PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq) berasal dari Afrika dan masuk ke Indonesia pada tahun 1848 yang ditanam di Kebun Raya Bogor. Perkebunan kelapa sawit pertama dibuka pada tahun 1911 di Tanah Itam Ulu oleh maskapai Oliepalmen Cultuur dan di Pulu Raja oleh maskapai Huileries de Sumatera-RCMA. Sampai tahun 1939 telah tercatat 66 perkebunan dengan luas areal ± 100.000 ha (Pahan, 2006). Kelapa sawit merupakan tanaman yang paling produktif dengan produksi minyak per ha yang paling tinggi dari penghasil minyak nabati lainnya. Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Sebanyak 85% lebih pasar dunia kelapa sawit dikuasai oleh Indonesia dan Malaysia. Walaupun produksi kelapa sawit di Indonesia secara umum dan Sumatera Utara secara khusus mengalami peningkatan, namun peningkatan produksi ini belum optimal. Ada beberapa faktor yang menyebabkan produksi tidak optimal seperti masalah kesuburan tanah, bibit unggul dan gangguan hama dan penyakit. Ada banyak hama yang merusak tanaman kelapa sawit. Salah satunya ulat api.ulat api merupakan hama pemakan daun yang terpenting di pertanaman kelapa sawit, khususnya di Sumatera Utara. Diantara jenis-jenis ulat api, Setothosea asigna Eecke dikenal sebagai ulat yang paling rakus dan yang paling sering menimbulkan
kerugian di pertanaman kelapa sawit baik pada tanaman muda maupun pada tanaman tua. Pengendalian hama ulat pemakan daun kelapa sawit merupakan suatu faktor penting dalam manajemen perkebunan kelapa sawit. Sampai kini pengendalian hama ini masih terus dengan penyemprotan insektisida walaupun banyak menimbulkan akibat sampingan yang tidak baik. Oleh karena itu konsep pengendalian hama terpadu masih belum secara konsekuen di laksanakan di perkebunan kelapa sawit. Pengendalian hama terpadu dengan menggunakan predator predator dari hama ulat api ini telah banyak di aplikasikan di berbagai perkebunan kelapa sawit. Diantaranya adalah Eocanthecona furcellata dan Sycanus, merupakan predator yang baik untuk dikembangkan menjadi sarana pengendalian hayati ulat perusak daun kelapa sawit khususnya ulat api. Hal ini mengingat siklus hidupnya yang pendek, kemampuan berbiaknya tinggi serta kemampuan meletakkan telur pada helaian daun kelapa sawit, sehingga memungkinkan baik nimfa maupun imagonya hidup pada tajuk daun kelapa sawit dan aktif memangsa ulat api. Kedua predator ini memiliki tingkat predasi yang berbeda. Dengan penggunaan predator ini, maka secara tidak langsung penggunaan dari bahan kimia dapat berkurang, sehingga konsep PHT yang bertumpu pada keseimbangan ekosistem dapat terwujud. Berdasarkan informasi di atas dengan pertimbangan bahwa predator ini sangat potensial diaplikasikan dalam pengendalian hama ulat api. Selain itu, pengendalian dengan menggunakan predator ini dapat berlangsung secara berkesinambungan di alam, sehingga besar kemungkinan terdapat perbedaan daya
predasi dari masing masing predatornya, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan daya predasi antara Eocanthecona furcellata dengan Sycanus croceovittatus. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk mengetahui efektifitas daya predasi dan jumlah pasang Eocanthecona furcellata dengan Sycanus croceovittatus terhadap mortalitas ulat api (Setothosea asigna Eecke) pada pertanaman kelapa sawit. Hipotesa Penelitian 1. Eocanthecona furcellata dan Sycanus croceovittatus mempunyai daya predasi yang berbeda. 2. Jumlah predator yang 3 pasang lebih efektif daripada yang 2 pasang dan 1 pasang dalam mengendalikan ulat api (Setothosea asigna Eecke) pada pertanaman kelapa sawit. Kegunaan Penelitian 1. Sebagai salah satu syarat unuk dapat melakukan penelitian di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. 2. Sebagi bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan.
TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Anonimus (2010), kelapa sawit diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Divisi SubDivisi Kelas Subkelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Tracheopita : Pteropsida : Angiospermae : Monocotyledonae : Cocoideae : Palmae : Elaeis : Elaeis guinensis Jacq. Akar yang pertama muncul dari biji yang telah berkecambah adalah radikula yang panjangnya 15 cm. Selanjutnya akan tumbuh akar primer yang keluar dari bagian bawah batangdengan arah 45º dari permukaan tanah. Dari akar primer ini akan tumbuh akar sekunder, tertier dan kwarter. Penyebaran akar sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah (Pahan, 2006). Batang berbentuk silindris dan mempunyai diameter 45 cm 60 cm pada tanaman dewasa. Bagian bawah umumnya lebih besar disebut bongkol batang. Tinggi tanaman sangat bervariasi mencapai 15 18 m (Anonimus, 2010).
Daun terdiri dari pelepah daun, anak daun dan lidi. Setiap anak daun terdiri dari lidi dan dua helaian daun. Pelepah daun letaknya pada batang menurut.
spiral, ada yang kearah kiri dan umumnya kearah kanan. Dalam satu tandan di jumpai bunga jantan dan bunga betina (Pahan, 2006). Syarat Tumbuh Tanah Tanaman kelapa sawit tumbuh pada beberapa jenis tanah seperti podsolik, latosol, hidromorfik kelabu, regosol, andosol, organosol dan alluvial. Tekstur lempung atau lempung berpasir, ph tanah 4,0 6,0 (Anonimus, 2010). Iklim Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropika basah disekitar lintang utara selatan 12º. Jumlah curah hujan yang baik adalah 200 2500 mm/tahun. Temperatur yang optimal bagi pertumbuhan tanaman kelapa sawit adalah 24-28 ºC (Anonimus, 2010). Biologi E. furcellata Menurut Kalshoven (1981) E. Furcellata diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Pilum Kelas Ordo Famili : Animalia : Arthropoda : Insecta : Hemiptera : Pentatomidae
Genus Spesies : Eocanthecona : Eocanthecona furcellata Wolff. Telur Telur diletakkan berkelompok sebanyak 9 74 butir telur. Betina bertelur rata rata 2 sampai 4 kali dalam waktu 23 hari. Bagian samping telur berwarna hitam, dengan bagian atasnya lebih bersih dan bercahaya kecuali pada bagian tengahnya (Sipayung dkk., 1991). Gambar 1. Telur E. Furcellata Sumber. http://www.en.wikipedia.org/wiki/egg_e. furcellata Nimfa Dari stadia nimfa hingga dewasa mengalami 5 kali pergantian kulit. Nimfa berwarna hitam pada bagian kepala dan kaki, abdomen jingga sampai kemerahan dengan garis putus putus pada tepi dan tengah dari abdomen (Miller, 1956). Imago
Imago pada umumnya tampak berwarna hitam, mempunyai perbesaran pada tibia. Jantan berukuran 11,30 mm, lebar 5,36; betina sedikit lebih besar dengan panjang 14,65 mm dan lebar 6,86 mm (Sipayung dkk., 1991). Gambar 2. Siklus hidup E. Furcellata Sumber. http://www.erlanardianarisman.wordpress Perkembangan Predator E. furcellata E. furcellata merupakan predator yang baik untuk agen pengendali hayati ulat api S. asigna. Hal ini mengingat siklus hidupnya yang singkat, kemampuan berbiaknya yang tinggi serta kemampuannya meletakkan telur pada helaian daun kelapa sawit, sehingga memungkinkan nimfa dan imago hidup pada tajuk kelapa sawit dan aktif memangsa ulat api (Sudartho dkk., 1990).
Biologi Sycanus croceovittatus berikut: Menurut Kalshoven (1981) Sycanus croceovittatus diklasifikasikan sebagai Kingdom Pilum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda : Insecta : Hemiptera : Reduviidae : Sycanus : Sycanus croceovittatus Dohrn. Telur Kelompok telur berwarna coklat dan biasanya tersusun dalam pola baris miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur semasa hidupnya pada permukaan daun sebelah bawah. Semua telur menetas dalam hari yang sama. Masa inkubasi telur adalah 11 39 hari (Zulkefli dkk, 2004). Nimfa Nimfa yang baru muncul berwarna kekuningan pada kepala, toraks dan abdomennya. Tungkai coklat dengan bagian femur dan tibia lebih gelap. Nimfa instar pertama hidup berkelompok dan mengubah posisi dalam jangka waktu pendek dengan bersilangan satu sama lain. Instar kedua membutuhkan waktu yang lebih
pendek sebelum berganti kulit menjadi instar berikutnya. Warnanya sama dengan instar pertama kecuali pada bagian tubuhnya (Zulkefli dkk, 2004). Imago Imago jantan dan betina dapat dibedakan dari ukuran tubuh dan bagian abdomennya. Imago jantan lebih kecil dengan imago betina (Zulkefli dkk, 2004). Sycanus relatif mudah dikenali karena bentuknya yang khas. Kepik ini memiliki ciri kepala memanjang, bagian belakang kepala menggenting mirip leher, rostrum pendek dan kokoh. Tubuhnya berwarna hitam dengan tanda segitiga kuning di bagian tengah sayap depan. Panjang tubuh 2,25 cm dan lebar bagian abdomennya 0,5 cm (Mukhopadhyay dan Sarker, 2009). Kepik ini adalah pemburu yang ganas. Sewaktu mencari mangsa geraknya lamban, tetapi jika mangsa telah ditemukan pada jarak tertentu akan menyergap dengan tiba tiba dan mengisap habis cairan tubuh mangsa tersebut (Susilo, 2007).
Gambar 3. Sycanus croceovittatus Dohrn. Sumber. http://sycanus_croceovittatus.pict.html Pelepasan Predator E. Furcellata dan Sycanus croceovittatus E. furcellata diketahui memangsa hampir semua larva lepidoptera yang ada pada perkebunan kelapa sawit. Predator ini dapat dijumpai di perkebunan kelapa sawit mulai dari Sumatera Utara, Lampung, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Kepik ini juga merupakan predator penting bagi larva Limacodidae di Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand dan India (Kalshoven, 1981). Nimfa Sycanus mempunyai siklus hidup yang lama, aktivitas makan lambat dan berlangsung pada siang hari. Ketika ulat api tersedia, kepik ini akan menusuk dengan segera dan mengisap cairan tubuh ulat dalam waktu 4 sampai 5 jam (Sipayung dkk, 1988). Pelepasan sejumlah besar predator secara periodik merupakan salah satu teknik pemanfaatan predator untuk mengendalikan ulat pemakan daun kelapa sawit.
Dalam jangka pendek tindakan ini diharapkan akan dapat menekan populasi hama sasaran secara langsung, sedangkan dalam jangka panjang diharapkan dapat menggeser keseimbangan alami ke arah yang lebih menguntungkan sehingga ledakan populasi hama berikutnya dapat dicegah (Prawirosukarto dkk., 1991). Biologi Ulat Api Setothosea asigna Eecke (Lepidoptera : Limacodidae) berikut: Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai Kingdom Pilum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda : Insekta : Lepidoptera : Limacodidae : Setothosea : Setothosea asigna Eeck Telur Telur diletakkan berderet 3 4 baris sejajar dengan permukaan daun sebelah bawah, biasanya pada bawah pelepah daun ke 6 17. Satu tumpukan telur berisi sekitar 44 butir dan seekor ngengat betina mampu menghasilkan telur 300 400 butir telur menetas 4 8 hari setelah diletakkan. Ulat yang baru menetas hidup berkelompok, mengikis daging daun dari permukaan bawah (Prawirosukarto dkk., 2003).
Larva Ulat berwarna hijau kekuningan dengan bercak bercak yang khas di bagian punggungnya. Selain itu, di bagian punggungnya juga dijumpai duri duri yang kokoh (Prawirosukarto dkk, 2003). Larva yang baru menetas hidup berkelompok, mengikis daging daun dari permukaan bawah dan meninggalkan epidermis bagian atas permukaan daun. Pada instar 2 3 larva memakan daun mulai dari ujung ke arah bagian pangkal daun (Purba dkk, 2005). Gambar 4. Larva S. asigna Sumber. http://staff.unud.content_upload_pict Pupa Larva sebelum menjatuhkan diri menjadi pupa menjatuhkan diri pada permukaan tanah yang relatif gembur di sekitar piringan atau pangkal batang kelapa sawit. Pupa diselubungi oleh kokon yang terbuat dari air liur ulat, berbentuk bulat telur dan berwarna coklat gelap. Kokon jantan dan betina masing masing berukuran 16 x 13 mm dan 20 x 16,5 mm. Stadia pupa berlangsung selama ± 39,7 hari (Purba dkk, 2005).
Imago Imago jantan dan betina masing masing lebar rentangan sayapnya 41 mm dan 51 mm. Sayap depan berwarna coklat tua dengan garis transparan dan bintik bintik gelap, sedangkan sayap belakang berwarna coklat muda (Prawirosukarto dkk, 2003). Gambar 5. Imago S. asigna Sumber. http:// staff.unud.content_upload_pict Gejala Serangan Gejala serangan yang disebabkan ulat api yakni helaian daun berlubang atau habis sama sekali sehingga hanya tinggal tulang daun saja. Gejala ini dimulai dari daun bagian bawah. Dalam kondisi yang parah tanaman akan kehilangan daun sekitar 90%. Pada tahun pertama setelah serangan dapat menurunkan produksi sekitar 69% dan sekitar 27% pada tahun kedua (Fauzi dkk, 2002). Kerusakan daun tanaman yang demikian menyebabkan tanaman tidak berproduksi sampai tiga tahun kemudian. Kalau pun terbentuk tandan buah, biasanya
terjadi aborsi atau berbentuk tandan buah abnormal, tidak proporsional, dan buah busuk sebelum matang (Prawirosukarto dkk, 2003). Gambar 6. Gejala Serangan Ulat Api Sumber. http:// staff.unud.content_upload_pict Pengendalian Hayati Ulat Api S. Asigna Pengendalian hayati ulat api pada kelapa sawit dapat menggunakan mikroorganisme entomopatogenik, yaitu jamur Cordyceps militaris, bakteri Bacillus thuringensis, virus Nudaurelia dan Multiple nucleopolyhedrovirus (MNPV) (Prawirosukarto dkk, 1997). Pelepasan sejumlah besar predator secara periodik juga dapat mengendalikan ulat pemakan daun kelapa sawit. Dalam jangka pendek tindaan ini diharapkan akan dapat menekan populasi hama sasaran secara langsung, sedangkan dalam jangka panjang diharapkan dapat menggeser keseimbangan alami kearah yang lebih
menguntungkan sehingga ledakan populasi hama berikutnya dapat dicegah (Prawirosukarto dkk, 1991).