40 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Respons pertumbuhan yang dihasilkan dari penanaman potongan daun binahong (Anredera cordifolia) yang ditanam pada medium MurashigeSkoog dengan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4D dan kinetin adalah terbentuknya kalus (Tabel 4.1). Respons tersebut sudah tampak kurang lebih 6 minggu setelah ditanam dalam kondisi aseptik. Tabel 4.1 Respons potongan daun binahong pada medium MS dengan penambahan ZPT 2,4D dan kinetin Kinetin 0 mg/l 0.5 mg/l 1 mg/l 2 mg/l 2,4D 0 mg/l DK 1 DK 2 DK 3 DK 4 0.5 mg/l DK 5 DK 6 DK 7 DK 8 Keterangan : D = 2,4D K = Kinetin DK 1 DK 8 = kode kombinasi medium Dari Tabel 4.1 dapat diketahui semua kombinasi perlakuan sebagian besar menghasilkan respons kalus dari potongan daun binahong (Gambar 4.1). Hanya kombinasi DK 1 dan DK 2 yang tidak menghasilkan respons (Gambar 4.2). Dari hasil pengamatan terlihat bahwa semua perlakuan belum mampu membentuk tunas. Hal ini kemungkinan terjadi
41 karena kandungan sitokinin masih rendah dibandingkan dengan kandungan auksin pada medium maupun pada eksplan. A B C D E F Gambar 4.1. Respons kalus potongan daun binahong minggu ke6 Keterangan: A. DK 3, B. DK 4, C. DK 5, D. DK 6, E. DK 7, dan F. DK 8
42 A B Gambar 4.2 Eksplan Yang Tidak Merespons Keterangan: A. DK1 dan B. DK2 Berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa respons kalus terjadi pada sebagian besar perlakuan dan pengulangan. Respons pembentukan kalus ratarata mulai tampak pada hari ke lima setelah ditanam dalam medium MS. Kombinasi perlakuan yang pertama kali merespons adalah pada kombinasi DK5 (kinetin 0 mg/l dan 2,4D 0.5 mg/l) (Gambar 4.3). Tabel 4.2 Persentase Respons Pertumbuhan Yang Terbentuk Pada Potongan Daun Binahong Respons (%) Kode Kombinasi Tidak merespons DK1 DK2 DK3 DK4 DK5 DK6 DK7 DK8
43 Kombinasi zat pengatur tumbuh menunjukkan respons kalus yang bervariasi yaitu dari aspek tekstur, berat basah, warna dan banyaknya kalus yang terbentuk. Dari aspek tekstur kalus, kaluskalus yang terinduksi pada penelitian ini adalah bertekstur kompak (Gambar 4.4.A) dan meremah (Gambar 4.4.B). Persentase tekstur kalus yang terinduksi meremah maupun bertekstur kompak dapat dilihat pada Tabel 4.3. kl Gambar 4.3. Respons Hari Ke5 Pada Kombinasi DK 5, Keterangan: kl = kalus A B Gambar 4.4. Tekstur Keterangan: A. Kompak (DK 8 ) dan B. Meremah (DK 2 ) Pada Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa DK 3 dan DK 4 memiliki tekstur meremah. kalus ini berwarna putih. yang dihasilkan dari kedua kombinasi itu kecil dan sedikit, hanya berada di daerah
44 permukaan daun yang teriris (DK 3 ) dan di ujung tulang daun primer yang tersayat (DK 4 ). Sedangkan kalus yang bertekstur kompak terbentuk pada kombinasi perlakuan DK 5, DK 6, DK 7, dan DK 8. kalus kompak berwarna kecoklatan ini ukurannya lebih besar (kalus hampir menutupi permukaan eksplan) dibandingkan dengan kalus yang bertekstur meremah (Tabel 4.4). kompak ini lebih padat dibanding dengan kalus meremah. Kombinasi perlakuan DK 1 dan DK 2 hanya menghasilkan respons perbesaran jaringan (Gambar 4.2). Tabel 4.3. Persentase Tekstur Yang Terinduksi (Meremah/Kompak) Kode Kombinasi Tekstur (%) Meremah Kompak DK 3 DK 4 DK 5 DK 6 DK 7 DK 8 Tabel 4.4 Respons Pembentukan Dilihat Dari Banyaknya Yang Terbentuk Kinetin 0 mg/l 0.5 mg/l 1 mg/l 2 mg/l 2,4D 0 mg/l DK 1 DK 2 DK 3 + DK 4 + 0.5 mg/l DK 5 +++ DK 6 ++ DK 7 +++ DK 8 +++ Keterangan: + = kalus yang terbentuk < 25 % permukaan eksplan ++ = kalus yang terbentuk ± 50 % permukaan eksplan +++ = kalus yang terbentuk > 75 % permukaan eksplan
45 Persentase (%) 80 60 40 20 Persentase respons kalus persentase banyaknya kalus 0 DK1 DK2 DK3 DK4 DK5 DK6 DK7 DK8 Kombinasi Gambar 4.5. Persentase Respons Pembentukan dan Persentase Banyaknya Berat Basah (mg) 400 350 300 250 200 150 50 0 M0 M1 M2 M3 M4 M5 M6 DK3 DK4 DK5 DK6 DK7 DK8 Minggu Ke Gambar 4.6. Kurva Pertumbuhan Berat Basah Pada Medium MS Dengan Penambahan ZPT 2,4D dan Kinetin Berdasarkan Gambar 4.5 dan Gambar 4.6 dapat diketahui bahwa persentase dari banyaknya kalus yang terbentuk berbanding lurus dengan berat basah kalus. Berat basah kalus tertinggi yaitu pada kombinasi perlakuan DK 5, pada minggu ke enam, ratarata berat basah kalusnya
46 mencapai 398 mg dan yang terendah adalah pada kombinasi perlakuan DK 3 (ratarata 66 mg). Tipe kurva pertumbuhannya adalah tipe sigmoid. Indikator pertumbuhan eksplan pada budidaya in vitro berupa warna kalus menggambarkan visual kalus sehingga dapat diketahui apakah suatu kalus masih memiliki selsel yang aktif membelah atau telah mati (andaryani, 2010). Jaringan kalus yang dihasilkan dari suatu eksplan biasanya memunculkan warna yang berbedabeda. B. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa setelah diberi perlakuan zat pengatur tumbuh 2,4D dan kinetin dengan berbagai tingkat konsentrasi, ternyata daun binahong terinduksi membentuk kalus. Ini dapat dilihat pada Tabel 4.1, dimana hampir semua perlakuan terbentuk pertumbuhan kalus. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan zat pengatur tumbuh sangat berperan dalam mempengaruhi perkembangan selsel pada jaringan yang dikultur. mulai terbentuk pada daerah perlukaan yang dibuat dengan menggores eksplan ketika penanaman. Perlukaan tersebut dapat mempermudah jaringan eksplan kontak langsung dengan medium, sehingga kalus dapat lebih cepat terbentuk pada daerah perlukaan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Hendaryono & Wijayani (1994), kalus dapat terbentuk akibat perlukaan pada eksplan dan kalus akan terbentuk di sepanjang permukaan irisan, maka semakin luas permukaan irisan semakin banyak pula kalus yang terbentuk.
47 Pada Tabel 4.2, terlihat bahwa persentase respons kalus eksplan daun binahong pada semua perlakuan (DK 5, DK 6, DK 7, dan DK 8 ) dan pengulangan adalah %. Hal ini disebabkan eksplan yang digunakan adalah daun yang mempunyai sifat meristematis sehingga selsel yang menyusun jaringan masih aktif membelah. Pada daun yang masih meristematis disintesis hormon auksin (Wattimena, 1998). Menurut Suryowinoto (1996), penambahan auksin yang lebih stabil seperti 2,4D cenderung menyebabkan terjadinya pertumbuhan kalus dari eksplan. Pada DK 1 (kontrol) tidak tebentuk kalus, hal ini disebabkan karena unsurunsur hara yang terdapat dalam media belum mampu untuk menginduksi terbentuknya kalus. Selain itu, zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media untuk pertumbuhan tidak ada. Begitu pula dengan kombinasi DK 2 (kinetin 0,5 mg/l dan 2,4D 0 mg/l). Medium dikombinasikan dengan kinetin yang konsentrasinya rendah, sehingga tidak menghasilkan respons apapun. Hal ini didukung oleh pendapat Wattimena (1992) bahwa zat pengatur tumbuh adalah salah satu faktor yang penting diantara faktor lainnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dari potongan jaringan yang ditanam baik jenis maupun konsentrasinya. Kombinasi perlakuan DK 3 (kinetin 1 mg/l dan 2,4D 0 mg/l) dan DK 4 (kinetin 2 mg/l dan 2,4D 0 mg/l) memperlihatkan respons kalus meremah berwarna putih yang tumbuh di daerah irisan permukaan atas dan di ujung sayatan tulang daun primer. yang terbentuk kecil dan
48 sedikit (< 25% menutupi permukaan eksplan). Perbesaran jaringan terjadi pada kedua perlakuan tersebut, hal ini menunjukkan bahwa nutrisi dalam medium dapat diserap oleh eksplan. Respons ini sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Wul&ari et al. (2004) dengan daun jeruk manis sebagai eksplan. Perlakuan dengan penambahan 0.1 ppm NAA (auksin) dan 10 ppm BA (sitokinin) menghasilkan terbentuknya kalus yang kecil dan sedikit. tumbuh hanya pada bekas potongan eksplan terutama pada daerah tulang daun primer. Lamanya waktu terbentuknya kalus diduga konsentrasi 0.1 ppm NAA tidak mampu mengimbangi konsentrasi 10 ppm BA. Wattimena (1992) menyatakan untuk pembentukan kalus dibutuhkan konsentrasi auksin tinggi dengan konsentrasi sitokinin yang rendah. Penelitian dengan pengaruh kinetin 1 mg/l mampu mendorong pembentukan kalus pada tanaman Cattleya sp dengan eksplan berupa daun muda (Santoso & Nursandi, 2003). Terbentuknya kalus yang bertekstur remah menurut Widyawati (2010) dipacu oleh adanya hormon auksin endogen yang diproduksi secara internal oleh eksplan yang telah tumbuh membentuk kalus tersebut. Efektifitas zat pengatur tumbuh auksin maupun sitoknin eksogen bergantung pada konsentrasi hormon endogen dalam jaringan tanaman (Bhaskaran & Smith, 1990). Berdasarkan Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa eksplan yang ditanam pada medium dengan penambahan kombinasi ZPT seperti pada Tabel 4.2 dapat menginduksi terjadinya kalus. Pada kombinasi perlakuan DK 5, DK 7,
49 dan DK 8, memperlihatkan respons kalus yang baik sekali, semua kombinasi menunjukkan kalus > 75% menutupi eksplan. Pada kombinasi perlakuan DK 6, kalus hanya ± 50% menutupi permukaan eksplan. Kombinasi perlakuan DK 5 meng&ung k&ungan auksin lebih tinggi daripada sitokinin. Kombinasi perlakuan DK 6 meng&ung k&ungan auksin seimbang dengan sitokinin. Kombinasikombinasi ini dapat menginduksi pertumbuhan kalus pada potongan daun binahong. Penelitian yang dilakukan Pumchaosuan & Wongroung (2009) pada famili yang sama dengan binahong, yaitu Basella rubra L., menyatakan bahwa respons yang dihasilkan juga menghasilkan kalus tertinggi yaitu dengan pemberian 0, 1 µm/l 2,4D dan 5µM/L BA. Dari penelitian yang dilakukan Syahid & Kristina (2007), konsentrasi sitokinin yang lebih rendah dib&ing konsentrasi auksin dapat menginduksi kalus pada keladi tikus, yaitu dapat diperoleh pada perlakuan yaitu 2,4D 1 mg/l + kinetin 0,1 mg/l dan 2,4 D 1 mg/l + kinetin 0,3 mg/l. Khairunisa (2009) melakukan penelitian mengenai multipikasi tunas dan pertumbuhan binahong dengan menggunakan ruas batang tanaman binahong sebagai eksplan. Zat pengatur tumbuh yang digunakannya hanya dari golongan sitokinin saja, salah satunya adalah kinetin (0,5, 1, 1,5, dan 2 mg/l). Penambahan kinetin 1,5 mg/l memberikan respons terbaik terhadap pembentukan tunas adventif yang berasal dari kalus. terbentuk dari penambahan kinetin sebanyak 1,5 mg/l dan 2 mg/l. Perbedaan respons yang terjadi pada penelitian yang
50 dilakukan oleh Khairunisa dan penelitian ini dikarenakan perbedaan eksplan yang digunakan. Pada kombinasi DK 1, DK 2, DK 3, dan DK 4 tidak ditambahkan auksin, respons yang dihasilkan tidak membentuk tunas. Hal ini mengindikasikan bahwa kandungan auksin endogen pada daun binahong dapat mengimbangi kandungan sitokinin eksogen, sehingga tidak terbentuk tunas. George & Sherrington (1984), menyatakan bahwa pada konsentrasi auksin yang lebih tinggi atau sebanding dengan konsentrasi sitokinin, dapat menginduksi jaringan untuk membentuk kalus. Untuk pembentukan kalus, banyak digunakan kombinasi auksinkinetin dimana sebaiknya dipakai kadar auksin tinggi dan kinetin rendah atau keduaduanya tinggi (Suryowinoto, 1996). 2,4Dichlorophenoxyacetic acid adalah salah satu auksin yang berperan dalam pertumbuhan kalus dari eksplan dan menghambat regenerasi pucuk tanaman (Fitrianti, 2006). Walaupun auksin dikenal sebagai hormon yang mampu berperan menginduksi kalus namun sitokinin sering pula digunakan sebagai bahan kombinasi untuk induksi kalus. Kinetin yang berimbang dengan auksin dapat menyebabkan pertumbuhan kalus (Abidin, 1985). Kombinasi perlakuan DK 7 (kinetin 1 mg/l dan 2,4D 0,5 mg/l) dan DK 8 (kinetin 2 mg/l dan 2,4D 0,5 mg/l) yang kandungan kinetinnya (sitokinin) lebih tinggi dibanding 2,4D (auksin) dapat menghasilkan respons kalus, padahal biasanya kandungan sitokinin yang lebih tinggi dibanding auksin dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan kalus.
51 Menurut Fitrianti (2006), hal itu bisa saja terjadi, dalam penelitiannya kalus yang diinduksi dari potongan daun sambiloto dapat terbentuk pada medium dengan penambahan kinetin 0,1 mg/l dan tanpa ada penambahan 2,4D. Hal ini mungkin terjadi karena pada eksplan daun binahong terkandung hormon endogen golongan auksin. Perubahan warna pada kalus yang ditanam pada kombinasi DK 5, DK 6, DK 7, DK 8, yang pada awalnya berwarna putih menjadi warna kecoklatan dan bertekstur kompak dapat mengindikasikan bahwa dalam kalus tersebut mengandung metabolit sekunder. Warna kecoklatan pada kalus ini akibat adanya senyawa fenol (Yusnita, 2003). Menurut Lenny (2006), senyawa fenol ini merupakan salah satu jenis metabolit sekunder yang disintesis oleh tumbuhan, sebagai suatu mekanisme pertahanan diri terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti infeksi dan perlukaan (Isaac, 1992). Selain menandakan terjadinya sintesis senyawa fenol, warna coklat disebabkan oleh semakin bertambahnya umur sel atau jaringan kalus. Vickery & Vickery (1980) menyatakan bahwa sintesis senyawa fenolik dipacu oleh cekaman atau gangguan pada sel tanaman. Dalam penelitian ini, kalus yang berwarna kecoklatan dihasilkan pada media yang mengandung 2,4D. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Dwiyono (2009) bahwa penambahan 2,4D yang semakin meningkat dapat menyebabkan peningkatan terbentuknya kalus dengan warna coklat tanaman mahkota dewa.
52 Terjadinya perubahan warna coklat dan tekstur kompak pada kalus bisa dijadikan indikasi bahwa dalam kalus tersebut memiliki kandungan metabolit sekunder. Santoso & Nursandi (2004) menyatakan bahwa peristiwa pencoklatan tersebut sesungguhnya merupakan suatu peristiwa alamiah dan proses perubahan adaptif bagian tanaman akibat adanya pengaruh fisik seperti pengupasan, dan pemotongan. Pada Gambar 4.6, pertumbuh kalus pada binahong ini memperlihatkan tipe sigmoid, dimana pada minggu pertama eksplan sedang mengalami adaptasi dengan lingkungan barunya sehingga pertumbuhannya tidak terlalu cepat. Pada minggu ke dua sampai minggu ke empat, pertumbuhan kalus mulai mengalami peningkatan dari minggu ke minggu. Pada minggu ke lima sampai minggu ke enam, pertumbuhan mulai menurun, kemungkinan nutrisi dalam medium mulai berkurang sehingga pertumbuhan pun terhambat. Dalam hal ini agar kalus dapat terusmenerus tumbuh dapat dilakukan subkultur ke dalam medium yang baru. Pertumbuhan kalus ini dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam medium (Pierik, 1987). Berat basah kalus tertinggi yaitu pada kombinasi perlakuan DK 5, pada minggu ke enam, ratarata berat basah kalusnya mencapai 398 mg. Kemungkinan pada ZPT yang diberikan pada kombinasi ini dapat menghasilkan hasil yang optimum untuk pementukkan kalus, sehingga dapat menjadi acuan untuk menghasilkan metabolit sekunder.
53 Selain kombinasi perlakuan, penyusun menambahkan empat perlakuan (Tabel 4.5). Penambahan perlakuan ini dilakukan karena penyusun mencari kombinasi zat pengatur tumbuh yang dapat menghasilkan respons berupa akar, karena pada akar binahong juga mengandung senyawa metabolit sekunder. Tabel 4.5. Kombinasi Tambahan Kinetin 0 mg/l 0.5 mg/l 1 mg/l 2 mg/l 2,4D 1 mg/l DK 9, Akar DK 10 DK 11 DK 12 Akar muncul dari kalus yang sudah terbentuk pada kombinasi DK 9 (kinetin 0 mg/l dan 2,4D 1 mg/l). Pada awalnya hanya terbentuk kalus saja, tidak terjadi pembentukan akar, setelah hari ke20 terlihat adanya akar yang muncul di permukaan kalus. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh keseimbangan auksin dan sitokinin terhadap respons jaringan. Krikorian (1995) melaporkan bahwa akar terbentuk dari kalus pada medium yang ditambahkan auksin dengan konsentrasi lebih tinggi daripada sitokinin. Hal ini sesuai dengan pendapat Skoog & Miller (1975) bahwa untuk perakaran secara in vitro biasanya digunakan auksin dalam konsentrasi tinggi. Hal ini menyimpang dari pendapat Wetherell (1982) bahwa untuk pembentukan akar diperlukan perbandingan auksin dan sitokinin yang rendah. Penyimpangan ini terjadi kemungkinan karena zat tumbuh endogen (auksin endogen) yang terdapat dalam eksplan pada perlakuan tersebut sudah cukup tersedia. Pada penelitian ini semua
54 perlakuan hampir tidak menghasilkan respons tunas dan akar. Penggunaan hormon 2,4D sangat berguna untuk menghambat proses morfogenesis pada kalus sehingga mampu menginisiasi pertumbuhan kalus (Gangga, Asriani, & Novita, 2007). Pada kombinasi DK 10, DK 11, DK 12 (Gambar 4.7) respons yang terbentuk adalah kalus. Persentase banyaknya kalus pada DK 10 dan DK 11 lebih dari 75%. Sedangkan pada kombinasi DK 12 kurang lebih 50%. Kombinasi DK 9, DK 10, DK 11, DK 12 memiliki tekstur yang kompak dan kalus berwarna kecoklatan. Menurut Street (1972), struktur kalus yang kompak memililki susunan selsel yang rapat, padat, dan sulit dipisahkan. Warna kalus mengalami perubahan seiring dengan pertambahan umur kalus. Santoso & Nursandi (2003) mengungkapkan bahwa apabila kalus yang terbentuk dari eksplan yang berwarna hijau adalah putih atau keputihan, atau coklat berarti telah terjadi degradasi klorofil. Degradasi klorofil terjadi akibat hilangnya rantai phytol oleh enxim klorofilase, sehingga terbentuk klorofilin atau klorofilid yang menghasilkan warna hijau cerah. Klorofilid didegradasi lebih lanjut menjadi pheophorbides (berwarna coklat) dan klorin (tidak berwarna). Proses fotooksidasi juga menyebabkan degradasi klorofil, karena pada proses ini ion Mg 2+ hilang dan membentuk pheophytin yang berwarna coklat dan hijau olive (keputihan). yang berwarna coklat selain disebabkan oleh degradasi klorofil juga disebabkan mekanisme pertahanan diri akibat perlukaan pada jaringan atau sel eksplan. Luka tersebut bisa disebabkan oleh sayatan
55 maupun sterilan yang digunakan. Wojtaszek (1997) menyatakan bahwa pada saat terjadi perlukaan, sel atau jaringan akan segera memproduksi jenis oksifen reaktif, yaitu hydrogen peroksida, anion superoksida, dan hidroksil radikal. Produksi anion superoksida akan terjadi beberapa menit setelah perlakuan, sedangkan hidrogen peroksida akan diproduksi maksimal setelah 46 jam. Menurut Fitrianti (2006), pencoklatan kalus juga diakibatkan adanya akumulasi senyawa fenolik. Sintesis senyawa fenoilik menyebabkan teroksidasinya fenol menjadi kuinon fenolik oleh enzim fenol oksidase (Henfaryono& Wijayani,1994). ad A B C D Gambar 4.7. Respons kalus pada minggu ke6, ad: akar adventif Keterangan : A. DK 9, B.DK 10, C.DK 11, dan D.DK 12