BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup tanpa berelasi dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan membutuhkan interaksi dengan sesama. Ketergantungan dengan

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap

BAB I PENDAHULUAN. Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Attachment menurut Bowlby (dalam Mikulincer & Shaver, 2007) adalah

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, antara pria dan

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

BAB I PENDAHULUAN. lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu manusia

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BAB I PENDAHULUAN. baik secara fisik maupun psikis. Menurut Paul dan White (dalam Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah masa dewasa muda. Pada masa ini ditandai dengan telah tiba saat bagi

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN (ATTACHMENT) DAN INTIMACY PADA MAHASISWA YANG BERPACARAN. : Elfa Gustiara NPM : : dr. Matrissya Hermita, M.

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

HUBUNGAN ANTAR PRIBADI

BAB I PENDAHULUAN. orang tua dengan anak. Orang tua merupakan makhluk sosial pertama yang

1.PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

Lampiran 1. Data Penunjang dan Kuesioner Self Esteem dan Jealousy. Frekuensi bertemu dengan pasangan : Sering ( setiap hari )

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB I PENDAHULUAN. penting menuju kedewasaan. Masa kuliah akan menyediakan pengalaman akademis dan

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan romantis. Hubungan romantis (romantic relationship) yang juga

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. disebut sebagai beranjak dewasa (emerging adulthood) yang terjadi dari usia 18

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Cinta. kehilangan cinta. Cinta dapat meliputi setiap orang dan dari berbagai tingkatan

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI TINGKAH LAKU INTIM DARI EMPAT POLA ATTACHMENT

DATA SUBJEK SUBJEK I SUBJEK II SUBJEK III

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan kecemburuan, pola

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

Bab I Pendahuluan. Mahasiswa masuk pada tahapan perkembangan remaja akhir karena berada pada usia 17-

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

HUBUNGAN ANTARA SECURE ATTACHMENT DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJADI SMAN 2 PADANG. Winda Sari Isna Asyri Syahrina

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil survei yang dilakukan Hotline Pendidikan dan Yayasan Embun

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

PENDAHULUAN. seperti ayah, ibu, dan anak. Keluarga juga merupakan lingkungan yang

BAB I PENDAHULUAN. sendirian. Manusia sebagai mahkluk sosial membutuhkan interaksi dengan. sendiri dan orang lain sepanjang rentang kehidupannya.

2016 HUBUNGAN ATTACHMENT ANAK TERHADAP ORANGTUA DAN PEER PRESSURE DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA DI SMAN 1 SUKATANI PURWAKARTA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kelekatan. melekat pada diri individu meskipun figur lekatnya itu tidak tampak secara fisik.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pertama (SMP) atau sederajat. Jenjang pendidikan ini dimulai dari kelas X sampai kelas XII

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan mahluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam menjalani suatu

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia

BAB I PENDAHULUAN. paling menarik dari percepatan perkembangan seorang remaja adalah

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Remaja mengalami perkembangan begitu pesat, baik secara fisik maupun

Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan jaman yang melaju sangat pesat dan persaingan global

BAB I PENDAHULUAN. struktur nilai dan norma-norma pada masyarakat. Salah satunya, terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Katolik, Hindu, dan Budha. Negara menjamin kebebasan bagi setiap umat bergama untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Istilah Kelekatan (attachment) untuk pertama kalinya. resiprokal antara bayi dan pengasuhnya, yang sama-sama memberikan

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun. Pada masa ini, orang-orang mencari keintiman emosional dan fisik

BAB I PENDAHULUAN. proses pembelajaran peserta didik yang dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. untuk pertama kalinya belajar berinteraksi atau melakukan kontak sosial

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran manusia lain karena mereka dapat saling melengkapi untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi sendiri. Pada masa awal kelahirannya, manusia merasakan lingkungan merupakan ancaman bagi dirinya karena keadaan lingkungan berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, manusia yang baru dilahirkan mendapatkan perasaan aman dari interaksi dengan ibu yang melahirkannya atau figur pengasuh lain yang merawatnya. Manusia akan membentuk ikatan emosional yang mendalam dengan orangtua / figur pengasuh lain yang merawatnya dan ikatan emosional ini di lingkup Psikologi dikenal dengan istilah attachment (Santrock, 2006). Anak yang memiliki attachment dengan orangtua dapat diketahui dari perilakunya yang selalu ingin dekat dengan orangtuanya (Bowlby, 1969). Attachment ini tidak hanya terjadi pada masa anak dan remaja, melainkan akan terus berjalan sepanjang rentang kehidupan individu hingga terjadinya relasi pada usia dewasa awal (Hazan dan Shaver, 1987). Masa dewasa awal sebagian besar berada pada usia 18 24 tahun yang merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola kehidupan dan harapan-harapan 1

2 sosial baru. Secara sosial, perkembangan ini ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan terhadap orangtua. Individu biasanya akan semakin mengenal komunitas luar melalui interaksi sosial yang dilakukan di perguruan tinggi, pergaulan teman sebaya ataupun masyarakat luas. Pada masa ini pula ketertarikan pada lawan jenis sudah mulai muncul dan berkembang. Mereka akan mengalami berbagai fase dalam menjalin hubungan dan berinteraksi dengan orang lain. Relasi tersebut dimulai dari berkenalan, menjadi teman, bersahabat sampai akhirnya menjalin hubungan romantis dengan lawan jenisnya atau yang dikenal dengan pacaran. Menurut Duval dan Miller (1985), pacaran merupakan tugas penting dalam perkembangan dewasa awal. Hubungan pacaran banyak ditemui pada individu di usia dewasa awal khususnya mahasiswa di Universitas X. Ketika menjalani hubungan pacaran, mahasiswa berada pada tahap steady dating dimana pasangan mahasiswa lebih rutin berpacaran dan dapat lebih mengenal serta menilai pribadi pasangannya untuk sebagai proses pencarian pasangan hidupnya. Mereka dapat membangun persahabatan dan aktivitas bersama dengan pasangannya di sekitar kampus maupun di luar kampus sehingga masing-masing dapat mengenal kebiasaan, karakter atau sifat dari pasangannya. Berbeda dengan hubungan pacaran pada masa remaja, hubungan pacaran mahasiswa pada masa dewasa awal lebih serius dan bukan sekedar untuk kesenangan saja (http://m.kompasiana.com/mahasiswa-tingkat-akhir-caripasangan-hidup diakses pada tanggal 10 Oktober 2014). Mahasiswa yang berada pada masa dewasa awal menjalani hubungan pacaran lebih didasari oleh komitmen, kepercayaan, kasih sayang dan keintiman yang lebih

3 mendalam. Tidak sedikit mahasiswa yang menonjolkan unsur seksual di dalamnya seperti berpelukan, berciuman, bercumbu (petting), dan sampai melakukan hubungan seksual pranikah. Sehubungan dengan hal-hal tersebut, mahasiswa beranggapan bahwa unsur seksual dalam berpacaran dapat menjadi cara untuk mengungkapkan rasa cinta dalam bentuk kedekatan fisik dan semakin mempererat perasaan cinta mahasiswa dengan pasangannya. Hubungan pacaran yang dijalani mahasiswa tentu saja tidak terlepas dari konflik yang dapat terjadi dalam hubungan tersebut. Cara mahasiswa memperlakukan pasangannya dan komunikasi satu sama lain dapat memengaruhi ikatan yang dibentuk mahasiswa dengan pasangannya. Adanya ketidakcocokan antara sikap individu dengan pasangannya dapat menyebabkan pertengkaran dan menghambat hubungan pacaran tersebut. Mahasiswa juga terkadang dihadapkan dengan perlakuan buruk yang dilakukan oleh pasangannya, baik secara fisik maupun mental. Perlakuan buruk ini dapat muncul dari sikap posesif dan rasa tidak percaya terhadap pasangan (http://www.psikoterapis.com/?en-konflik-dalam-cinta,164 diakses pada tanggal 20 December 2014). Mahasiswa yang menjalin hubungan pacaran memiliki ikatan emosional yang kuat serta rasa cinta kepada pasangannya. Dalam masa dewasa awal, ikatan emosional tersebut dikenal dengan istilah Adult Attachment. Menurut Bartholomew (1991), Adult Attachment merupakan kecenderungan manusia yang berupaya menciptakan ikatan afeksi yang kuat dengan orang tertentu. Adult attachment terdiri dari dua dimensi yang membentuk attachment pada masa dewasa dalam relasi dengan

4 pasangan, yaitu model of self dan model of others yang masing-masing dapat bervalensi positif atau negatif (Bartholomew, 1991). Model of self merupakan kecenderungan seberapa positif atau negatif penghayatan individu mengenai dirinya sendiri, yaitu penghayatan kelayakan dirinya untuk dicintai, memperoleh dukungan, kenyamanan dan kasih sayang dari figur attachment-nya. Model of others merupakan kecenderungan seberapa positif atau negatif penghayatan individu terhadap figur attachment-nya, yaitu penghayatan seberapa siap figur attachment dalam memberikan dukungan, perhatian, responsif, dan dapat diandalkan pada saat dibutuhkan. Kombinasi dari kedua dimensi tersebut memunculkan empat variasi tipe Adult Attachment Styles, yaitu Secure (positif model of self dan model of others), Anxious (negatif model of self dan positif model of others),avoidant (positif model of self dan negatif model of others) dan Fearful (negatif model of self dan model of others). Pada studi Hazan & Shaver terhadap 620 pria dan wanita, ditemukan bahwa hubungan pasangan yang memiliki Adult Attachment tipe Secure berhubungan positif dengan kepuasan dan kelanggengan suatu hubungan romantis. Secure attachment cenderung dapat bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan tipe attachment lainnya. Menurut survei awal yang dilakukan peneliti terhadap sepuluh mahasiswa yang menjalani hubungan pacaran, didapatkan informasi bahwa terdapat lima responden (50%) yang berpacaran lebih dari satu tahun merasa cemas dengan hubungan pacaran yang dijalaninya. Responden merasa takut kehilangan dan ditinggalkan oleh pasangannya walaupun pasangannya telah memberikan perhatian

5 dan kasih sayang kepada dirinya. Salah satu responden mengaku bahwa hubungan pacaran tersebut adalah yang pertama kali dijalaninya dan ia merasa kurang percaya terhadap pasangannya karena merasa pasangannya adalah orang yang tertutup sehingga menimbulkan rasa curiga dan cemburu yang berlebihan terhadap pasangannya. Salah satu responden mengaku sering melarang pasangannya untuk berteman dengan lawan jenisnya dan ia mengontrol hampir semua aktivitas yang dijalani oleh pasangannya. Salah satu responden mengaku sudah melakukan hubungan seks pranikah dengan pasangannya sehingga hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan untuk tetap mempertahankan hubungan pacaran mereka dan membuat ia khawatir jika pasangannya meninggalkannya. Hubungan pacaran kelima responden diatas memiliki ciri-ciri yang mengarah pada Anxious Adult Attachment Styles. Pada tiga responden (30%) yang sudah menjalani hubungan pacaran selama lebih dari tiga tahun mengungkapkan bahwa mereka menghayati dirinya layak dicintai oleh pasangannya dan yakin bahwa pasangannya juga mencintai dirinya. Seluruh responden menghayati bahwa hubungan pacaran mereka adalah hubungan yang bahagia dan akan bertahan lama walaupun tidak terlepas dari konflik dalam berpacaran. Mereka memiliki rasa saling percaya, saling mendukung, merasa cocok dan mengerti satu sama lain. Ketika sedang mengalami masalah, mereka selalu membicarakan masalah tersebut secara baik-baik dan selama menjalani hubungan pacaran, belum pernah ada masalah besar yang menjadi penghambat dalam hubungan tersebut. Salah satu dari ketiga responden lainnya tetap memiliki rasa saling percaya

6 dan setia satu sama lain walaupun menjalani hubungan pacaran jarak jauh yang berbeda kota. Ketiga responden diatas memiliki ciri-ciri yang mengarah pada Secure Adult Attachment Styles. Berbeda lagi dengan dua responden (20%) yang masing-masing sudah menjalani hubungan pacaran selama dua tahun mengaku bahwa mereka menghayati dirinya layak untuk dicintai dan mendapatkan kasih sayang dari pasangannya namun responden juga merasa hubungan pacaran yang dijalani sebagai hubungan yang kurang bahagia karena merasa lebih nyaman untuk tidak dekat dan bergantung dengan pasangannya. Salah satu responden mengaku bahwa ada beberapa hal yang menjadi masalah dalam hubungan tersebut, yaitu ia merasa pasangannya kurang layak untuknya karena memiliki status sosial-ekonomi yang berbeda dan hubungan mereka tidak disetujui oleh orangtuanya sehingga hal tersebut membuat responden menjadi menghindar dari pasangannya. Responden lainnya jarang berkomunikasi dengan pasangannya walaupun tinggal dilokasi yang berdekatan. Ia lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-temannya dibandingkan dengan pasangannya karena ia menganggap bahwa hubungan dengan pasangannya hanya sekedar status. Responden memilih untuk tetap menjalani hubungan pacaran karena faktor lama pacaran yang sudah terhitung cukup lama dan masing-masing keluarga pasangan sudah saling kenal. Hubungan berpacaran responden ini memiliki ciri-ciri yang mengarah pada Avoidant Adult Attachment Styles. Jadi, dapat disimpulkan bahwa terdapat lima responden (50%) yang memiliki Anxious Adult Attachment, tiga responden (30%) memiliki Secure Adult Attachment

7 dan dua responden (20%) lainnya memiliki Avoidant Adult Attachment. Tipe Adult Attachment yang dimiliki tiap-tiap responden memegang peranan penting terhadap keberhasilan dan kegagalan dalam suatu hubungan romantis. Berdasarkan tipe Adult Attachment yang berbeda-beda dalam hubungan berpacaran yang dibangun mahasiswa inilah yang menjadi daya tarik bagi peneliti untuk mengkaji Adult Attachment Styles pada mahasiswa yang menjalani hubungan pacaran di Universitas X. 1.2 Identifikasi Masalah Melalui penelitian ini peneliti ingin memeroleh gambaran mengenai Adult Attachment Styles pada mahasiswa yang menjalani hubungan pacaran di Universitas X kota Bandung 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk memeroleh gambaran mengenai Adult Attachment Styles pada mahasiswa yang menjalani hubungan pacaran di Universitas X kota Bandung 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memeroleh gambaran mengenai Adult Attachment Styles dan faktor-faktor yang memengaruhi Adult Attachment Styles pada mahasiswa yang menjalani hubungan pacaran di Universitas X kota Bandung.

8 1.4 Kegunaan Penelitian yaitu Kegunaan penelitian ini terdiri atas kegunaan teoretis dan kegunaan praktis, 1.4.1 Kegunaan Teoretis Kegunaan teoretis dari penelitian ini adalah : 1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi, khususnya di bidang Psikologi Perkembangan mengenai Adult Attachment Styles mahasiswa yang berpacaran. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian dalam topik yang serupa mengenai bagaimana gambaran Adult Attachment Styles. 1.4.2 Kegunaan Praktis Kegunaan praktis penelitian ini adalah : 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi mahasiswa yang sedang menjalani hubungan pacaran mengenai Adult Attachment Styles sebagai bahan evaluasi dan pemahaman tipe attachment untuk meningkatkan kualitas relasinya.

9 2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi bagi konselor untuk dapat lebih memahami permasalahan yang berhubungan dengan Adult Attachment dan intervensi dalam proses konseling. 1.5 Kerangka Pemikiran Mahasiswa berada dalam masa dewasa awal yang berada pada rentang usia 18-40 tahun (Santrock, 2006). Pada masa ini, mahasiswa dihadapkan pada tugas perkembangan yakni mencapai kemandirian dalam berbagai hal, salah satunya dalam hal ekonomi dan mengambil keputusan, mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang baik, serta menjalin hubungan dengan lawan jenis (Santrock, 2006). Ketika berinteraksi dengan lawan jenis, mahasiswa akan mengalami ketertarikan satu sama lain dan dari ketertarikan inilah mahasiswa akan lebih saling mengenal dan memiliki hubungan yang dekat. Mahasiswa memiliki kebutuhan untuk membuat komitmen untuk terikat dalam suatu hubungan interpersonal dengan lawan jenisnya yang dikenal dengan pacaran. Pacaran merupakan suatu hubungan antara dua orang yang berbeda jenis kelamin dan saling memiliki keterikatan emosi dimana hubungan ini didasarkan karena adanya perasaan-perasaan tertentu dalam hati masing-masing serta diwarnai dengan keintiman (Duval dan Miller, 1987). Mahasiswa yang menjalani hubungan pacaran memiliki keterikatan emosional dan hubungan yang intim dengan pasangannya. Ikatan emosional ini akan membentuk suatu attachment antara mahasiswa dan pasangannya selama masa hubungan pacaran. Attachment merupakan hubungan emosional yang dekat ketika

10 berinteraksi dengan figur tertentu yang dikarakteristikkan dengan saling mengasihi dan adanya keinginan untuk menjaga kedekatan fisik terutama ketika sedang berada dalam situasi tertekan (Bowlby dalam Mikulincer & Shaver, 2007). Attachment pertama kali terbentuk pada saat anak berumur 6 atau 7 bulan dan pada masa kanak-kanak attachment yang terbentuk adalah pada figur orangtua. Attachment pada masa kanak-kanak cenderung menunjukkan perilaku untuk selalu dekat dengan orangtua. Anak-anak membutuhkan kehadiran serta kontak fisik dengan orangtuanya agar anak merasa aman. Melalui pengalaman interaksi individu dengan orangtuanya, anak akan membentuk suatu internal working model yang merupakan pola pikir individu mengenai penilaian akan dirinya sendiri dan orang lain yang digunakan untuk membangun hubungan dalam kehidupan sehari-hari. Seiring bertambahnya usia, figur attachment pada individu turut mengalami pergeseran. Pada masa kanak-kanak, figur attachment berpusat pada caregiver. Ketika memasuki masa remaja, figur attachment beralih pada teman, demikian pula pada masa dewasa awal, figur attachment mahasiswa tertuju pada pasangan dalam menjalin hubungan romantis dan dan dikenal dengan istilah Adult Attachment. Mahasiswa akan menjadikan pasangannya sebagai dasar rasa aman ketika mahasiswa mengalami kesulitan atau tekanan. Perkembangan attachment pada mahasiswa di masa dewasa bersifat timbal balik dengan pasangannya dan lebih mampu bertoleransi terhadap perpisahan dengan pasangannya. Adult attachment yang berkembang pada hubungan berpacaran mahasiswa memiliki fungsi yang sama dengan ikatan emosional antara mahasiswa dan orangtua di masa lalunya (Hazan dan Shaver, 1987).

11 Dalam menjalin hubungan pacaran, mahasiswa akan mengembangkan internal working model yang memiliki dua dimensi yaitu model of self dan model of others (Bartholomew dan Horowitz, 1991). Dimensi model of self berkaitan dengan bagaimana mahasiswa menilai dirinya sendiri dalam hubungan dengan pasangannya. Semakin positif model of self, semakin tinggi rasa keberhargaan diri (self-worth) mahasiswa dalam hubungan dengan pasangannya. Sebaliknya, semakin negatif model of self, mahasiswa akan merasa cemas dan merasa bahwa ia tidak layak diterima dan dicintai oleh pasangannya. Dimensi model of others berkaitan dengan bagaimana mahasiswa menilai respons pasangannya untuk mendukung dan melindunginya ketika dibutuhkan. Semakin positif model of others, mahasiswa akan menilai bahwa pasangannya selalu siap untuk mendukungnya dan dapat diandalkan. Semakin negatif model of others, mahasiswa menilai pasangannya tidak responsif dan tidak mendukung dalam hubungan pacaran tersebut. Model of others berkaitan dengan kecenderungan mahasiswa untuk mencari atau menghindari kedekatan dalam relasi dengan pasangannya. Berdasarkan dimensi model of self dan model of others, Adult Attachment Styles terbagi menjadi empat tipe yaitu secure (positif model of self dan others), anxious / ambivalent (negatif model of self dan positif model of others), avoidant (positif model of self dan negatif model of others) dan fearful (negatif model of self dan model of others. Mahasiswa yang berpacaran akan mengembangkan tipe attachment yang berbeda-beda antara pasangan satu dengan yang lainnya karena dipengaruhi oleh berbagai permasalahan yang terjadi dalam hubungan pacaran

12 mereka dan tipe attachment inilah yang akhirnya menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu hubungan romantis. Mahasiswa dengan dimensi positif model of self dan model of others akan merasa bahwa dirinya berharga dan memiliki kekhawatiran yang rendah bahwa ia akan ditolak oleh pasangannya. Mahasiswa merasa nyaman dalam menjalin keintiman dengan pasangannya dan memiliki keyakinan bahwa dirinya dicintai pasangannya. Pasangan mahasiswa akan memberikan kenyamanan serta perlindungan di saat mereka membutuhkan. Mahasiswa memiliki rasa saling percaya dan mahasiswa tidak akan merasakan kekhawatiran yang berlebihan apabila pasangannya meninggalkannya. Kedua dimensi ini akan menghasilkan tipe Secure Adult Attachment pada hubungan berpacaran. Dalam hubungan romantisnya, ketika mengalami konflik dengan pasangannya, permasalahan akan diselesaikan dengan membicarakan kesalahan serta kekurangan masing-masing pasangan dan mahasiswa yang secure lebih mudah untuk memaafkan pasangannya. Hubungan romantis mahasiswa yang secure cenderung dapat bertahan lebih lama dan memiliki tingkat kepuasan yang lebih besar dibandingkan dengan tipe Adult Attachment Styles lainnya karena adanya rasa saling percaya, saling menerima dan saling mendukung satu sama lain (Hazan & Shaver, 1987). Mahasiswa dengan dimensi negatif model of self dan positif model of others memiliki kebutuhan yang kuat untuk dekat dan bergantung kepada pasangannya namun seringkali merasa khawatir / cemas bahwa pasangannya sebenarnya tidak mencintainya seperti ia mencintai pasangannya dan berpikir bahwa kelak

13 pasangannya akan meninggalkannya. Mahasiswa kurang memiliki kepercayaan diri serta memiliki pandangan bahwa pasangannya tidak ingin berkomitmen terhadap hubungan jangka panjang. Kecemasan yang dialami mahasiswa yang berpacaran menyebabkan mereka menuntut banyak hal dari pasangannya dan munculnya perasaan cemburu yang cenderung berlebihan sehingga mahasiswa dapat menunjukkan sikap posesif terhadap pasangan dan membatasi aktivitas pasangannya. Mahasiswa akan menuntut pasangannya untuk selalu meminta izin ketika pasangannya ingin mengikuti suatu kegiatan di kampus / di luar kampus. Mahasiswa memperlihatkan perilaku manja, bergantung kepada pasangannya dan memiliki emosi yang kurang stabil yang dapat memicu konflik / pertengkaran dalam hubungan pacaran. Mahasiswa yang memiliki kedua dimensi tersebut menghasilkan tipe Anxious Adult Attachment Styles. Mahasiswa yang memiliki dimensi positif model of self dan negatif model of others akan merasa tidak nyaman dengan kedekatan / keintiman dengan pasangannya. Mahasiswa ingin melindungi dirinya dari perlakuan buruk dari pasangannya, rasa kecewa / sakit hati dengan menghindari kedekatan dengan pasangan, mengandalkan dirinya sendiri dan lebih memilih untuk tidak bergantung kepada pasangannya. Mahasiswa memiliki pandangan negatif kepada pasangannya yakni bahwa pasangannya tidak dapat diandalkan dan tidak responsif ketika dibutuhkan. Mahasiswa akan cenderung menghindari pasangannya dan jarang menghabiskan waktu untuk bersama-sama. Mahasiswa juga memiliki stabilitas emosi yang rendah serta sulit mengizinkan diri sendiri untuk bergantung kepada pasangan. Pasangan

14 mahasiwa tidak memiliki kehangatan satu sama lain dan tidak dapat memberikan dukungan emosional yang tinggi kepada pasangannya. Mahasiswa yang memiliki kedua dimensi tersebut menghasilkan tipe Avoidant Adult Attachment. Mahasiswa yang memiliki dimensi negatif model of self dan model of others akan merasa tidak nyaman bila dekat secara emosional dengan pasangannya. Secara umum mahasiswa menginginkan relasi yang dekat dengan pasangannya, namun mahasiswa merasa sulit untuk mempercayai pasangannya secara utuh atau bergantung kepada pasangannya. Bila berdekatan dengan pasangannya, mahasiswa merasa khawatir bahwa pasangannya akan menyakitinya kelak. Seringkali mahasiswa merasa tidak layak untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari pasangannya. Selain itu, mahasiswa juga sering merasa curiga terhadap pasangannya. Mereka kurang mencari intimacy dengan pasangannya dan seringkali menyimpan ataupun menyembunyikan perasaan mereka ketika sedang ada masalah. Mahasiswa yang memiliki kedua dimensi tersebut menghasilkan tipe Fearful Adult Attachment. Menurut Bartholomew dan Ainsworth, Adult Attachment Styles dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang pertama adalah pengalaman pada masa lalu. Pengalaman masa lalu berkaitan dengan kehidupan mahasiswa sebelum memasuki usia dewasa terutama pengalaman dengan figur attachment / orangtua. Attachment mahasiswa yang berkembang pada hubungan romantis di masa dewasa dipengaruhi oleh attachment dengan orangtua ketika masa kecilnya (Hazan dan Shaver, 1987). Apabila di masa kecilnya mahasiswa yang menjalani hubungan pacaran di Universitas X memiliki orangtua yang mendukung kebutuhannya dan memiliki

15 hubungan yang akrab dengan orangtuanya, mahasiswa akan mengembangkan tipe Secure Attachment dengan orangtuanya. Ketika masa dewasa, pengalaman tersebut akan membuat mahasiswa memiliki penghayatan positif terhadap dirinya sendiri sehingga mahasiswa merasa bahwa dirinya berharga dan layak dicintai oleh orang lain serta cenderung dapat menjadi pribadi yang mudah bergaul dan percaya diri. Dalam menjalani relasi, pasangan dipandang sebagai seseorang yang mengerti dan menyayanginya. Hal ini membuat mahasiswa memiliki hubungan romantis dan penuh kasih dengan pasangannya yang menunjukkan Secure Adult Attachment Styles. Apabila mahasiswa memiliki orangtua yang kurang konsisten dalam mengasuh mereka, orangtua yang menunjukkan sikap penolakan dan sering memaksakan keinginan kepada anaknya serta seringkali memberikan ancaman perpisahan untuk mengontrol tingkah laku anak, mahasiswa dengan pengalaman masa lalu seperti itu akan mengembangkan perasaan ketidakberhargaan diri dan merasa kuatir bahwa orangtuanya tidak menyayanginya. Hal tersebut membuat mahasiswa mengembangkan tipe Avoidant Attachment dengan orangtuanya. Dalam berelasi dengan pasangan di masa dewasa maka mahasiswa memandang diri sendiri kurang layak dicintai dan akan cenderung menjadi individu yang kurang percaya diri, mudah jatuh cinta tetapi sulit untuk menemukan cinta sejati, penuh rasa ingin memiliki pasangan, posesif terhadap pasangan, penuh dengan rasa cemburu dan sering melarang pasangan untuk melakukan kegiatan tertentu. Hal tersebut merupakan ciri dari tipe Anxious Adult Attachment Styles.

16 Mahasiswa yang menjalani hubungan pacaran di Universitas X yang pada masa kecilnya sering mendapat perlakuan yang dingin, tidak diperhatikan oleh orangtua, dan bahkan penolakan dari orangtuanya, mahasiswa akan merasa orangtuanya tidak menyayangi dan tidak mau menerima dirinya. Mahasiswa menghayati dirinya berharga dan layak untuk dicintai namun memandang orangtuanya tidak dapat diandalkan dan akan menyakiti dirinya. Hal tersebut membuat mahasiswa mengembangkan tipe Avoidant Attachment dengan orangtuanya. Dalam berelasi dengan pasangannya di masa dewasa, mahasiswa cenderung akan menghindari keintiman dengan pasangannya, tidak mau bergantung dengan pasangannya serta sulit untuk menerima kekurangan pasangan dan Hal tersebut merupakan ciri dari tipe Avoidant Adult Attachment Styles. Apabila mahasiswa pada masa kecilnya memiliki orangtua yang sering menolak secara konsisten dan tidak responsif dalam berkomunikasi, mahasiswa akan merasa dirinya tidak berharga dan memandang orangtuanya tidak menyayangi dan tidak mau menerima dirinya. Mahasiswa Akan mengembangkan tipe Fearful Attachment dengan orangtuanya. Berbeda dengan pola Avoidant, mahasiswa dengan tipe Fearful tidak berusaha memenuhi sendiri kebutuhan dirinya, melainkan mencari penghargaan diri dari penilaian positif orang lain terhadap dirinya. Mahasiswa menganggap dirinya tidak layak dicintai karena selalu ditinggal dan ditolak orangtuanya. Dalam berelasi dengan pasangan di masa dewasa, mahasiswa akan mempertahankan jarak (emosional) dengan pasangannya dan mencegah pasangannya

17 untuk menjalin hubungan yang terlalu dekat dengannya. Hal tersebut merupakan ciri dari tipe Fearful Adult Attachment Styles. Faktor yang kedua yang memengaruhi Adult Attachment Styles adalah jenis kelamin. Feeney dan Nooler (1996) menyatakan bahwa perempuan memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Dalam hubungan pacaran, tingkat kecemasan ini akan membuat mahasiswa merasa kuatir dan cemas dengan hubungan pacaran yang di jalaninya. Kecemasan tersebut berdampak pada rasa curiga, kecemburuan, tidak yakin bahwa pasangannya mencintai dirinya dan merasa kuatir bahwa pasangannya akan meninggalkannya. Hal tersebut akan memengaruhi kualitas hubungan mahasiswa dengan pasangannya. Faktor yang ketiga adalah penghayatan terhadap relasi dengan pasangannya. Memiliki penghayatan yang positif atau negatif tentang relasi dengan pasangan akan berpengaruh terhadap Adult Attachment Styles. Penghayatan yang positif akan membuat mahasiswa lebih memiliki hubungan relasi yang sehat dengan pasangannya. Mahasiswa akan merasa akrab dan nyaman ketika sedang berelasi dengan pasangannya, mahasiswa juga merasa dihargai dan merasa puas dengan hubungan pacaran yang dijalaninya. Sebaliknya penghayatan yang negatif akan membuat mahasiswa merasa kesulitan untuk melakukan interaksi yang sehat dengan pasangannya, mahasiswa merasa bahwa pasangannya tidak responsif dan merasa tidak puas / kecewa dengan hubungan pacaran yang mereka jalani.

18 1.5.1 Bagan Kerangka Pemikiran - Pengalaman masa lalu - Jenis kelamin - Penghayatan dalam relasi dengan pasangan Mahasiswa yang menjalani hubungan pacaran Adult Attachment Styles Internal working model: - Model of self - Model of others Secure Anxious / Preoccupied Avoidant / Dismissive Fearful Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran 1.6 Asumsi 1. Pada umumnya, masa dewasa awal merupakan masa untuk menjalin relasi yang matang dengan lawan jenis dalam bentuk pacaran. 2. Terdapat dua dimensi internal working model yang berkembang pada diri mahasiswa, yaitu model of self dan model of others. Kedua dimensi ini dapat bernilai positif dan negatif dan kombinasi tersebut akan membentuk variasi tipe dari Adult Attachment Styles.

19 3. Berdasarkan variasi dari kedua dimensi tersebut, Adult Attachment dibagi menjadi empat tipe yaitu Secure, Anxious, Avoidant dan Fearful. 4. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi Adult Attachment Styles yang dimiliki mahasiswa yang menjalani hubungan pacaran, yaitu pengalaman masa kecil, jenis kelamin dan penghayatan dalam relasi dengan pasangan.