BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dalam melakukan perawatan tidak hanya terfokus pada susunan gigi dan rahang saja

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Ukuran lebar mesiodistal gigi permanen menurut Santoro dkk. (2000). 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1. Fotometri Profil 16. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. perawatan ortodonti dan mempunyai prognosis yang kurang baik. Diskrepansi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. susunannya akan mempengaruhi penampilan wajah secara keseluruhan, sebab

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. menghasilkan bentuk wajah yang harmonis jika belum memperhatikan posisi jaringan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tiga puluh orang menggunakan sefalogram lateral. Ditemukan adanya hubungan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penggunaan fotografi di bidang ortodonti telah ada sejak sekolah kedokteran

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sejak tahun 1922 radiografi sefalometri telah diperkenalkan oleh Pacini dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Tugas Online 2 Fisika 2 Fotometri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ada berbagai pedoman, norma dan standar yang telah diajukan untuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I.PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Nesturkh (1982) mengemukakan, manusia di dunia dibagi menjadi

SEFALOMETRI. Wayan Ardhana Bagian Ortodonsia FKG UGM

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi-gigi dengan wajah (Waldman, 1982). Moseling dan Woods (2004),

MATERI KULIAH ORTODONSIA I. Oleh Drg. Wayan Ardhana, MS, Sp Ort (K) Bagian Ortodonsia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan estetis yang baik dan kestabilan hasil perawatan (Graber dkk., 2012).

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perawatan ortodontik bertujuan memperbaiki fungsi oklusi dan estetika

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi. syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi. Oleh : MELISA NIM :

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. cepat berkembang. Masyarakat makin menyadari kebutuhan pelayanan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Nama: Tony Okta Wibowo Nrp : Dosen Pembimbing : Bp. Moch Hariadi, ST M.Sc PhD Bp. Dr. I ketut eddy Purnama, ST,MT

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dentofasial termasuk maloklusi untuk mendapatkan oklusi yang sehat, seimbang,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. displasia dan skeletal displasia. Dental displasia adalah maloklusi yang disebabkan

BAB 2 MALOKLUSI KLAS III. hubungan lengkung rahang dari model studi. Menurut Angle, oklusi Klas I terjadi

PERBANDINGAN LIMA GARIS REFERENSI DARI POSISI HORIZONTAL BIBIR ATAS DAN BIBIR BAWAH PADA MAHASISWA FKG DAN FT USU SUKU BATAK

PENGENALAN SEFALOMETRI RADIOGRAFIK

Hubungan antara derajat konveksitas profil jaringan keras dan jaringan lunak wajah pada suku Bugis dan Makassar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Maloklusi adalah keadaan yang menyimpang dari oklusi normal dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Crossbite posterior adalah relasi transversal yang abnormal dalam arah

Penetapan Gigit pada Pembuatan Gigi Tiruan Lengkap

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. Ilmu Ortodonti menurut American Association of Orthodontics adalah

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. (Alexander,2001). Ortodonsia merupakan bagian dari ilmu Kedokteran Gigi yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Sebagian besar dari penduduk Indonesia termasuk ras Paleomongoloid yang

BAB 2 PROTRUSI DAN OPEN BITE ANTERIOR. 2.1 Definisi Protrusi dan Open Bite Anterior

PERBANDINGAN KONSISTENSI GARIS E RICKETTS DAN GARIS S STEINER DALAM ANALISIS POSISI HORIZONTAL BIBIR PADA MAHASISWA FKG USU SUKU INDIA

BAB 1 PENDAHULUAN. sagital, vertikal dan transversal. Dimensi vertikal biasanya berkaitan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Hal yang penting dalam perawatan ortodonti adalah diagnosis, prognosis dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. wajah dan jaringan lunak yang menutupi. Keseimbangan dan keserasian wajah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ANALISA KONVEKSITAS WAJAH JARINGAN LUNAK SECARA SEFALOMETRI LATERAL PADA MAHASISWA DEUTRO-MELAYU FKG USU USIA TAHUN (TAHUN )

Volume 46, Number 4, December 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan wajah dan gigi-geligi, serta diagnosis,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ANALISA PROFIL JARINGAN LUNAK MENURUT METODE HOLDAWAY PADA MAHASISWA FKG USU SUKU DEUTRO MELAYU

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dari struktur wajah, rahang dan gigi, serta pengaruhnya terhadap oklusi gigi geligi

BAB 2 BEDAH ORTOGNATI PADA MAKSILA. akan terlihat jelas ketika masa tumbuh kembang ataupun juga akibat trauma. 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI PENEMPATAN TITIK-TITIK CEPHALOMETRY 3D PADA CITRA MRI

HUBUNGAN SUDUT INTERINSISAL DENGAN PROFIL JARINGAN LUNAK WAJAH MENURUT ANALISIS RICKETTS PADA MAHASISWA SUKU BATAK FKG DAN FT USU

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 3 DIAGNOSA DAN PERAWATAN BINDER SYNDROME. Sindrom binder merupakan salah satu sindrom yang melibatkan pertengahan

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat. memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi. Oleh: Ahmad Tommy Tantowi NIM:

BAB I PENDAHULUAN. Maloklusi adalah istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan

I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah. Secara umum bentuk wajah (facial) dipengaruhi oleh bentuk kepala, jenis kelamin

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan retrospective

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Eksperimental kuasi dengan desain one group pre dan post. Tempat : Klinik Ortodonti RSGMP FKG USU

BAB 1 PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat semakin menyadari akan kebutuhan pelayanan

PERBEDAAN SUDUT MP-SN DENGAN KETEBALAN DAGU PADA PASIEN DEWASA YANG DIRAWAT DI KLINIK PPDGS ORTODONSIA FKG USU

HUBUNGAN SUDUT INTERINSISAL DENGAN JARINGAN LUNAK WAJAH BERDASARKAN ANALISIS STEINER PADA MAHASISWA FKG USU RAS DEUTRO MELAYU

BAB 1 PENDAHULUAN. dan harmonis.pada saat mendiagnosis dan membuat rencana perawatan perlu diketahui ada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7

ANALISIS MORFOLOGI MANDIBULA MAHASISWA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SUB-RAS DEUTRO MELAYU USIA TAHUN DITINJAU DARI RADIOGRAFI SEFALOMETRI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan serangkaian pulau besar-kecil dengan lingkungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. sampai CV7). Diantara ruas-ruas tersebut, ada tiga ruas servikal yang memiliki

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada saat ini perawatan ortodonti tidak hanya terfokus pada susunan gigi dan relasi rahang saja tetapi juga pada estetika wajah. 1,4 Pemeriksaan wajah merupakan suatu hal yang sangat perlu diperhatikan untuk menghindari potensi penurunan proporsi wajah dan untuk meningkatkan diagnosis, rencana perawatan dan kualitas hasil yang diperoleh. Pasien diperiksa dalam posisi kepala yang alami, hubungan rahang posisi relasi sentris, dan postur bibir yang rileks untuk mendapatkan ciri-ciri skeletal wajah yang jelas. 5 Para seniman dan ahli kesehatan sampai saat ini terus berusaha untuk mendefinisikan proporsi wajah yang ideal. Mereka mengakui keindahan, namun masih sulit menentukan standar yang objektif. Dengan munculnya radiografi sefalometri, berbagai analisis dapat dikembangkan dalam upaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitatif estetika profil wajah. 3,5 Terdapat dua metode pengukuran yang dapat digunakan untuk menganalisis wajah yaitu fotometri dan sefalometri. 10,19 2.1 Fotometri Bidang ilmu kedokteran gigi khususnya ortodonti, banyak menggunakan metode fotometri untuk mengevaluasi konfigurasi fasial, baik dalam arah frontal maupun lateral. 20,21 Penggunaan fotometri dapat menganalisis proporsi wajah, simetri wajah, konveksitas jaringan lunak wajah, serta bentuk wajah. 11 Fotometri merupakan salah satu metode penting yang digunakan untuk menegakkan diagnosis, rencana perawatan serta untuk dokumentasi. Manfaat fotografi di bidang ortodonti yaitu sebagai media untuk memonitor perkembangan perawatan dan melihat kemajuan perawatan. 22

2.1.1 Fotometri Frontal Fotometri frontal digunakan untuk menganalisis proporsi dan simetri wajah terhadap bidang vertikal dan horizontal serta menentukan morfologi tipe wajah. 23 Proporsi wajah secara frontal dapat dianalisis dengan menggunakan bidang vertikal dan horizontal. Penggunaan bidang horizontal, wajah dapat dibagi menjadi tiga bagian, bagian atas dari batas garis rambut (trichion) ke titik glabella, bagian tengah dari titik glabella ke titik subnasal dan bagian bawah dari titik subnasal ke titik menton. Untuk mengevaluasi lebar dari wajah dapat dilakukan dengan cara membagi wajah menjadi lima bagian yang sama secara vertikal (Gambar 1). 23 Simetri wajah dapat dianalisis dengan cara membagi wajah menjadi dua bagian yang sama dengan menggunakan garis simetri wajah yang melalui titik glabella, puncak hidung (pronasale), titik tengah bibir atas (labrale superius) dan titik tengah dagu (gnathion) (Gambar 2). 11 (a) (b) Gambar 1. Proporsi wajah secara frontal. (a) Pembagian wajah berdasarkan bidang horizontal (b) Pembagian wajah berdasarkan bidang vertikal. 23

Gambar 2. Garis Simetri Wajah 23 Bentuk wajah dapat dievaluasi berdasarkan indeks morfologi wajah yaitu facial index, upper facial index, lower facial index dan chin index. Bentuk morfologi wajah terdiri dari beberapa jenis yaitu brachicephali/euryprosopic, mesocephali/mesoprosopic, dan dolichocephali/leptoprosopic (Gambar 3). 21,22 Gambar 3. Bentuk morfologi wajah manusia 22

2.1.2 Fotometri Lateral Fotometri lateral dalam bidang ortodonti digunakan untuk menganalisis profil wajah (konveksitas), proporsi wajah serta analisis hidung. 21 Analisis konveksitas wajah pada metode fotometri ini menggunakan dua garis penuntun, yaitu garis yang menghubungkan antara dahi dengan perbatasan septum nasal dengan bibir atas (Subnasale) dan garis yang menghubungkan antara dagu (Pogonion) dengan perbatasan septum nasal dengan bibir atas (Subnasale) (Gambar 4). 21,24 Proporsi wajah secara lateral dapat dianalisis menjadi tiga bagian, yaitu sepertiga atas (trichion - glabella), sepertiga tengah (glabella - subnasal) dan sepertiga bawah (subnasal menton) (gambar 5). 23,25 Gambar 4. Konveksitas wajah dengan metode fotometri 24 Gambar 5. Proporsi wajah secara lateral 23,25

Analisis hidung secara sefalometri lateral dapat dilakukan dengan menggunakan sudut nasofrontal dan sudut nasofacial. Sudut nasofrontal digunakan untuk menganalisis hubungan hidung dan dahi (sekitar 120 o ) sedangkan sudut nasofacial digunakan untuk mengevaluasi derajat proyeksi hidung secara tidak langsung (sekitar 36 o ) (Gambar 6). 19,25 (a) (b) Gambar 6. Analisis hidung secara fotometri lateral. (a) Sudut nasofrontal (b) Sudut nasofacial. 25 Fotometri tidak dapat digunakan untuk melihat hubungan antara gigi-gigi, tulang rahang dan struktur kraniofasial lainnya. Berdasarkan pengetahuan antropometrik dan gnatostatik, maka para ahli antropologi menemukan suatu alat yang dapat digunakan untuk mempelajari hubungan gigi-gigi dan struktur tulang muka secara ekstrakranial dan intrakranial yang disebut sefalometri radiografi. 14 2.2 Sefalometri Radiografi sefalometri merupakan sarana penting dalam bidang kedokteran gigi. Radiografi sefalometri ini merupakan sarana penunjang dalam mendiagnosis, menentukan rencana perawatan, menganalisis kelainan kraniofasial serta mengevaluasi pertumbuhan dan perkembangan kraniofasial. 20

Sefalometri dapat menghasilkan pengukuran-pengukuran yang bersifat kuantitatif terhadap bagian-bagian tertentu dari kepala untuk mendapatkan informasi tentang pola kraniofasial. Analisis pada radiografi sefalometri dilakukan dengan cara menetapkan lokasi titik-titik referensi pada bagian-bagian skeletal dan jaringan lunak kraniofasial yang akan menghasilkan garis, bidang dan sudut. 21 Menurut analisisnya, sefalometri terbagi menjadi dua tipe yaitu (Gambar 7): 1 a. Sefalogram frontal adalah gambaran frontal atau anteroposterior dari tengkorak kepala (Gambar 7a). b. Sefalogram lateral adalah gambaran lateral dari tengkorak kepala (Gambar 7b). Sefalogram lateral dapat digunakan untuk menganalisis profil jaringan lunak aspek lateral, yaitu analisis profil jaringan lunak wajah. (a) (b) Gambar 7. Sefalogram (a) frontal, (b) lateral 11 Sefalometri mempunyai berbagai fungsi dan kegunaan, yaitu: 1 1. Mempelajari pertumbuhan dan perkembangan kraniofasial.

Dengan membandingkan sefalogram-sefalogram yang diambil dalam interval waktu yang berbeda, untuk mengetahui arah pertumbuhan dan perkembangan kraniofasial. 2. Diagnosis atau analisis kelainan kraniofasial. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab maloklusi (seperti ketidakseimbangan struktur tulang muka). 3. Mempelajari tipe fasial. Relasi rahang dan posisi gigi-gigi berhubungan erat dengan tipe fasial. Ada 2 hal penting yaitu : posisi maksila dalam arah antero-posterior terhadap kranium dan relasi mandibula terhadap maksila, sehingga akan mempengaruhi bentuk profil : cembung, lurus atau cekung. 4. Merencanakan perawatan ortodonti. Analisis dan diagnosis yang didasarkan pada perhitungan-perhitungan sefalometrik dapat diprakirakan hasil perawatan ortodontik yang dilakukan. 5. Evaluasi kasus-kasus yang telah dirawat. Dengan membandingkan sefalogram yang diambil sebelum, sewaktu dan sesudah perawatan ortodonti. 6. Analisis fungsional. Fungsi gerakan mandibula dapat diketahui dengan membandingkan posisi kondilus pada sefalogram yang dibuat pada waktu mulut terbuka dan posisi istirahat. 7. Sebagai sarana untuk penelitian. 2.3 Analisis Jaringan Keras dan Jaringan Lunak dengan Sefalogram Lateral Analisis terhadap jaringan keras dan lunak wajah dapat dilakukan pada sefalogram lateral. Titik-titik yang digunakan dalam analisis jaringan keras (Gambar 8): 2,11,19 Sella (S) : titik ditengah-tengah fossa pituitary (sella turcica) Nasion (N/Na) : titik perpotongan sutura frontonasalis

Orbitale (Or) : titik paling rendah pada tepi bawah tulang orbita Sub-spina (A) : titik paling cekung di antara spina nasalis anterior dan prosthion Supra-mental (B) : titik paling cekung di antara infra dental dan pogonion Pogonion (Pog) : titik paling depan dari tulang dagu Gnathion (Gn) : titik di antara pogonion dan menton Menton (Me) : titik paling bawah atau inferior dari tulang dagu Articulare (Ar) : titik perpotongan antara tepi bawah dari basis kranium dan permukaan posterior kondilus mandibula. Gonion (Go) : titik bagi yang dibentuk oleh garis dari sudut yang dibentuk oleh bidang mandibula dan ramus mandibula Porion (Po) : titik paling superior dari porus accusticus externus Pterygomaxilary Fissure (PTM) : Bayangan radiolusen yang menyerupai tetes air mata,bagian anterior dari bayangan tersebut adalah permukaan posterior dari tuber maksilaris. Spina Nasalis Posterior (PNS) : Titik paling posterior dari palatum durum. Gambar 8. Titik-titik dalam analisis jaringan keras 11

Titik-titik yang digunakan dalam jaringan lunak (Gambar 9): 2,11,19,26 Glabella (G) : titik paling anterior dari dahi pada dataran midsagital. Nasion kulit (N ) : titik paling cekung pada pertengahan dahi dan hidung. Pronasale (Pr) : titik paling anterior dari hidung. Subnasale (Sn) : titik dimana septum nasal berbatasan dengan bibir atas. Labrale superius (Ls) : titik perbatasan mukokutaneus dari bibir atas. Superior labial sulkus (SLS) : titik tercekung di antara Sn dan Ls. Stomion superius (Stms) : titik paling bawah dari vermilion bibir atas. Stomion inferius (Stmi) : titik paling atas dari vermilion bibir bawah. Labrale inferius (Li) : titik perbatasan dari membran bibir bawah. Inferior labial sulkus (ILS) : titik paling cekung di antara Li dan Pog. Pogonion kulit (Pog ) : titik paling anterior jaringan lunak dagu. Menton kulit (Me ) : titik paling inferior dari jaringan lunak dagu. Gambar 9. Titik-titik dalam analisis jaringan lunak 12,27

Titik-titik di atas dapat digunakan untuk berbagai analisis terhadap jaringan keras dan jaringan lunak wajah. 2,11,19,26 Yang tergolong dalam analisis jaringan lunak secara lateral antara lain 1/3 tengah-bawah wajah, perbandingan tinggi bibir atas dan bibir bawah, penilaian terhadap hidung, sudut nasomental, sudut nasolabial, prognasi maksila dan mandibula, tebal bibir atas dan bibir bawah, celah antara bibir atas dan bibir bawah, tebal dagu, kontur dagu-leher, sudut konveksitas wajah, bidang Estetis (Garis-E), garis-s dan sudut-z Merrifield. 11,27 2.4 Analisis Konveksitas Wajah Konveksitas skeletal merupakan salah satu sudut yang dapat dianalisis dari profil wajah pada pandangan anteroposterior yang juga menyatakan relasi skeletal rahang atas dan rahang bawah yang lebih spesifiknya dianalisis melalui sefalometri lateral. Analisis konveksitas skeletal yang ideal telah dilakukan oleh ahli ortodonti dan telah diterapkan pada analisis-analisis perawatan ortodonti, antara lain analisis yang dikemukakan oleh Downs, Ricketts dan Holdaway. Analisis terhadap konveksitas skeletal diperoleh dari titik A dan bidang fasial (N-Pog). 11,14,27 2.4.1 Analisis Downs Menurut Downs, konveksitas skeletal diperoleh dari sudut yang dibentuk oleh garis Nasion-A ke garis A-Pogonion. Jika garis A-Pogonion berada di anterior garis Nasion- A, sudut ini bernilai positif yaitu maksila berada di anterior mandibula. Dan sebaliknya, sudut ini bernilai negatif yaitu mandibula berada di anterior maksila. Nilai interval dari sudut N-A-Pog ini adalah -8,5 o - +10 o, dengan nilai ideal 0 o jika kedua garis berimpit (Gambar 10). 11,28

2.4.2 Analisis Ricketts Gambar 10. Konveksitas skeletal menurut Downs. Diperoleh dari sudut yang dibentuk oleh garis N-A ke garis A-Pog. 11,29 Analisis Ricketts terhadap konveksitas skeletal diperoleh dari jarak titik A terhadap bidang fasial (N-Pog) dalam mm. Nilai ideal jarak titik A terhadap bidang fasial (N-Pog) adalah 2 ± 2 mm. Jika nilainya positif dan lebih besar dari 2 mm, maka diperoleh relasi Kelas II skeletal dan jika bernilai negatif, maka diperoleh relasi Kelas III skeletal. Nilai ideal yang dinyatakan Ricketts adalah 2 mm (Gambar 11). 11,29,30

Gambar 11. Konveksitas skeletal menurut Ricketts. Diperoleh dari jarak titik A terhadap bidang fasial (N-Pog). 11,30 2.4.3 Analisis Holdaway Menurut Holdaway, konveksitas skeletal diukur jarak dari titik A ke garis Nasion-Pogonion skeletal (N-Pog). Analisis ini sangat berguna dalam penentuan konveksitas wajah skeletal dalam hubungannya dengan konveksitas jaringan lunak (sudut-h). Konveksitas skeletal wajah ideal jika jarak antara garis N-Pog ke titik A -3mm sampai +4 mm (Gambar 15). 11 2.5 Analisis Konveksitas Jaringan Lunak Analisis konveksitas jaringan lunak wajah dengan posisi bibir yang ideal telah dilakukan penelitian oleh ahli-ahli ortodonti antara lain Steiner, Ricketts, Merrifeld dan Holdaway yang merupakan penentuan bentuk profil jaringan lunak cembung, lurus atau cekung. Masing-masing ahli menggunakan referensi yang bervariasi dalam menganalisis profil jaringan lunak wajah. Steiner menggunakan garis S, Ricketts garis estetis (garis E), Merrifeld menggunakan sudut Z dan Holdaway menggunakan garis Harmoni (garis-h). 11,14,27-29

2.5.1 Analisis Menurut Steiner (Garis S) Garis S merupakan garis yang ditarik dari titik Pog ke pertengahan kurva S yang terletak diantara Pronasal (Pr) ke titik Subnasales (Sn) (Gambar 12). Menurut Steiner, dalam keadaan normal titik Labrale superior (Ls) dan Labrale inferior (Li) berada pada garis S. Jika bibir berada di belakang garis S dinyatakan profil wajahnya cekung. Sedangkan jika berada di depan garis S, profil wajahnya terlalu tebal atau cembung. 14,17,29,31 Gambar 12. Analisis jaringan lunak wajah menurut Steiner (Garis S). 11,31 2.5.2 Analisis Menurut Ricketts (Garis E) Menurut Ricketts, analisis konveksitas jaringan lunak wajah seseorang dipengaruhi oleh garis E. Garis E merupakan garis yang ditarik dari titik pogonion kulit (Pog ) ke titik Pronasale (Pr) (Gambar 13). Seseorang mempunyai profil yang harmonis jika titik Labrale superior (Ls) terletak 2-4 mm di belakang garis E dan titik Labrale inferior (Li) 1-2 mm di belakang garis E. Apabila letak titik Ls lebih dari 4 mm di belakang garis E maka profil wajah tampak cekung, juga sebaliknya profil wajah akan tampak cembung jika Li terletak di depan garis E. 11,14,30

Gambar 13. Analisis jaringan lunak wajah menurut Rickets (Garis E). 14,30 2.5.3 Analisis Menurut Merrifield (Sudut Z) Menurut Merrifield, garis profil wajah merupakan garis yang ditarik dari titik Pogonion kulit (Pog ) dengan titik paling depan dari Labrale superior (Ls) dan Labrale inferior (Li). Sudut Z dibentuk oleh perpotongan antara bidang Frankfurt horizontal dengan garis profil tersebut. (Gambar 14). Nilai ideal sudut ini berkisar 80 ± 9 o. 11,28 Gambar 14. Analisis jaringan lunak wajah menurut Merrifield (Sudut Z). 11

2.5.4 Analisis Menurut Holdaway (Sudut H) Holdaway menggunakan garis-h untuk menganalisis keseimbangan dan keharmonisan profil jaringan lunak. Garis-H ini diperoleh dengan menarik garis dari titik Pogonion kulit (Pog ) ke titik Labial superior (Ls) (Gambar 15). 2,5,27-29 Menurut Jacobson dan Vlachos, analisis Holdaway lebih berani, terperinci, jelas dan luas dalam pembahasannya mengenai profil jaringan lunak yang seimbang dan harmonis, yaitu terdiri dari jarak Pronasale (Pr) terhadap garis-h, kedalaman sulkus Labialis superior (Ls), kedalaman sulkus Labialis inferior (Li), jarak bibir bawah ke garis-h, tebal bibir atas, kurvatura bibir atas, besar sudut fasial, tebal dagu, strain bibir atas, besar sudut-h dan konveksitas skeletal. Oleh karena itu penelitian ini secara khusus akan membahas mengenai konveksitas skeletal dan konveksitas jaringan lunak wajah berdasarkan sudut-h. 11,26,27 Yang dimaksud dengan sudut-h adalah sebuah sudut yang dibentuk oleh perpotongan garis-h dengan garis N -Pog (Gambar 15). Sudut-H juga digunakan dalam penentuan konveksitas jaringan lunak adalah cembung, lurus atau cekung. Besar sudut-h yang harmonis dan seimbang berkisar 7 o - 15 o. Apabila sudut-h lebih besar dari 15 o maka konveksitas profil wajah menunjukkan cembung sedangkan jika sudut-h lebih kecil dari 7 o menunjukkan bentuk profil konveksitas yang cekung oleh karena letak Pog lebih ke posterior atau letak titik Ls lebih ke anterior. 11 Berdasarkan analisis Holdaway, 10 o merupakan sudut-h yang paling ideal dengan nilai konveksitas wajah 0 mm. Profil yang harmoni dapat dilihat jika nilai konveksitas skeletal dan sudut-h seimbang. Apabila konveksitas skeletal lebih besar dari besar sudut-h atau tidak sesuai maka kemungkinan yang terjadi adalah pertumbuhan fasial yang tidak seimbang. 2,11

Gambar 15. Analisis jaringan lunak wajah menurut Holdaway 11,27,28 2.6 Suku Proto Melayu Suku atau ras adalah sekelompok manusia yang dapat dibedakan dari kelompok lain dengan ciri-ciri jasmaniah tertentu yang diperoleh dari keturunan, sesuai dengan hukum genetika. 19 Sebagian besar populasi penduduk Indonesia didominasi oleh suku Paleomongoloid atau disebut juga suku Melayu. Suku Paleomongoloid terdiri atas suku Proto Melayu (Melayu tua) dan suku Deutro Melayu (Melayu muda). Pada tahun 2000SM., suku Proto Melayu pertama kalinya datang ke Indonesia kemudian pada tahun 1500SM, suku Deutro Melayu mulai berdatangan ke Indonesia. 19 Suku Proto Melayu terdiri dari suku Batak di Sumatera Utara, Dayak di Kalimantan Barat dan Toraja di Sulawesi Barat pada awalnya menempati pesisir pantai. Sedangkan suku Deutro Melayu terdiri dari suku Aceh, Melayu, Minangkabau, Betawi, Sunda, Jawa, Lampung, Madura, Bali, Makasar, Bugis dan Manado. 18,19

Suku Proto Melayu yang menempati pulau Sumatera adalah suku Batak. Suku Batak memiliki beberapa sub suku yang masih memiliki ikatan kuat antara satu dengan lainnya, yaitu sub suku Toba, Mandailing, Karo, Simalungun, dan Pakpak. Namun, ada juga yang menyebut sebelas, yaitu kelima sub tersebut ditambah dengan Pasisir, Angkola, Padang Lawas, Melayu, Nias, dan Alas Gayo. Kelompok Proto Melayu memiliki bentuk kepala yang panjang (dolichocephali) sedangkan kelompok Deutro Melayu memiliki bentuk kepala yang pendek (brachycephali). 19