KESANTUNAN BERBAHASA DALAM PERSPEKTIF PRAGMATIK

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pragmatik pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf yang bernama

BAB II KAJIAN TEORI. keakuratan data. Teori-teori tersebut adalah teori pragmatik, aspek-aspek situasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. dalam penelitian ini. Hasil penelitian yang memiliki kaitan dengan penelitian ini,

BAB II KERANGKA TEORI. ini, yang berkaitan dengan: (1) pengertian pragmatik; (2) tindak tutur; (3) klasifikasi

PRAGMATIK. Disarikan dari buku:

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa,

TINDAK TUTUR DALAM PROSES BELAJAR-MENGAJAR PADA TAMAN KANAK-KANAK DHARMA WANITA KELURAHAN WAPUNTO KECAMATAN DURUKA KABUPATEN MUNA (KAJIAN PRAGMATIK)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Tindak tutur dapat dikatakan sebagai suatu tuturan saat seseorang

TINDAK TUTUR DAN KESANTUNAN BERBAHASA DI KANTIN INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI

TINDAK TUTUR EKSPRESIF PADA INTERAKSI PEMBELAJARAN GURU DAN SISWA KELAS 1 SD TAHUN AJARAN 2011/2012

TINDAK TUTUR EKSPRESIF PADA FILM MIMPI SEJUTA DOLAR KARYA ALBERTHIENE ENDAH. Suci Muliana Universitas Sebelas Maret (UNS)

BAB V PENUTUP. bab sebelumnya. Analisis jenis kalimat, bentuk penanda dan fungsi tindak tutur

Abstrak. ILLOCUTIONARY SPEECH ACT OF INDONESIA LANGUAGE LEARNING INTERACTION (An Ethnography Communication in Ehipassiko Senior High School BSD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan menggunakan referensi yang berhubungan, ini tidak terlepas dari buku-buku dan karya

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Istilah dan teori tentang tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J. L.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 LANDASAN TEORITIS

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan manusia, karena melalui bahasa manusia dapat saling berhubungan

BAB I PENDAHULUAN. interaksi antarpesona dan memelihara hubungan sosial. Tujuan percakapan bukan

Tabel 1 Tindak Tutur Mengkritik dalam Acara Sentilan Sentilun di Metro TV

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sosial kita selalu berkomunikasi dengan menggunakan

KESANTUNAN TINDAK TUTUR DALAM INTERAKSI AKADEMIK

BAB II KAJIAN PUSTAKA

REALISASI TINDAK TUTUR DIREKTIF MEMINTA DALAM INTERAKSI ANAK GURU DI TK PERTIWI 4 SIDOHARJO NASKAH PUBLIKASI

MAKSIM PELANGGARAN KUANTITAS DALAM BAHASA INDONESIA. Oleh: Tatang Suparman

BAB 2 IKHWAL PRAGMATIK, TINDAK TUTUR, PRINSIP KERJA SAMA, DAN IMPLIKATUR PERCAKAPAN

Jurnal Cakrawala ISSN , Volume 7, November 2013 TINDAK TUTUR PENERIMAAN DAN PENOLAKAN DALAM BAHASA INDONESIA

ILOKUSI DAN PERLOKUSI DALAM TAYANGAN INDONESIA LAWAK KLUB

WUJUD KESANTUNAN BERBAHASA MAHASISWA DALAM WACANA AKADEMIK

Bentuk Tuturan Imperatif Bahasa Indonesia dalam Interaksi Guru-Siswa di SMP Negeri 1 Sumenep

BENTUK, FUNGSI DAN JENIS TINDAK TUTUR DALAM KOMUNIKASI SISWA DI KELAS IX UNGGULAN SMP PGRI 3 DENPASAR. Ni Nyoman Ayu Ari Apriastuti

I. PENDAHULUAN. lain, sehingga orang lain mengetahui informasi untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. untuk hidup bersama. Untuk menjalani kehidupan sehari-hari antara orang yang

IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM PEMBELAJARAN OLAHRAGA PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 2 BANDAR LAMPUNG

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar

Realisasi Tuturan dalam Wacana Pembuka Proses Belajar- Mengajar di Kalangan Guru Bahasa Indonesia yang Berlatar Belakang Budaya Jawa

Tindak tutur ilokusi novel Surga Yang Tidak Dirindukan karya Asma Nadia (kajian pragmatik)

BAB I PENDAHULUAN. secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia berkomunikasi menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung. Penggunaan bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Tindak tutur adalah bagian dari pragmatik yang digagasi oleh Austin

BAB 2 PRAGMATIK DAN PROGRAM TV BERSAMA ROSSY. Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule

ILOKUSI DALAM WACANA KAOS OBLONG JOGER: SEBUAH ANALISIS PRAGMATIK. Agus Surya Adhitama Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Udayana

TINDAK TUTUR EKSPRESIF PADA BAK TRUK SEBAGAI ALTERNATIF MATERI AJAR PRAGMATIK

BAB I PENDAHULUAN. dalam bukunya Speech Act: An Essay in The Philosophy of Language dijelaskan

TINDAK TUTUR GURU DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA. Lili Hasmi Dosen STKIP Abdi Pendidukan Payakumbuh

BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Peristiwa Tutur Peristiwa tutur (speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi

KESANTUNAN IMPERATIF DALAM PIDATO M. ANIS MATTA: ANALISIS PRAGMATIK SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan. Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini ada empat, yaitu tuturan,

TINDAK TUTUR ILOKUSI DEKLARATIF PARA GURU DALAM INTERAKSI BELAJAR MENGAJAR PADA SISWA KELAS X SMK YOS SUDARSO REMBANG (KAJIAN PRAGMATIK) SKRIPSI

ARTIKEL E-JOURNAL. Oleh RASMIAYU FENDIANSYAH NIM JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. situasi tutur. Hal ini sejalan dengan pendapat Yule (2006: 82) yang. menyatakan bahwa tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang

BAB I PENDAHULUAN. karena bahasa merupakan sistem suara, kata-kata serta pola yang digunakan oleh

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Dalam penulisan proposal skripsi ini peneliti mengumpulkan data-data dari

TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU TAMAN KANAK-KANAK DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR TK AISYIYAH 29 PADANG

BAB I PENDAHULUAN. Tindak tutur merupakan tind yang dilakukan oleh penutur terhadap

TINDAK TUTUR PENGAWAS DALAM KEGIATAN SUPERVISI AKADEMIK PADA GURU SMA DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR TAHUN 2012/2013

TINDAK UJAR EKSPRESIF DALAM FILM FREEDOM WRITER KARYA ERIN GRUWELL SUATU KAJIAN PRAGMATIK JURNAL

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa adalah sistem lambang bunyi bersifat arbitrer yang dipergunakan

PRAKTIK TINDAK TUTUR ANAK KELAS B TK BINA INSAN CEMERLANG SURABAYA. Prawita Dini Arumsari

BAB I PENDAHULUAN. bersosialisasi mereka membentuk sebuah komunikasi yang bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. dituturkan. Tuturan tersebut dapat direalisasikan dalam suatu tindakan, sehingga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

TINDAK TUTUR GURU DAN SISWA SMP PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DAN IMPLIKASINYA

TINDAK TUTUR EKSPRESIF DAN KOMISIF DALAM DEBAT CALON PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 2014: STUDI ANALISIS WACANA

BAB I PENDAHULUAN. berupasistemlambangbunyiujaranyang kompleks dan aktif. Kompleks,

BAB I PENDAHULUAN. identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan

KESANTUNAN TUTURAN IMPERATIF DALAM KOMUNIKASI ANTARA PENJUAL HANDPHONE DENGAN PEMBELI DI MATAHARI SINGOSAREN

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah media komunikasi yang bersifat audio visual untuk

BAB V PENUTUP. serta berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, tuturan ekspresif dalam

REPRESENTASI KERAGAMAN DIREKTIF DALAM WACANA PERKULIAHAN PADA PROGRAM MAGISTER BAHASA INDONESIA PASCASARJANA BUMI TADULAKO PALU

BAB I PENDAHULUAN. Media massa tidak hanya memberikan informasi kepada pembaca, gagasan, baik pada redaksi maupun masyarakat umum. Penyampaian gagasan

II. LANDASAN TEORI. Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang. Cabang-cabang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri di dunia ini, manusia

BAB II LANDASAN TEORI. dengan judul Tindak Tutur Direktif Guru dalam Komunikasi Proses Belajar

BAB I PENDAHULUAN. misalnya di rumah, di jalan, di sekolah, maupundi tempat lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi dapat dilakukan oleh manusia melalui bahasa. Chaer (2010:14)

ANALISIS TINDAK TUTUR ILOKUSI DALAM NOVEL HAFALAN SHALAT DELISA KARYA TERE LIYE ARTIKEL E-JOURNAL ELFI SURIANI NIM

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRACT Keywords: rhetoric interpersonal, pragmatic, speech act, lecture, students ABSTRAK

TUTUR PUJIAN GURU DALAM INTERAKSI PEMBELAJARAN DI KELAS

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017 ISBN

Dewa Ayu Made Olivia Dita Kesari Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udaya. Abstract

JENIS TINDAK TUTUR GURU DAN RESPON SISWA DALAM KBM DI SMPN SURAKARTA. Woro Retnaningsih IAIN Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan manusia, komunikasi adalah jalan yang efektif dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam pembelajaran di sekolah menengah atas, pelajaran sains dianggap

ANALISIS TINDAK TUTUR DALAM ACARA INDONESIA LAWYERS CLUB TV ONE

TUTURAN RESPONSIF SISWA TERHADAP TUTURAN DIREKTIF GURU DALAM WACANA INTERAKSI KELAS DI SMA NEGERI 1 BATU

BAB 2 TINDAK TUTUR DAN SLOGAN IKLAN. Pandangan Austin (Cummings, 2007:8) tentang bahasa telah menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa sangat berperan penting dalam kehidupan manusia. Bahasa berfungsi

PERILAKU VERBAL GURU DALAM PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI KELAS XI SMA NEGERI 1 GIANYAR

ANALISIS TINDAK TUTUR ILOKUSI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS. Kata kunci: Tindak tutur, ilokusi, respons, kalimat, dan pembelajaran bahasa Inggris

BAB V PENUTUP. pembahasan dalam tesis ini. Adapun, saran akan berisi masukan-masukan dari. penulis untuk pengembangan penelitian selanjutnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

LOGIKA SEBAGAI PERETAS KONSTRUKSI TUTURAN IMPERATIF LITERAL

OLEH: DENIS WAHYUNI NPM:

ANALISIS TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU BAHASA INDONESIA SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 2 TANJUNGPINANG

PENDEKATAN PRAGMATIK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA. Kuswoyo Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Madiun

ANALISIS TINDAK TUTUR MARIO TEGUH DALAM ACARA GOLDEN WAYS DI METRO TV (KAJIAN PRAGMATIK) Oleh : NOVALINA SIAGIAN NIM ABSTRAK

Transkripsi:

ISBN: 978-602-361-045-7 KESANTUNAN BERBAHASA DALAM PERSPEKTIF PRAGMATIK Andi Sadapotto, Muhammad Hanafi STKIP MUHAMMADIYAH SIDRAP Sadapotto.andi@yahoo.co.id ABSTRACT: The diversity of form and function of pragmatic in politeness strategies is delivered through a variety of politeness. Based on some of politeness strategies, the authors highlight the use of strategies from the perspective of sustainability. This is in line with the views Wijana (2010) which suggests that the strategy of delivering the speech act can be realized through imperative, declarative and interrogative, or nonliteral literal meaning, and direct or indirect speech. Various forms of Politeness through formal linguistics as well as a variety of pragmatic functions can not be separated from the context of its use. That context includes (a) knowledge, (b) the situation and knowledge, (c) the situation and text, and (d) knowledge of the situation, and text. In sosiopragmatics, the context of politeness can be classified into three parts. First, the context is the context of the situation wherethe talks were going on in certain situations with the use of the language according to the situation. Second, the context is the context of the occurrence of event or course of linguistic interaction in one or more forms of speech that involves two parties, ie the speaker and hearer with the principal speech at the time, place, and specific situations. Third, the context of the speech act is the basic unit of communication as an analytical tool. The context of this speech acts can be acts assertive, directive, commissive, expressive, and declarative. Keywords: modesty, language, pragmatic ABSTRAK: Keragaman wujud formal serta fungsi pragmatik kesantunan berbahasa disampaikan melalui beragam strategi kesantunan berbahasa. Berdasarkan beberapa strategi kesantunan, penulis menyorot penggunaan strategi dari sudut pandang kelangsungannya. Hal ini sejalan dengan pandangan Wijana (2010) yang mengisyaratkan bahwa strategi penyampaian tindak tutur dapat diwujudkan melalui tuturan bermodus imperatif, deklaratif, dan interogatif, bermakna literal atau nonliteral, dan langsung atau tidak langsung. Kesantunan berbahasa melalui berbagai wujud formal linguistik serta berbagai fungsi pragmatiknya tidak dapat dilepaskan dari konteks penggunaannya. Konteks tersebut meliputi (a) pengetahuan, (b) situasi dan pengetahuan, (c) situasi dan teks, dan (d) pengetahuan, situasi, dan teks. Secara sosiopragmatik, konteks kesantunan berbahasa dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian. Pertama, konteks situasi tutur ialah konteks pembicaraan yang terjadi dalam situasi tertentu dengan penggunaan bahasa sesuai dengan situasi itu. Kedua, konteks peristiwa tutur ialah konteks terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak yaitu penutur dan mitra tutur dengan satu pokok tuturan di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Ketiga, konteks tindak tutur merupakan unit dasar komunikasi sebagai perangkat analisis. Secara ilokutif, konteks tindak tutur ini dapat berupa tindak asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Kata kunci: kesantunan, berbahasa, pragmatic LATAR BELAKANG Kesantunan berbahasa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kajian pragmatik. Ellen (2006) menegaskan bahwa kesantunan berbahasa merupakan salah satu cabang pragmatik kontemporer yang lebih populer dan merupakan peranti yang digunakan secara luas dalam berbagai kajian komunikasi antarbudaya. Bahkan, dalam tradisi Anglo Saxon, penelitian kesantunan berbahasa dilaksanakan dari perspektif pragmatik dan sosiolinguistik. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kesantunan berbahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa yang menjamin pengklasifikasiannya dalam pragmatik. Penggunaan pragmatik dalam menganalisis kesantunan berbahasa berdasarkan pandangan bahwa untuk mengungkapkan wujud, fungsi, dan strategi kesantunan berbahasa hanya 548

The Progressive and Fun Education Seminar dapat dilakukan dengan cara memahami makna atau maksud tuturan tersebut. Leech (1993) dan Wijana (1996:6) menjelaskan bahwa pragmatik adalah studi kebahasaan yang terikat konteks. Pragmatik menyangkut makna dalam hubungannya dengan hal-hal yang berkaitan dengan situasi tutur. Dalam pandangan pragmatik, komunikasi merupakan gabungan antara fungsi ilokusi dan fungsi sosial. Komunikasi bukan hanya harus lancar, melainkan juga harus memenuhi tuturan sosial. Untuk memahami kesantunan berbahasa dalam tinjauan pragmatik, maka pada bagian berikut akan dipaparkan konsep dasar yang terkait dengan pengembangan pragmatik. PEMBAHASAN a. Sejarah Perkembangan Pragmatik Istilah pragmatik digunakan dalam linguistik sejak tahun 1938 ketika Charles Morris mengembangkan linguistik semiotik. Morris mengemukakan bahwa dalam semiotik dibedakan tiga cabang kajian yaitu (a) syntactics yang mengkaji hubungan formal antara tanda yang satu dengan tanda lainnya, (b) semantics yang mengkaji hubungan antara tanda dengan objek yang ditandai, dan (c) pragmatics yang mengkaji hubungan antara tanda dengan pemakaiannya. Dalam kajian semiotik ini bahasa termasuk dalam sistem tanda. Pengertian semantik yang dikemukakan oleh Morris ini menyarankan cakupan kajian yang luas. Dalam pengertian hubungan antara bahasa dengan pemakaiannya ini, ia mengaitkan pragmatik dengan teori semantik behaviorisme. Dikatakannya bahwa untuk memahami pengertian dan ciri-ciri pragmatik secara mendalam perlu diketahui bahwa pragmatik mengkaji fenomenafenomena psikologi, biologi, dan sosiologi bahasa. Dengan demikian, linguistik terapan yang dikenal sekarang seperti Psikolinguistik, Sosiolinguistik, dan neurolinguitik termasuk dalam kajian pragmatik. Pengertian pragmatik yang dikemukakan oleh Morris ini merupakan dasar bagi pengembangan lebih lanjut oleh ahli-ahli ilmu bahasa yang lain (Syafi ie, 1989:70). Soemarmo (1988) menegaskan bahwa pragmatik pada tahun 1930-an merupakan bidang linguistik yang dianaktirikan, terutama oleh para linguis di Amerika. Dengan munculnya tulisan Austin (1962), Searle (1969), dan Grice (1975) beberapa linguis mulai mengintegrasikan pragmatik ke dalam teori tata bahasa mereka. Perhatian terhadap bidang pragmatik juga dipercepat dengan perkembangan di bidang sosiolinguistik, psikolinguistik, inteligensi artifisial, dan ilmu kognitif pada umumnya. Verhaar (1980) mengemukakan bahwa pragmatik sebagai salah satu cabang linguistik mulai berkumandang dalam percaturan dunia linguistik Amerika sejak tahun 1970-an. Pada tahun-tahun sebelumnya, khususnya tahun 1930-an, linguistik dianggap hanya mencakup fonetik, morfologi, dan fonemik. Di era lingusitik itu yang lazim disebut dengan linguistik era Bloomfield, kajian sintaksis dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan makna dikesampingkan karena dianggapnya terlampau sulit untuk diteliti dan dilibatkan dalam proses analisis. Dengan berkembangnya teori linguistik oleh Chomsky pada tahun 1960- an, sintaksis mulai mendapatkan tempat di dalam linguistik. Linguis yang berlatar belakang filsafat ini menegaskan bahwa sintaksis merupakan bagian linguistik yang sifatnya sentral. Gagasan ini kemudian melahirkan paradigma baru di dalam dunia linguistik. Sekalipun linguistik Chomsky sering dianggap relatif lebih maju dibandingkan dengan linguistik era sebelumnya, bagi tokoh ini masalah makna masih dianggapnya sulit dilibatkan dalam proses analisis (Rahardi, 2005:44). Pada awal tahun 1970-an, pragmatik mulai berkumandang di belahan bumi Amerika. Para linguis yang bernuansa transformasi generatif seperti Ross dan Lakoff menyatakan bahwa kajian sintaksis tidak dapat memisahkan diri dengan konteksnya, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan munculnya tokoh-tokoh tersebut, tanda runtuhnya hipotesis dan teori bahasa yang berkembang di masa-masa sebelumnya. Maka, pada masa inilah sosok pragmatik mulai mendapat tempat di bumi linguistik (Purwo, 1990:10). 549

ISBN: 978-602-361-045-7 Lain halnya di belahan bumi Eropah, kegiatan menelaah bahasa dengan mempertimbangkan makna dan situasi (misalnya aliran Praha, aliran Firth) sudah berkembang sejak tahun 1940-an. Aliran Firth tersebut dikenal dengan nama Firthian Linguistics dengan basis di Inggris yang ditopang aliran Praha (Prague School) dengan basis di Checozlovakia. Aliran Praha ditokohi oleh Mathesius, Trubetzkoy, Roman Jakobson, Vachek, dan beberapa kawan lainnya. Pada tahun 1960-an M.A.K. Halliday mengembangkan teori sosial mengenai bahasa, maka semakin jelaslah bahwa linguistik tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dengan segala latar belakang sosiokultural yang mewadahi dan melatarbelakanginya (Rahardi, 2000:44-45) Firth (dalam Halliday dan Hasan, 1994:11) mengemukakan bahwa kajian bahasa tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks situasi yang meliputi pelibat (participants), tindakan pelibat (baik tindak tutur maupun bukan tutur), ciri-ciri situasi lain yang relevan sepanjang hal itu mempunyai sangkut paut tertentu dengan hal yang sedang berlangsung, dan dampak-dampak tindak tutur yang diwujudkan dengan bentukbentuk perubahan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang dituturkan oleh pelibat dalam situasi. Perhatian terhadap bidang kajian pragmatik ini diresmikan pada tahun 1977 dengan timbulnya sebuah majalah Journal of Pragmatics yang menerbitkan karyakarya tulis bernuansa pragmatik. Pada saat itu terbentuk pula suatu organisasi IPRA (International Pragmatics Associaation) dan konferensi yang membahas soal pragmatik juga mulai timbul. Namun, majalah dan konferensi-konferensi itu tidak memberikan gambaran yang jelas tentang bidang kajian yang termasuk penelitian pragmatik (Soemarmo, 1988:160). b. Batasan Pragmatik Pada dasarnya pragmatik merupakan studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dengan pemakaian bentuk-bentuk itu. Levinson (1983:9) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari hubungan antara bahasa dengan konteksnya yang ditatabahasakan atau dikodekan dalam struktur pemakaian bahasa. Yule (2006) memandang pragmatik dalam empat ruang lingkup. Pertama, pragmatik merupakan studi tentang maksud penutur. Kedua, pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual. Ketiga, pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan. Keempat, pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari jarak hubungan. Wijana (1996) mendefinisikan pragmatik sebagai studi kebahasaan yang terikat konteks. Artinya, pragmatik sebagai studi bahasa mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa itu. Konteks tersebut meliputi konteks yang bersifat sosial dan sosietal. Konteks sosial merupakan konteks yang timbul sebagai akibat dari munculnya interaksi antaranggota masyarakat dalam suatu masyarakat tutur dan budaya tertentu. Konteks sosietal dibangun oleh kedudukan anggota masyarakat dalam institusi-institusi sosial yang ada di dalam masyarakat dan budaya tertentu. Morris (dalam Syafi ie, 1989:70) memberikan batasan bahwa pragmatik merupakan studi bahasa yang mempelajari hubungan antara tanda dengan penuturnya. Dalam hal ini pragmatik dipandang sebagai studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur dan ditafsirkan oleh pendengar. Oleh karena itu, studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturantuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri. Studi ini perlu melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Artinya, diperlukan suatu pertimbangan mengenai bagaimana cara penutur mengatur apa yang ingin mereka katakan yang disesuaikan dengan orang yang mereka ajak bicara, di mana, kapan, dan dalam keadaan apa. 550

The Progressive and Fun Education Seminar Parker (dalam Rahardi, 2010:48-49) menyatakan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Adapun yang dimaksud dengan hal itu adalah cara bagaimana satuan lingual tertentu digunakan dalam komunikasi yang sebenarnya. Pakar ini membedakan pragmatik dengan studi tata bahasa yang dianggapnya sebagai studi seluk beluk bahasa secara internal. Menurutnya, studi tata bahasa tidak perlu dikaitkan dengan konteks, sedangkan studi pragmatik mutlak dikaitkan dengan konteks. Berkenaan dengan hal tersebut, makla studi tata bahasa dapat dianggap sebagai studi yang bebas konteks (context independent). Sebaliknya, studi pemakaian tata bahasa dalam komunikasi yang sebenarnya mutlak dikaitkan dengan konteks yang melatarbelakangi dan mewadahinya. Studi bahasa yang demikian dapat disebut sebagai studi yang terikat konteks (context dependent). Selanjutnya, Rahardi (2010:50) menegaskan bahwa pragmatik mengkaji maksud penutur dalam menuturkan sebuah satuan lingual tertentu pada sebuah bahasa. Oleh karena yang dikaji dalam pragmatik adalah makna, dapat dikatakan bahwa pragmatik dalam banyak hal sejajar dengan semantik yang juga mengkaji makna. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa pragmatik mengkaji makna satuan lingual secara eksternal, sedangkan semantik mengkaji makna satuan lingual secara internal. Makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat terikat konteks, sedangkan makna yang dikaji dalam semantik bersifat bebas konteks. Makna yang dikaji dalam semantik bersifat diadik, sedangkan makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat triadik. Pragmatik mengkaji bentuk bahasa untuk memahami maksud penutur, sedangkan semantik mempelajari bentuk bahasa untuk memahami makna satuan lingual itu. Berkenaan dengan makna diadik dan triadik di atas, Wijana (1996) menyebutkan bahwa makna jenis pertama dapat dirumuskan dengan pertanyaan Apa makna x itu?, sedangkan makna jenis kedua dirumuskan dengan pertanyaan Apakah yang Anda maksud dengan berkata x itu?. Berdasarkan beberapa batasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari tentang penggunaan bahasa manusia yang pemaknaannya ditentukan oleh konteks yang melatarbelakangi bahasa itu. Konteks itu dapat bersifat sosial maupun sosietal. Konteks sosial adalah konteks yang timbul akibat munculnya interaksi antaranggota masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Konteks sosietal adalah konteks yang didasarkan pada kedudukan anggota masyarakat dalam institusi-institusi sosial yang ada di dalam masyarakat sosial dan budaya tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dasar munculnya konteks sosietal adalah adanya kekuasaan (power), sedangkan dasar dari konteks sosial adalah adanya solidaritas (solidarity). c. Konteks Situasi Tutur Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa pragmatik adalah studi bahasa yang mendasarkan analisisnya pada konteks. Konteks yang dimaksud adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan. Dengan mendasarkan pada gagasan Leech (1983) konteks yang semacam itu dapat disebut dengan konteks situasi tutur (speech situational contexts). Konteks situasi tutur menurutnya mencakup aspek-aspek berikut: 1) penutur dan lawan tutur, 2) konteks tuturan, 3) tujuan tuturan, 4) tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan 5) tuturan sebagai produk tindak verbal. Secara singkat setiap aspek situasi tutur itu dapat diuraikan sebagai berikut. 1) Penutur dan lawan tutur di dalam beberapa literatur, khususnya dalam Searle (1983) lazim dilambangkan dengan S (speaker) yang berarti pembicara atau penutur dan H (hearer) yang dapat diartikan pendengar atau mitra tutur. 2) Konteks tuturan telah diartikan bermacam-macam oleh para linguis. Konteks dapat mencakup aspek-aspek tuturan yang relevan baik secara fisik maupun nonfisik. Konteks dapat pula diartikan sebagai semua latar belakang 551

ISBN: 978-602-361-045-7 pengetahuan yang diasumsikan samasama dimiliki penutur dan mitra tutur serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan penutur itu di dalam proses bertutur. 3) Tujuan tutur berkaitan erat dengan bentuk tuturan seseorang. Dikatakan demikian karena pada dasarnya tuturan itu terwujud karena dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tutur yang jelas dan tertentu sifatnya. Secara pragmatik, satu bentuk tutur dapat memiliki maksud dan tujuan yang bermacam-macam. Demikian sebaliknya, satu maksud atau tujuan tutur dapat diwujudkan dengan bentuk tuturan yang berbeda-beda. Di sinilah dapat dilihat perbedaan mendasar antara pragmatik yang berorientasi fungsional dengan tata bahasa yang berorientasi formal atau struktural. 4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas merupakan bidang yang ditangani pragmatik. Pragmatik mempelajari tindak verbal yang terdapat dalam situasi tutur tertentu, dapat dikatakan bahwa yang dibicarakan di dalam pragmatik itu bersifat konkret karena jelas keberadaan siapa peserta tuturnya, di mana tempat tuturnya, kapan waktu tuturnya, dan seperti apa konteks situasi tuturnya secara keseluruhan. 5) Tuturan dapat dipandang sebagai sebuah produk tindak verbal. Dapat dikatakan demikian karena pada dasarnya tuturan yang ada di dalam sebuah pertuturan itu adalah hasil tindak verbal para peserta tutur dengan segala pertimbangan konteks yang melingkupi dan mewadahinya. d. Tindak Tutur Sebagai Media Ekspresi Kesantunan Berbahasa Istilah tindak tutur pertama kali diperkenalkan oleh Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard pada tahun 1959. Teori yang berasal dari materi kuliah itu kemudian dibukukan oleh J.O. Urmson (1959) dengan judul How to do Things with Word? Namun, teori tersebut baru menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan buku yang berjudul Speech Act An Essay in the Philosophy of Language. Chaer (2010) menjelaskan bahwa tindak tutur merupakan proses atau kegiatan berkomunikasi yang melibatkan kemampuan berbahasa penutur. Sejalan dengan hat tersebut, Richards (1995:6-7) menegaskan bahwa aktivitas bertutur atau berujar merupakan sebuah tindakan. Dengan demikian, semua kegiatan bertutur merupakan tindak tutur. Dalam pandangan ini, tindak tutur dapat diartikan sebagai unsur terkecil dalam aktivitas bertutur yang mempunyai fungsi tertentu. Hymes (1974) menjelaskan bahwa tindak tutur harus dibedakan dari kalimat. Perbedaan itu dapat dilihat dari bentuk tindak tutur yang memiliki keragaman dan hanya dapat dikenali melalui konteks yang melingkupinya. Secara formal sebuah tuturan dapat diidentifikasi berdasarkan konteks linguistik dan nonlinguistik. Dari segi linguistik, sebuah tuturan dapat berisi serangkaian kalimat dan dapat pula berisi kata yang memiliki konteks nonlinguistik seperti situasi, partisipan, waktu dan tempat, tujuan, dan sebagainya. Dengan demikian, sebuah kata dapat dipandang sebagai tuturan asalkan memiliki konteks yang melingkupinya. Austin (dalam Searle, 1969) menjelaskan bahwa tindak tutur dalam situasi tuturan secara keseluruhan merupakan satu-satunya fenomena aktual yang kita lakukan sehari-hari. Bahasa yang kita gunakan baru bermakna jika diwujudkan dalam tuturan. Bahasa tersebut digunakan dengan melibatkan penutur dalam situasi, sehingga memungkinkan tuturan tersebut bermakna bagi penutur tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, Halliday (1987) menyatakan bahwa bahasa sebagai sarana sosial berfungsi melayani kebutuhan penuturnya untuk mencapai tujuan-tujuan komunikasi. Tujuan-tujuan komunikasi tersebut menunjukkan bahwa bahasa itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan bersifat sosial. Kebutuhan sosial tersebut merupakan makna yang mendasari tindak tutur itu. Selanjutnya Searle (1969) menyatakan bahwa dalam praktik 552

The Progressive and Fun Education Seminar penggunaan bahasa terdapat tiga macam tindak tutur. Ketiga macam tindak tutur itu berturut-turut dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) tindak lokusioner (locutionary acts), (2) tindak ilokusioner (illocutionary acts), (3) tindak perlokusioner (perlocutionary acts). Tindak lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Tindak tutur ini dapat disebut the act of saying something. Dalam tindak lokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh si penutur. Jadi, tuturan tanganku gatal misalnya, semata-mata hanya dimaksudkan untuk memberi tahu si mitra tutur bahwa pada saat tuturan itu dimunculkan tangan penutur sedang dalam keadaan gatal. Tindak ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something. Tuturan tanganku gatal yang diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberi tahu si mitra tutur bahwa pada saat dituturkannya tuturan itu rasa gatal sedang bersarang pada tangan penutur. Namun, lebih dari itu bahwa penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan tertentu berkaitan dengan rasa sakit gatal pada tangannya itu. Tindak perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh (affect) kepada mitra tutur. Tindak tutur ini dapat disebut dengan the act of affecting someone. Tuturan tanganku gatal misalnya, dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh rasa takut kepada mitra tutur. Rasa takut itu muncul karena yang menuturkan tuturan itu berprofesi sebagai seorang tukang pukul yang kesehariannya sangant erat dengan kegiatan memukul dan melukai orang lain. Selanjutnya, Searle dalam Rahardi (2010) menggolongkan tindak tutur ilokusi itu ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai berikut. (1) Asertif (assertives) yakni bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan (stating), menyarankan (suggesting), membual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming). (2) Direktif (directives) yakni bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar mitra tutur melakukan tindakan, misalnya memesan (ordering), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasihati (advising), dan merekomendasi (recommending). (3) Ekspresif (ekspressives) adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blaming), memuji (praising), dan berbelasungkawa (condoling). (4) Komisif (commissives) yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji (promising), bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering). (5) Deklarasi (declarations) yakni bentuk tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataannya, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing), membabtis (christening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan (excommunicating), dan menghukum (sentencing). Satu hal mendasar dari penggolongan tindak tutur ke dalam bentukbentuk tuturan menurut tokoh ini adalah bahwa satu tindak tutur dapat memiliki maksud dan fungsi yang bermacam-macam. Lain halnya dengan Leech (1983, Blum- Kulka (1987), justru menyatakan hal yang sebaliknya yakni bahwa satu maksud atau fungsi bahasa dapat dinyatakan dengan bentuk tuturan yang bermacam-macam. Menyuruh (commanding) misalnya, dapat dinyatakan dengan berbagai macam cara seperti (1) dengan kalimat imperatif Tutup jendela itu, (2) dengan kalimat performatif eksplisit Saya minta Saudara menutup jendela itu, (3) dengan kalimat performatif berpagar Sebenarnya saya mau minta Saudara menutup jendela itu, (4) 553

ISBN: 978-602-361-045-7 dengan pernyataan keharusan Saudara harus menutup jendela itu, (5) dengan pernyataan keinginan Saya ingin jendela itu ditutup, (6) dengan rumusan saran Bagaimana kalau jendla itu ditutup, (7) dengan persiapan pertanyaan Saudara dapat menutup jendela itu?, (8) dengan isyarat yang kuat Dengan jendela seperti itu, saya kedinginan, dan (9) dengan isyarat halus Saya kedinginan. KESIMPULAN Berdasarkan berbagai cara menyatakan suruhan dapat digarisbawahi dua hal pokok yakni (1) adanya tuturan langsung dan (2) adanya tuturan tidak langsung. Tingkat kelangsungan tuturan itu dapat diukur berdasarkan besar kecilnya jarak tempuh. Artinya, jarak antara titik ilokusi yang ada dalam diri penutur dengan titik tujuan ilokusi yang terdapat dalam diri si mitra tutur. Semakin jauh jarak tempuhnya, semakin tidak langsunglah tuturan itu. Demikian pula sebaliknya, semakin dekat jarak tempuhnya akan semakin langsunglah tuturan itu. Tingkat kelangsungan tuturan dapat pula diukur berdasarkan kejelasan pragmatiknya. Artinya, semakin tembus pandang maksud sebuah tuturan akan semakin langsunglah maksud tuturan tersebut. Sebaliknya, semakin tidak tembus pandang maksud sebuah tuturan akan semakin tidak langsunglah maksud tuturan itu. Apabila kejelasan pragmatik itu dikaitkan dengan kesantunan, semakin jelas maksud sebuah tuturan akan semakin tidak santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin tidak tembus pandang maksud suatu tuturan akan menjadi semakin santunlah tuturan itu. DAFTAR PUSTAKA Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. Cambridge: Harvard University Press Blum-Kulka, Shoshana. 1987. The Metapragmatics of Politeness in Israel Society, in Richard Watts, S. Ide, K. Ehlich (Eds.). Politeness in Language: Studies in its History, Theory and Practise. Berlin: Mouton de Gruyter. Brown, P.dan Yule, George. 1983. Discourse Analysis.Cambridge: CUP Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta. Ellen, Gino. 2006. Kritik Teori Kesantunan. Terjemahan oleh Abdul Syukur Ibrahim (Peny.). Surabaya: Airlangga University Press. Grice, J. 1975. The Thread of Discourse. The Hangue: Mouton. Halliday, M.A.K. 1987. Language Stucture and Language Fungtion dalam John Lyons et.al. New Horizonin Linguistics. London: Penguin. Halliday, M.A.K. dan Hasan, Ruqaiya. 1985. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. Terjemahan oleh Asruddin Barori Tou. 1994. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hymes, Dell. 1974. Foundation in Sociolinguistics: An Etnographic Approach. Philadelphia: University of Pennsylvan Press, Inc. Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London: Logman. Leech. Geoffrey. 1983. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Terjemahan oleh M.D.D. Oka. 1993. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press) Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatic. London: Cambridge University Press. Rahardi, Kunjana. 2000. Imperatif dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik: Berkenalan dengan Ilmu Bahasa. Malang: Dioma. Rahardi, Kunjana. 2010. Pragmatik: Kesantunan Impertaif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Searle, John. R. 1983. Speech Act: An essay in the Philosophy of Language. Cambridge: Cambridge University Press. Soemarmo, Marmo. 1988. Pragmatik dan Perkembangan Mutakhirnya. PELLBA I: 43-54. Sumarsono. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda Syafi ie, Imam. 1989. Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. Kumpulan Karangan Ilmiah IKA IKIP Malang. Malang: IKA IKIP Malang. 554

The Progressive and Fun Education Seminar Verhaar, J.W.M. 1980. Teori Linguistik dan Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Kanisius. Wijana, I Dewa Putu dan Rohmadi, Muhammad. 2010. Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Ofset. Yule, George. 2006. Pragmatik. Terjemahan oleh Indah Fajar Wahyuni. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 555