BAB 2 TINJAUAN LITERATUR

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB II LANDASAN TEORI. tertentu untuk mencapai suatu tingkat pengembalian (rate of return) yang. dan dampaknya terhadap harga surat berharga tersebut.

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan 30 Juni 2009 sampai 30 Juni 2014, untuk

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. mencari keuntungan sebesar-besarnya demi menyejahterakan karyawan dan

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memaksilalkan nilai perusahaan. Teori sinyal menunjukkan adanya asimetri

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Model estimasi..., Andriyatno, FE UI, 2010.

BAB II TIMJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan.

III.METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder

MATERI 10 ANALISIS PERUSAHAAN

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Bab ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu landasan teori dan pengembangan hipotesis.

keterkaitannya dalam investasi lebih dari satu tahun. Berdasarkan definisi

BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. modal. Modal merupakan salah satu faktor terpenting untuk menjalankan

ANDRI HELMI M, SE., MM ANALISIS INVESTASI DAN PORTOFOLIO ANALISIS PERUSAHAAN

CAKUPAN PEMBAHASAN 1/23

ANALISIS NILAI AKUISISI BANK SINAR HARAPAN BALI MENGGUNAKAN METODE DIVIDEND DISCOUNT MODEL DAN RASIO PRICE TO BOOK VALUE TESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. investasi, investasi digolongkan menjadi dua, yaitu : menganggur, sedangkan investasi jangka panjang bertujuan untuk :

MATERI 10 ANALISIS PERUSAHAAN. Prof. DR. DEDEN MULYANA, SE., M.Si. CAKUPAN PEMBAHASAN

Analisis Fundamental untuk menentukan nilai intrinsik saham sebagai dasar pengambilan keputusan investasi saham pada PT. Kimia Farma, Tbk.

BAB III METODE PENELITIAN. Ketiga perusahaan tersebut adalah PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) dengan

dalam penelitian ini dilakukan scoring dengan kriteria sebagai berikut : 1. Data yang digunakan adalah data rata-rata kinerja keuangan masing-masing

MATERI 10 ANALISIS PERUSAHAAN. Prof. DR. DEDEN MULYANA, SE., M.Si.

Penilaian Nilai Intrinsik Saham (Valuation)

Estimasi Nilai Pasar Wajar Ekuitas PT Prima Layanan Nasional Enjiniring Dalam Persiapan Initial Public Offering (IPO)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menumbuhkan perusahaan. Merger berasal dari kata mergere yang berarti. (1) bergabung, bersama, menyatu, berkombinasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MOJAKOE MANAJEMEN INVESTASI

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu atau badan usaha yang mempunyai kelebihan dana (surplus

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Tujuan utama suatu perusahaan menurut theory of the firm adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam portofolio sering disebut dengan return. Return merupakan hasil yang

ANALISA UNTUK INVESTOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. banyak diminati masyarakat saat ini. Menerbitkan saham merupakan salah

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. keuntungan dengan semua modal yang bekerja didalamnya.

BAB I PENDAHULUAN. Saham adalah salah satu instrumen investasi yang dapat memberikan return UKDW

ANALISA LAPORAN KEUANGAN ERDIKHA ELIT

ANALISIS EKONOMI, KEUANGAN PERUSAHAAN & INVESTASI ANALISIS KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Perusahaan adalah suatu bentuk organisasi yang salah satu kegiatan operasionalnya

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II. Tinjauan Pustaka. memberikan tingkat return yang sesuai dengan tingkat return yang

BAB II URAIAN TEORITIS. Parwati (2005) melakukan penelitian yang berjudul: Faktor-Faktor yang

NILAI INTRINSIK DAN NILAI PASAR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sebuah perusahaan didirikan tentunya mempunyai tujuan yang jelas.

A. Expected Return. 1. Perhitungan expected return investasi tahunan

PEMBAHASAN. 1. Nilai Intrinsik dan Nilai Pasar

BAB I PENDAHULUAN. dapat menjalankan dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi

III. METODE PENELITIAN

profitabilitas, rasio likuiditas, rasio aktivitas, dan rasio solvabilitas. Salah satu indikator penting dalam penilaian prospek sebuah perusahaan

PENILAIAN SAHAM DAN STRATEGI PORTFOLIO SAHAM. Andri Helmi M, SE., MM Manajemen Investasi dan Portofolio

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN. Pada tanggal 8 Juni 2010, Bisnis Indonesia menurunkan headline Telkom siap caplok Bakrie:

ANALISIS PENILAIAN PERUSAHAAN TARGET DALAM PROSES AKUISISI (PT BANK MUAMALAT INDONESIA TBK) TESIS

Analisa Rasio Keuangan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. korelasi antar return. Teori ini memformulasikan keberadaan unsur return dan risiko

PORTFOLIO EFISIEN & OPTIMAL

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan target pertumbuhan sektor

BAB III METODE PENELITIAN. dilakukan. Pada bab ini akan mencakup pembahasan mengenai difinisi dan jenis

earnings per share (EPS), dan volume perdagangan] terhadap risiko sistematis

Security Market Line & Capital Asset Pricing Model

BAB 1 PENDAHULUAN. telah memperlihatkan kemajuan seiring dengan perkembangan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki masalah dengan modal pembiayaan Kredit Kepemilikan Rumah

1/45 OVERVIEW

BAB 2 LANDASAN TEORI

Analisa Kelayakan Investasi Pada Bank BJB dengan menggunakan metode Gordon Growth Model

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu hal yang dapat menunjukkan trend negatif dalam pergerakan saham

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB II LANDASAN TEORI

II. LANDASAN TEORI. Jogiyanto (2003), menjelaskan bahwa investasi merupakan penundaan konsumsi

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. investasi yang produktif guna mengembangkan pertumbuhan jangka panjang.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. jangka panjang akan menimbulkan suatu efek yang biasa disebut dengan

BAB II LANDASAN TEORI. II.1.1 Pengertian Saham / Sekuritas. untuk memperoleh bagian dari prospek atau kekayaan organisasi yang

dibidang keuangan serta surat-surat berharga jangka panjang dan

ANALISA RASIO KEUANGAN (lanjutan)

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang

ANALISA LABA (EARNINGS) dan Market Strength. Reported Net Income Items unrealistically deducted from earnings Items unrealistically added to earnings

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan bagi para pemiliknya. Untuk mencapai tujuannya perusahaan harus selalu

BABl PENDAHULUAN. Berdirinya sebuah perusahaan harus memiliki tujuan yang jelas. Ada

MATERI 14 EVALUASI KINERJA PORTFOLIO. Prof. DR. DEDEN MULYANA, SE., M.Si.

Saham. Bukti kepemilikan Tidak ada waktu jatuh tempo Ada dua macam: Saham biasa Saham preferen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemegang saham maupun calon investor sangat berkepentingan terhadap

ANALISIS KEUANGAN. o o

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh pihak manajemen dengan penentuan membagikan laba yang

Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan dan struktur permodalan yang lemah dan sebagainya.

BAB I PENDAHULUAN. keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik surat hutang (obligasi),

BAB IV METODE PENELITIAN

THE COST OF CAPITAL 1. AN OVERVIEW OF THE COST OF CAPITAL

II. TINJAUAN PUSTAKA. guna menunjang pembiayaan pembangunan nasional. Sebagai salah satu elemen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai pedoman agar dapat digunakan didalam penelitian ini. Sebagai berikut

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN LITERATUR 2.1. PENILAIAN PERUSAHAAN BERDASARKAN PER, PBV, DAN EV/EBITDA Menurut Damodaran (2002), ada tiga pendekatan untuk menilai suatu perusahaan, yaitu: penilaian menggunakan discounted cash flow yang menghubungkan nilai suatu aset dengan aliran kas yang diharapkan di masa depan, penilaian contingent claim yang berdasarkan model option pricing, dan relative valuation yang menghitung nilai suatu aset dengan cara membandingkannya kepada aset yang sama di perusahaan yang berbeda dengan melihat variabel-variabel umum seperti nilai buku, aliran kas, pendapatan atau sales (Damodaran 2002). Data akuntansi merupakan salah satu sumber informasi utama yang dipakai oleh investor dalam mengevaluasi kinerja keuangan sebuah perusahaan. Keputusan investasi dibuat berdasarkan informasi hasil evaluasi tersebut yang juga dikombinasikan dengan informasi pasar. Beberapa penelitan (Desyetti 1998; Affandi dan Utama 1998; Beza dan Na im 1998; Utami dan Suharmadi 1998) membuktikan bahwa ada reaksi harga yang signifikan sebagai respon dari dirilisnya informasi keuangan suatu perusahaan pada pasar. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa investor di pasar Indonesia menggunakan data akuntansi dalam membuat keputusan investasinya (Fitriani dan Utama 2001). Relative valuation adalah valuasi perusahaan yang paling sering digunakan. Kelebihan dari metode valuasi ini adalah mudah digunakan, tidak menghabiskan waktu, dan tidak menuntut banyak asumsi dibandingkan metode valuasi discounted cash flow maupun contingent claim. Fakta bahwa relative valuation sangat mudah digunakan telah membuatnya menjadi metode yang kuat. Kelebihan lain dari metode ini adalah dimana data kunci dalam bentuk rasio keuangan yang berbeda-beda telah tersedia (McClure 2006). Kelebihan lainnya lagi adalah metode ini sangat disukai dalam hal menafsirkan mood pasar saat ini, namun dalam beberapa kasus metode ini juga bisa menjadi masalah, contohnya adalah adanya risiko terhadap keseluruhan industri, akan dinilai undervalue ketika relative valuation digunakan untuk 7

memvaluasi sebuah perusahaan yang baru melakukan Initial Public Offering (IPO) (Damodaran 2002). Kelemahan lain dari relative valuation adalah metode ini terlihat terlalu sederhana dan terlalu langsung untuk sebuah penilaian. Valuasi ini juga dihitung dengan estimasi value yang tidak konsisten dan tanpa memikirkan faktor penting di bawahnya seperti asumsi risiko, pertumbuhan, dan potensi aliran kas. Lemahnya transparansi terhadap asumsi-asumsi itu dapat menjadi masalah selama hal tersebut memungkinkan untuk dimanipulasi (Damodaran 2002). Pada saat membandingkan beberapa multiples, seorang investor dapat menemukan harga-harga yang salah dan biasanya harga-harga tersebut akan terkoreksi. Valuasi yang berupa rasio atau multiple dari sebuah perusahaan dapat dibandingkan kepada perusahaan lain, atau dibandingkan kepada rasio atau multiple historis pada perusahaan yang sama. Metode yang pertama (membandingkan dengan perusahaan lain) adalah yang paling luas digunakan, sedangkan metode yang terakhir membutuhkan data historis perusahaan yang panjang untuk mencapai kepuasan hasil valuasi (Damodaran 2002). Macam-macam multiples yang sering digunakan untuk valuasi adalah price-earnings ratio (P/E), price-to-book ratio (PBV), dan enterprise multiple (EV/EBITDA) (Persson dan Ståhlberg 2006). 2.1.1. Interpretasi PER PER bisa digunakan untuk menganalisis dan menilai perusahaan. PER ratarata di pasar modal Indonesia secara historis berada di 17,5 (April 2008). 1 Selain itu, harus diingat bahwa PER bervariasi tergantung kondisi pasar, industri, dan juga bervariasi dari waktu ke waktu. 2 PER yang tinggi dibandingkan perusahaan lain dalam suatu industri dapat menjadi indikator beberapa hal berikut ini: (Persson dan Ståhlberg 2006) 1. Perusahaan menunjukkan pertumbuhan laba yang tinggi. Makin tinggi pertumbuhannya, maka makin tinggi pula net present value dari laba di masa yang akan datang. Jika laba perusahaan bertumbuh sebanyak 15 persen setahun, maka laba perusahaan berlipat ganda setiap lima tahun. 1 www.indef.or.id, http://www2.kompas.com/ver1/ekonomi/0712/04/133903.htm 2 www.investopedia.com 8

2. Pertumbuhan perusahaan diharapkan akan selalu sama dalam jangka panjang. Makin lama pertumbuhan diharapkan tetap tumbuh, maka makin tinggi pula nilai net present value dari laba di masa yang akan datang. 3. Perusahaan memiliki payout ratio yang lebih tinggi (dividen per share per tahun dibagi dengan laba per saham). Hal ini dikarenakan oleh fakta bahwa risiko dapat dipertimbangkan untuk turun sebagai bagian dari laba perusahaan yang dibayarkan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen. Makin tinggi proporsi laba yang dibagikan kepada pemegang saham, maka makin rendah risiko yang dihadapi pemilik perusahaan. Risiko yang lebih rendah berarti menjadikan return on equity juga rendah, sehingga menghasilkan PER yang lebih tinggi dan net present value dari laba di masa yang akan datang yang juga lebih tinggi. 4. Perusahaan memiliki risiko yang lebih rendah. Makin rendah risiko, maka makin rendah pula ketidakpastian dan yield yang dibutuhkan investor, sehingga menghasilkan PER yang lebih tinggi dan net present value dari laba di masa yang akan datang yang juga lebih tinggi. 5. Market interest rate (yang digunakan untuk menghitung net present value) yang rendah. Makin rendah interest rate-nya, maka makin tinggi PER-nya dan makin tinggi pula net present value dari laba di masa yang akan datang. Jika sebuah perusahaan tidak menguntungkan (profitable), memiliki laba per saham (EPS) yang negatif, maka perusahaan tersebut bisa dikatakan memiliki P/E yang negatif pula. Beberapa orang menafsirkan perusahaan yang memiliki EPS negatif disebut sebagai perusahaan yang memiliki P/E sama dengan nol. Yang lainnya beropini bahwa PER tidak ada, jika EPS-nya negatif. 3 Pada Karya Akhir ini, sahamsaham yang memiliki P/E negatif akan menjadi outliers. Untuk memahami PER sangat penting untuk memahami dulu faktor-faktor di bawahnya. PER bisa dihasilkan dari model discounted cash flow yang sederhana dimana nilai dari ekuitas didefinisikan sebagai: DPS 1 = Dividen yang diharapakan tahun depan DPS1 Value of Equity = P0 = k e = Cost of equity ke - gn g n = Expected stable growth rate 3 www.investopedia.com 9

menjadi: Dengan membagi kedua sisi persamaan tersebut dengan earnings, maka akan P0 EPS0 = P/E ratio = Payout ratio x (1-gn) ke - gn dimana: EPS 0 = Earnings per share Payout ratio = yearly dividend per share dibagi oleh earnings per share (Damodaran 2002) 2.1.2. Interpretasi PBV ratio Price-to-book value ratio, PBV, adalah book value multiple yang berguna dalam analisis investasi. Alasan para investor menggunakan multiple ini adalah, pertama karena nilai buku yang disediakan relatif stabil, sehingga bisa dibandingkan dengan nilai pasar. Kedua karena konsisten terhadap standar akuntansi antar perusahaan, sehingga PBV bisa digunakan untuk membandingkan antar perusahaan. Ketiga karena perusahaan yang mempunyai laba negatif bisa menggunakan PBV ratio dibandingkan PER yang tidak bisa mengukurnya (Persson dan Ståhlberg 2006). Ada kekurangan terhadap multiple ini, yaitu nilai buku dipengaruhi oleh keputusan-keputusan akuntansi pada depresiasi dan variabel lainnya. Ketika standar akuntansi yang diterapkan antar perusahaan bervariasi, maka PBV tidak bisa dibandingkan (Damodaran 2002). Kelemahan yang kedua adalah, nilai buku tidak membawa arti apapun pada perusahaan jasa dan teknologi yang tidak memiliki aset tangible yang signifikan. Dan yang ketiga, nilai buku dari equity bisa negatif jika perusahaan terus-terusan memiliki laba yang negatif, sehingga PBV-nya juga bisa negatif (Damodaran 2002). Selain hal di atas, ada potensi ketidak-konsistenan fundamental ketika menghitung nilai buku equity per share, yaitu: (Damodaran 2002) Jika ada beberapa kelas dari saham yang outstanding, sehingga harga per saham bisa berbeda di kelas yang berbeda, dan tidak teliti mengalokasikan nilai equity yang berkelas-kelas tersebut. Equity yang termasuk pada preffered stock tidak dimasukkan dalam menghitung nilai buku equity, karena nilai pasar equity adalah dari common equity. 10

Ketika ada beberapa kelas dari equity, maka cara aman dalam menghitung PBV adalah dengan menggunakan nilai pasar dari keseluruhan kelas-kelas dari common stock sebagai numeratornya dan keseluruhan nilai buku equity sebagai denominatornya preferred stock tetap diabaikan (Persson dan Ståhlberg 2006). 2.1.3. Interpretasi EV/EBITDA ratio EBITDA adalah pengukuran atas keuntungan perusahaan. EBITDA bisa digunakan untuk membandingkan profitabilitas perusahaan dan industri yang berbeda. Pengukuran ini pertama kali digunakan pada tahun 1980-an sebagai alat investor untuk menginvestigasi apakah perusahaan dapat melayani hutangnya dalam jangka pendek, dengan cara membagi EBITDA dengan biaya bunga perusahaan. Pengukuran EBITDA sekarang digunakan dalam banyak keperluan (McClure 2006). EBITDA = Revenue - Expenses (excluding tax, interest, depreciation, and amotization) Salah satu dari keunggulan EBITDA adalah bahwa EBITDA tidak dipengaruhi oleh keputusan-keputusan akuntansi maupun financing (Wayman 2002). Enterprise multiple (EV/EBITDA) melihat sebuah perusahaan dengan cara yang sama seperti pembeli potensial, sehingga, hutang masuk ke dalam hitungan ini. Sebuah perusahaan dapat memiliki PER yang lebih murah dibandingkan dengan perusahaan lainnya di industri yang sama, tetapi perusahaan tersebut memiliki kewajiban hutang yang besar yang tidak terefleksikan di dalam PER-nya, namun akan terefleksikan dari tingginya enterprise multiple. Untuk kebanyakan perusahaan, enterprise multiple bernilai lebih rendah dibandingkan dengan PER-nya (Fitch 2002). Enterprise multiples akan berbeda bagi industri yang berbeda. Untuk itu, enterprise multiple dari beberapa perusahaan harus dibandingkan pada industri yang sama, bukan kepada perusahaan di industri yang berbeda. Enterprise multiple yang lebih tinggi akan ditemukan pada industri yang memiliki pertumbuhan yang tinggi dan biaya depresiasi yang rendah. Enterprise multiple yang lebih rendah akan ditemukan pada industri yang memiliki pertumbuhan yang rendah dan atau memiliki kebutuhan capital expenditure untuk perawatan yang besar (Fitch 2002). 11

2.2. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN PEMAKAIAN MULTIPLES UNTUK VALUASI Beberapa keuntungan menggunakan multiples adalah metode ini mudah dimengerti dan variabel-variabel yang digunakan di dalamnya biasanya mudah untuk didapatkan (Damodaran 2002). Ketika menggunakan relative valuation, penting untuk dipahami bahwa multiples yang digunakan akan didefinisikan dan diformulasikan dengan cara yang sama pada semua perusahaan yang dibandingkan. Banyak multiples, walau secara luas digunakan di dunia keuangan, ternyata berbeda ketika didefinisikan dan digunakan oleh analis yang berbeda (Fitriani dan Utama 2001). Kenyataannya adalah perusahaan-perusahaan yang ada di dalam industri yang sama tidak bisa langsung dibandingkan. Perusahaan-perusahaan di dalam industri yang sama bisa sangat berbeda secara signifikan dan ini akan mempengaruhi akurasi perbandingan dan multiples yang digunakan. Maka dari itu, sangat penting bagi perusahaan-perusahaan memiliki fundamental yang sama di bawahnya (McClure 2006). Perbedaan pada pertumbuhan, risiko, dan aliran kas di antara perusahaanperusahaan harus dipertimbangkan ketika memutuskan apakah perusahaanperusahaan tersebut dapat dibandingkan. Semua variabel ini dapat mempergaruhi multiples sebuah perusahaan. Perbedaan-perbedaan ini dapat ditangani dengan tiga cara yang berbeda. Pendekatan yang pertama adalah dengan membuat penyesuaian yang subyektif dari multiple sebuah perusahaan berdasarkan multiple rata-rata dari perusahaan yang diteliti. Jika multiple sebuah perusahaan memiliki perbedaan yang signifikan dan jika perbedaan tersebut tidak dapat dijelaskan oleh fundamental perusahaan seperti pertumbuhan, risiko, ataupun aliran kas, maka perusahaan tersebut dikatakan over- atau undervalue. Pendekatan yang ke dua adalah menyesuaikan multiple dengan cara memasukkan variabel bawaan, yang merupakan variabel yang penting dalam menentukan sebuah multiple. Rasio yang telah disesuaikan dibandingkan antar-perusahaan dan diasumsikan perusahaan-perusahaan tersebut dapat dibandingkan dalam segala aspek. Pendekatan yang ke tiga digunakan saat perusahaan-perusahaan dipertimbangkan berbeda ketika multiples tersebut ada lebih dari satu variabel dan multiples diregresikan terhadap variabel yang dipertimbangkan memiliki perbedaan (Damodaran 2002). Saat menggunakan multiples, penting kiranya untuk memastikan bahwa numerator maupun denominator sudah terdifinisikan secara konsisten. Jika numerator 12

adalah pengukuran nilai ekuitas, seperti harga pasar ataupun nilai ekuitas, maka denominator haruslah merupakan pengukuran nilai ekuitas juga. Hal ini berlaku juga pada pengukuran nilai perusahaan, seperti EBITDA ataupun nilai buku dari modal, yang digunakan. Untuk price-earnings ratio, numerator dan denominator adalah pengukuran nilai ekuitas sedangkan untuk enterprise multiple, numerator (enterprise value) dan denominator (EBITDA) adalah pengukuran nilai perusahaan (Damodaran 2002). Multiples yang digunakan harus dipertimbangkan karakteristik distribusinya, karena setiap multiple memiliki karakter tersendiri atas sifat distribusinya. 2.2.1. Kelebihan dan Kekurangan PER untuk Valuasi Kebanyakan analis di dunia menggunakan PER ketika mereka membicarakan valuasi saham, namun ada beberapa kekurangan pada valuasi ini. Pada kasus PER, dimana selama diasumsikan bahwa nilai P/E tidak bisa di bawah nol dan tidak memiliki batas atas, multiple tersebut terdistribusi pada nilai positif. Untuk itu, nilai tengah biasanya lebih relevan digunakan dibandingkan dengan nilai rata-rata dari sebuah multiple ketika digunakan untuk mengidentifikasi perusahaan yang sejenis dalam grup perusahaan yang diperiksa. Masalah lain dengan menggunakan PER ratarata dalam membandingkan perusahaan adalah jika beberapa perusahaan memiliki PER yang negatif, sehingga nilai rata-ratanya akan menjadi bias karena berada di sisi kiri Pengamatan (Damodaran 2002). Kelemahan PER adalah ketika dipengaruhi kebijakan-kebijakan perusahaan yang mengakibatkan adanya perubahan data akuntansi, seperti kebijakan earnings smoothing atau earnings management. Kebijakan ini akan mengatur sedemikian rupa sehingga earnings yang dilaporkan pada laporan keuangan tahunan memiliki tingkat growth tertentu. Hal ini dapat menyebabkan nilai PER, yang penghitungannya melibatkan earnings, dapat terganggu sehingga relative valuation menjadi kurang obyektif (Fitriani dan Utama 2001). Kelemahan lain dari valuasi PER ini adalah ketika earnings atau pendapatan perusahaan bernilai negatif, sehingga valuasi PER akan menjadi negatif pula. Harga yang dipakai dalam valuasi ini adalah harga pasar yang tidak mungkin negatif, maka dari itu jika denominator menjadi minus hal tersebut menjadi kurang relevan terhadap penilaian PER. Pada Karya Akhir ini, penulis memasukkan saham-saham dengan nilai PER negatif menjadi outlier-outlier, sehingga tidak diperhitungkan di dalam pengukuran (Fitriani dan Utama 2001). 13

2.2.2. Kelebihan dan Kekurangan PBV untuk Valuasi PBV ratio banyak digunakan oleh analis-analis khususnya pada industri perbankan sebagai relative valuation. Nilai buku sebuah bank disadari oleh banyak analis sebagai indikator yang baik dalam penilaian intrinsic value-nya, karena kebanyakan aset-aset bank berupa obligasi atau commercial loans sebuah bank nilainya sama dengan nilai bukunya (Reilly dan Brown 2006). Akan tetapi hal tersebut ada kelemahannya. Nilai buku sebuah perusahaan adalah hasil dari penerapan aturan-aturan akuntansi yang berubah-ubah saat menyebar biaya akuisisi aset dalam beberapa tahun. Harga pasar sebuah saham merefleksikan present value dari cash flow yang diharapkan di masa depan. Jadi, jika harga pasar dari sebuah saham sama persis dengan nilai bukunya, maka hal tersebut menjadi tidak relevan (Bodie et al. 2008). Kelemahan lain dari valuasi PBV ini adalah ketika nilai buku atas ekuitas bernilai negatif, sehingga valuasi PBV akan menjadi negatif pula. Harga yang dipakai dalam valuasi ini adalah harga pasar yang tidak mungkin negatif, maka dari itu jika denominator menjadi minus hal tersebut menjadi kurang relevan terhadap penilaian PBV. Pada Karya Akhir ini, penulis memasukkan saham-saham dengan nilai PBV negatif menjadi outlier-outlier, sehingga tidak diperhitungkan di dalam pengukuran. 2.2.3. Kelebihan dan Kekurangan EV/EBITDA untuk Valuasi Beberapa analis menggunakan EBITDA sebagai proxy dari cash flow, yang mana dipakai sebagai pengganti earnings pada PER yang sudah dipengaruhi beban bunga, pajak, depresiasi, amortisasi, dan earnings smoothing. Kelebihan dari penggunaan rasio ini adalah, 1) ada lebih sedikit perusahaan yang memiliki EBITDA negatif dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki earnings negatif, 2) ada beberapa metode depresiasi yang dilakukan perusahaan-perusahaan ada yang menggunakan straight line method, ada yang menggunakan accelerated depreciation sehingga dapat menyebabkan perbedaan pada operating income maupun net income, namun hal tersebut tidak dapat terjadi pada EBITDA, 3) valuasi ini dapat dibandingkan dengan sangat mudah (Damodaran 2002). Kelemahan lain dari valuasi EV/EBITDA ini adalah ketika EBITDA perusahaan bernilai negatif, sehingga valuasi EV/EBITDA akan menjadi negatif pula. Harga yang dipakai untuk menghitung Enterprise Value (EV) adalah harga pasar dari ekuitas dan harga pasar dari kewajiban atau obligasi perusahaam yang tidak mungkin bernilai negatif, dan jika denominator menjadi minus hal tersebut menjadi kurang 14

relevan terhadap penilaian EV/EBITDA. Pada Karya Akhir ini, penulis memasukkan saham-saham dengan nilai EV/EBITDA negatif menjadi outlier-outlier, sehingga tidak diperhitungkan di dalam pengukuran. (Persson dan Ståhlberg 2006) 2.3. HUBUNGAN VALUASI DENGAN KINERJA PER dipengaruhi oleh payout ratio, risiko, dan expected growth rate pada earnings. Dengan hal-hal lainnya tetap sama, berikut ini karakteristik dari sebuah perusahaan akan memiliki pengaruh terhadap PER-nya (Damodaran 2002). Valuasi P/E Ratio Tinggi Rendah Tabel 2.1 Determinan dari PER Karakteristik Payout ratio yang meningkat Expected growth rate tinggi Risiko yang lebih tinggi Excess Return Tinggi Sharpe atau Treynor Measure Tinggi Pada penelitian Fitriani dan Utama (2001) dan penelitian Persson dan Ståhlberg (2006) saham-saham dengan rasio PER yang relatif lebih rendah terhadap saham lainnya memberikan excess return yang lebih tinggi dibandingkan dengan saham-saham dengan PER tinggi. PBV ratio dipengaruhi oleh return on equity, payout ratio, risiko, dan expected growth rate pada earnings. Dengan hal-hal lainnya tetap sama, berikut ini karakteristik dari sebuah perusahaan akan memiliki pengaruh terhadap PER-nya (Damodaran 2002). Valuasi PBV Ratio Tabel 2.2 Determinan dari PBV Ratio Tinggi Rendah Karakteristik Return on equity (ROE) meningkat Payout ratio yang meningkat Expected growth rate tinggi Risiko yang lebih tinggi Excess Return Tinggi Sharpe atau Treynor Measure Tinggi Pada penelitian Fitriani dan Utama (2001) saham-saham dengan rasio PBV yang relatif lebih rendah terhadap saham lainnya memberikan excess return yang lebih tinggi dibandingkan dengan saham-saham dengan PBV tinggi, namun pada penelitian Persson dan Ståhlberg (2006) tidak memperhitungkan rasio PBV. Enterprise multiple dipengaruhi oleh pajak, depresiasi dan amortisasi, kebutuhan reinvestasi, cost of capital, dan expected growth rate. Dengan hal-hal 15

lainnya tetap sama, berikut ini karakteristik dari sebuah perusahaan akan memiliki pengaruh terhadap enterprise multiple-nya (Damodaran 2002). Tabel 2.3 Determinan dari Enterprise Multiple Valuasi EV/EBITDA Tinggi Rendah Karakteristik Pajak yang lebih rendah Cost of capital yang lebih rendah Expected growth rate yang lebih tinggi Depresiasi dan amortisasi yang lebih tinggi Kebutuhan reinvestasi yang lebih banyak Sharpe atau Treynor Measure Tinggi Pada penelitian Persson dan Ståhlberg (2006) saham-saham dengan rasio EV/EBITDA yang relatif lebih rendah terhadap saham lainnya memberikan excess return yang lebih tinggi dibandingkan dengan saham-saham dengan EV/EBITDA tinggi, namun pada penelitian Fitriani dan Utama (2001) tidak memperhitungkan rasio EV/EBITDA. (Persson dan Ståhlberg 2006; Fitriani dan Utama 2002) 2.4. EVALUASI KINERJA PORTOFOLIO Pada penelitian Fitriani dan Utama (2001), pengukuran kinerja menggunakan average return dan Sharpe s measure. Pada penelitian Persson dan Ståhlberg (2006), pengukuran kinerja menggunakan average return dan capital asset pricing model. Pada penelitian ini pengukuran kinerja dilakukan dengan menggunakan average return dan menggunakan Sharpe dan Treynor measure. Average return dilakukan dengan cara menghitung return rata-rata setiap saham di dalam portofolio setiap tahunnya yang akan menjadi average return portofolio tersebut secara keseluruhan (pooled) selama lima tahun. Selain itu, evaluasi kinerja juga dilakukan dengan cara menghitung risk-adjusted return dengan menggunakan pengukuran Sharpe s measure dan Treynor measure. Treynor memperkenalkan konsep dari security market line, yang mendefinisikan hubungan antara return portofolio dengan return pasar, dimana slope portofolio terhadap garis security market line mengukur volatilitas relatif antara portofolio dengan pasar (yang direpresentasikan oleh beta). Koefisien beta adalah ukuran volatilitas dari sebuah saham, portofolio, atau pasar itu sendiri. Semakin besar slope dari garis tersebut, maka semakin besar pula risiko maupun return-nya terhadap pasar. Semakin besar nilai Treynor, maka semakin bagus return portofolionya. 16

Rasio Sharpe hampir mirip dengan Treynor measure, hanya saja pengukuran risikonya berasal dari standar deviasi portofolio yang bersangkutan sehingga memasukkan semua risiko baik itu systematic risk maupun unsystematic risk. Pengukuran ini diperkenalkan oleh William F. Sharpe, yang mengikuti studinya tentang capital asset pricing model serta penggunaan total risk untuk membandingkan portofolio-portofolio dengan capital market line (Fitriani dan Utama 2001). 2.4.1. Sharpe s Measure dan Treynor Measure Sharpe s measure maupun Treynor measure merupakan pengukuran kinerja portofolio yang tidak hanya mempertimbangkan imbal hasilnya saja tetapi juga risikonya. Sharpe s measure disebut juga sebagai reward to variability ratio, sedangkan Treynor measure disebut juga sebagai reward to volatility ratio. (Fitriani dan Utama 2001) Imbal hasil yang digunakan oleh kedua pengukuran kinerja di atas adalah menggunakan excess return bukannya total return. Hal ini berarti dua metode pengukuran di atas mengukur kinerja portofolio di atas tingkat bunga bebas risiko. Di sisi lain, formula tersebut hanya dibedakan oleh penyebutnya di mana untuk Sharpe s measure menggunakan standar deviasi sementara untuk Treynor measure menggunakan beta sebagai pengukur risiko. Standar deviasi merupakan pengukur total risiko, artinya telah meliputi unsystematic risk maupun systematic risk. Sementara untuk beta, hanyalah melambangkan systematic risk. Akibatnya adalah dengan menggunakan kedua pengukuran tersebut akan menghasilkan pemeringkatan yang berbeda. Sharpe s measure sebaiknya digunakan untuk pengukuran portofolio yang belum terdiversifikasi dengan baik, karena unsystematic risk masih melekat di dalamnya. Sebaliknya, Treynor measure digunakan untuk portofolio yang sudah terdiversifikasi dengan baik, karena unsystematic risk sudah diredusir dan risiko yang melekat hanyalah systematic risk. Kedua pengukuran tersebut dapat menghasilkan pemeringkatan yang sama kalo total risk-nya sama dengan systematic risk-nya (Fitriani dan Utama 2001). 2.5. KESIMPULAN TERHADAP TINJAUAN LITERATUR Menurut uraian literatur sebelumnya, Relative valuation adalah valuasi perusahaan yang paling sering digunakan. Kelebihan dari metode valuasi ini adalah mudah digunakan, tidak menghabiskan waktu, dan tidak menuntut banyak asumsi 17

dibandingkan metode valuasi discounted cash flow maupoun contingent claim. Kelebihan lain dari metode ini adalah dimana data kunci dalam bentuk rasio keuangan yang berbeda-beda telah tersedia. Multiples yang digunakan untuk valuasi adalah price-earnings ratio (P/E), price-to-book ratio (PBV), dan enterprise multiple (EV/EBITDA). Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa pasar modal di Indonesia mengindikasikan inefisiensi, karena adanya penemuan bahwa portofolio saham yang dibentuk oleh rasio PER yang rendah, PBV yang rendah, atau ROE yang tinggi dapat memberikan excess return pada tahun 1993-1998 (Fitriani dan Utama 2001). Penelitian lain dengan menggunakan rasio yang berbeda juga menemukan adanya kecenderungan pasar yang tidak efisien di pasar modal Swedia pada tahun 2002-2006, karena portofolio yang dibentuk oleh rasio PER yang rendah atau EV/EBITDA yang rendah dapat memberikan excess return (Persson dan Ståhlberg 2006). Pengukuran kinerja melalui Sharpe dan Treynor measure, memiliki keunggulan dibanding pengukuran kinerja melalui average return biasa yang tidak memasukkan variabel risiko di dalamnya. Pada penelitian sebelumnya, Fitriani dan Utama (2001) hanya menggunakan Sharpe measure, sedangkan Persson dan Ståhlberg (2006) hanya menggunakan CAPM untuk mengukur kinerja portofolionya. Penggunaan Sharpe dan Treynor measure pada penelitian ini dimaksudkan untuk menyempurnakan penelitian-penelitian tersebut. Sharpe measure digunakan untuk melihat return yang sudah dipengaruhi deviasi dari variabilitasnya, sedangkan Treynor measure digunakan untuk melihat return yang sudah dipengaruhi tingkat volatilitasnya. Seharusnya kedua metode pengukuran ini dapat memberikan hasil pemeringkatan return portofolio yang tidak jauh berbeda atau sama jika total risk-nya sama dengan systematic risk (Fitriani dan Utama 2001). Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan bukti empiris lanjutan dari penelitian Fitriani dan Utama (2001) maupun Persson dan Ståhlberg (2006), sehingga beberapa variabel independen menggunakan variabel yang digunakan oleh mereka. Beberapa variabel lain yang digunakan mengikuti anjuran dari beberapa peneliti lainnya yang telah disebutkan di atas, sehingga cukup menarik kiranya untuk diketahui apakah hasil penelitian ini akan menghasilkan kesimpulan yang sama seperti yang dihasilkan oleh Fitriani dan Utama (2001) maupun Persson dan Ståhlberg (2006), atau sebaliknya. 18