia. Tingginya angka pengangguran berkorelasi langsung terhadap menurunnya tingkat pendapatan masyarakat yang berarti daya beli terhadap pangan menurun dan akhirnya akses terhadap pangan pun semakin sulit diwujudkan (Suntoro 2004). Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalahmasalah sosial lainnya. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran atau konsumsinya yang pada akhirnya akan mengakibatkan menurunnya tingkat kualitas hidup atau kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan atau berlangsung lama juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk bagi penganggur bahkan keluarganya. Dari sisi nasional, tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan ketidakstabilan politik, keamanan, dan sosial sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi suatu negara. Akibat jangka panjangnya adalah menurunnya Produk Nasional Bruto (Gross National Product) dan pendapatan per kapita suatu negara (BPS 2007a). Konsep dan definisi ketenagakerjaan yang digunakan BPS dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) mengacu pada konsep yang berlaku secara

9 internasional dari ILO (ILO Concept Approach). Hal ini bertujuan agar indikator ketenagakerjaan Indonesia bersifat internasional sehingga dapat dibandingkan dengan negara lain. Menurut konsep ILO, penganggur terbuka atau dikenal dengan istilah pengangguran didefinisikan sebagai mereka yang tidak mempunyai pekerjaan, sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja, dan sedang mencari pekerjaan. Definisi ini digunakan pada pelaksanaan Sakernas sebelum tahun 2001, sedangkan sejak tahun 2001 definisi pengangguran mengalami penyesuaian/ perluasan menjadi sebagai berikut: penganggur adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, dan yang tidak mencari pekerjaan (BPS 2007b). Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) memberikan indikasi tentang penduduk usia kerja yang termasuk dalam kelompok pengangguran. Tingkat pengangguran terbuka diukur sebagai persentase jumlah penganggur terhadap jumlah angkatan kerja, yang dapat dirumuskan sebagai berikut: TPT = (Penganggur/ Angkatan Kerja) x 100 % Kegunaan dari indikator pengangguran terbuka ini baik dalam satuan unit (orang) maupun persen berguna sebagai acuan pemerintah bagi pembukaan lapangan kerja baru. Jumlah pengangguran yang tinggi akan saling berkaitan dengan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan kemiskinan serta berdampak terhadap timbulnya berbagai masalah kerawanan sosial di suatu wilayah (BPS 2007a). Produk Domestik Bruto (PDB) Perkembangan ekonomi akan sesuai dengan pemanfaatan sumber daya ekonomi (economic resources). Sumber daya tersebut adalah tanah (land), tenaga kerja (labor), dan modal (capital). Ketiga sumber daya tersebut dalam ilmu ekonomi disebut sebagai faktor-faktor produksi (factor of production). Dengan menggunakan faktor produksi tersebut, input antara (intermediate input) atau bahan baku dapat diubah menjadi output. Pengertian inilah yang relevan dengan istilah nilai tambah (value added). Penjumlahan nilai tambah dalam satu periode tertentu di suatu wilayah tertentu dikenal dengan Produk Domestik Bruto (PDB) (BPS 2010c). Produk Domestik Bruto (PDB) adalah total nilai barang dan jasa yang diproduksi di suatu negara tertentu dalam suatu periode waktu tertentu (1 tahun). PDB per kapita diperoleh apabila PDB per kapita dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun yang tinggal di suatu negara tertentu. PDB menunjukkan

10 kemampuan sumber daya ekonomi suatu negara menghasilkan output pada suatu periode waktu. Nilai PDB yang besar menunjukkan output yang dihasilkan besar, begitu juga sebaliknya (BPS 2007b). Nilai tambah yang diciptakan, diklasifikasikan ke dalam 9 (sembilan) sektor ekonomi yaitu, sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan, listrik-gas-air bersih, bangunan, perdagangan-hotel-restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan-real estat-jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa (BPS 2010c). Nilai PDB disajikan melalui dua harga, yaitu atas dasar harga berlaku (at current market prices) dan harga konstan (constant prices). Konsep atas dasar harga konstan merupakan PDB atas dasar harga berlaku yang telah dihilangkan pengaruh perubahan harga. Oleh karenanya, tingkat pertumbuhan ekonomi dihitung dari PDB atas penilaian harga konstan. Hal ini mengandung maksud bahwa pertumbuhan ekonomi benar-benar merupakan pertumbuhan volume barang dan jasa, bukan nilai yang masih mengandung perubahan harga (BPS 2010c). Konsumsi Pangan Pangan bagi makhluk hidup umumnya dan manusia khususnya merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi untuk dapat mempertahankan hidup serta melaksanakan kewajiban-kewajiban hidup. Namun, berbeda dengan kebutuhan hidup lain, kebutuhan pangan hanya diperlukan secukupnya. Baik kurang maupun lebih dari kecukupan yang diperlukan, terutama jika dialami dalam jangka waktu lama, akan berdampak buruk pada kesehatan (Khumaidi 1989). Konsumsi pangan merupakan jumlah pangan, baik tunggal maupun beragam yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan pemenuhan fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992), konsumsi pangan adalah suatu informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Oleh karena itu, penilaian konsumsi pangan dapat berdasarkan jumlah maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Penilaian konsumsi pangan dimaksudkan sebagai cara untuk mengukur keadaan konsumsi pangan yang terkadang merupakan salah satu cara untuk mengukur status gizi. Menurut Nasoetion dan Riyadi (1995), tahap pertama kekurangan zat gizi dapat diidentifikasi dengan cara menilai konsumsi makanannya.

11 Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992), faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan seseorang di antaranya adalah aksesibilitas, kebiasaan makan, pola makan, pembagian makanan dalam keluarga, dan besarnya keluarga. Kebiasaan mengkonsumsi pangan yang baik akan menyebabkan status gizi yang baik pula dan keadaan ini dapat terlaksana apabila telah tercipta keseimbangan antara banyaknya jenis-jenis zat gizi yang dikonsumsi dengan banyaknya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kebutuhan gizi adalah sejumlah zat gizi minimum yang harus dipenuhi dari konsumsi pangan. Kurang beragamnya pangan yang dipilih dan tidak cukupnya jumlah yang dikonsumsi merupakan masalah konsumsi pangan dan gizi yang sering terjadi. Masalah konsumsi pangan dan gizi ini bukanlah masalah yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari suatu sistem yang ditentukan oleh berbagai faktor yang saling terkait. Masalah yang berkaitan dengan konsumsi pangan dan gizi yaitu seperti tingkat pendapatan, ketersediaan pangan setempat, teknologi, tingkat pengetahuan, kesadaran masyarakat mengenai gizi, kesehatan, dan faktor-faktor sosio budaya seperti kebiasaan makan, sikap, dan pandangan masyarakat terhadap bahan makanan tertentu dan adat istiadat (Sanjur 1982). Persyaratan kecukupan (sufficiency condition) untuk mencapai keberlanjutan konsumsi pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan. Aksesibilitas ini tercermin dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Dengan demikian data konsumsi pangan secara riil dapat menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Perkembangan tingkat konsumsi pangan tersebut secara implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap pangan (DKP 2009). FAO (2006b), menetapkan konsumsi pangan sebagai salah satu elemen kecukupan pangan (food adequacy) dalam mewujudkan hak atas pangan bagi setiap individu. Menurut DKP (2009), tercukupinya kebutuhan pangan antara lain dapat diindikasikan dari pemenuhan kebutuhan energi dan protein. Evaluasi konsumsi pangan dapat dilakukan dari dua aspek, yaitu secara kuantitatif dan secara kualitatif. Untuk menilai pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara kuantitatif dapat didekati dari konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan proteinnya. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII menganjurkan

12 konsumsi energi dan protein penduduk Indonesia masing-masing adalah 2.000 kkal/kap/hari dan 52 gram/kap/hari. Pada rekomendasi WNPG sebelumnya, angka kecukupan energi adalah 2.200 kkal/kap/hari dan kecukupan protein sebesar 48 gram/kap/hari. Untuk menganalisis perkembangan konsumsi pangan, selain diperlukan informasi tentang kuantitas konsumsi pangan perlu pula diketahui tingkat kualitasnya. Kualitas atau mutu konsumsi pangan dilihat dengan menggunakan nilai/ skor Pola Pangan Harapan (PPH). Nilai/ skor PPH ini dapat memberikan informasi mengenai pencapaian kuantitas dan kualitas konsumsi, yang menggambarkan pencapaian ragam (diversifikasi) konsumsi pangan. Semakin besar skor PPH yang dianggap sempurna diberikan pada angka kecukupan gizi dengan skor PPH mencapai 100 (Bappenas 2007b). Kerawanan Pangan Rawan pangan dan gizi masih menjadi salah satu masalah besar bangsa ini. Masalah gizi berawal dari ketidakmampuan rumah tangga mengakses pangan, baik karena masalah ketersediaan di tingkat lokal, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan akan pangan dan gizi, serta perilaku masyarakat (Bappenas 2007b). Secara umum, kerawanan pangan dapat diartikan sebagai kondisi suatu daerah, masyarakat, atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan. Kondisi kerawanan pangan dapat bersifat: (1) kronis, yang ditampakkan dengan adanya gejala kurang makan secara terus menerus karena ketidakmampuan memperoleh pangan yang cukup, baik cara membeli atau menghasilkan sendiri, akibat keterbatasan penguasaan sumberdaya alam dan kemampuan sumberdaya manusia sehingga pemanfaatan kemampuan dan kekuatan fisik kurang maksimal; menjadikan rentan terhadap gangguan penyakit, dan pada gilirannya menyebabkan kondisi masyarakat semakin miskin; (2) kerawanan trasien, yang merupakan penurunan kemampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup, akibat kondisi tidak terduga seperti ketidakstabilan harga, ketidakstabilan produksi, dan ketidakstabilan pasokan pangan sebagai akibat bencana alam, kerusuhan, penyimpangan musim, konflik sosial, dan lain-lain. Dampak buruk terganggunya ketersediaan pangan dan berkurangnya daya beli masyarakat menimbulkan

13 kemiskinan structural sehingga dengan usaha apapun pendapatannya tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya (BBKP 2003). Tingginya proporsi rumah tangga rawan pangan dan anak balita kurang gizi menunjukkan bahwa tingkat ketahanan pangan pada tingkat nasional atau wilayah tidak selalu berarti bahwa tingkat ketahanan pangan pangan di rumah tangga dan individu juga terpenuhi. Masalah-masalah distribusi dan mekanisme pasar yang berpengaruh terhadap harga, daya beli rumah tangga yang berkaitan dengan kemiskinan dan pendapatan rumah tangga, dan tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi sangat berpengaruh kepada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah tangga (DKP 2009). Kerawanan pangan dan kelaparan sering terjadi pada petani skala kecil, nelayan, dan masyarakat sekitar hutan yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam yang miskin dan terdegradasi. Kerawanan pangan sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang ditentukan tingkat pendapatannya. Rendahnya tingkat pendapatan memperburuk konsumsi energi dan protein (DKP 2006). Berdasarkan Depkes (1996), jika tingkat konsumsi energi <70% dikatakan defisit tingkat berat, 70-79% dikatakan defisit tingkat sedang, 80-89% dikatakan defisit tingkat ringan, 90-119% dikatakan normal dan 120% dikatakan berlebihan. Bappenas (2007b), mendefinisikan penduduk rawan pangan sebagai mereka yang rata-rata tingkat konsumsi energinya antara 71 89% dari norma kecukupan energi, sedangkan penduduk sangat rawan pangan hanya mengkonsumsi energi kurang dari 70% dari kecukupan energi. Keamanan Pangan Aspek keamanan pangan menjadi salah satu terpenting dalam ketahanan pangan, dimana pangan tidak hanya tersedia dalam jumlah yang cukup, tetapi juga dalam kondisi yang aman untuk dikonsumsi. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan, keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat menggangu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Keamanan pangan menjadi salah satu elemen kecukupan pangan (food adequacy) dalam mewujudkan hak atas pangan bagi setiap individu (FAO 2006b). Mutu dan keamanan pangan tidak hanya berpengaruh langsung

14 terhadap kesehatan manusia, tetapi juga terhadap produktifitas ekonomi dan perkembangan sosial, baik individu, masyarakat, maupun negara. Selain itu, persaingan internasional yang semakin ketat di bidang perdagangan makanan menuntut produk-produk makanan lebih bermutu dan aman. Mutu dan keamanan pangan terkait erat dengan kualitas pangan yang dikonsumsi sehingga berpengaruh kepada kualitas kesehatan serta pertumbuhan fisik dan intelegensi manusia (BBKP 2003). Pangan yang tidak aman dapat menyebabkan penyakit yang disebut dengan foodborne disease, yaitu gejala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan/ senyawa beracun atau organisme patogen. Penyakit semacam ini masih sering terjadi di Indonesia. Penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh pangan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok utama, yaitu infeksi dan intoksifikasi. Istilah infeksi digunakan bila setelah mengkonsumsi pangan atau minuman yang mengandung bakteri patogen, timbul gejala-gejala penyakit. Intoksifikasi adalah keracunan yang disebabkan karena mengonsumsi pangan yang mengandung senyawa beracun (Anwar 2006). Dalam aspek keamanan pangan, ada dua hal penyebab permasalahan yang memerlukan penanganan lebih lanjut, yaitu: (1) residu pestisida pada beberapa produk pertanian yang sudah melampaui batas toleransi, dan meninggalkan residu di atas ambang batas maksimum, baik pada produk maupun pada lingkungan usahatani; dan (2) perilaku produsen makanan jajanan (banyak yang belum terdaftar), yang dalam proses produksinya belum menggunakan standar yang ditetapkan, bahkan kadang menggunakan zat pengawet, zat pewarna, dan zat pemanis buatan yang tidak sesuai ketentuan. Kedua hal tersebut dapat menimbulkan keracunan pada makanan, bahkan dapat menjadi salah satu penyebab Penyakit Bawaan Makanan/ PBM (foodborne disease) bagi konsumen (DKP 2011). Parameter utama yang paling mudah dilihat untuk menunjukkan tingkat keamanan pangan di suatu negara adalah jumlah kasus keracunan yang terjadi akibat pangan (Bappenas 2007b). Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan dapat terjadi karena adanya interaksi antara agen pangan dengan inang, yang menyebabkan infeksi atau intoksikasi. Ada dua tipe KLB keracunan pangan, pertama adalah kasus-kasus sporadis yang tersebar di lingkungan masyarakat melalui air maupun pangan (protracted outbreak). Kasus ini juga dapat tersebar

15 pada suatu tempat (rumah sakit, hotel, industri, asrama, dan lain-lain). Kedua, keracunan pangan sebagai point source, misalnya terjadi pada saat pesta, baik di sekolah maupun di rumah tangga ataupun di pertemuan-pertemuan sosial (Sparringa & Rahayu 2011). WHO (World Health Organization) mendefinisikan KLB penyakit akibat pangan (foodborne disease outbreak) secara point source outbreak sebagai kejadian di mana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala-gejala yang sama atau hampir sama setelah mengkonsumsi suatu pangan berdasarkan analisis epidemiologi, pangan tersebut terbukti sebagai penyebabnya. Pada kasus KLB sporadis atau protracted outbreak, yang disebut sebagai kejadian luar biasa akibat pangan adalah peningkatan kejadian kesakitan/ kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu. Contohnya, air dan pangan yang telah terkontaminasi tersebar dalam masyarakat/ suatu tempat dan telah melampaui baseline jumlah kasus pada suatu populasi yang dibandingkan dengan kasus yang sama pada periode tertentu (Sparringa & Rahayu 2011). Status Gizi Status gizi dan kesehatan merupakan indikator kesehatan yang ada kaitannya dengan kualitas hidup. Pengukuran pertumbuhan dan perkembangan anak melalui cara antropometri paling banyak digunakan dalam menilai status gizi masyarakat (BPS 2000). Pengukuran status gizi anak umumnya digunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Pemantauan status gizi balita lebih tepat menggunakan baku WHO-NCHS 2005 dan dihitung berdasarkan skor simpangan baku (Z-skor). Keuntungan penggunaan Z-skor adalah hasil hitungan telah dibakukan menurut simpangan baku sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri (Gibson 1993). Indeks BB/U dipakai untuk memantau pertumbuhan berat badan anak secara individual dan menggambarkan status gizi saat ini (current nutritional status). Indeks TB/U dapat memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi. Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini. Indeks ini bersifat independen terhadap umur (Supariasa et al. 2001). Penilaian status gizi menurut WHO-NCHS adalah sebagai berikut:

16 Tabel 1 Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, BB/TB standar baku antropometri WHO-NCHS No Indeks Batas Pengelompokan Status Gizi < -3 SD Z-skor Gizi buruk 1 BB/U - 3 Z-skor <-2 SD Gizi kurang - 2 SD Z-skor 2 SD Gizi baik > 2 SD Z-skor Gizi lebih < -3 SD Z-skor Sangat Pendek 2 TB/U - 3 Z-skor <-2 SD Pendek - 2 SD Z-skor 2 SD Normal > 2 SD Z-skor Tinggi < -3 SD Z-skor Sangat Kurus 3 BB/TB - 3 Z-skor <-2 SD Kurus - 2 SD Z-skor 2 SD Normal > 2 SD Z-skor Gemuk Sumber: Kemenkes 2011 Menurut Supariasa et al. (2002), status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari gizi dalam bentuk variabel tertentu. Sebagai contoh adalah Kurang Energi Protein (KEP) merupakan keadaan tidak seimbangnya pemasukan dan pengeluaran energi dan protein di dalam tubuh seseorang. Status gizi yang optimal adalah keseimbangan antara asupan gizi dengan kebutuhan zat gizi sehingga asupan gizi mempengaruhi status gizi seseorang.