TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Dirofilaria immitis Gambaran Morfologi

dokumen-dokumen yang mirip
PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan yang lainnya sehingga mendorong manusia untuk memberi perhatian lebih.

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dirofilaria immitis (D. immitis) yang dikenal sebagai cacing jantung,

Prevalensi pre_treatment

POTENSI NYAMUK Aeries albopictus (DLE'TERA : CULICIDAE) SEBAGAI. VEKTOR DirojiZaria inzmitis (NEMATODA : FILARIIDAE) PADA ANJING HAMNY B

PENYAKIT CACING JANTUNG. Infeksi cacing jantung (dirofilariasis) disebabkan oleh D. immitis,

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI

Proses Penularan Penyakit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Asia Tenggara termasuk di Indonesia terutama pada penduduk yang

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB I PENDAHULUAN.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

KBM 8 : Arthropoda Sebagai Vektor dan Penyebab Penyakit didik.dosen.unimus.ac.id

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem

PENYAKIT-PENYAKIT DITULARKAN VEKTOR

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB XX FILARIASIS. Hospes Reservoir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Diantara kota di Indonesia, Kota Bandar Lampung merupakan salah satu daerah

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi

COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI ( )

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. puncak kejadian leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB II TINJAUAN DEMAM BERDARAH DENGUE

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

MACAM-MACAM PENYAKIT. Nama : Ardian Nugraheni ( C) Nifariani ( C)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan

1. BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

I. PENDAHULUAN. Ikan kerapu (Epinephelus sp.) merupakan jenis ikan air laut yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

PERBEDAAN CARDIOTHORACIC RATIO

PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH RHESUS

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

I. PENGANTAR. Separuh dari keseluruhan penduduk dunia, diperkirakan 3,3 miliar orang,

Etiology dan Faktor Resiko

TREMATODA PENDAHULUAN

Analisis Hayati UJI TOKSISITAS. Oleh : Dr. Harmita

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Arti tuberkulosis. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DEFINISI KASUS MALARIA

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 6. SISTEM TRANSPORTASI PADA MANUSIALATIHAN SOAL

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

KONFIRMASI KEBERADAAN CACING Dirofilaria immitis PADA ANJING BERDASARKAN TANDA-TANDA KLINIK

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

infeksi bakteri : Borrelia spp. vektor : louse (kutu) dan tick (sengkenit)

Transkripsi:

4 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Dirofilaria immitis Genus Dirofilaria dibagi menjadi dua subgenus, yaitu subgenus Dirofilaria meliputi Dirofilaria immitis dan Dipetalonema reconditum sedangkan subgenus Nochtiella meliputi Dirofilaria ursi, D. repens, D. striata dan D. tenuis (Lok 1988). Menurut Soulsby (1986), klasifikasi D. immitis adalah sebagai berikut : Filum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda Sub Kelas : Secernentea Sub Ordo : Spirurata Superfamili : Filarioidea Famili : Filariidae Genus : Dirofilaria Spesies : Dirofilaria immitis Cacing dewasa D. immitis hidup di dalam ventrikel kanan jantung dan arteri pulmonalis anjing yang merupakan inang definitifnya. Selain anjing, cacing ini juga dapat menginfeksi lebih dari 30 spesies hewan (misalnya coyotes, serigala, rubah dan canidae liar lainnya, kucing dan kucing liar, ferrets, singa laut dan sebagainya) dan manusia (AHS 2007a). Selain canidae, siklus hidup D. immitis juga terjadi secara sempurna pada tikus air (Ondatra zibethica) walaupun mikrofilaria belum ditemukan hingga 160 hari (Karmil 2002). Jika secara alami terbukti bahwa tikus air dapat menjadi reservoir, maka penyebaran CHD akan lebih mudah lagi karena populasi tikus air di Indonesia cukup tinggi. Gambaran Morfologi Cacing D. immitis dewasa berbentuk ramping berwarna putih dengan panjang cacing jantan 12 16 cm, betina 25 30 cm. Ujung posterior cacing jantan berbentuk melingkar dan pada ekor terdapat beberapa papilae lateral. Vulva cacing betina terletak di belakang ujung esofagus (Soulsby 1986, Manfredi et al. 2007). Cacing D. immitis dewasa mengambil makanan dari induk semang

5 (inang) berupa plasma dan cacing ini dapat hidup selama 5 7 tahun di tubuh inang. Nematoda ini termasuk golongan vivipar, cacing betina melepaskan mikrofilaria ke dalam aliran darah inang (Manfredi et al. 2007) A B C Gambar 1 Dirofilaria immitis (Manfredi et al. 2007) A. Ujung posterior cacing jantan B. Ujung anterior cacing betina C. Cacing dewasa betina (atas) dan jantan (bawah) Pada pemeriksaan darah anjing terinfeksi, dapat ditemukan beberapa jenis mikrofilaria (mf) yaitu mf Dipetalonema dan Dirofilaria. Perbedaan morfologi dan ciri-ciri dari D. immitis dan Dipetalonema reconditum dapat dilihat pada Tabel 1 (Lok 1988, Tarello 2004, Karmil 2002).

6 Tabel 1 Perbedaan morfologi dan ciri-ciri dari D. immitis dan Dipetalonema reconditum (Di. reconditum). Karakteristik D. immitis Di. reconditum Mikrofilaria: Jumlah dalam darah Sedikit s/d banyak Biasanya sedikit Bentuk badan Biasanya lurus Kurva Panjang badan 308 (295 325) µm 263 (250 288) µm Lebar badan 5 7,5 µm 4,5 5,5 µm Bentuk ujung badan runcing Tumpul Bentuk ekor lurus Kurva atau berkait Pergerakan Dari sisi ke sisi Cacing dewasa: (stationary) Ke depan Panjang betina 25 30 cm 3,0 3,2 cm Panjang jantan 15 20 cm 1,7 cm Habitat Ventrikel kanan dan arteri pulmonalis Daerah subkutan di seluruh tubuh A B C Gambar 2 Mikrofilaria Dirofilaria sp A. Mikrofilaria D. immitis (Ohio State University 2007) B. Detail ujung posterior mikrofilaria D. immitis pada pembesaran 40x (Tarello 2004) C. Detail ujung posterior mikrofilaria Dipetalonema reconditum pada pembesaran 40x (Tarello 2004)

7 Siklus Hidup dan Penularan Penyebaran D. immitis dari anjing ke hewan lain atau manusia terjadi melalui gigitan nyamuk yang mengandung L3 yang biasa disebut dengan istilah mikrofilaria (mf) ketika menghisap darah anjing terinfeksi (Abraham 1988, Manfredi 2007). Pada hari ke-1, darah yang mengandung mf masih tersisa di bagian mulut, tetapi pada hari ke-2, mf bermigrasi ke bagian midgut dan tubulus malphigi. Pada hari ke-4, mikrofilaria telah berubah menjadi bentuk sosis (L2) dengan ukuran panjang 220 240 µm dan lebar 20 25 µm. Pada hari ke-9, terjadi penambahan sel intestinum dan sel ekskretori dan akhirnya membentuk organ-organ tubuh dengan ukuran 500 x 20 µm. Pada hari ke-15 sd 17, mikrofilaria menuju thoraks dan akhirnya di labium nyamuk dan bentuk ini disebut bentuk infektif (L3) dengan ukuran 800 900 µm. Pemindahan L3 terjadi ketika nyamuk memuntahkan air liur yang mengandung L3 ketika menjelang menghisap darah hewan. Dari tempat bekas gigitan nyamuk, L3 bermigrasi ke membran subkutikuler dan jaringan adipose inang definitif baru. Pada inang yang baru, L3 mengalami perubahan bentuk menjadi stadium L4, L5, cacing muda dan dewasa dengan indikasi bahwa cacing betina dewasa viviparu akan menghasilkan mf yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan darah perifer. Setelah 85 120 hari pasca infeksi, D. immitis dewasa sudah berada di dalam jantung kanan dan arteri pulmonalis dengan ukuran panjang sekitar 32 cm (Gambar 3). Gambar 3 Siklus hidup D. immitis (Nayar 1990)

8 Secara eksperimen, mikrofilaria dari darah anjing terinfeksi dapat dipindahkan ke anjing lain melalui transfusi darah (Abraham 1988). Mikrofilaria ini dapat beredar di tubuh anjing resipien selama 2,5 tahun. Umumnya mikrofilaria hasil transfusi ini tidak beredar di pembuluh darah perifer namun di dalam organ. Mikrofiaria dari kultur in vitro pun pernah di transfusi secara eksperimen pada anjing normal. Anjing resipien ini dapat memelihara mikrofilaria pada pembuluh darah perifer untuk beberapa minggu, namun dalam jumlah sedikit. Vektor Nyamuk merupakan vektor bagi D. immitis. Sebanyak 60-70 spesies nyamuk diperkirakan dapat menjadi vektor potensial (Nithiuthai, 2003; Lok 1988). Larva D. immitis dapat berkembang menjadi L3 di dalam nyamuk dari genus Culex, Aedes, Psorophora, Mansonia atau Anopheles. Spesies yang dapat menjadi vektor D. immitis adalah spesies yang tidak mempunyai buccopharyngeal yang dapat merusak kutikula mikrofilaria sehingga menghambat perkembangannya menjadi larva infektif (Manfredi 2007). Dinamika Mikrofilaria D. immitis dalam Tubuh Inang Mikrofilaria (mf) dapat ditemukan di dalam sirkulasi darah anjing reservoir setiap waktu, akan tetapi angka mikrofilaremik perifer umumnya mengikuti pola periodisitas yang berbeda pada setiap geografis. Di USA, Perancis dan Cina angka minimum dan maksimum mikrofilaremik perifer masing-masing terdapat pada jam 11.00 dan 16.00, 08.00 dan 20.00 serta 06.00 dan 18.00 (Soulsby 1986). Puncak mikrofilaremia di Indonesia khususnya di wilayah DI. Aceh, DKI Jakarta, Bogor dan Bali terjadi pada pukul 7.00 8.00 dan pukul 23.00 24.00 (Karmil 2002). Fenomena rendahnya mikrofilaremia pada anjing terlihat pada siang hari diduga terjadi karena: (1) tekanan O 2 di dalam pembuluh darah perifer lebih rendah dibandingkan dengan di dalam pembuluh darah pulmoner; (2) adanya kecenderungan bahwa anjing mempunyai aktivitas tinggi, sehingga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah perifer; (3) aliran darah dalam sirkulasi lebih cepat

9 dan kondisi demikian tidak menguntungkan bagi mf dan jumlah mf di dalam pembuluh darah perifer sedikit; (4) reservoir mf terdapat pada pembuluh darah pulmoner, limpa, vena abdominalis dan sinus-sinus vena hepatik, pleksus vena kulit. Berdasarkan sistem vena tersebut ternyata limpa dan pembuluh darah pulmonalis menjadi reservoir dari mf. Angka mikrofilaremik lebih tinggi pada malam hari dibandingkan pada siang hari, sehingga periodisitas demikian disebut subperiodik nokturnal. Fenomena tentang maksimum mikrofilaremia terjadi pada malam hari ada kemungkinan mengikuti irama sistem sirkulasi darah. Volume darah yang mengalir di dalam pembuluh darah perifer atau di jaringan-jaringan adalah sangat lambat, sehingga pertukaran zat-zat makanan antara darah dan jaringan berlangsung sangat intensif. Kehadiran mikrofilaria dalam darah anjing terinfeksi tidak selamanya dapat dideteksi. Keadaan ini disebut sebagai occult heartworm infection. Karmil (2002) memperkirakan sebesar 14,27 37,76% dari anjing penderita dirofilariosis di DI. Aceh, Jakarta, Bogor dan Bali tergolong occult infection. Kondisi serupa ditemukan pada 10-67% anjing yang terinfeksi D. immitis di Korea (Byeon et al. 2007). Kondisi occult infection dapat disebabkan oleh 3 faktor yaitu: (1) infeksi oleh satu jenis cacing saja (single sex), (2) respon imun inang terhadap sirkulasi mikrofilaria dan (3) pemberian obat cacing sebagai pencegahan. Dinamika mikrofilaria D. immitis di dalam tubuh vektor berkaitan erat dengan (1) jumlah mikrofilaria; (2) jenis nyamuk dan (3) geografi atau iklim (Karmil 2002). Pertumbuhan membutuhkan waktu 15 17 hari untuk daerah subtropis dan 18 10 hari untuk daerah tropis (Jones et al. 1993). Studi Karmil (2002) menunjukkan bahwa pertumbuhan menjadi stadium mikrofilaria infektif (L3) dalam mikrofilaria lebih cepat di D.I. Aceh (9 hari) dibandingkan dengan di Bogor (12 hari). Canine Heartworm Disease (Dirofilariosis) Prevalensi dirofilariosis di berbagai negara sangat bervariasi (Tabel 2) dan dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya umur, jenis kelamin, ras dan manajemen pemeliharaan anjing. Seekor anjing dapat terinfeksi sebanyak 1 250

10 ekor cacing jantung yang masa hidup sekitar 5 7 tahun. Masa prepaten rata-rata (waktu dari mikrofilaria masuk ke dalam tubuh host sampai cacing betina dewasa memproduksi mikrofilaria) pada anjing sekitar 6 7 bulan. Secara eksperimen infeksi D. immitis, persentase mikrofilaria infektif berkembang menjadi cacing dewasa pada anjing adalah 40 90% (AHS 2007a). Gejala klinis tergantung pada jumlah cacing jantung yang menginfeksi anjing. Gejala yang umum terjadi adalah batuk kronis dan kehilangan stamina. Kemudian terjadi gejala ketidakmampuan jantung, suara murmur jantung yang jelas dan kolaps setelah exercise. Gambaran elektrocardiogram pada saat hewan dalam keadaan tenang dapat menunjukkan gambaran normal, namun pada saat setelah exercise, gelombang "T dapat terjadi sebaliknya. Berbagai gejala klinis lain yang timbul tergantung pada organ yang terpengaruh secara sekunder (Soulsby 1986). Cacing dewasa D. immitis umumnya hidup di arteri pulmonaris dan ventrikel kanan. Namun dalam kondisi yang sangat jarang terjadi, L5 dapat bermigrasi ke bagian lain yang menyimpang dari biasanya yaitu otak, sumsum tulang belakang, hati, ruang epidural, mata dan ruang peritoneal Pada operasi sterilisasi anjing betina yang dilakukan Oh et al. (2008) di Korea, ditemukan satu ekor cacing dewasa pada ruang abdominal anjing dan setelah dikonfirmasi dengan PCR dinyatakan D. immitis. Pemeriksaan dengan ulas darah dan Uji Modified Knott ditemukan mikrofilaria pada darah anjing tersebut.

11 Tabel 2 Prevalensi CHD di berbagai negara Negara Wilayah tahun Jumlah sampel Kasus Positif (%) Metode Pemeriksaan Pustaka Thailand Bangkok 1992 496 46,17 Uji Knott Nithiuthai (2003) Bangkok 1999s/d 2002 Taiwan Nantou county (central Taiwan) 1993 s/d 1997 Liuchiu 1993 s/d 1997 Lanyu 1993 s/d 1997 83.476 10,2 Uji Knott Nithiuthai (2003) 29,2 ELISA Nithiuthai (2003) 1228 41 Ulas darah tebal 1228 1 Ulas darah tebal 1228 2 Ulas darah tebal Ching-Cheng dan Ping-Chin (2003) Ching-Cheng dan Ping-Chin (2003) Ching-Cheng dan Ping-Chin (2003) Taiwan utara 1993 s/d 837 57 Ulas darah Wu dan Fan 1997 tebal (2003) Italia Alessandria 1998 7 100 Uji Difil Tarello (2004) Fermo 1998 7 100 ELISA Tarello (2004) Indonesia Jakarta dan Bogor 2002 286 19,23 Uji Knott Karmil (2002) Bali 2002 822 5,23 Uji Knott Karmil (2002) DI Aceh 2002 1163 10,7 Uji Knott Karmil (2002) Jakarta 2008 93 2,2 ELISA Satrija et al. (2008) Jawa Tengah 2008 22 4,5 ELISA Satrija et al. (2008) Bali 2008 57 8,6 ELISA Satrija et al. (2008) Jawa Barat 2008 63 15,9 ELISA Satrija et al. (2008) Human Pulmonary Dirofilariosis Kasus Dirofilariosis pada manusia disebut Human Pulmonary Dirofilariosis (HPD). Di Indonesia, sampai saat ini kasus HPD belum pernah ada laporan. Tetapi biasanya pada daerah endemik CHD, besar kemungkinan kasus HPD pada manusia juga tinggi. Pada manusia, cacing dewasa pernah ditemukan di arteri digitalis, kelopak mata, ventrikel kiri, vena cava inferior, jaringan subkutan dan cacing menjadi penyebab painfark paru-paru. Kasus HPD sering dijumpai pada orang dewasa, dengan ciri-ciri : (1) Pemeriksaan fototoraks, pada lobus paru terlihat massa tumor berbentuk coin lesion (3x3 cm); (2) adanya keluhan nyeri dada, demam dan batuk; (3) temuan histopatologi ditemukan nodul yang terbungkus oleh jaringan

12 ikat dan berisi massa putih keabu-abuan berupa nekrosis koagulatif; (4) adanya granuloma yang terdiri dari jaringan infark, sel eosinofil, monosit, neutrofil dan sel foreign body giant (Yoshimura, 1995; Mimori et al. 1986). Berdasarkan informasi dari Karmil (2002), kasus HPD pada manusia di beberapa negara antara tahun 1968 2000 antara lain terjadi di Thailand, Jepang, Australia, Sidney, Quinsland, USA, Michigan, Indiana, Amerika Selatan, Jerman, Spanyol dan Brazil dengan kasus terbanyak terjadi di Michigan. Faktor Risiko Tingkat risiko timbulnya CHD dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya umur, ras, jenis kelamin, wilayah, iklim dan manajemen pemeliharaan anjing. Umur Anjing pada semua kategori umur berisiko terinfeksi cacing jantung (Nithiuthai 2003). Namun prevalensi infeksi meningkat seiring dengan bertambahnya umur anjing. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh waktu pemaparan yang lebih lama, terutama pada daerah endemik penyakit ini. Boonyapakorn et al. (2008) pada penelitiannya terhadap pasien anjing rawat jalan di Rumah Sakit Hewan Chiang Mai University, Thailand menemukan prevalensi pada anjing umur dibawah 2 tahun adalah 6,4%, lebih rendah daripada anjing pada umur diatas 2 tahun (41,5%). Prevalensi ini berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Satrija et al. (2008) menemukan bahwa anjing umur 3 6 tahun menunjukkan seroprevalensi yang paling tinggi terhadap D. immitis yaitu sebesar 16,7% diikuti anjing umur diatas 6 tahun (6,1%) dan anjing umur dibawah 3 tahun (4,7%). Di Korea Selatan, prevalensi tertinggi ditemukan pada anjing umur di atas 6 tahun (50,3%) dibanding anjing umur muda. Analisis chi square mengungkapkan bahwa prevalensi lebih tinggi secara signifikan pada anjing umur 4 6 tahun (100%) di wilayah garis pantai dan pada anjing umur 2 4 tahun (51,2%) di wilayah perkotaan (Song et al. 2003).

13 Ras Umumnya anjing ras besar paling sering terinfeksi oleh D. immitis. Anjing-anjing pekerja dan olahraga (Greyhound) juga memiliki risiko tinggi terhadap infeksi cacing D. immitis. Anjing gembala ras jerman dan Boxer mempunyai risiko paling tinggi terhadap infeksi cacing ini. Di Indonesia, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Satrija et al. (2008), anjing-anjing ras lokal memegang peranan sebagai sumber infeksi D. immitis. Prevalensi tertinggi CHD di Indonesia diketahui terjadi pada Pulau Bali (8,8%) dan Kabupaten Sukabumi (15,9%), yaitu salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat dengan populasi anjing tak bertuan (stray dog) yang cukup tinggi. Penelusuran lebih lanjut menyatakan bahwa jika dilihat dari faktor breed/ras, diketahui bahwa prevalensi terbesar terjadi pada breed lokal yaitu sebesar 11,9% dibandingkan ras impor (2,2%) dan ras campuran (9,1%). Jenis Kelamin Umumnya, infeksi cacing jantung pada anjing jantan lebih tinggi daripada anjing betina. Lewis dan Losonsky (1978) menyatakan bahwa Rasio infeksi pada anjing jantan terhadap anjing betina adalah 4:1. Pada hewan liar, penelitian terhadap coyote di wilayah Illinois didapatkan prevalensi jantan sebesar 17,7% sedangkan pada coyote betina adalah 14,1% (Nelson et al. 2003). Perbedaan ini diduga akibat pergerakan hewan jantan lebih tinggi dibanding betina sehingga risiko terpapar nyamuk juga meningkat. Hewan betina cenderung membatasi pergerakan mereka selama musim panas dan menjaga anak-anaknya di sarang. Seroprevalensi CHD pada anjing jantan yang lebih tinggi dibanding betina juga ditemukan oleh Satrija et al. (2008) di Indonesia. Meskipun setelah ditinjau lebih lanjut dinyatakan bahwa tidak ada asosiasi antara seroprevalensi dan jenis kelamin. Wilayah American Heartworm Society (2007b) menyatakan bahwa CHD telah tersebar luas di dunia khususnya pada wilayah dengan iklim tropis dan subtropics, kecuali di Alaska. Belum pernah ada laporan transmisi CHD di wilayah ini

14 bahkan pada importasi anjing dengan kondisi mikrofilaremik. Hal ini disebabkan oleh iklim di belahan utara dunia ini tidak mendukung perkembangan larva infektif. Wilayah dapat mempengaruhi timbulnya CHD didukung dengan kondisi geografis, iklim dan temperatur serta populasi vektor pada wilayah tersebut (Lok 1988). Hal ini terkait dengan jenis- jenis nyamuk sebagai vektor dan dinamika larva CHD di dalam tubuh vektor tersebut. Gambaran distribusi CHD di dunia dapat dilihat dari peta penyebaran di bawah ini: Gambar 4. Peta Distribusi CHD di dunia tahun 2001 (Sumber: http://www.stanford.edu/class/humbio103/parasites2001/dirofilari asis/global Distribution.html ) Iklim Iklim menyediakan temperatur dan kelembaban yang cukup untuk mendukung perkembangan populasi nyamuk dan juga perkembangan larva menjadi stadium infektif (L3) di dalam vektor. Hal ini memegang peranan

15 penting dalam transmisi D.immitis. Kondisi temperatur di lingkungan nyamuk hidup merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi larva D. immitis, dimana larva di dalam tubuh nyamuk akan berkembang lebih cepat pada temperatur hangat (Abraham 1988). Temperatur optimum untuk perkembangan larva D. immitis adalah 22 C - 26,5 C. Pada suhu 27 C, waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan larva menjadi stadium infektif adalah 10 14 hari. Temperatur yang turun di bawah batas ambang (14 C) untuk beberapa jam saja akan memperlambat pematangan larva. Sejalan dengan pernyataan Lok (1988) yang menjelaskan bahwa temperatur hangat (21 C) akan mendukung perkembangan nyamuk. Lebih lanjut dijelaskan bahwa mikrofilaria banyak terdapat pada sirkulasi darah sepanjang musim semi dan musim panas dibandingkan musim hujan dan musim gugur. Pada perbandingan berdasarkan iklim di Korea Selatan, didapatkan bahwa prevalensi di wilayah garis pantai (69,5%) lebih tinggi dan berkaitan nyata dibanding wilayah perkotaan dan pegunungan (Song et al. 2003). Untuk Amerika Utara, infeksi paling banyak terjadi saat musim panas, temperatur yang sangat cocok untuk perkembangan nyamuk (Rawlings 1998). Manajemen pemeliharaan Beberapa penelitian telah menunjukkan prevalensi infeksi D. immitis pada anjing-anjing yang dipelihara atau hidup di luar rumah, 4 5 kali lebih tinggi dibanding anjing di dalam rumah. Hal ini disebabkan oleh lebih besarnya kemungkinan anjing yang di luar rumah tergigit oleh nyamuk dibanding anjing yang di dalam rumah (Byeon et al. 2007) sehingga lebih besar pula kemungkinan anjing di luar rumah terinfeksi D. immitis, terutama pada daerah endemik (Nithiuthai 2003). Diagnosa Gejala klinis yang muncul pada penderita CHD sangat bervariasi sehingga peneguhan diagnosa dapat dilakukan dengan berbagai metode antara lain radiologi, angiografi dan ultrasonografi (ekokardiografi), nekropsi, deteksi mikrofilaria dan uji serologis (Atwell 1988; AHS 2007a).

16 Radiologi Pemeriksaan radiografi paru-paru dan jantung adalah cara terbaik untuk mengevaluasi penyakit. Perubahan secara tipical yang dapat terlihat adalah pembesaran bagian kanan jantung (ventrikel kanan), artery pulmonalis, dan perubahan arteri pulmonalis lobus paru. Pembesaran arteri pulmonalis sering dilaporkan. serta peradangan jaringan paru-paru sekitar arteri pulmonalis juga sering ditemukan. Angiografi and Ultrasonografi Angiografi adalah teknik visualisasi pembuluh darah tubuh dengan melakukan radiograph dalam beberapa detik setelah diinjeksi dengan material kontras kedalam pembuluh darah tersebut. Pada infeksi CHD, angiografi digunakan untuk mempelajari perubahan arteri pulmonalis. Ultrasonografi (echocardiography) telah digunakan untuk mengevaluasi pembesaran ventrikel kanan dan untuk melihat kehadiran cacing jantung di ventrikel kanan atau arteri pulmonalis utama. Nekropsi Nekropsi merupakan teknik diagnosa yang paling akurat untuk menemukan cacing jantung, namun cara ini tidak dapat dilakukan untuk mendiagnosa hewan yang masih hidup. Cacing jantung sering ditemukan pada ventrikel kanan jantung atau arteri pulmonalis utama. Cacing juga dapat ditemukan di cabang terjauh arteri pulmonalis. Infeksi Ectopic heartworm jarang terjadi. Pada infeksi ini, cacing dideteksi terdapat pada organ selain jantung dan paru-paru atau pada rongga tubuh. Deteksi Mikrofilaria dalam Darah Deteksi keberadaan mikrofilaria D.immitis dalam sampel darah mengindikasikan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu uji knott dan uji filtrasi. Para praktisi sering melakukan pemeriksaan cepat dengan sediaan natif darah untuk melihat kehadiran mikrofilaria. Metode ini praktis dalam penerapannya, baik dari segi waktu dan biaya. Atas dasar alasan inilah metode deteksi mikrofilaria dengan uji Knott digunakan pada penelitian ini mengingat institusi karantina hewan merupakan pintu terdepan

17 yang menyaring kemungkinan masuknya penyakit hewan ke wilayah Indonesia. Di sisi lain, metode ini tidak cukup sensitif untuk mendiagnosa CHD dengan jumlah mikrofilaria yang rendah dalam sampel darah. Selain itu menurut Karmil (2002), waktu pengambilan sampel juga menentukan ketepatan diagnosa dengan metoda ini. Uji Serologi Uji serologi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu mendeteksi antibodi dan mendeteksi antigen. 1). Deteksi antibodi Beberapa uji CHD antibodi berkembang dan diperkenalkan pada awal 1980-an. Prinsip uji ini adalah mendeteksi antibodi dengan menggunakan antigen ekskretori-sekretori dari cacing jantung dewasa. Uji ini cukup sensitif (dapat mendeteksi infeksi awal dan infeksi dengan sejumlah kecil cacing jantung) namun tidak cukup spesifik karena dapat terjadi reaksi silang dengan parasit gastrointestinal di tubuh inang. Uji ini kurang populer digunakan sebagai screening test pada anjing. Keberadaan cacing jantung yang steril, single sex atau ketidakhadiran respon inang terhadap antigen permukaan mikrofilaria, tidak akan memproduksi titer antibodi. Variasi dari uji antibodi ini termasuk menggunakan mikrofilaria yang telah dihancurkan untuk memicu antibodi terhadap antigen somatik. Teknik IFA somatic ini non spesifik dan secara klinis kurang dapat digunakan untuk diagnosa. 2). Deteksi antigen Deteksi antigen spesifik dari cacing jantung dewasa digunakan secara sukses untuk mendeteksi infeksi CHD. Sekarang ini, metode ini telah banyak dilakukan di laboratorium laboratorium veteriner. Kebanyakan test komersial akan akurat mendeteksi infeksi dengan satu atau lebih cacing jantung dewasa umur 7-8 bulan, namun secara umum, uji ini tidak dapat mendeteksi infeksi kurang dari lima bulan (AHS 2007a). Untuk metode serologis pada penelitian ini menggunakan kit ELISA komersial DiroCHEK, yang dapat mendeteksi antigen D.immitis dewasa dalam

18 sirkulasi darah minimal enam bulan pasca infeksi. Kit ini mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang cukup tinggi yaitu masing-masing 99,1% dan 90,3% (Atwell 1988). Genchi et al. 2007 merumuskan kelebihan dan kekurangan metode diagnostic CHD pada Tabel 3. Tabel 3 Perbandingan Kelebihan dan Kekurangan Metode Pemeriksaan cacing jantung Metode pemeriksaan kelebihan kekurangan Natif Cepat dan murah Sensitifitas sangat rendah, sering terjadi negatif palsu, sulit membedakan spesies mikrofilaria Metode Konsentrasi a. Modified Knott Cukup sensitif dan spesifik, dapat membedakan spesies vector b. Filtrasi Cepat dan sensitif, tidak memerlukan alat untuk sentrifus ELISA Pemeriksaan antibodi Polymerase Chain Reaction (PCR) Sangat spesifik dan sensitif untuk diagnosa CHD (jika hasil positif, uji ini membuktikan secara pasti terjadi infeksi) Sangat sensitif, sangat bermanfaat untuk mendeteksi infeksi cacing jantung pada kucing, cocok untuk menilai risiko infeksi pada kucing dan untuk survey epidemiologi Sangat sensitif, spesifik dan akurat. Dapat membedakan spesies filaria Membutuhkan keahlian pemeriksa dalam membedakan morfologi mikrofilaria. Mahal (uji ini tersedia dalam bentuk kit), larutan thelysate dapat menyusutkan mikrofilaria sehingga untuk membedakan spesies dibutuhkan standar ukuran yang baru Mahal Mahal, tidak spesifik, sulit diinterpretasikan Mahal, membutuhkan waktu lama, butuh laboratorium khusus dan keahlian teknisi pemeriksa Pengobatan Sebagian besar anjing terinfeksi cacing jantung dapat berhasil diobati. Tujuan pengobatan yaitu untuk membunuh cacing dewasa dengan adulticida dan membunuh mikrofilaria dengan mikrofilarisida. Hal ini sangat perlu dipenuhi untuk meminimalkan efek bahaya dari obat dan komplikasi yang dapat terjadi akibat cacing jantung yang mati. Infeksi ringan dan tanpa gejala klinis mempunyai tingkat keberhasilan pengobatan yang tinggi (AHS 2007a).

19 Dalam proses terapi terhadap CHD, ada lima tahap pendekatan yang benar-benar harus diperhatikan yaitu: (1) Pada preterapi, hewan harus diperiksa dan dievaluasi secara menyeluruh; (2) terapi suportif dan asimptomatik adalah sangat krusial, baik pada preterapi, selama dan pascaterapi adulticida; (3) terapi adulticida; (4) terapi mikrofilarisida (kecuali pada infeksi occult) dan (5) terapi hewan harus diawali dengan medikasi profilaktik (Karmil 2002, Courtney 1988). Evaluasi Pasien Sebelum melakukan terapi, hewan harus dievaluasi terlebih dahulu secara seksama melalui pemeriksaan fisik, analisis urin, radiografi, umur, uji fungsi organ khususnya hati dan ginjal (berkaitan dengan efek toksik dari thiacetarsamide), sehingga pasien dapat dibagi dalam kelompok: (1) tidak boleh diobati sama sekali, (2) ditunda atau (3) diobati dengan syarat dirawat secara intensif. Berdasarkan risiko terjadinya komplikasi thromboemboli pascaterapi, Venco (2007) membagi pasien menjadi dua kategori yaitu risiko rendah (low risk) dan risiko tinggi (high risk). Anjing yang termasuk dalam kategori risiko rendah harus memenuhi kondisi antara lain: (1) tidak menunjukkan gejala; (2) pada pemeriksaan radiograph terhadap thorax menunjukkan gambaran normal; (3) sirkulasi antigen rendah atau negatif dengan mikrofilaria terdapat pada sirkulasi darah; (4) tidak terlihat cacing pada pemeriksaan echocardiograph dan (5) dapat melakukan exercise ringan. Sedangkan anjing kategori risiko tinggi memenuhi kondisi antara lain: (1) menunjukkan gejala antara lain batuk dan pembengkakan bagian abdomen; (2) Gambaran radiograph tidak normal; (3) sirkulasi mikrofilaria pada level tinggi; (4) Cacing terlihat pada echocardiograph (5) tidak diperkenankan untuk melakukan exercise. Evaluasi ini berdasarkan pertimbangan terhadap efek yang kurang menguntungkan akibat terapi adulticida yaitu reaksi toksik dan emboli serta tromboemboli akibat kematian cacing pascaterapi. Terapi suportif Terapi suportif ditujukan untuk memperkecil kemungkinan efek samping yang sering terjadi pada pascaterapi adulticida yaitu obstruksi sistem sirkulasi oleh cacing mati dan diikuti dengan reaksi radang. Terapi supportif yang sering

20 diberikan adalah: (1) Aspirin 7 mg/kg BB/hari selama 6 12 bulan, dapat menekan thromboembolisme secara eksperimen; (2) anti radang (prednisolon 10 mg/kg BB/hari selama 4 minggu) dapat mengurangi efek radang periarterial dan (3) terapi antiserotonin untuk mengatasi thromboembolisme, vasokonstriksi sekunder dan bronkhokonstriksi. Terapi adulticida Adulticida pertama untuk anjing yang dikembangkan adalah thiacetarsamide sodium dengan kandungan arsenic (Nash 2008). Obat ini harus diberikan melalui intra vena karena dapat menimbulkan kerusakan pada beberapa jaringan jika diberikan selain intra vena. Beberapa hewan dapat menjadi lebih parah dan pengobatan harus dihentikan. Hampir semua hewan harus dirawat selama beberapa hari untuk pengobatan ini. Melarsomin dihidroklorida adalah obat yang mengandung arsenik organik. Obat ini dapat diberikan melalui injeksi intra muscular dan lebih efektif serta mempunyai efek samping yang lebih ringan dibanding thiacetarsamide. Venco (2007) menyatakan bahwa pemberian melarsomin dihidroklorida dengan dosis 2,5 mg/kg BB dapat membunuh sekitar 90% cacing jantan dan 10% cacing betina. Oleh karena itu dapat mengurangi sekitar 50% cacing (jumlah ini dinyatakan lebih aman terhadap kemungkinan terjadinya emboli dan shock). Berdasarkan alasan ini maka American Heartworm Society menyatakan bahwa melarsomin dihidroklorida merupakan drug of choice terhadap CHD. Pemberian melarsomin dihidroklorida juga dilakukan pada pengendalian CHD di Thailand. Lebih lanjut dinyatakan bahwa terapi adulticida sebaiknya dilanjutkan dengan terapi mikrofilarisida minimal 4 minggu kemudian (Nithiuthai 2003). Eslami et al. (2005) menyatakan bahwa pemeriksaan darah dan klinis terhadap anjing yang diterapi dengan melarsomin dihidroklorida pada satu dan dua bulan pascaterapi menunjukkan tidak adanya mikrofilaria dalam darah maupun gejala klinis.

21 Terapi Mikrofilarisida Pemberian mikrofilarisida adalah untuk mengeliminasi mikrofilaria. Obat yang paling efektif untuk tujuan ini adalah antelmintik macrocyclic lactone (ML) seperti milbemycin oxime, selamectine, moxidectine dan ivermectine. Sirkulasi mikrofilaria biasanya dapat dieliminasi dalam beberapa minggu dengan obat golongan ML. Nithiuthai (2003) dan Elsami et al. (2005) menyatakan bahwa ivermectine 0,05 mg/kg BB adalah mikrofilarisida yang paling efektif. Selain ivermectin, pemberian levamisole 11 mg/kg per oral selama 7-12 hari juga dapat mengeliminasi mikrofilaria (O'Grady dan O'Sullivan 2004). Terapi Profilaksis Terapi profilaksis dilakukan untuk melindungi anjing dari infeksi cacing jantung. Beberapa terapi profilaksis yang direkomendasikan saat ini dapat dilihat pada tabel berikut (Courtney 1988; O'Grady dan O'Sullivan 2004). Obat-obatan ini umumnya digunakan sebagai pencegahan terhadap infeksi cacing jantung. Jika diberikan secara konsisten, maka sangat mungkin untuk menghentikan perkembangan larva menjadi dewasa (Nash 2008).

22 Tabel 4 Pengobatan profilaksis yang umum digunakan untuk pencegahan infeksi cacing jantung Kandungan aktif Dosis Keterangan Diethylcarbamazine 5.5 sampai 6.5 mg/kg setiap Mencegah perkembangan cacing (DEC) hari menjadi dewasa Terapi seharusnya dimulai dua minggu sebelum musim populasi nyamuk meningkat dan dilanjutkan sampai dua bulan setelah akhir musim tersebut Anjing harus dalam kondisi amikrofilaremik sebelum pemberian DEC Reaksi akibat pemberian DEC pada kondisi anjing mikrofilaremia biasanya timbul 30-60 menit setelah treatmen meliputi diare, muntah, depresi, lethargi, inkoordinasi, tachycardia, bradycardia, dyspnea dan shock sirkulasi perifer. Penyebab reaksi ini belum jelas DEC harus dimulai sesegera mungkin setelah uji terhadap mikrofilaria dinyatakan negatif. Ivermectin 6 µg/kg BB sekali sebulan Dimulai dalam satu bulan setelah anjing terpapar nyamuk dan dilanjutkan setiap bulan selama periode nyamuk yang berpotensi membawa larva infektif aktif Aman terhadap anjing ras Collie kecuali dengan berat badan kurang dari 4,5 kg Milbemycin oxime 2,3 mg untuk anjing dengan berat badan di atas 4,5 kg; dosis 5,75 mg untuk anjing dengan berat 5 11 kg; dosis 11,5 mg untuk anjing dengan berat badan 12 22 kg dan dosis 23 mg untuk anjing dengan berat badan 23 45 kg. Diberikan sekali sebulan Pemberian dianjurkan mengikuti pola pemberian ivermectin Dapat membunuh mikrofilaria, reaksi shock (jarang terjadi) saat diberikan pada anjing dengan mikrofilaremia hebat Menyebabkan cacing betina dewasa steril

23 Persyaratan Kesehatan Hewan Impor dan Ekspor Anjing Upaya pencegahan penyebaran Canine Heartworm Disease telah dilakukan oleh beberapa negara diantaranya dengan cara menetapkannya dalam persyaratan kesehatan hewan. Pemerintah Australia mempersyaratkan pengobatan profilaksis cacing jantung untuk anjing minimal 4 bulan sebelum diimpor ke negaranya mengingat Australia merupakan wilayah endemis cacing jantung. New Zealand menetapkan rekomendasi karantina untuk mencegah D. immitis bagi anjing yang diimpor dari Australia. Anjing harus menunjukkan hasil uji negatif terhadap sirkulasi antigen D. immitis dan mikrofilarianya. Saat kedatangan di New Zealand, anjing harus di beri pengobatan profilaksis menggunakan ivermectine atau milbemycin oxime (NZMAF 2008). Institusi Karantina Hewan Singapura menetapkan tindakan pencegahan terhadap heartworm disease selama masa karantina bagi anjing yang diimpor ke Singapura. Dalam persyaratan kesehatan tersebut, pengobatan profilaksis terhadap cacing jantung harus dimulai 4 6 minggu sebelum masuk ke Singapura (AVA 2008). Instalasi Karantina Hewan Soekarno-Hatta Berdasarkan definisi pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2000 tentang Karantina Hewan, Instalasi karantina hewan (IKH) yang selanjutnya disebut instalasi karantina adalah suatu bangunan berikut peralatan dan lahan serta sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina. Instalasi Karantina yang dimiliki oleh Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta terletak di dalam kawasan Bandar Udara Soekarno- Hatta, meliputi instalasi karantina untuk anjing, instalasi untuk kucing, instalasi karantina untuk unggas, instalasi karantina untuk reptil, instalasi karantina untuk DOC, instalasi karantina untuk kuda dan instalasi karantina untuk Primata. Instalasi tersebut dilengkapi dengan sebuah laboratorium yang mempunyai kemampuan untuk melakukan uji diagnosis cepat guna mendukung kelancaran pelayanan karantina hewan kepada pengguna jasa karantina.

24 Khusus untuk IKH anjing, mempunyai kapasitas 50 ekor, dilengkapi dengan Air Conditioner (AC) dan kandang ditutupi dengan kasa nyamuk. A B C Gambar 5 Instalasi Karantina Hewan BBKP SH A. Kandang anjing di bagian dalam ruangan IKH anjing B. Kandang anjing di bagian luar ruangan IKH anjing C. Bangunan laboratorium