BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. kebijakan sosial baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

I. PENDAHULUAN. Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

Kata kunci : Kebijakan Hukum Pidana, perlindungan, korban perkosaan

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN. Hak-hak korban pelanggaran HAM berat memang sudah diatur dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

Program Pascasarjana Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM Universitas Brawijaya

BAB I PENDAHUULUAN. terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PERKOSAAN INCEST YANG DILAKUKAN PELAKU YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN KELUARGA PENULISAN HUKUM

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BENTUK GANTI KERUGIAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB III PENUTUP. 1. Secara umum hukum pidana telah memberikan perlindungan dan kontribusi

BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADI KORBAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI KABUPATEN ACEH BARAT

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

I. PENDAHULUAN. karena itu sering timbul adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh bangsa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

BAB III PERANAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK SABAGAI DASAR HUKUM DALAM PENANGGULANGAN KEKERASAN ANAK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Setelah dilakukan analisis terhadap data yang diperoleh dalam Penulisan

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat di simpulkan :

BAB II TINJAUAN UMUM. Perlindungan Korban dan Saksi, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. hukum tidak berdasar kekuasaan belaka. 1 Permasalahan besar dalam. perkembangan psikologi dan masa depan pada anak.

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN SELAMA PROSES PERADILAN PIDANA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN DAN PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DOMESTIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak anak bagi semua

BAB I PENDAHULUAN. kongkrit. Adanya peradilan tersebut akan terjadi proses-proses hukum

BAB I PENDAHULUAN. ada juga kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak. Anak yaitu seorang yang belum berumur 18 tahun dan sejak masih dalam

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan pembahasan diatas dan dari hasil penelitian yang dilakukan, maka

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan diterapkannya sebuah hukum atau peraturan. Bangsa Indonesia sudah

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan yang terjadi memperlihatkan bahwa pelaku perkosaan cenderung

BAB I PENDAHULUAN. memberikan efek negatif yang cukup besar bagi anak sebagai korban.

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

I. PENDAHULUAN. kesehatan penting untuk menunjang program kesehatan lainnya. Pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN. yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Dalam

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Prostitusi bukan merupakan suatu masalah yang baru muncul di dalam masyarakat, akan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

Institute for Criminal Justice Reform

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

I. PENDAHULUAN. kerap kali menjadi korban tindak pidana pencabulan atau perkosaan dan tak jarang

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE. Oleh : Dheny Wahyudhi 1. Abstrak

I. PENDAHULUAN. seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang

BAB I PENDAHULUAN. dipertegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-3 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. segala perbuatan melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji,

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN BAGI PENUNTUT UMUM DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN DILIHAT DARI PERAN KORBAN DALAM TERJADINYA TINDAK PIDANA

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan menimbulkan korban. Korban/saksi dapat berupa pelaku tindak pidana yaitu: seorang Korban/saksi yang menyaksikan suatu tindak pidana akan tetapi tidak mau melapor kepihak yang berwajib. Maupun korban yang timbul akibat dari tindak pidana yang dilakukan oleh pihak lain. Korban tindak pidana merupakan pihak yang menderita dalam suatu peristiwa pidana. Begitu juga dengan korban pemerkosaan yang menderita akibat tindak pidana yang dialaminya. Oleh sebab itu perlu kiranya diketahui sejauh mana korban telah memperoleh perlindungan hukum sebagaimana yang diharapkan. Menurut Barda Nawami Arif, perlindungan korban tindak pidana dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan hukum atas penderitaan atau kerugian pihak yang telah menjadi korban tindak pidana. 1 Segala sesuatu yang dapat meringankan penderitaan yang dialami seseorang akibat menjadi korban itulah yang dimaksud dengan perlindungan korban. Upaya untuk meringankan penderitaan tersebut dapat dilakukan dengan cara mengurangi penderitaan fisik dan penderitaan mental korban. Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakannya sendiri maupun tindakan dari pihak lain, yang ingin mencari pemenuhan 1 Barda Nawawi Arief. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. hal. 56. 1

2 kepentingan diri sendiri atau pihak lain yang bertentangan dengan hak asasi yang dirugikan. 2 Dampak kejahatan menimbulkan korban dan kerugian. Kerugian yang timbul itu bisa diderita oleh korban sendiri, maupun oleh pihak lain secara tidak langsung. 3 Yang terakhir ini bisa tergantung pada sanak saudara ataupun orangorang lain yang menggantungkan hidupnya langsung. Begitu pula dengan kejahatan pemerkosaan yang dinilai dapat merendahkan derajat kaum wanita serta merusak harkat dan martabatnya. Padahal wanita adalah ibu dari umat manusia, karena dari rahim wanitalah anak manusia dilahirkan. Di KUHP Indonesia, kejahatan dalam bentuk pemerkosaan ini diatur dalam Pasal 285 KUHP. Pasal ini diatur dalam BUKU II BAB XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan. Adapun Pasal 285 KUHP menyatakan sebagai berikut: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun. 4 Hakikat kejahatan seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang merugikan korban, karena itu pidana yang dijatuhkan kepada pelanggar harus pula memperhatikan kepentingan si korban dalam bentuk pemulihan kerugian yang dideritanya. Kerugian yang harus dipulihkan tersebut, tidak saja kerugian fisik tetapi juga kerugian non fisik. 2 Arif Gosita. 1993. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Akademika Prassindo. hal. 63. 3 J.E Sahetapy. 1987. Viktimologi Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. hal. 36. 4 R. Soesilo. 1981. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Bogor: Politea. hal. 210.

3 Upaya perlindungan hukum terhadap korban pemerkosaan menyangkut kebijakan atau politik hukum pidana yang ingin diterapkan, yaitu bagaimana membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. 5 Pada akhirnya upaya perlindungan dan penanggulangan korban dari kejahatan dapat tercapai. Pengertian kebijakan hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun politik kriminal. Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada saat itu, serta kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. 6 Dari beberapa aturan yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa macam bentuk perlindungan korban diantaranya restitusi, kompensasi, konseling dan rehabilitasi. Upaya perlindungan korban sebenarnya sangat penting. Karena di samping dapat mengurangi penderitaan korban atas tindak pidana yang dialaminya, juga dapat mencegah terjadinya korban yang berkelanjutan, sehingga hal ini dapat mengurangi tingkat kriminalitas. 7 Perlu dipahami bersama bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam 5 Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Cet. Pertama. Bandung: Citra Aditya Bakti. hal. 28. 6 Soedarto. 1981. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni. Hal. 159. 7 Barda Nawawi Arief.2000. Perlindungan HAM dan Korban dalam Pembaharuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. hal. 3.

4 upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Kedudukan saksi dalam kasus tindak pidana perkosaan menempati posisi kunci, sebagaimana terlihat dalam Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Sebagai alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa bila dalam suatu perkara tidak diperoleh saksi. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana, telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana. Harus diakui bahwa terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagian besar berdasarkan informasi dari masyarakat. 8 Berhubungan dengan hal tersebut, saksi merupakan salah satu faktor penting dalam pembuktian atau pengungkapan fakta yang akan dijadikan acuan dalam menemukan bukti-bukti lain untuk menguatkan sebuah penyelidikan, penyidikan, dan bahkan pembuktian di pengadilan. Pentingnya peran saksi dalam proses penegakan hukum terutama hukum pidana tentunya membawa konsekuensi tersendiri bagi orang yang dijadikan saksi, baik itu saksi korban dan saksi pelapor maupun saksi-saksi lain dalam pembuktian pelaku tindak pidana pemerkosaan. 9 Dalam lapangan hukum pidana terutama untuk penegakannya tidak semudah yang dibayangkan masyarakat, terlebih dalam mendapatkan keterangan saksi. Hal ini terbukti bahwa masih banyak korban kejahatan, seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga, kejahatan terhadap anak, kejahatan terhadap 8 Muhammad Yusuf. 2005. Urgensi Perlunya Memberikan Perlindungan Terhadap Saksi. www.parlemen.com. 9 Bambang Waluyo. 1992. Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. hal. 54.

5 perempuan dan kejahatan-kejahatan lain di mana saksi enggan dan bahkan takut untuk melaporkan kejahatan yang dilakukan terhadap diri korban itu sendiri. Posisi saksi yang demikian penting nampaknya sangat jauh dari perhatian masyarakat maupun penegak hukum. Ternyata sikap ini memang sejalan dengan sikap pembentuk undang-undang, yang tidak secara khusus memberikan perlindungan kepada saksi dan korban berupa pemberian sejumlah hak, seperti yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Sesungguhnya bila dicermati dalam kenyataannya, kondisi saksi tidak jauh berbeda dengan tersangka/terdakwa, mereka sama-sama memerlukan perlindungan, karena: 1. Bagi saksi (apalagi yang awam hukum), memberikan keterangan bukanlah suatu hal yang mudah. 2. Bila keterangan yang diberikan ternyata tidak benar, ada ancaman pidana baginya karena dianggap bersumpah palsu. 3. Keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya mendapat ancaman, teror, intimidasi dari pihak yang dirugikan. 4. Memberikan keterangan membuang waktu dan biaya. 5. Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti seorang tersangka/terdakwa. Dengan uraian di atas, tentu muncul dilema bagi saksi saat ini, di sisi lain harus memenuhi kewajiban namun dipihak lain haknya sendiri tidak terpenuhi dan bahkan malah dirugikan oleh kepentingan pemeriksaan dalam setiap proses

6 peradilan pidana. Kerugian yang diderita oleh saksi adalah hak yang dilanggar oleh sebuah undang-undang, karena kadang kala bukan hanya sekedar hak atas biaya saja namun lebih dari itu adalah hak untuk tidak mendapatkan ancaman baik fisik maupun mental, sehingga dengan keadaan yang demikian tidak jarang saksi keberatan untuk memberikan keterangan atau kesaksian dalam proses peradilan pidana. 10 Berdasarkan uraian di atas, maka penulis bermaksud mendalaminya dan menuangkannya dalam sebuah penulisan hukum dengan judul: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN (STUDI KASUS DI POLRESTA SURAKARTA). B. Pembatasan dan Rumusan Masalah Agar objek penelitian tidak menjadi bias, maka perlu diberikan pembatasan masalah. Permasalahan difokuskan pada Perlindungan Hukum Terhadap saksi Dalam Kasus Pemerkosaan. Setelah mengetahui dan memahami uraian dan latar belakang masalah di atas, dirumuskan beberapa permasalahan yang dapat menjadi pokok masalah untuk dikaji lebih dalam lagi. Rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu : 1. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap saksi dalam kasus tindak pidana pemerkosaan? 2. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum terhadap saksi dalam kasus tindak pidana pelanggaran pemerkosaan? 10 Ibid hal 56

7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap saksi kasus tindak pidana pemerkosaan. 2. Untuk mengetahui praktek perlindungan saksi dalam Kasus tindak pindana pemerkosaan. Adapun manfaat penelitian ini adalah: Penelitian ini dilakukan dengan harapan akan memberikan manfaat bagi ilmu hukum khususnya mengenai perlindungan saksi dalam kasus tindak pidana pemerkosaan untuk mengawal penegakan hukum ke arah yang lebih baik. D. Kerangka pemikiran Tindak pidana perkosaan dapat digolongkan ke dalam bentuk kejahatan dengan kekerasan, karena biasanya tindak pidana ini disertai dengan kekerasan/ancaman kekerasan. Menurut Soerjono Soekanto yang dikutip oleh Mulyana W. Kusuma, penyebab terjadinya kejahatan dengan kekerasan adalah: a. Adanya orientasi pada benda yang menimbulkan keinginan untuk mendapat materi dengan jalan mudah. b. Tak ada penyaluran kehendak serta adanya semacam tekanan mental pada seseorang. c. Keberanian mengambil resiko.

8 d. Kurangnya perasaan bersalah dan adanya keteladanan yang kurang baik. 11 Markom dan Dolan menyebutkan, perkosaan adalah keadaan darurat baik secara psikologis maupun medis. Tujuan terapituk dari prosedur ini (penanganan medis korban kasus perkosaan) termasuk luka-luka fisik, intervensi krisis dengan dukungan emosional, propylaksis untuk penyakit kelamin dan pengobatan terhadap kemungkinan terjadinya kehamilan. Pendapat di atas secara lebih rinci antara lain sebagai berikut: 1. Penderitaan secara psikologis, seperti merasa tidak lagi berharga akibat kehilangan keperawanan (kesucian) dimata masyarakat, dimata suami, calon suami (tunangan) atau pihak-pihak lain yang terkait dengannya. Penderitaan psikologis lainnya dapat berupa kegelisahan, kehilangan rasa percaya diri, tidak lagi ceria, sering menutup diri atau menjauhi kehidupan ramai, tumbuh rasa benci (antipati) terhadap lawan jenis dan curiga berlebihan terhadap pihak-pihak lain yang bermaksud baik padanya. 2. Kehamilan yang dimungkinkan dapat terjadi. Hal ini dapat berakibat lebih fatal lagi bilamana janin yang ada tumbuh menjadi besar (tidak ada keinginan untuk diabortuskan). Artinya, anak yang dilahirkan akibat perkosaan tidak memiliki kejelasan statusnya secara yuridis dan norma keagamaan. 11 Mulyana W. Kusuma, Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan-Kejahatan Kekerasan, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982), hal. 41

9 3. Penderitaan fisik, artinya akibat perkosaan itu akan menimbulkan luka pada diri korban. Luka bukan hanya terkait pada alat vital (kelamin perempuan) yang robek, namun tidak menutup kemungkinan ada organ tubuh lainnya yang luka bilamana korban lebih dulu melakukan perlawanan dengan keras yang sekaligus mendorong pelakunya untuk berbuat lebih kasar dan kejam guna menaklukkan perlawanan dari korban. 4. Tumbuh rasa kekurang-percayaan pada penanganan aparat praktisi hukum, bilamana kasus yang ditanganinya lebih banyak menyita perhatiannya, sedangkan penanganan kepada tersangka terkesan kurang sungguh-sungguh. Korban merasa diperlakukan secara diskriminasi dan dikondisikan makin menderita kejiwaannya atau lemah mentalnya akibat ditekan secara terusmenerus oleh proses penyelesaian perkara yang tidak kunjung berakhir. 5. Korban yang dihadapkan pada situasi sulit seperti tidak lagi merasa berharga dimata masyarakat, keluarga, suami dan calon suami dapat saja terjerumus dalam dunia prostitusi. Artinya, tempat pelacuran dijadikan sebagai tempat pelampiasan diri untuk membalas dendam pada laki-laki dan mencari penghargaan. 12 Sudarto berpendapat (seperti yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief dalam bukunya Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana) bahwa untuk menanggulangi kejahatan diperlukan suatu usaha yang rasional dari masyarakat, 12 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual : Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, Bandung, Refika Aditama, 2001, hal 82-83

10 yaitu dengan cara politik kriminal. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. 13 Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dan yang dapat mengekspresikan apa-apa yang terkandung dalam masyarakat demi tercapainya suatu perlindungan hukum terhadap saksi perkosaan tidak terlepas dari faktor hukumnya. Dalam hukum positif, undang-undang yang mengatur masalah perlindungan saksi dan korban adalah KUHP dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, undang-undang tersebut tidak secara keseluruhan membicarakan masalah bentuk-bentuk perlindungan saksi sehingga harus dicari beberapa aturan lain dalam hukum positif yang mendukung adanya bentuk perlindungan saksi secara kongkrit. Di antaranya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Hak Asasi Manusia serta beberapa aturan lainnya. E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis empiris, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mempelajari 13 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002), hal 1-2

11 literature yang akan digunakan sebagai referensi dalam penelitian baik berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen-dokumen, dan semua bentuk tulisan yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti, termasuk berita-berita dari media cetak maupun elektronik serta data dari internet dan praktik perlindungan saksi di Polresta Surakarta. 2. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, merupakan prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak. Yang dimaksud subjek di sini adalah orang atau saksi yang melihat dan mengalami sendiri, sedangkan objeknya adalah kasus yang sedang dijalani tersangka dari proses penyidikan sampai putusan pengadilan. 3. Jenis Data Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Data Primer Data yang diperoleh penulis secara langsung di Polresta Surakarta, baik dari petugas maupun dari saksi langsung. b. Data sekunder yang terdiri dari : 1) Bahan hukum primer meliputi a) Undang-undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945, b) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban,

12 c) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, d) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, e) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 2) Bahan hukum sekunder, meliputi literature-literatur dan hasil karya tulis ilmiah para pakar sarjana mengenai perlindungan saksi dalam kasus tindak pidana perkosaan. 4. Lokasi Penelitian Dalam hal ini dilakukan di daerah Kota Surakarta. 5. Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan untuk mencari data yang berhubungan dengan objek penelitian dilakukan dengan cara : a. Studi Kepustakaan, yaitu mempelajari buku-buku, makalah-makalah, karya-karya ilmiah dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian; b. Metode Wawancara, yaitu dengan melakukan tanya jawab dengan petugas penyidik kepolisian Polresta Surakarta. 6. Metode Analisis Data Analisis data menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dimana data yang ada akan digambarkan sesuai dengan fakta di lapangan yang nantinya dianalisis dengan cara dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

13 F. Sistematika Skripsi Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh isi dari penulisan skripsi ini dan memudahkan pembaca untuk mengetahui isi yang terkandung dalam skripsi ini, maka garis besar sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 4 (empat) bab yaitu sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN, yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika skripsi. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA. Dalam bab ini mencakup di dalamnya Tinjauan Umum Tindak Pidana dan Pemidanaan, yang meliputi pengertian perbuatan pidana, unsur-unsur perbuatan pidana, tujuan pemidanaan. Kemudian juga diuraikan Tinjauan Umum Tentang Pemerkosaan, yang meliputi Pengertian Pemerkosaan, jenis-jenis pemerkosaan, dan tindak pidana pemerkosaan. Dilanjutkan dengan Tinjauan Umum alat Bukti dan sistem pembuktian dalam perkara pidana. Selanjutnya tinjauan umum tentang saksi dan perlindungan saksi. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Dalam bab ini diuraikan tentang Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Saksi dan Pelaksanaan Perlindungan Hukum terhadap Saksi dalam Kasus Tindak Pidana Perkosaan. BAB IV : PENUTUP. Dalam bab ini akan berisikan tentang kesimpulan yang akan ditarik dari penelitian oleh penulis dan saran bagi pihak yang berkaitan dengan penulisan ini.