TINGKAT PREVALENSI DAN DERAJAT INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI PERAH DI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG MIRA RAMALIA RIANTI

dokumen-dokumen yang mirip
Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat

Prevalensi Parasit Gastrointestinal Ternak Sapi Berdasarkan Pola Pemeliharaan Di Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit

HUBUNGAN VARIASI PAKAN TERHADAP MUTU SUSU SEGAR DI DESA PASIRBUNCIR KECAMATAN CARINGIN KABUPATEN BOGOR

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINGKAT INFESTASI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi adalah ternak ruminansia yang memiliki nilai ekonomi tinggi dalam

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Mengwi, Badung

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat. Materi

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

Prevalensi Penyakit Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Potong Peranakan Ongole (PO) dan Sapi Simental di Kecamatan Laren Kabupaten Lamongan

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare.

BAB 2. TARGET LUARAN BAB 3. METODE PELAKSANAAN

Kolokium: Ulil Albab - G

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

PREVALENSI CACING SALURAN PENCERNAAN SAPI PERAH PADA PETERNAKAN RAKYAT DI PROVINSI LAMPUNG. (Skripsi) Oleh HINDUN LARASATI

Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia Vol. 1(1): 8-15, April 2017

PENDAHULUAN. Latar Belakang. baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah kesehatan kurang

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

PENDAHULUAN. produksi yang dihasilkan oleh peternak rakyat rendah. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), produksi susu dalam negeri hanya

Peternakan sapi perah umumnya tergabung dalam suatu koperasi. Perhatian dan pengetahuan koperasi terhadap penyakit cacing (helminthiasis) saluran cern

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODE LARVALCULTURE SEBAGAITEKNIKUNTUK MENGIDENTIFIKASI JENIS CACING NEMATODA SALURAN PERCERNAAN PADARUMINANSIAKECIL

PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2014 Januari 2015 di Kecamatan

Buletin Veteriner Udayana Vol.1 No.2. :41-46 ISSN : Agustus 2009 PREVALENSI INFEKSI CACING TRICHURIS SUIS PADA BABI MUDA DI KOTA DENPASAR

INFESTASI PARASIT CACING NEOASCARIS VITULORUM PADA TERNAK SAPI PESISIR DI KECAMATAN LUBUK KILANGAN KOTA PADANG SKRIPSI. Oleh :

KASUS INFEKSI CACING PARASIT PADA RUSA TOTOL (Axis axis) DI KAWASAN WISATA ALAM KAMPUNG BATU MALAKASARI KABUPATEN BANDUNG NOVITA SEPTIA LINGGA

MATERI DAN METODE. Materi

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

TEKNIK PENGOLAHAN UMB (Urea Molases Blok) UNTUK TERNAK RUMINANSIA Catur Prasetiyono LOKA PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KEPRI

JURNAL GEOGRAFI Geografi dan Pengajarannya ISSN Volume 14, Nomor 1, Juni 2016

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur

Reny Debora Tambunan, Reli Hevrizen dan Akhmad Prabowo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung ABSTRAK

KLASIFIKASI PENGGEMUKAN KOMODITAS TERNAK SAPI Oleh, Suhardi, S.Pt.,MP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama

HUBUNGAN KECACINGAN PADA TERNAK SAPI DI SEKITAR TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS DENGAN KEMUNGKINAN KEJADIAN KECACINGAN PADA BADAK SUMATERA

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI

KECERNAAN PROTEIN RANSUM DAN KANDUNGAN PROTEIN SUSU SAPI PERAH AKIBAT PEMBERIAN RANSUM DENGAN IMBANGAN KONSENTRAT DAN HIJAUAN YANG BERBEDA SKRIPSI

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas

Infestasi Cacing Hati (Fasciola sp.) dan Cacing Lambung (Paramphistomum sp.) pada Sapi Bali Dewasa di Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru

Prevalensi Infeksi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Sapi Bali di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung Denpasar

MATERI DAN METODE. Materi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga ABSTRAK

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODE PENELITIAN. Gambar 2 Ternak dan Kandang Percobaan

MATERI DAN METODE. Metode

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Desa Kertosari Kecamatan Tanjungsari pada bulan

TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN 2. BIBIT

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERBAU

Persentase positif

Epidemiologi Helminthiasis pada Ternak Sapi di Provinsi Bali (Epidemiology of Helminthiasis in Cattle in Bali Province )

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

PARASIT GASTROINTESTINAL PADA SAPI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI PROGO YOGYAKARTA. The Gastrointestinal Parasites Cows on Progo Watershed in Yogyakarta

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING. seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan, dan tenaga

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu. Materi

Evaluasi Kecukupan Nutrien pada Sapi Perah Laktasi... Refi Rinaldi

Kata kunci: Albumin, Cross sectional studies, Fasciolosis, Fasciola gigantica, Sapi Bali.

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimanfaatkan sebagai produk utama (Sutarto dan Sutarto, 1998). Produktivitas

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Ternak perah merupakan ternak yang mempunyai fungsi sebagai penghasil

PENINGKATAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH LAKTASI MELALUI PERBAIKAN PAKAN SKRIPSI. Disusun oleh: DEDDI HARIANTO NIM:

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

HUBUNGAN MANAJEMEN PEMELIHARAAN TERHADAP KEJADIAN INFEKSI CACING NEMATODA PADA KELOMPOK TERNAK SAPI DI PETANG KECAMATAN PETANG, BADUNG SKRIPSI

KERAGAAN INFEKSI PARASIT GASTROINTESTINAL PADA SAPI BALI MODEL KANDANG SIMANTRI

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

Transkripsi:

TINGKAT PREVALENSI DAN DERAJAT INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI PERAH DI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG MIRA RAMALIA RIANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Tingkat Infeksi dan Derajat Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Perah di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2014 Mira Ramalia Rianti NIM B04100184

ABSTRAK MIRA RAMALIA RIANTI. Tingkat Prevalensi dan Derajat Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Perah di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh YUSUF RIDWAN. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi dan derajat infeksi cacing saluran pencernaan pada peternakan sapi perah di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Sampel tinja diambil dari 120 ekor sapi yang berasal dari 3 komda (komisaris daerah) dan diperiksa dengan metode modifikasi Mc Master dan metode modifikasi filtrasi sedimentasi untuk mendeteksi keberadaan telur cacing dan menentukan jumlah telur per gram tinja (TTGT). Faktor resiko yang berkaitan dengan manajemen peternakan diperoleh dengan kuesioner melalui wawancara langsung pada peternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 120 sampel tinja yang diperiksa, sebanyak 34 sampel tinja (28.3%) positif terinfeksi cacing. Sebanyak 30 sampel (25%) positif Strongyle, dan 4 sampel (3.3%) positif Trichuris spp. Jumlah telur per gram tinja Strongyle sebanyak 106.63±105.65 dan Trichuris spp. sebanyak 105±95.74 yang termasuk infeksi ringan. Tingkat prevalensi Strongyle tertinggi pada sapi kelompok umur <6 bulan (50%), sedangkan tingkat prevalensi Trichuris spp. tertinggi pada sapi kelompok umur 6-12 bulan (12.5%). Berdasarkan lokasi, prevalensi Strongyle tertinggi (27.5%) ditemukan di Komda Mekar mulya, sedangkan tingkat prevalensi Trichuris spp. tertinggi (7.5%) ditemukan di komda Padahurip. Kata Kunci: Prevalensi, Derajat Infeksi, Strongyle, Trichuris spp. ABSTRACT MIRA RAMALIA RIANTI. The Prevalence Rate and Intensity of Gastrointestinal Helminth Infection on Dairy Cattle in Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Supervised by YUSUF RIDWAN. The objective of this study was to determine the prevalence and intensity of gastrointestinal helminth infections on the dairy cattle in Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Fecal samples were collected from 120 cows in 3 Komda and examined with Mc Master and sedimentation filtration modification method to detect the presence of worm eggs and determine the numbers of egg per gram of feces (EPG). Risk factors associated with farm management were obtained by questionnaires through direct interviews with farmers. The results showed that of the 120 examined fecal samples, as many as 34 of fecal samples were positive (28.3%) infected with nematode. There were 30 samples (25%) positive to Strongyle, and 4 samples (3.3%) positive to Trichuris spp. The EPG Strongyle was 106.63±105.65 and EPG Trichuris spp. was 105±95.74 which was catagorized as ligth infection. The highest prevalence of Strongyle infection was seen in the age group <6 months (50%), whereas the highest prevalence Trichuris spp. was seen in the age group 6-12 months (12.5%). Based on location, the highest Strongyle prevalence was found in Komda Mekar Mulya (27.5%), and the highest Trichuris spp. prevalence was found in Komda Padahurip (7.5%). Keywords: Prevalence, Intensity of Infection, Strongyle, Trichuris spp.

TINGKAT PREVALENSI DAN DERAJAT INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI PERAH DI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG MIRA RAMALIA RIANTI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah Tingkat Prevalensi dan Derajat Infeksi Cacing Saluran Pencernaan Pada Sapi Perah di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Drh Yusuf Ridwan, MSi selaku pembimbing, Prof. Drh Deni Noviana, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik, serta Dr Drh Heru Setijanto, PAVet (K) yang telah banyak memberi saran untuk penelitian ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Sulaeman yang telah membantu selama berada di Laboratorium. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada KPBS Pangalengan, terutama Drh Asep Rahmat Khaerudin yang telah memberikan izin untuk mengambil sampel di wilayah kerja KPBS Pangalengan, Drh Triabadi, Bapak Tida, dan semua pihak yang telah membantu selama pengambilan sampel. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Marsitha sahabat dari TPB, serta Vian, Adis, teman-teman kelas C dan ACROMION atas semangat dan kerjasamanya selama di FKH. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Mamah, Bapak, Rizal, Rizki, Sarah, Chaca serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Desember 2014 Mira Ramalia Rianti

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Sapi Perah 2 Manajemen Peternakan Sapi Perah di Indonesia 2 Kecacingan Pada Sapi 3 METODE 4 Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi Penelitian 4 5 Rancangan Studi 5 Ukuran Sampel 5 Pengambilan Sampel Tinja 5 Pemeriksaan Sampel Tinja 6 Prosedur Analisis Data 6 HASIL DAN PEMBAHASAN 7 Manajemen Peternakan Sapi Perah di Kecamatan Pangalengan 7 Tingkat Prevalensi dan Derajat Infeksi Nematodosis Pada Sapi 8 Tingkat Prevalensi Berdasarkan Umur Sapi 9 Tingkat Prevalensi Berdasarkan Komda 10 SIMPULAN DAN SARAN 10 Simpulan 10 Saran 11 DAFTAR PUSTAKA 11 RIWAYAT HIDUP 13

DAFTAR TABEL 1. Tingkat prevalensi dan jumlah telur tiap gram tinja 8 2. Tingkat prevalensi dan derajat infeksi Strongyle dan Trichuris spp. 9 pada sapi perah berdasarkan umur sapi 3. Prevalensi infeksi Strongyle dan Trichuris spp. pada sapi perah 10 berdasarkan lokasi peternakan

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Sapi merupakan hewan ternak yang dijadikan sumber pangan bagi manusia, yaitu sebagai sumber daging dan susu. Susu banyak dikonsumsi masyarakat karena memiliki nilai gizi yang tinggi dan seimbang. Seiring perkembangan jaman, kesadaran masyarakat akan konsumsi susu semakin tinggi. Menurut Respati et al. (2013), nilai rata-rata konsumsi susu dalam rumah tangga di Indonesia pada 2002-2013 sebesar 17 144 kg/kapita/tahun, dengan nilai rata-rata pertumbuhan konsumsi sebesar 5.85%. Jenis sapi perah yang di pelihara oleh peternak di Indonesia sebagai sumber susu adalah jenis sapi Friesian Holstein (FH). Sapi FH memiliki produksi susu tertinggi dibanding sapi perah lainnya. Sapi perah FH di Indonesia menghasilkan susu rata-rata 10 liter/ekor/hari (Sudono et al. 2003). Menurut Badan Pusat Statistik (2013), jumlah populasi sapi perah di Indonesia pada tahun 2013 adalah 636 064 ekor. Jumlah tersebut meningkat bila dibandingkan jumlah populasi pada tahun 2012 yang berjumlah 611 939 ekor atau mengalami peningkatan sebesar 3.94%. Daerah Jawa Barat sendiri memiliki populasi sapi perah sebanyak 143 382 ekor dan mengalami peningkatan sebesar 5.39% dari jumlah populasi pada tahun 2012. Peningkatan jumlah populasi sapi perah di Indonesia khususnya di Jawa Barat dipicu oleh meningkatnya permintaan pasar akan susu. Walaupun terjadi peningkatan populasi sapi perah, namun peningkatan tersebut tidak disertai dengan kenaikan produksi susu, sehingga kebutuhan susu sapi nasional belum bisa terpenuhi. Tidak terpenuhinya kebutuhan susu nasional menyebabkan pemerintah mengambil kebijakan impor susu. Jumlah impor susu pada periode Januari sampai Juni 2013 mencapai 106 734 639 kg (Pusdatin 2013). Produktivitas sapi perah dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya genetik, pakan, manajemen kandang, penyakit serta faktor lingkungan. Penyakit yang menimbulkan penurunan produksi susu satu diantaranya adalah kecacingan. Selain mengakibatkan penurunan produksi susu, kecacingan juga dapat menurunkan laju pertumbuhan, sebab sebagian zat makanan di dalam tubuhnya juga dikonsumsi oleh cacing. Kehadiran cacing dalam saluran pencernaan dapat menyebabkan kerusakan mukosa usus yang dapat menurunkan efisiensi penyerapan makanan. Keadaan ini dapat menyebabkan ternak menjadi lebih rentan terinfeksi berbagai penyakit (Purwanta et al. 2009). Informasi kejadian kecacingan pada sapi di Indonesia termasuk di Pangalengan masih sedikit. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data dasar mengenai jenis cacing dan tingkat prevalensi infeksi cacing pada sapi perah. Data dasar tersebut dapat digunakan sebagai informasi untuk menyusun program pengendalian kecacingan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis, tingkat kejadian dan derajat infeksi cacing saluran pencernaan pada sapi perah di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.

2 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jenis dan tingkat kejadian kecacingan pada sapi perah, yang dapat digunakan sebagai dasar dalam usaha penyusunan program pengendalian kecacingan pada sapi perah di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. TINJAUAN PUSTAKA Sapi perah Friesian Holstein (FH) Sapi perah yang diternakkan di Indonesia adalah sapi perah Friesian Holstein (FH). Sapi FH berasal dari Provinsi Friesland Barat, Belanda Utara. Sapi FH merupakan sapi yang memiliki produksi susu tertinggi diantara bangsa sapi lainnya, dengan kadar lemak susu yang rendah. Di Amerika Serikat produksi susu sapi FH rata-rata 7 245 kg per laktasi dengan kadar lemak 3.95%. Sedangkan di Indonesia, produksi susu sapi FH rata-rata 10 liter/ekor/hari atau lebih kurang 3 050 kg per laktasi. Bobot badan ideal sapi FH jantan dewasa sekitar 1 000 kg, dan sapi FH betina dewasa sekitar 682 kg (Sudono et al. 2003). Sapi FH memiliki ciri khusus yaitu memiliki kulit berwarna hitam putih, selain itu sapi FH juga memiliki tanduk kecil, pendek dan menjurus ke depan. Sapi FH memiliki tempramen yang tenang, jinak, sehingga mudah dikendalikan peternak. Ciri lainnya adalah Sapi FH mudah beradaptasi di tempat baru (Aak 1995). Manajemen Peternakan Sapi Perah di Indonesia Peternakan sapi perah di Indonesia umumnya merupakan usaha keluarga yang dijalankan secara turun temurun, dengan cara pemeliharaan yang sederhana. Peternakan rakyat adalah sistem peternakan yang masih sederhana, mulai dari manajemen kandang, pemberian pakan, dan sistem pemerahan. Peternakan rakyat mempunyai ciri-ciri antara lain pendapatan rendah, penerapan manajemen dan tekhnologi konvensional, lokasi ternak menyebar luas, ukuran skala usaha relatif kecil, serta pengadaan input utama yakni pakan hijauan tergantung musim, ketersediaan tenaga kerja keluarga, dan penguasaan lahan hijauan yang terbatas (Yusdja dan Ilham 2006). Sistem pemeliharaan sapi perah di Indonesia umumnya dilakukan secara intensif. Sistem pemeliharaan intensif adalah sistem pemeliharaan ternak yang di kandangkan sepanjang hari. Kandang sapi perah di peternakan rakyat di Indonesia umumnya bersifat sederhana dengan alas lantai yang terbuat dari semen, tanah, atau kayu. Kondisi lantai yang basah dan licin akan berbahaya bagi sapi perah. Kandang sapi dikelompokkan menjadi empat, yaitu kandang pedet, kandang indukan, kandang pejantan serta kandang isolasi (Williamson dan Payne 1993). Kandang sapi pedet merupakan kandang kelompok yang dikhususkan untuk pedet umur 3-6 bulan dengan jumlah 2-3 ekor dalam satu kandang. Kandang sapi indukan mempunyai bentuk dan ukuran yang sama dengan kandang sapi dara, memerlukan

kandang dengan ukuran panjang 1.6 m dan lebar 1.35 m. Kandang tersebut pada umumnya dilengkapi dengan tempat pakan dan minum (Siregar 1995). Pakan yang diberikan pada ternak adalah rumput atau hijauan dan konsentrat. Hijauan rumput biasanya diberikan dalam jumlah yang tidak tentu, dan konsentrat diberikan secara tidak teratur. Lahan yang tidak cukup luas untuk menanam rumput menjadi salah satu penyebab diberikannya hijauan dalam jumlah yang tidak tentu, terutama saat musim kemarau. Pada sapi perah, pakan berperan penting terhadap produksi susu. Komponen dasar pakan sapi perah adalah hijauan sebagai pakan utama sumber serat. Pemberian hijauan sekitar 10% dari bobot badan sapi hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup pokok serta produksi susu sebanyak 3-4 liter/hari. Idealnya sapi perah memerlukan ransum dengan kandungan serat kasar antara 18-22% (Soetarno dan Adiarto 2002). Kecacingan pada Sapi Kecacingan merupakan salah satu penyakit yang sering menyerang hewan ternak yang dapat mempengaruhi produktivitasnya. Infeksi cacing pada sapi perah dapat disebabkan oleh tiga jenis cacing, yaitu nematoda, trematoda, dan cestoda. Cacing nematoda termasuk dalam filum nemahelminthes. Secara umum, morfologi cacing dari kelas nematoda memiliki ukuran yang berbeda-beda, mulai dari 2 cm sampai 1 meter dengan bentuk bulat panjang seperti benang, tidak bersegmen dan kulit dilapisi kutikula (Natadisastra dan Agoes 2009). Jenis kelamin cacing nematoda terpisah, biasanya ukuran tubuh cacing jantan lebih kecil dari cacing betina (Ahmad 2008). Sapi dapat terinfeksi oleh cacing nematoda jika menelan telur atau larva infektif. Telur akan menetas menjadi larva 1, kemudian berkembang menjadi larva 2, dan larva 3. Larva 3 merupakan larva infektif yang siap menginfeksi hewan kembali dalam waktu 1 minggu (Soulsby 1982). Cacing nematoda saluran pencernaan yang sering menyerang sapi diantaranya Toxocara vitulorum, Bunostomum spp., Oesophagostomum spp., Haemonchus spp., Mecistocirrus spp., Cooperia spp., Nematodirus spp., Trichostrongylus spp., dan lain-lain (Ahmad 2008). Semua cacing nematoda tersebut menyebabkan sapi mengalami diare, kehilangan nafsu makan, kurus, dan anemia. Sapi yang terinfeksi Toxocara vitulorum dapat mengalami pneumonia akibat adanya migrasi larva ke paru-paru, selain itu sapi juga mengalami kerusakan hati dan paru-paru, serta toksemia apabila infeksinya berat (Estuningsih 2005). Cacing trematoda termasuk dalam filum platyhelminthes. Secara umum, cacing trematoda memiliki bentuk pipih, tidak memiliki rongga tubuh, tidak bersegmen, dan hermafrodit kecuali Schistosoma spp. Cacing trematoda yang sering menginfeksi sapi satu diantaranya adalah Fasciola sp. (cacing hati). Jenis cacing hati yang ada di Indonesia adalah Fasciola gigantica. F gigantica hidup di saluran empedu (Ahmad 2005). Sapi dapat terkena cacing hati apabila meminum air atau memakan rumput yang tercemar oleh metaserkaria (Corwin dan Randle 1993). Metaserkaria merupakan bentuk infektif dari Fasciola sp. Telur cacing diproduksi oleh cacing dewasa dan dikeluarkan bersama feses. Telur akan menetas dan mengeluarkan mirasidium pada kondisi lingkungan yang cocok. Telur F gigantica akan menetas dalam 12-17 hari pada suhu 28ºC. Siput Lymnea sp. merupakan induk semang antara dari F gigantica. Mirasidium akan bergerak menembus tubuh siput, kemudian berkembang menjadi sporosis dalam waktu 24 jam (Boray 1969). 3

4 Sporosis akan berkembang menjadi redia dalam waktu 8 hari. Redia menjadi serkaria yang memiliki ekor untuk bergerak, kemudian keluar dari tubuh siput dan menempel pada tumbuhan yang terendam air, seperti padi dan rumput. Serkaria melepaskan ekor dan membentuk kista yang disebut metaserkaria. Saat metaserkaria yang termakan oleh sapi mencapai usus, metaserkaria tersebut akan keluar dari kista dan menembus dinding usus menuju ke hati. Metaserkaria akan tumbuh menjadi dewasa dan memproduksi telur dalam waktu 16 minggu (Martindah et al. 2005). Sapi yang mengalami fasciolosis (penyakit yang disebabkan oleh Fasciola sp.) akut akan mengalami konstipasi, kadang mencret, kurus dengan cepat, lemah, dan anemia, sedangkan sapi yang mengalami fasciolosis kronik akan mengalami penurunan produktivitas (Ahmad 2005). Sapi yang terinfeksi Fasciola sp. juga kadang mengalami oedema di sekitar rahang bawah (bottle jaw) (Martindah et al. 2005). Cacing cestoda termasuk dalam filum platyhelminthes. Secara umum, cacing cestoda memiliki bentuk pipih dorso-ventral, tidak memiliki rongga tubuh, rongga tubuh tertanam dalam mesenkim, dan umumnya hermafrodit. Cacing cestoda yang menyerang sapi satu diantaranya adalah Moniezia sp. Moniezia sp. memiliki skoleks polos dengan empat penghisap berukuran besar dan segmen yang sangat lebar, dengan organ genital bilateral. Moniezia sp. ditemukan di dalam usus halus sapi, domba dan kambing (Moniezia benedeni, Moniezia expansa, dan Moniezia caprae). (Bowman 2014). Siklus hidup Moniezia sp. membutuhkan inang antara, seperti cacing pita pada umumnya. Tungau merupakan inang antara pertama yang hidup bebas di hijauan dan rumput. Telur yang keluar melalui kotoran ternak akan termakan oleh tungau. Telur kemudian menetas dan larva bermigrasi ke dalam rongga tubuh tungau dimana akan berkembang menjadi cysticercoid. Ketika tungau tertelan oleh domba, mereka berkembang menjadi dewasa. Fase ketika telur tertelan hingga produksi telur pada ternak memakan waktu sekitar 6 minggu. Cacing pita dewasa hanya bertahan hidup sekitar 3 bulan. Infeksi biasanya lebih buruk di musim panas tetapi cysticeroid dapat bertahan pada musim dingin dalam tubuh tungau (Menzies 2010). METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai Juli 2014. Sampel diambil dari tiga komda di wilayah Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, yaitu Komda Padahurip, Komda Mekar Mulya dan Komda Sukamenak. Pemeriksaan sampel tinja dilakukan di Laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

5 Lokasi Penelitian Wilayah Kemacatan Pangalengan secara geografis terletak di bagian selatan Kabupaten Bandung, dengan jarak sekitar 42 km dari pusat Kota Bandung dan berada pada ketinggian antara 1 500 mdpl sampai 2 000 mdpl. Suhu udara di Kecamatan Pangalengan berkisar antara 19 C - 24 C (Komarudin 2000). Wilayah Kecamatan Pangalengan memiliki 36 komisaris daerah (komda) dengan populasi sapi perah sebanyak 13 601 ekor. Rancangan Studi Kegiatan studi tingkat prevalensi dan derajat infeksi cacing saluran pencernaan pada sapi perah di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung dilakukan dengan metode cross-sectional. Sampel diambil sebanyak 120 secara acak sederhana dari tiga komda dari total 36 komda yang terdapat di Kecamatan Pangalengan, yaitu Komda Padahurip, Komda Mekar Mulya dan Komda Sukamenak. Jumlah sampel yang diambil dari tiap komda sebanyak 40 sampel. Keberadaan telur cacing dalam tinja dideteksi dengan menggunakan metode modifikasi McMaster, metode modifikasi flotasi sederhana dan metode filtrasi sedimentasi. Informasi mengenai manajemen peternakan yang meliputi karakteristik peternak, sistem pemeliharaan, alas kandang, kebersihan kandang dan pakan ternak diperoleh dari kuesioner. Ukuran Sampel Jumlah sampel ditentukan dengan asumsi dugaan tingkat kejadian kecacingan sebesar 50% dengan tingkat kepercayaan 95%. Besaran sampel dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Selvin 2004): Keterangan : n : Besaran sampel tinja sapi yang diambil P : Asumsi dugaan tingkat kejadian penyakit kecacingan L : Tingkat kesalahan 10% (0.1) Pengambilan Sampel Tinja Sampel tinja dikoleksi langsung dari rektum sapi, disimpan dalam kantong plastik yang telah diberi label. Sampel kemudian disimpan dalam cool box sampai di bawa ke laboratorium. Sesampainya di laboratorium, sampel disimpan di dalam refrigerator sampai dilakukan pemeriksaan.

6 Metode Modifikasi Mc Master Pemeriksaan Sampel Tinja Metode modifikasi Mc Master digunakan dalam pemeriksaan tinja untuk mengetahui jumlah telur nematoda dan cestoda tiap gram tinja. Sampel tinja ditimbang sebanyak empat gram, kemudian dimasukkan ke dalam gelas. Sebanyak 56 ml larutan gula-garam jenuh ditambahkan ke dalam gelas yang berisi tinja, kemudian dihomogenkan dan disaring menggunakan saringan 30 mesh sebanyak tiga kali. Campuran dimasukkan ke kamar hitung Mc Master dan ditunggu lima menit agar telur mengapung. Setelah lima menit, kamar hitung Mc Master diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali. Jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) diperoleh dengan rumus sebagai berikut : Apabila dalam pemeriksaan menggunakan metode Mc Master tidak ditemukan telur cacing, maka dilanjutkan dengan metode pengapungan sederhana untuk memastikan keberadaan telur. Metode pengapungan dilakukan dengan cara campuran tinja dan gula garam dituang ke dalam tabung reaksi sampai penuh membentuk meniskus pada puncaknya. Kaca penutup diletakkan pada ujung tabung reaksi dan dibiarkan selama 10 menit. Kaca penutup diambil dan diletakkan pada gelas objek kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali. Metode Modifikasi Filtrasi-Sedimentasi Metode modifikasi filtrasi-sedimentasi digunakan dalam pemeriksaan tinja untuk mengetahui adanya telur trematoda. Sebanyak empat gram tinja dimasukkan ke dalam gelas. Air sebanyak 50 ml ditambahkan ke dalam gelas, kemudian dihomogenkan dan disaring menggunakan saringan 30 mesh. Penyaringan kemudian dilanjutkan dengan menggunakan saringan bertingkat yang berukuran 400 µm, 100 µm, dan 45 µm. Residu tinja yang tertahan pada saringan 45 µm dibilas dan ditampung ke dalam cawan petri bergaris, lalu diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali. Telur cacing trematoda yang ditemukan dihitung untuk mengetahui jumlah telur cacing per gram tinja. Prosedur Analisis Data Data tentang karakteristik peternak, manajemen peternakan dan hasil pemeriksaan tinja dimasukkan ke dalam database menggunakan program Microscoft Excel 2010. Analisis data dilakukan dengan metode chi-square menggunakan software SPSS 16.0 untuk mengetahui perbedaan tingkat prevalensi dan derajat infeksi.

7 HASIL DAN PEMBAHASAN Manajemen Peternakan Sapi Perah di Kecamatan Pangalengan Peternakan sapi perah di Kecamatan Pangalengan memiliki sumber daya manusia yang cukup baik untuk mengelola peternakan. Hasil survei terhadap 38 peternak menunjukkan sebagian besar (52.6%) peternak sapi di Kecamatan Pangalengan berada pada usia produktif (38-50 tahun). Menurut Chandra (1995), kelompok usia produktif yaitu dari usia 15-64 tahun. Umur produktif adalah umur dimana seseorang mampu bekerja dan menghasilkan sesuatu. Peternak sapi perah di Kecamatan Pangalengan juga memiliki pengalaman yang cukup lama di bidang peternakan. Semua peternak di Kecamatan Pangalengan memiliki pengalaman beternak >5 tahun. Lama beternak berpengaruh besar terhadap pengelolaan peternakan. Semakin lama beternak, semakin banyak pengalaman peternak dalam mengelola peternakan. Pengalaman membuat peternak mengetahui banyak hal tentang peternakan. Hal tersebut akan membuat peternak memikirkan cara dan inovasi baru untuk manajemen peternakan yang lebih baik. Walaupun peternak memiliki pengalaman beternak yang cukup lama, akan tetapi umumnya mereka memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Hampir semua peternak (97.4%) sapi perah di kecamatan Pangalengan mendapat pendidikan formal sampai Sekolah Dasar (SD), hanya 2.6% peternak yang memiliki tingkat pendidikan sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pengalaman beternak akan semakin baik apabila ditunjang oleh tingkat pendidikan peternak. Tingkat pendidikan yang tinggi akan menjadikan peternak lebih mudah menerima perkembangan tekhnologi untuk memajukan peternakannya. Peternak dengan pendidikan tinggi juga dapat menciptakan inovasi baru untuk pelaksanaan peternakan yang lebih baik. Ternak sapi di Kecamatan Pangalengan dipelihara secara intensif. Pemeliharaan sapi secara intensif dapat menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi cacing pada sapi karena pakan diberikan secara teratur di dalam kandang. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 3 kali sehari oleh 78.9% peternak dan 4 kali sehari oleh 21.1% peternak. Pakan yang diberikan sebagian besar berupa rumput segar, namun sebanyak 28.9% peternak memberi pakan jerami pada sapinya. Rumput segar dapat beresiko menimbulkan kecacingan pada sapi karena adanya kemungkinan larva infektif masih menempel pada rumput. Sapi yang dipelihara secara ekstensif lebih beresiko terinfeksi cacing. Menurut Tantri et al. (2013), pemeliharaan ternak secara ekstensif dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit kecacingan karena adanya kemungkinan sapi memakan larva cacing yang ada di padang pengembalaan, terutama pada pagi hari. Pagi hari merupakan saat dimana larva infektif banyak muncul di permukaan rumput. Kandang sapi perah di Kecamatan Pangalengan sebagian besar (81.6%) memiliki alas kandang berupa karpet, sedangkan sisanya 15.8% menggunakan alas kayu, dan 2.6% menggunakan alas semen. Alas kandang karpet lebih mudah dibersihkan dari alas kandang lainnya. Alas kandang karpet juga membuat sapi nyaman karena bahannya yang rata dan tidak licin. Alas kandang yang tidak nyaman untuk sapi dapat mengakibatkan sapi stres, mengalami penurunan kondisi tubuh dan mudah terkena penyakit, termasuk kecacingan. Semua peternak (100%) sapi perah di Kecamatan Pangalengan menjaga kebersihan kandang dengan baik,

8 dengan membersihkan kandang setiap hari. Pembersihan kandang secara teratur dapat mengurangi resiko terjadinya infeksi cacing. Menurut Zulfikar et al. (2012), telur cacing nematoda keluar bersama tinja dan mengkontaminasi hijauan pakan, air minum serta lantai kandang yang tidak bersih. Tingkat Prevalensi dan Derajat Infeksi Nematodosis Pada Sapi Hasil pemeriksaan tinja sapi menunjukkan sapi perah di Kecamatan Pangalengan terinfeksi oleh cacing nematoda. Jenis cacing nematoda yang ditemukan berdasarkan pemeriksaan sampel tinja adalah Trichuris spp dan kelompok Strongyle. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 120 sampel tinja yang diperiksa, sebanyak 34 sampel tinja atau 28.3% positif terinfeksi cacing nematoda. Sebanyak 30 sampel atau 25.8% positif Strongyle dan 3 sampel atau 3.3% positif Trichuris spp. (Tabel 1). Strongyle merupakan cacing yang umum ditemukan pada sapi. Cacing yang termasuk jenis Strongyle diantaranya Haemonchus sp., Cooperia sp., Oesophagostomum sp., Trichostrongylus sp., Bunostomum sp., dan Mecistocirus sp. (Suhardono et al. 1995). Sapi dapat terinfeksi Strongyle melalui termakannya larva infektif (L3) yang terdapat dalam rumput. Larva infektif yang terdapat pada rumput, apabila termakan oleh sapi maka akan mengakibatkan edesis di dalam usus, kemudian masuk ke mukosa usus, dan kembali ke rongga usus untuk menjadi dewasa (Natadisastra dan Agoes 2009). Jenis cacing Trichuris spp. yang ditemukan pada sapi diantaranya Trichuris globulosa dan Trichuris skrjabini (Anderson 2000). Telur Trichuris spp. yang dikeluarkan melalui feses tidak berisi embrio. Perkembangan embrio dalam telur terjadi di lingkungan. Iklim dan temperatur sangat berpengaruh terhadap perkembangan embrio. Di dalam tanah, telur akan berkembang sampai mengandung larva stadium 2 (telur infektif). Telur infektif yang tertelan, masuk ke dalam tubuh hewan akan menetas di duodenum. Larva cacing akan berkembang di dalam duodenum, dan setelah dewasa Trichuris spp. akan menuju kolon (Olsen 1974) Infeksi yang terjadi pada sapi di Kecamatan Pangalengan termasuk rendah (28.3%). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan pada sapi bali di Kabupaten Gowa oleh Purwanta et al. (2009), infeksi cacing nematoda pada sapi mencapai 73.7%. Perbedaan prevalensi ini dapat diakibatkan oleh perbedaan sistem pemeliharaan sapi. Sebanyak 92.8% sapi bali di Kabupaten Gowa dipelihara secara semi intensif dan 7.1% masih dipelihara secara ekstensif. Pemeliharaan ternak secara semi intensif dan ekstensif beresiko tinggi terhadap infeksi cacing. Penggembalaan yang dilakukan pada pagi hari dapat menimbulkan infeksi dan penularan cacing melalui rumput yang terkontaminasi oleh larva infektif. Tabel 1 Tingkat prevalensi dan jumlah telur tiap gram tinja Jenis cacing Jumlah Jumlah Sapi Prevalensi (%) TTGT Sampel Terinfeksi Strongyle 120 30 25.0 106.6±105.6 Trichuris spp. 120 4 3.3 105.0± 95.7 Hasil pemeriksaan tinja menunjukkan sapi perah di Kecamatan Pangalengan terinfeksi cacing nematoda dengan kategori infeksi ringan, dengan jumlah TTGT

Strongyle 106.6±105.6 dan jumlah TTGT Trichuris spp. 105.0±95.7 (Tabel 1). Menurut Thienpont et al. (1995), sapi yang terinfeksi dengan jumlah TTGT 1-499 termasuk kategori infeksi ringan, jumlah TTGT 500-5 000 kategori infeksi sedang dan jumlah TTGT > 5 000 termasuk kategori infeksi berat. Derajat infeksi cacing Strongyle memiliki jumlah TTGT lebih tinggi dibandingkan jumlah TTGT cacing Trichuris spp. (Tabel 1). Menurut Tantri et al. (2012), kisaran infeksi ringan atau rendah umumnya tidak mengganggu kesehatan namun mempengaruhi produktivitas ternak. Infeksi Trichuris spp. pada sapi berkaitan dengan kebersihan kandang. Umumnya peternak membersihkan kandang setiap hari, hal ini dapat mengurangi resiko sapi terinfeksi Trichuris spp. Infeksi Strongyle berkaitan dengan pemeliharaan secara intensif, terutama pemberian pakan. Pakan yang diberikan pada sapi di Kecamatan Pangalengan umumnya berupa rumput gajah. Pemberian rumput gajah pada sapi beresiko menimbulkan infeksi Strongyle. Rendahnya nilai TTGT dapat pula diakibatkan oleh pemberian anthelmintik. Sapi perah di Kecamatan Pangalengan diberi anthelmintik apabila mengalami diare, kehilangan nafsu makan dan terlihat kurus. Pemberian anthelmintik secara teratur dapat mengurangi infeksi cacing dan membuat nilai TTGT semakin kecil. Tingkat Prevalensi Berdasarkan Umur Sapi Hasil penelitian menunjukkan tingkat infeksi Strongyle tertinggi pada sapi umur 1-6 bulan dengan tingkat prevalensi 50.0%, diikuti pada sapi umur >12-36 bulan sebesar 25.7%, sapi umur >36 bulan sebesar 24.5%, dan sapi umur >6-12 bulan sebesar 12.5%. Tingkat infeksi Trichuris spp. paling tinggi ditemukan pada sapi umur >6-12 bulan dengan tingkat prevalensi sebesar 12.5%, diikuti pada sapi umur >12-36 bulan sebesar 2.9%, sapi umur >36 bulan sebesar 1.9%, dan sapi umur 1-6 bulan sebesar 0% (Tabel 2). Walaupun terdapat perbedaan tingkat prevalensi, akan tetapi secara statistik perbedaan tersebut tidak signifikan (p>0.05). Tabel 2 Prevalensi (%) infeksi Strongyle dan Trichuris spp. pada sapi perah berdasarkan umur sapi Umur Sapi Strongyle Trichuris spp. (bulan) Prevalensi Nilai-p Prevalensi Nilai-p (positif/n) (positif/n) 6 50.0 (4/8) 0.0 (0/8) > 6-12 12.5 (2/16) 0.537 12.5 (2/16) 0.317 > 12-36 25.7 (9/35) 2.9 (1/35) >36 24.5 (15/61) 1.7 (1/61) Keterangan: n = total sampel Sapi dapat terinfeksi oleh cacing pada semua kategori umur. Umumnya sapi muda lebih rentan terhadap infeksi cacing. Hal ini telihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa telur cacing Strongyle banyak ditemukan pada sapi umur 1-6 bulan, sedangkan telur cacing Trichuris spp. banyak ditemukan pada sapi umur >6-12 bulan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Zulfikar (2012) yang menunjukkan bahwa infeksi cacing pada kelompok umur muda lebih tinggi dari kelompok umur tua. Sapi umur muda dapat terinfeksi cacing karena faktor induk 9

10 dan lingkungan. Saat induk sapi diberikan pakan yang kekurangan vitamin A, B dan B12, serta protein dan mineral, maka sapi akan lebih rentan terinfeksi cacing (Zulfikar 2012). Wiryosuhanto dan Jacoeb (1994) menyatakan bahwa penyakit endoparasit terutama cacing menyerang hewan pada usia muda (kurang dari 1 tahun). Ahmad (2008) berpendapat bahwa kekebalan sapi terhadap cacing saluran pencernaan dipengaruhi oleh umur, genetik, pakan, dan preimunisasi. Prevalensi Berdasarkan Komda Tingkat infeksi cacing pada sapi perah di setiap komda berbeda-beda. Prevalesi Strongyle di komda Mekar Mulya lebih tinggi dari komda lainnya (Tabel 4). Prevalensi Trichuris spp. di komda Padahurip lebih tinggi dibandingkan dengan komda lainnya (Tabel 5). Tingginya prevalensi Trichuris spp. di komda Padahurip juga dapat disebabkan oleh pakan. Rumput segar yang diberikan beresiko menimbulkan kecacingan, karena larva cacing bisa menempel pada rumput segar dan apabila tertelan dapat menimbulkan kecacingan. Secara statistik, tingkat prevalensi pada semua komda tidak menunjukkan perbedaan nyata. Tabel 3 Prevalensi (%) infeksi Strongyle dan Trichuris spp. pada sapi perah berdasarkan lokasi peternakan Komda Strongyle Trichuris spp. Prevalensi (%) (positif/n) Nilai-p Prevalensi (%) (positif/n) Padahurip 27.5 (11/40) 7.5 (3/40) Sukamenak 17.5 (7/40) 0.280 0.0 (0/40) Mekar Mulya 36.0 (12/40) 2.5 (1/40) Keterangan: n = total sampel Nilai-p 0.066 Perbedaan tingkat prevalensi ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya pakan dan kondisi lingkungan. Pakan yang diberikan pada sapi di komda Mekar Mulya adalah rumput segar dan jerami, sedangkan di komda lain jerami hanya diberikan saat terjadi kemarau panjang. Jerami diberikan ¾ bagian atas. Pemberian jerami ¾ bagian atas dapat menjadi penyebab timbulnya kecacingan. Pakan jerami yang dianjurkan diberikan pada sapi adalah ½ bagian. Jerami dapat menjadi sumber infeksi cacing hati pada ternak (Martindah et al. 2005). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Sapi perah di kecamatan Pangalengan terinfeksi oleh cacing nematoda dengan tingkat prevalensi 28.3 %. Jenis cacing nematoda yang menginfeksi sapi di kecamatan Pangalengan adalah Trichuris spp. dan kelompok Strongyle dengan

tingkat prevalensi masing-masing 3.3% dan 25.0%. Tidak terdapat perbedaan tingkat prevalensi cacing antara kelompok umur sapi dan lokasi peternakan (komda). Saran Manajemen peternakan meliputi pemberian pakan dan kebersihan kandang ternak harus lebih diperhatikan karena hal tersebut merupakan faktor penting timbulnya kecacingan pada sapi. Selain itu pemberian anthelmintik juga harus lebih diperhatikan dosis dan cara penggunaannya. 11 DAFTAR PUSTAKA Aak. 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Yogyakarta (ID): Kanisius. Ahmad RZ. 2008. Beberapa penyakit parasitik dan mikotik pada sapi perah yang harus diwaspadai. Di dalam: Kusuma D, Elizabeth W, Atien P, Lily N, Tati H, Budi P. Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020; 2008 Apr 21 ; Jakarta, Indonesia. Bogor (ID: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. 316-321. Anderson RC. 2000. Nematode Parasites of Vertebrates: Their Development and Transmission. 2nd ed. Wallingford (GB): CAB Int. Badan Pusat Statistik. 2013. Populasi Sapi Perah Menurut Provinsi. [internet]. [diunduh 2014 Januari 16]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=24&n otab=12. Boray JC. 1966. Studies on the relatives susceptible of some lymnaeids to infection with F. hepatica and F. gigantica on the adaptation of Fasciola spp. American Journal of Tropical Medicine and Parasitology. 60(1): 114-124. Bowman DD. 2014. Georgis Parasitology For Veterinerians. 10 th edition. St. Louis (US): Elsevier. Chandra B. 1995. Pengantar Statistik Kesehatan. Jakarta (ID): ECG. Corwin RM, Randle RF. 1993. Common Internal Parasites of Cattle. Columbia (US): University of Missouri. Estuningsih SE. 2005. Toxocariasis pada hewan dan bahayanya pada manusia. Wartazoa 15(3): 136-142. Komarudin. 2000. Studi karakteristik daerah perambahan hutan dengan menggunakan sistem informasi geografi (studi kasus: Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Martindah E, Widjajanti S, Estuningsih SE, Suhardono. 2005. Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap fasciolosis sebagai penyakit infeksius. Wartazoa. 15(3):143-154. Menzies P. 2010. Handbook of the Control of Internal Parasites of Sheep. Guelph (CD): University of Guelph Pr. Natadisastra D, R. Agoes. 2009. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari organ tubuh yang diserang. Jakarta (ID): Penerbit buku kedokteran ECG.

12 Olsen OW. 1974. Animal Parasites. Texas (US): University Park Pr. Respati E, et al. 2013. Buletin Konsumsi Pangan. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Jakarta: Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 4(4): 37-45. Purwanta, Nuraeni, Hutauruk JD, Setiawaty S. 2009. Identifikasi cacing saluran pencernaan (gastrointestinal) pada sapi bali melalui pemeriksaan tinja di Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem. 5(1): 10-21. [Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2013. Buletin Bulanan. Indikator Makro Sektor Pertanian. Jakarta: Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 7(9): 15. Selvin S. 2004. Statistical Analysis of Epidemiology Data. London (GB): Oxford University Pr. Siregar SB. 1995. Sapi Perah, Jenis, Tekhnik Pemeliharaan dan Analisis Usaha. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Soetarno T, Adiarto. 2002. Pengendalian Mutu Konsentrat Sapi Perah Secara Terpadu. Seminar Pengawasan Mutu Ternak; Surabaya, Indonesia. Surabaya (ID): Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur. Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthhropos and Protozoa of Domesticated Animals. 7 b'. London (GB): Baillere, Tindall and Cassell Ltd. Sudono A, Rosdiana F, Setiawan BS. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka. Suhardono S, Partoutomo, Knox MR. 1995. Pengaruh infeksi cacing nematoda pada sapi perah laktasi di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Seminar Nasional Tekhnologi Veteriner; 1994 Maret; Cisarua, Indonesia. Bogor (ID): Balai Penelitian Veteriner. 250-255. Tantri N, Tri RS, Siti K. 2013. Prevalensi dan intensitas cacing parasit pada feses Sapi (Bos sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Protobiont 2(2): 102-106. Thienpont, et al. 1995. Diagnosing Helminthiasis Through Coprological Examination. America (US): Appleton-Century-Crofts. Williamson G, Payne WJA. 1995. An Introduction To Animal Husbandary in The Tropic. London (GB): Longman Group Limited. Wiryosuhanto SD, Jacoeb TN. 1994. Prospek Budidaya Ternak sapi. Yogyakarta (ID): Kanisius. Yusdja Y, Ilham N. 2006. Arah kebijakan pembangunan peternakan rakyat. Analisis Kebijakan Pertanian. 4(1): 18-38 Zulfikar, Hambal, Razali. 2012. Derajat infestasi parasit nematoda gastrointestinal pada sapi di Aceh bagian tengah. Lentera 12(3): 1-7.

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 7 Maret 1993 dari ayah Selamet Riyadi dan ibu Siti Teni Suryaningsih. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah dasar pada tahun 2004 di SD Pangalengan 5 dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Pangalengan hingga lulus pada tahun 2007. Pendidikan sekolah menengah umum diselesaikan pada tahun 2010 di SMA Negeri 1 Pangalengan. Pada tahun yang sama penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tingi Negeri (SNMPTN). Semasa menjadi mahasiswa FKH IPB penulis aktif dalam kegiatan internal kampus yaitu sebagai anggota Himpunan Minat dan Profesi Ruminasia FKH IPB.