BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Riskan Qadar, 2015

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR ISI Riskan Qadar, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari

BAB 1 PENDAHULUAN. seolah tidak kunjung selesai bahkan muncul permasalahan lain. Hasil belajar

BAB I PENDAHULUAN. Miskwoski, 2005). (Marbach- Ad & Sokolove, 2000). interaksi dengan dunia sosial dan alam. Berdasarkan hasil observasi selama

BAB I PENDAHULUAN. bidang sains berada pada posisi ke-35 dari 49 negera peserta. dalam bidang sains berada pada urutan ke-53 dari 57 negara peserta.

BAB I PENDAHULUAN. harapan sangat bergantung pada kualitas pendidikan yang ditempuh. imbas teknologi berbasis sains (Abdullah, 2012 : 3).

1. PERSOALAN PENILAIAN BELAJAR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewi Elyani Nurjannah, 2013

I. PENDAHULUAN. yaitu: sikap, proses, produk, dan aplikasi. Keempat unsur utama tersebut

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Ayu Eka Putri, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aa Juhanda, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ismi Rakhmawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses pembebasan peserta didik

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA khususnya fisika mencakup tiga aspek, yakni sikap,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Project based learning (PjBL) dalam penelitian ini menggunakan. dipresentasikan kepada orang lain.

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA PRAKTIKUM INKUIRI TERBIMBING PAD A TOPIK SEL ELEKTROLISIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tiara Nurhada,2013

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS INKUIRI PADA MATERI FOTOSINTESIS TERHADAP PENGUASAAN KONSEP DAN SIKAP SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat telah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Pembelajaran IPA tidak

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu pengetahuan yang

I. PENDAHULUAN. Fisika merupakan salah satu pelajaran IPA yang menarik untuk dipelajari karena

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pelajaran yang sulit dan tidak disukai, diketahui dari rata-rata nilai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai standar yang telah disesuaikan UU No 20 tahun 2003 tentang

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi dan teknologi informasi. Pendidikan merupakan sarana penting untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eka Kartikawati,2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Fisika sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam, mempelajari gejala dan

MENGAKSES ASPEK AFEKTIF DAN KOGNITIF PADA PEMBELAJARAN OPTIKA DENGAN PENDEKATAN DEMONSTRASI INTERAKTIF

BAB I PENDAHULUAN. mengajar. Namun biasanya penilaian ini lebih ditujukan hanya untuk mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki milenium ketiga, lembaga pendidikan dihadapkan pada

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Global Monitoring report, (2012) yang dikeluarkan UNESCO menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan berpikir kritis sangat penting dimiliki oleh mahasiswa untuk

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING TERHADAP PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN ENZIM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. PMIPA FKIP UR pada semester satu. Mata kuliah ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. laku (kemampuan) pada diri siswa, seperti yang sebelumnya tidak tahu. menjadi tahu, yang sebelumnya tidak paham menjadi paham, yang

BAB I PENDAHULUAN. IPA itu suatu cara atau metode mengamati Alam (Nash, 1963) maksudnya, membentuk suatu perspektif baru tentang objek yang diamati.

2014 PEMBELAJARAN FISIOLOGI TUMBUHAN TERINTEGRASI STRUKTUR TUMBUHAN BERBASIS KERANGKA INSTRUKSIONAL MARZANO UNTUK MENURUNKAN BEBAN KOGNITIF MAHASISWA

BAB I PENDAHULUAN. proses pembelajaran. Dalam menilai ataupun mengevaluasi, menganalisis soal

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran yang dapat menyiapkan peserta didik untuk melek IPA dan

BAB I PENDAHULUAN. yang kondusif bagi lahirnya pribadi yang kompetitif. (Tilaar, 2004)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Biologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang paling penting

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Metakognisi merupakan suatu istilah yang dimunculkan oleh beberapa ahli

BAB I PENDAHULUAN. Bagaimana mata dapat melihat? bagaimanakah dengan terjadinya siang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizma Yuansih, 2014 Universitas Pendidikan Indonesia Repository.upi.edu Perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

II. TINJAUAN PUSTAKA. Eksperimen mengandung makna belajar untuk berbuat, karena itu dapat dimasukkan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk pemikir yang jauh lebih baik dari makhluk hidup

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adelia Alfama Zamista, 2015

depan yang akan dijalani yang diwarnai tantangan dan perubahan. Kurikulum 2013 merupakan pengembangan dari Kurikulum Tingkat Satuan

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN IPA TERPAD U TIPE INTEGRATED TERHAD AP PENGUASAAN KONSEP D AN BERPIKIR KRITIS SISWA SMP PAD A TOPIK TEKANAN

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. terciptanya pembelajaran kimia yang kreatif dan inovatif, Hidayati (2012: 4).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Herman S. Wattimena,2015

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu

I. PENDAHULUAN. seberapa jauh seorang siswa atau sekelompok siswa mencapai tujuan. (Kusaeri dan Suprananto, 2012). Dalam Permendiknas Nomor 20 tahun

PENGEMBANGAN ALAT PENILAIAN BERBASIS KETERAMPILAN GENERIK SAINS PADA PRAKTIKUM STRUKTUR HEWAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hermansyah, 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan Queen and Servant of Science, maksudnya

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran biologi sebagai salah satu bagian dari pendidikan IPA memiliki

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana tercantum di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor

ANALISIS KETERAMPILAN PROSES SAINS BAGI MAHASISWA SETELAH MENGIKUTI PRAKTIKUM FISIKA DASAR I PADA TOPIK PRINSIP ARCHIMEDES

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mengajarkan sains, guru harus memahami tentang sains. pengetahuan dan suatu proses. Batang tubuh adalah produk dari pemecahan

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan adalah konstruktivisme. Menurut paham konstruktivisme,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. prestasi belajar siswa dengan berbagai upaya. Salah satu upaya tersebut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. fenomena alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

2014 ANALISIS KEMAMPUAN BERPIKIR LOGIS DAN MISKONSEPSI SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA PADA MATERI GERAK BERDASARKAN HASIL THREE-TIER TEST

BAB I PENDAHULUAN. mengajar merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman pada kegiatan proses pembelajaran IPA. khususnya pada pelajaran Fisika di kelas VIII disalah satu

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan IPA (Sains) merupakan salah satu konsep yang ditawarkan di

I. PENDAHULUAN. Dewasa ini pembelajaran fisika masih didominasi dengan penggunaan

PENGARUH PENGGUNAAN METODE PEMBELAJARAN INQUIRY

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan metode agar tujuan pembelajaran tercapai dan saat ini berbagai metode pembelajaran telah digunakan. Metode pembelajaran ada yang berpusat pada guru dan ada yang berpusat pada siswa. Landasan teori yang mendukung metode pembelajaran yang berpusat pada guru adalah teori belajar sosial, behavioral, dan pemrosesan informasi. Adapun landasan teori yang mendukung pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah teori kognitif dan konstruktif. Dari kedua metode pembelajaran ini peran guru dan siswa berbeda untuk menentukan tercapainya tujuan pembelajaran. Di antara metode yang telah digunakan yakni ekspositori dan inkuiri. Pembelajaran matakuliah fisika selama ini pada Program Studi Pendidikan di salah satu LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) di Kalimantan Timur masih didominasi metode ekspositori (hasil studi pendahuluan). Seringnya digunakan metode ini dalam pembelajaran karena memiliki kemudahan dalam tataran operasional. Adapun pendekatan pembelajaran inkuiri memiliki karakteristik tersenidiri dalam langkah-langkah pembelajaran. Pendekatan ini salah satunya telah dikembangkan oleh Wenning (2005) yang memperkenalkan tingkat-tingkat pembelajaran inkuiri dalam sains dengan urutan terstruktur. Tingkatan pembelajaran inkuiri tersebut adalah: (a) pembelajaran discovery, (b) demonstrasi interaktif, (c) pembelajaran inkuiri, (d) laboratorium inkuiri, dan (e) inkuiri hipotetis. Masing-masing tingkatan inkuiri ini memiliki tingkat keterlibatan intelektual siswa yang bervariasi. Tingkat keterlibatan intelektual siswa yang paling rendah ada pada tingkat pembelajaran discovery dan selanjutnya mengalami peningkatan keterlibatan intelektual paling tinggi ada pada tingkat inkuiri hipotetis. Setiap tingkatan inkuiri pendekatan pembelajaran sains ini juga memiliki jenis-jenis keterampilan proses sains tersendiri. Adapun peran guru paling tinggi ada pada tingkatan pembelajaran discovery dan paling rendah ada pada tingkatan inkuiri hipotetis. 1

2 Peningkatan kompetensi kognitif, psikomotorik, dan afektif pada materi fisika bagi calon guru diperlukan untuk mengatasi masalah pembelajaran. Peningkatan ini dapat diketahui menggunakan asesmen. Agar asesmen yang digunakan bersifat komprehensif dalam pembelajaran untuk tiga kompetensi, maka digunakan asesmen yang terintegrasi pada pembelajaran. Selama ini, asesmen yang digunakan untuk memantau kemajuan hasil belajar lebih terfokus pada pengukuran kemajuan aspek kognitif mahasiswa dan cenderung mengabaikan kemajuan aspek afektif dan aspek psikomotorik. Pelaksanaan asesmen dan evaluasi hanya dilakukan pada ujian tengah semester (UTS), ujian akhir semester (UAS), dan tugas-tugas yang diberikan secara dadakan dalam bentuk pekerjaan rumah (homework) untuk pemahaman aspek kognitif. Salah satu kelemahan asesmen yang hanya dilakukan pada UTS dan UAS tidak dapat digunakan secara akurat untuk tujuan perbaikan pembelajaran yang sedang berlangsung karena hanya bertujuan sebagai evaluasi hasil belajar mahasiswa dalam perkuliahan. Keberadaan evaluasi hanya UTS dan UAS mengharuskan calon guru hadir dalam ujian. Catatan kehadiran dan peningkatan kemajuan selama perkuliahan berlangsung tidak menjadi bahan pertimbangan bagi penilai. Pendekatan pembelajaran dan teknik asesmen di atas menyebabkan pembelajaran tidak mampu melihat kemajuan pemahaman mahasiswa tentang materi optika yang dipelajari. Untuk mengetahui kemajuan belajar calon guru fisika sangat diperlukan asesmen yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga ranah asesmen tersebut dapat saling berhubungan atau terintegrasi satu satu sama lain seperti yang diungkapkan oleh Shaw & Nagashima (2009), bahwa peningkatan aspek afektif dan aspek psikomotor akan berkorelasi pada peningkatan aspek kognitif. Hasil penelitian Shaw dan Nagashima tersebut menemukan bahwa prestasi siswa dapat meningkat melalui asesmen kinerja sains dalam kelas berbasis inkuiri. Sejalan dengan penggunaan pendekatan inkuiri pada pembelajaran sains dapat meningkatkan perkembangan intelektual mahasiswa, Tabin dan Capie (Valanides, 1996) mengemukakan bahwa ada lima penalaran formal intelektual

3 siswa dalam berpikir, yakni kemampuan berpikir proporsional, pengontrolan variabel, probabilitas, korelasional, dan kombinatorial. Lima penalaran formal ini dibagi dalam bentuk tiga kategori berupa kemampuan berpikir konkret, transisional, dan penalaran formal. Hal ini diperkuat dengan studi awal yang dilakukan pada mahasiswa pendidikan fisika angkatan 2010 dengan menggunakan tes kemampuan berpikir logis (the test of logical thinking) yang dapat digunakan untuk tujuan studi. Data yang diperoleh dari calon guru sebanyak 51 orang mahasiswa dari dua kelas yang akan memprogramkan perkuliahan optika secara garis besar terdiri 39% mahasiswa memiliki kemampuan berpikir konkret, 45% mahasiswa memiliki kemampuan berpikir transisional, dan 16% mahasiswa memiliki kemampuan berpikir formal. Selain itu dilakukan pula studi lapangan berupa wawancara langsung pada dosen pengajar dan mahasiswa angkatan 2009 yang pernah mengikuti perkuliahan optika dan pelaksanaan praktikum optika di laboratorium. Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa pembelajaran yang dilakukan menggunakan metode ekspositori dan konten materi optika tidak seluruhnya tercakup pada perkuliahan yang disebabkan karena terbatasnya waktu. Begitu pula dengan kegiatan praktikum optika tidak sempat terlaksana karena keterbatasan ruangan dan waktu di laboratorium. Keterbatan ini disebabkan hanya satu ruang laboratorium dan digunakan untuk melakukan praktek fisika dasar oleh empat program studi, yakni: Prodi, Prodi Biologi, Prodi Kimia, dan Prodi Matematika. Akibatnya praktek untuk matakuliah fisika lanjut dinyatakan tidak dapat dilakukan. Seorang pengajar yang menggunakan asesmen dalam pembelajaran yang dilakukan di kelas ataupun di laboratorium cenderung akan semakin meningkatkan hasil belajar itu sendiri. Hal ini, dikarenakan asesmen itu sendiri bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang pembelajaran yang sedang berlangsung. Setelah informasi diperoleh pengajar dapat memperbaiki kekurangan yang dialami siswa dalam kelas ataupun dalam laboratorium, baik saat pembelajaran berlangsung maupun pada pembelajaran berikutnya. Istilah asesmen merujuk pada portofolio yang dikumpulkan dan disintesiskan oleh guru tentang siswa dan kelasnya pada satu topik. Informasi dapat diperoleh secara informal

4 seperti melalui observasi dan dapat pula diperoleh secara formal seperti tugas rumah, tes, dan laporan tertulis. Informasi yang diperoleh ini dapat bervariasi seperti umpan balik informal dari pendidik (dosen) sampai laporan yang ditugaskan oleh pendidik yang berasal dari serangkaian tes-tes terstandar. Cara seperti ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Primo dan Furtak (2007) bahwa penggunaan asesmen formatif informal dapat berhubungan dengan kemampuan siswa dalam pembelajaran sains menggunakan pendekatan inkuiri. Dari uraian ini asesmen diartikan sebagai proses pengumpulan informasi tentang siswa dan kelas untuk maksud-maksud pengambilan keputusan instruksional (Arends, 2012). Jadi asesmen merupakan komponen yang terintegrasi dengan pengalaman belajar siswa. Asesmen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pembelajaran. Pelaksanaannya bergantung pada tujuan yang ingin dicapai. Selain itu, asesmen tidak dapat disiapkan dalam waktu singkat. Oleh sebab itu, seorang pengajar hendaknya merancang asesmen secara sistematis dan terprogram. Beberapa hal yang dipertimbangkan diantaranya: Bagaimana cara menilainya? Kapan pelaksanaannya? Prosedur apa yang diperlukan? Apa yang perlu dipersiapkan untuk mengases peserta didik? Semua kegiatan ini tentu memerlukan waktu yang perlu direncanakan dengan cermat. Asesmen yang dilakukan oleh seorang pengajar umumnya adalah asesmen formatif dan asesmen sumatif baik dilaksanakan di kelas sebagai hasil belajar maupun di laboratorium sebagai hasil kerja praktikum. Selain itu, masih banyak aktivitas pembelajaran yang perlu diases untuk kemajuan peserta didik. Beberapa jenis asesmen yang perlu dilakukan oleh seorang pengajar adalah asesmen: a) diagnostik, b) informal, c) formatif, d) sumatif, dan e) screening (https:// www.georgiastandards.org, online). Apa yang hendak diukur dapat dipilih berdasarkan jenis asesmen di atas. Prosedur yang diperlukan dapat berupa: a) asesmen respon terbatas, b) asesmen kinerja, c) asesmen esai, dan d) asesmen informal. Asesmen yang selama ini banyak digunakan untuk mengases adalah fokus pada: a) hasil belajar, b) apa yang mudah diukur, c) pengetahuan deklaratif dan

5 diskrit, d) pengetahuan konten, e) apa yang pelajar tidak ketahui, dan f) oleh guru sendiri (NRC,1996). Memasuki abad 21 ini, fokus asesmen mengalami perubahan dengan mengases pada a) proses belajar, b) apa yang paling esensial, c) pengetahuan, dan keterampilan, d) pemahaman dan penalaran, dalam area konten dan lintas konten, e) apa yang dapat dipahami dan dilakukan, dan f) terlibat dengan asesmen kerja mereka dan yang lain (Shute & Becker, 2010). Sejalan dengan uraian ini, Rustaman (1995) dalam mengemukakan bahwa asesmen pendidikan sedang diprioritaskan untuk membantu sistem evaluasi dan mencoba mengungkap potensi siswa bukan hanya melalui belajar, melainkan juga melalui proses pembelajaran. Rustaman (2004) juga menyatakan bahwa berdasarkan filosofisnya asesmen lebih menekankan pada hasil dan proses belajar, berpihak pada yang diases serta ditujukan untuk mengembangkan potensi individu yang diases dan biasanya terkait pada pencapaian target kurikulum. Saat ini asesmen yang dilakukan pada beberapa perkuliahan disesuaikan dengan kebutuhan seperti asesmen formatif, asesmen sumatif, dan asesmen kinerja. Asesmen ini dilakukan secara terpisah dari perkuliahan dan lebih menekankan pada aspek kognitifnya. Namun, belum pernah dilakukan asesmen yang terpadu dengan pembelajaran yang dikenal dengan embedded assessment. Sehubungan dengan pelaksanaan asesmen saat pembelajaran yang diintegrasikan dengan pembelajaran inkuiri, maka embedded assessment padanan dalam bahasa Indonesia adalah asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri. Digunakannya pembelajaran dengan pendekatan inkuiri karena inkuiri mengacu pada cara-cara yang beragam pada ilmuwan mempelajari alam dan mengusulkan penjelasan berdasarkan bukti dari pekerjaan mereka. Inkuiri mengedepankan keterlibatan aktif dalam pemikiran ilmiah dan investigasi dalam membangun pengetahun. Selain itu inkuiri memiliki dua aspek penting berupa proses mencari tahu dan produk dari pencarian (NRC, 1996). Jadi tujuan penggunaan pendekatan inkuri dalam pembelajaran adalah untuk mengedepankan keterlibatan siswa secara aktif dan untuk mengajar siswa bagaimana mereka bertanya. Dalam buku classroom Assessment and the National Science Education Standards (NRC, 2001) dijelaskan bahwa embedded assesment merupakan asesmen yang dilakukan

6 bersamaan dan bagian dari pembelajaran. Karena tidak ada asesmen tunggal yang dapat mempertemukan semua tujuan asesmen atau informasi yang dibutuhkan guru kelas, maka pelaksanaan asesmen terintegrasi yang menghendaki guru mengases lebih dari satu tujuan dapat menggunakan sejumlah asesmen sesuai kebutuhan itu sendiri. Keunggulan penilaian dengan menggunakan asesmen terintegrasi adalah kemajuan kompetensi yang dapat diukur pada calon guru melalui pemantauan. Dengan kata lain asesmen yang dilakukan melalui pengukuran segera menganalisis nilai mereka dan kemudian kembali fokus pada pembelajaran untuk meluruskan kesalahpahaman bersama oleh sejumlah besar siswa di kelas (Shute & Becker, 200). Melalui beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan sistem embedded assessment, kinerja dipengaruhi oleh disiplin ilmu (Shaw & Nagashima, 2009). Selain itu, penelitian yang bersifat embedded assessment yang dilakukan oleh Miedijensky (2009) menyatakan bahwa penilaian yang dirancang secara eksplisit dapat meningkatkan pembelajaran dalam matakuliah sains dan merupakan alat yang ampuh bagi guru dan siswa dan memberikan kontribusi untuk pembelajaran bermakna bagi kedua belah pihak. Selain kebutuhan optika pada berbagai bidang, perilaku dari optika dalam kehidupan sehari-hari juga nampak banyak. Beberapa fenomena diantaranya dalam kehidupan seperti terjadinya fatamorgana, pelangi, penggunaan kacamata bagi orang yang memiliki cacat mata seperti miopia, hiperopia, dan astigmatisme. Dalam mempelajari optika diperlukan kompetensi kognitif untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip umum optika, melaksanakan praktikum untuk memprediksi perilaku sifat sinar-sinar pembentuk bayangan, dan memiliki keterampilan menyusun dan menggunakan alat praktikum saat praktikum pada perkuliahan optika. Mengingat pentingnya proses pembelajaran, pengetahuan otentik dan keterampilan yang harus dikuasai oleh calon guru fisika, maka diperlukan perkuliahan optika dengan asesmen terintegrasi dalam pembelajaran untuk memantau kemajuan kompetensi yang diperlukan. Pengembangan asesmen terintegrasi pada perkuliahan optika bertujuan untuk memantau kemajuan meliputi aspek kognitif, afektif, dan kemampuan

7 berinkuiri bagi calon guru fisika selama mengikuti perkuliahan optika. Aspek kognitif berhubungan dengan kemampuan berpikir yang didasarkan pada taksonomi Bloom hasil revisi yang meliputi dimensi pengetahuan kognitif berupa pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif. Taksonomi Bloom hasil revisi pada dimensi proses kognitif meliputi mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi, dan kreatif (Anderson & Krathwohl, 2001). Aspek afektif meliputi menerima, menanggapi, menghargai, konseptualisasi nilai (organisasi nilai), dan internalisasi nilai yang berhubungan dengan karakteristik sikap yang tercermin pembelajaran atau pelaksanaan praktikum (Tomei, 2005). Aspek kemampuan berinkuiri berhubungan aktivitas mengamati, memanipulasi, menggeneralisasi, memverifikasi, mengaplikasi (Wenning, 2011). Pelaksanaan asesmen terintegrasi dalam penelitian ini digunakan beberapa tingkatan pembelajaran berbasis inkuiri pada perkuliahan optika. Pendekatan inkuiri yang dipilih adalah pada tingkatan demonstrasi interaktif (DemInter), pembelajaran inkuiri (PemIkir), dan laboratorium inkuiri (LabIkir) (Wenning, 2011). Penggunaan pendekatan inkuiri ini lebih menanamkan pada aspek pedagoginya yang dipantau melalui rubrik kemampuan berinkuiri. B. Identifikasi Masalah Studi lapangan yang telah dilakukan bagi calon guru angkatan 2009 dan 2010 Program Studi Pendidikan di salah satu LPTK di Kalimantan Timur mengindikasikan bahwa pelaksanaan asesmen belum digunakan sebagaimana mestinya, yaitu membantu calon guru untuk mencapai tujuan belajarnya sesuai kompetensi perkuliahan. Asesmen yang dilakukan selama ini cenderung diorientasikan sebagai evaluasi untuk membuktikan kemampuan kognitif. Dalam fisika tiga kompetensi sangat baik ditingkatkan yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik. Target kompetensi kognitif meliputi kemajuan intelektual dengan klasifikasi pengetahuan dan proses kognitif. Target kompetensi afektif meliputi ketekunan, ketelitian, dan kemampuan memecahkan masalah logis dan sistematis.

8 Adapun target kompetensi psikomotorik meliputi kemampuan gerakan fisik, koordinasi, dan penggunaan keterampilan motorik. Desain asesmen dan evaluasi yang digunakan selama ini diperoleh informasi awal bahwa: 1) kompetensi psikomotorik calon guru masih kurang, seperti tidak terlaksananya praktikum optika atau pendekatan pembelajaran yang digunakan dengan metode ekspositori, 2) kemampuan individu pada aspek afektif masih kurang disebabkan pembelajaran yang dilakukan menggunakan metode ekspositori, 3) kemampuan individu pada aspek kognitif masih rendah. Hal ini terlihat pada sistem asesmen yang dilakukan masih terbatas pada UTS, UAS, dan tugas-tugas pekerjaan rumah yang diberikan secara dadakan yang tidak terencana dengan baik sesuai tujuan pembelajaran. Penggunaan UTS, UAS, dan tugas-tugas bentuk pekerjaan rumah (homework) pada ranah kognitif terkadang masih memperlihatkan kecurangan beberapa calon guru. Sebagai contoh, pada pelaksanaan UAS di kelas, dosen matakuliah yang tidak sempat melakukan pengawasan langsung, dilakukan oleh panitia ujian yang ketegasannya masih perlu ditingkatkan. Hal ini terkadang membiarkan beberapa calon guru bekerja sama dalam ujian. Begitu pula pada tugas-tugas kognitif lebih cenderug dikerjakan oleh beberapa calon guru dan difotocopy oleh teman-temannya. Pelaksanaan asesmen yang cukup bagus hanya ada pada UTS karena diamati langsung oleh dosen sesuai jadwal perkuliahan. Asesmen dan evaluasi melalui UTS, UAS, dan tugas-tugas kognitif bentuk homework ini memperlihatkan bahwa aspek afektif dan aspek psikomotorik tidak terlaksana secara maksimal sebagai salah satu kompetensi matakuliah. Berdasarkan latar belakang dan dasar pemikiran tersebut, maka penulis mencoba mengembangkan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri dalam perkuliahan optika. Pelaksanaan asesmen terintegrasi dimaksudkan agar dapat memperbaiki pembelajaran melalui aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek kemampuan berinkuiri calon guru fisika, khususnya pada topik yang terkait optika. Untuk mengetahui adanya peningkatan kemampuan kognitif calon guru setelah perkuliahan dilakukan tes kemampuan kognitif sebelum dan sesudah

9 perkuliahan menggunakan pembelajaran inkuiri dengan pendekatan DemInter, PemIkir, dan LabIkir. Tes ini dilakukan sebagai tes awal sebelum perkuliahan dilakukan dan tes akhir setelah perkuliahan dilakukan secara keseluruhan. Selain itu, calon guru ingin pula diketahui kemampuan berpikir logis yang dimiliki. Oleh sebab itu, dilakukan pula tes awal dan tes akhir berpikir logis calon guru untuk mengetahui adanya hubungan antara kemampuan kognitif dan berpikir logis yang dimiliki setelah perkuliahan dengan pembelajaran inkuiri. C. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut. Apakah asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri yang dikembangkan dapat memperbaiki kualitas pembelajaran berdasarkan aspek kognitif, afektif, dan kemampuan berinkuiri pada perkuliahan optika calon guru fisika? Rumusan masalah dioperasionalkan menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimana karakteristik asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri yang dikembangkan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran dan meningkatkan penguasaan konsep optika calon guru fisika? 2. Bagaimana kualitas instrumen asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri yang dikembangkan? 3. Apakah asesmen aspek kognitif yang terintegrasi pembelajaran inkuiri yang dikembangkan memiliki peran memperbaiki proses perkuliahan optika? 4. Apakah asesmen aspek afektif yang terintegrasi pembelajaran inkuiri yang dikembangkan memiliki peran memperbaiki proses perkuliahan optika? 5. Apakah asesmen aspek kemampuan berinkuiri yang terintegrasi pembelajaran inkuiri yang dikembangkan memiliki peran memperbaiki proses perkuliahan optika? 6. Bagaimana peningkatan penguasaan konsep optika calon guru fisika sebagai efek pelaksanaan perkuliahan yang menggunakan model pembelajaran inkuiri?

10 7. Bagaimana perubahan penalaran logis calon guru fisika sebagai efek pelaksanaan perkuliahan yang menggunakan pendekatan DemInter, PemIkir, dan LabIkir? D. Definisi Operasional 1. Asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri adalah asesmen yang dilakukan saat pembelajaran dengan menggunakan pendekatan inkuiri. Adapun tingkatan inkuiri yang digunakan saat pembelajaran adalah pendekatan DemInter (demonstrasi interaktif), PemIkir (pembelajaran inkuiri), dan LabIkir (laboratorium inkuiri) yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan tujuan pedagoginya. 2. Aspek kognitif terdiri dari dimensi pengetahuan (faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif) dan dimensi proses kognitif meliputi (mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi, dan kreatif) pada topik optika. Aspek kognitif ini berupa asesmen formatif dengan alat ukur berupa instrumen soal bentuk esai. 3. Aspek afektif berhubungan dengan karakteristik sikap ilmiah yang tercermin pembelajaran yang meliputi menerima, menanggapi, menghargai, konseptualisasi nilai, dan internalisasi nilai. Aspek afektif menggunakan instrumen dalam bentuk lembar observasi. 4. Aspek kemampuan berinkuiri berhubungan aktivitas fisik untuk mengembangkan gerakan terampil berinkuiri berupa kemampuan mengobservasi, memanipulasi, menggeneralisasi, memverifikasi, dan mengaplikasi. Aspek kemampuan berinkuiri menggunakan instrumen dalam bentuk rubrik yang disesuaikan dengan materi optika dan pendekatan pembelajaran yang digunakan. 5. Penguasaan konsep berhubungan dengan kemampuan calon guru fisika memahami konsep optika setelah perkuliahan yang terintegrasi pembelajaran inkuiri. Penguasaan konsep berupa aspek kognitif sebagai

11 asesmen sumatif dengan alat ukur berupa instrumen soal bentuk pilihan ganda. 6. Kemampuan penalaran logis berhubungan dengan kemampuan berpikir logis yang dimiliki calon guru fisika berupa kemampuan berpikir; konkret, transisional, dan formal. Untuk mengetahui kemampuan berpikir logis calon guru menggunakan instrumen yang disusun oleh Tobin dan Capie (1981). 7. Perkuliahan optika terkait dengan topik bahasan penerapan konsep-konsep optika. Adapun konten materi penelitian disesuaikan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar materi optika pada pendidikan menengah pertama dan pendidikan menengah atas serta konten materi perkuliahan optika yang meliputi: lensa tipis, kamera, mata manusia, lup, mikroskop, teleskop, interferensi cahaya dua celah, difraksi celah tunggal, dan kisi difraksi. E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengembangkan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri yang dapat memberi peran untuk memperbaiki pembelajaran berdasarkan aspek kognitif, afektif, dan kemampuan berinkuiri pada perkuliahan optika calon guru fisika. Secara khusus penelitian ini juga ditunjukan untuk mengetahui: a. Penggunaan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri pada perkuliahan optika yang dapat memperbaiki pembelajaran bagi calon calon guru fisika. b. Perbaikan pembelajaran melalui penguasaan aspek kognitif optika saat mengikuti perkuliahan berdasarkan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri. c. Kemampuan aspek afektif saat mengikuti perkuliahan berdasarkan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri. d. Kemampuan aspek kemampuan berinkuiri calon guru fisika saat mengikuti perkuliahan berdasarkan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri.

12 e. Penguasaan konsep calon guru fisika setelah perkuliahan berdasarkan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri. f. Adanya perubahan penalaran logis yang dimiliki calon guru setelah perkuliahan berdasarkan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri. F. Manfaat Penelitian Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah: a. Memberikan salah satu alternatif pelaksanaan asesmen pada pembelajaran fisika dalam perkuliahan optika sebagai upaya meningkatkan kompetensi calon guru fisika berdasarkan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri. b. Memperoleh informasi dampak pengembangan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri pada mata kuliah optika yang meliputi dampak instruksional serta reaksi para pemangku kepentingan dibidang pendidikan. c. Mengetahui keunggulan dan keterbatasan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri pada mata kuliah optika bagi calon guru fisika. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah: a. Bagi mahasiswa calon guru penelitian ini diharapkan dapat membantu mengembangkan penilaian dan mampu membuat rencana pembelajaran asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri. b. Bagi LPTK penelitian ini diharapkan memberikan suatu kerangka pemikiran dalam rangka perbaikan pendidikan dan meningkatkan mutu guru fisika dalam menggunakan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), khususnya dalam penguasaan materi optika serta cara merancang pembelajaran optika bagi calon guru fisika.

13 c. Bagi peneliti lain penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam mengembangkan asesmen terintegrasi terutama dalam pembelajaran fisika.