BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Dalam

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Dalam"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Dalam Proses Peradilan Pidana Secara umum, adanya hukum positif di Indonesia merupakan suatu aturan yang salah satu tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan. Hal ini berarti, hukum jugu bertujuan untuk melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban kejahatan sebelum kejahatan itu terjadi. Dalam Deklarasi Milan 1985 tersebut, bentuk perlindungan yang diberikan mengalami perluasan yang tidak hanya ditujukan pada korban kejahatan (victims of crime), tetapi juga perlindungan terhadap korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap korban memperoleh perhatian yang serius tidak hanya dari masing-masing negara, tetapi juga dunia. Deklarasi PBB memberi perlindungan terhadap korban dengan memberikan restitusi, sehingga korban mendapatkan ganti kerugian atas apa yang telah dideritanya. Perlindungan terhadap korban perkosaan membutuhkan partisipasi masyarakat yang berempati terhadap apa yang telah dialaminya, sehingga memenuhi rasa kemanusiaan seperti yang tertuang dalam Pancasila sila ke-2 yang berbunyi, Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang memuat butir-butir nilai kemanusiaan yang adil dan beradab yang antara lain sebagai berikut: 34

2 1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. 2. Mengakui persamaan hak, persamaan derajat dan persamaan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. 3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia. 4. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan teposliro. 5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain. 6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Berdasarkan hasil wawancara saya dengan korban berinisial Rini bahwa untuk perlindungan korban masih banyak mengalami kekurangan dan belum maksimal, terutama dari pihak medis atau lembaga kesehatan belum sepenuhnya memberikan yang terbaik buat korban itu sendiri, artinya dalam hal ini korban belum mendapatkan pelayanan kesehatan misalkan apabila ada permintaan visum etrepectum terhadap korban tidak diberikan pelayanan secara gratis artinya korban dibebani biaya dalam hal visum, bahkan untuk pengobatan lanjutpun tetap dikenakan biaya pengobatan sendiri pada korban. Kedua, pada saat setelah persidangan stelah putusan berakhir korban akan dikembalikan kepada orangtuanya atau kepada keluarganya. Ketika korban mengalami penderitaan fisik maupun psikis yang menanggung derita korban adalah korban sendiri, artinya korban tidak mendapatkan ganti rugi maupun bantuan hukum secara optimal. Kemudian korban tidak mendapatkan rehabilitasi untuk kejiawaan, hal ini bukan tanggung jawab dari pengadilan. Dan ketiga dalam lembaga sosial pada 35

3 rehabilitasi untuk korban-korban asusila belum mendapatkan akses tersebut secara optimal, dikarenakan lembaga sosial tersebut belum berfungsi di kota gorontalo. Menurut saya berdasarkan seluruh ketentuan perlindungan hukum terhadap korban perkosaan tersebut, terdapat kekuatan dan kelemahannya masing-masing Pasal dalam KUHP dan KUHAP, seperti tidak adanya batas minimum khusus pidana penjara, tidak adanya penjelasan yang tegas pada pengertian persetubuhan dan pemaksaan kekerasan seksual, serta tidak ada aturan langsung mengenai ganti rugi sesuai Pasal 98 KUHAP, perlindungan hukum terhadap korban perkosaan belum memadai apabila diliat dan disinkronkan dengan konvensi-konvensi Internasional dan prinsip-prinsip victomologi hal ini dikarenakan perlindungan hukum dalam hukum nasional tidak adanya pengkategorian korban, bentukbentuk kekerasan seksual terhadap perempuan, dan kategori keadaan serta tempat terjadinya perkosaan. Tidak adanya keharusan bagi pelaku kejahatan untuk memberikan ganti rugi pada korban dan keluarga korban yang mengalami kerugian. Tidak adanya kompensasi dari Negara apabila pelaku tidak sanggup untuk memberikan kompensasi karena alasan ekonomi. Tidak adanya keutamaan korban di dalam kasus tindak pidana pemerkosaan. Korban tindak pidana perkosaan selain mengalami penderitaan secara fisik juga mengalami penderitaan secara psikis yang membutuhkan waktu lama untuk memulihkannya. Mengingat penderitaan yang dialami korban tindak pidana perkosaan tidak ringan dan membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk bisa memulihkannya, maka aparat penegak hukum berkewajiban memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan yang diimplementasikan 36

4 dalam peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum yang memihak korban. Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui aparat penegak hukumnya), seperti pemberian perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia serta instrumen penyeimbang. Dari sinilah dasar filosofis di balik pentingnya korban kejahatan (keluarganya) memperoleh perlindungan. Dari hasil penelitian data korban pemerkosaan di Pengadilan Negeri Gorontalo di jelaskan pada tabel di bawah ini: Tabel 1 Jumlah kasus pemerkosaan di Kota Gorontalo Tahun NO TAHUN KASUS PEMERKOSAAN PRESENTASE Kasus 15,0 % kasus 5,3% kasus 5,3% JUMLAH % Sumber Data, Pengadilan Negeri Gorontalo tahun

5 Dari data kasus pemerkosaan di kota gorontalo dapat dilihat bahwa jumlah kasus sebanyak 36 dan terbanyak yaitu pada tahun 2010 sebanyak 18 kasus sedangkan pada tahun 2011sebanyak 9 kasus pemerkosaan serta tahun 2012 sebanyak 9 kasus, hal ini jelas bahwa menggambarkan jumlah kasus tersebut elum menimbulkan efek kerja. Berdasarkan daftar tabel diatas dari hasil penelitian maka peneli menganalisis bahwa dalam kasus tindak pidana pemerkosaan ini banyak mengalami kendala dalam melakukan pemanggilan terhadap pelaku masih agak terhamdap dengan adanya administrasi yang harus melalui prosedur yang ada. Pemerkosan tersebut terjadi karena berbagai bentuk konflik, nafsu, dan ekonomi sehingga berujung pada tindak pemerkosaan. Selama ini dalam KUHP khususnya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perempuan, kaum perempuan hanya dilihat secara parsial, yakni hanya melindungi bagian-bagian tertentu dari tubuhnya. Bahkan beberapa pasalnya berangkat dari asumsi bahwa perempuan itu lemah dan berada dalam satu tarikan nafas dengan laki-laki. Pada tahun 1984 telah diratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan dengan Undang- Undang No. 7 Tahun 1984 (karena kebijakan umum serta berbagai peraturan yang ada saat ini masih mencerminkan kuatnya nilai patriarki), tetapi dalam pelaksanaannya masih terjadi diskriminasi dan eksploitasi. Bentuk perlindungan hukum yang ideal terhadap anak sebagai korban perkosaan, dilakukan secara preventif dan represif. Secara preventif 38

6 Dilakukan dengan pemberian sanksi pidana terhadap pelaku sebaiknya diberikan hukuman seberat-beratnya. Pemberian sanksi berat tersebut harus diperhatikan pada motif pelaku, tujuan pelaku melakukan tindak pidana, cara pelaku melakukan tindak pidana dan motif korban. Pasal 81 (1) UU No.23 Tahun 2002 mengatur ketentuan pidana bagi pelaku yang melakukan persetubuhan di luar perkawinan dengan pidana minimum 3 tahun dan maksimum 15 tahun. Adanya pidana tambahan berupa ganti kerugian, Menuntut ganti rugi akibat suatu tindak pidana/kejahatan yang menimpa diri korban melalui cara penggabungan perkara perdata dengan perkara pidana (Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP). Hak ini diberikan guna memudahkan korban untuk menuntut ganti rugi pada tersangka/terdakwa. Kemudian dibentuknya lembaga yang berskala nasional untuk menampung anak yang menjadi korban tindak kekerasan seperti perkosaan yang didirikan pada masing-masing daerah. Sedangkan secara Represif diperlukan Perlindungan hukum berupa pemberian restitusi dan kompensasi bertujuan mengembalikan kerugian yang dialami oleh korban baik fisik maupun psikis, sebagaimana diatur dalam pasal KUHAP. Konseling diberikan kepada anak sebagai korban perkosaan yang mengalami trauma berupa rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 64 (3) UU Perlindungan Anak. Secara eksplisit, KUHAP memang telah mengatur tentang ganti kerugian. Tetapi ganti kerugian tersebut ditujukan bagi tersangka, terdakwa atau terpidana karena adanya kekeliruan dalam penangkapan. Sedangkan pengaturan ganti kerugian secara umum diatur dalam pasal 98 s/d 101 dengan cara penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Namun penggabungan perkara gugatan ganti 39

7 kerugian ini tidak efektif karena jarang digunakan. Bahkan dari hasil penelitian penulis, penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam kasus tindak pidana perkosaan di Semarang belum pernah ada. Ini disebabkan karena penggabungan perkara gugatan ganti kerugian sangat rumit dan memakan waktu lama karena harus menggabungkan kasus pidana dan perdata. Hal ini tentu saja menambah daftar ketidakefektifan peraturan perundang-undangan karena sekalipun telah diatur namun tidak diaplikasikan dalam prakteknya. Sekali lagi bahwa yang dibutuhkan dalam perlindungan terhadap korban (khususnya tindak pidana perkosaan) tidak hanya peraturan tertulis saja, tetapi juga realisasinya dalam masyarakat. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tentunya membawa konsekuensi perlunya diciptakan suatu hubungan yang harmonis antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Kondisi ini dapat diwujudkan melalui kehidupan saling menghormati dan menghargai bahwa diantara mereka terkandung adanya hak dan kewajiban. Salah satu akibat dari korban yang mendapat perhatian viktimologi adalah penderitaan, kerugian mental, fisik, sosial, serta penanggulangannya 58. Adapun manfaat viktimologi antara lain sebagai berikut: 1. Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan fisik, mental dan sosial. Tujuannya untuk memberikan beberapa penjelasan 58 Arief Gosita. Relevansi Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan), Jakarta, IND.HILL-CO,

8 mengenai kedudukan dan peran korban dan hubungannya dengan pihak pelaku serta pihak lain. 2. Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk mengatasi masalah kompensasi pada korban, pendapat-pendapat viktimologis dipergunakan dalam keputusan-keputusan peradilan kriminal dan reaksi pengadilan terhadap pelaku kriminal yang juga merupakan suatu studi mengenai hak asasi manusia. 59 Pentingnya korban memperoleh pemulihan sebagai upaya menyeimbangkan kondisi korban yang mengalami gangguan, dengan tepat dikemukakan Muladi saat menyatakan: korban kejahatan perlu dilindungi karena pertama, masyarakat dianggap sebagai suatu wujud sistem kepercayaan yang melembaga (system of institutionalized trust). 60 Kepercayaan ini terpadu melalui normanorma yang diekspresikan di dalam struktur kelembagaan, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan sebagainya. Kedua, adanya argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial karena negara boleh dikatakan monopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, jika terdapat korban kejahatan, maka negara harus memperhatikan kebutuhan korban dengan cara peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak. Ketiga, perlindungan korban yang biasa dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Dengan penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana akan memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa Arief Gosita. Loc. Cit,1987 Muladi, Perlindungan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana: Sebagaimana dimuat dalam Kumpulan Karangan Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997), hal

9 damai dalam masyarakat. Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana. Adapun asas-asas yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Asas manfaat Artinya, perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat. 2. Asas keadilan Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang juga harus diberikan pada pelaku kejahatan. 3. Asas keseimbangan Karena tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula (restitutio in integrum), asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak korban. 4. Asas kepastian hukum 42

10 Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugas-tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan. 61 Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara, tergantung pada penderitaan/kerugian yang diderita oleh korban. Misalnya, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk materi/uang tidaklah memadai apabila tidak diserta dengan upaya pemulihan mental korban. Sebaliknya, apabila korban hanya menderita kerugian secara materiil, pelayanan yang sifatnya psikis terkesan terlalu berlebihan. Mengacu pada uraian di atas, ada beberapa perlindungan terhadap korban kejahatan yang lazim diberikan, antara lain sebagai berikut: 1. Pemberian Restitusi dan Kompensasi Penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 memberikan pengertian kompensasi, yaitu kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan restitusi, yaitu ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganyaoleh pelaku atau pihak ketiga. 62 Menurut Stephen Schafer, terdapat 4 (empat) sistem pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban kejahatan, yaitu antara lain: Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, PT Alumni, 1992, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 43

11 a. Ganti rugi (damages) yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses perdata. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses pidana b. Kompensasi yang bersifat keperdataan diberikan melalui proses pidana. c. Restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana diberikan melalui proses pidana. Walaupun restitusi di sini tetap bersifat keperdataan, tidak diragukan sifat pidana (punitif) nya. d. Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana, dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara. Di sini kompensasi tidak mempunyai aspek pidana apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi, kompensasi tetap Hambatan Yang Di Hadapi Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Berdasarkan Hasil wawancara Oleh Noldy Takasanakeng, Majelis Hakim Anggota Pengadilan Negeri Gorontalo, (Tanggal 03 Oktober 2013,Jam 10:00) mengemukakan; Majelis Hakim menjelaskan Hambatannya yaitu persidangan karena beberapa faktor, diantaranya korban merasa malu dan tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui oleh orang lain, atau korban merasa takut karena telah diancam oleh pelaku bahwa dirinya akan dibunuh. Hal ini tentu saja mempengaruhi perkembangan mental/kejiwaan dari para korban dan juga berpengaruh pada proses penegakan hukum itu sendiri untuk mewujudkan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat. Disaat korban dipanggil untuk proses 63 Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, Jakarta, PT.RadjaGrafindo Persada,

12 pemerikasaan dan persidangan sering kali tidak mau menghadiri saat diminta memberikan keterangan dan kesaksian disaat terjadinya tindak pidana perkosaan, di karenakan trauma yang dialami setelah kejadian tersebut. Ini menjadi hambatan pihak Penyelidik dan penyidik untuk memperoleh informasi dalam proses penyidikan hingga persidangannya. Namun disaat pemerikasaan dan sampai di persidangan korban di perlakukan dengan baik agar tidak tertekan Psikologisnya yang mana akan bisa memperlambat proses peradilan. 64 Kasus tindak pidana perkosaan paling banyak menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas, juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain. Walaupun banyak tindak pidana perkosaan yang telah diproses sampai ke Pengadilan, tapi dari kasus-kasus itu pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang maksimal sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Pasal 281 s/d 296), khususnya yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan (Pasal 285) yang menyatakan: Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. 64 Hasil wawancara Oleh Noldy Takasanakeng, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gorontalo 45

13 Sudarto berpendapat bahwa untuk menanggulangi kejahatan diperlukan suatu usaha yang rasional dari masyarakat, yaitu dengan cara politik kriminal. 65 Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan utama dari politik criminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Menurut saya dari beberapa hambatan perlindungan hukum bagi anak sebagai korban perkosaan di atas, ternyata terdapat kelemahan, yang tidak sesuai diberikan oleh undang undang. Seperti Pertama, sebelum persidangan dalam hal pemenuhan hak korban/ perlindungan dari pihak / lembaga kesehatan (Rumah sakit atau Puskesmas) terhadap korban perkosaan di wilayah hukum PN Gorontalo, belum maksimal, artinya dalam hal ini korban belum mendapatkan pelayanan kesehatan misalkan apabila ada permintaan visum et repertum terhadap korban tidak diberikan pelayanan secara gratis artinya korban dibebani biaya dalam hal visum, bahkan untuk pengobatan lanjutanpun tetap dikenakan biaya pengobatan sendiri pada korban. Kedua, pada saat setelah persidangan setelah putusan berakhir anak sebagai korban akan dikembalikan kepada orangtuanya atau kepada keluarganya. Ketika korban mengalami penderitaan fisik maupun psikis yang menanggung derita korban adalah korban dan pihak keluarga korban sendiri, artinya korban tidak mendapatkan ganti rugi maupun bantuan hukum secara optimal. Kemudian anak sebagai korban tidak mendapatkan rehabilitasi, hal ini dikarenakan bukan tanggung jawab dari pengadilan. Dan Ketiga dalam 65 Barda Nawawi Arief Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti

14 lembaga sosial pada rehabilitasi untuk korban-korban asusila belum mendapatkan akses tersebut secara optimal. Sedangkan perlindungan Hukum di PN Gorontalo, Pertama, sebelum persidangan pada proses penyidikan, anak korban dimintai keterangan oleh pihak kepolisian yang dilakukan oleh polisi wanita unit PPA. Dalam memberikan pertanyaan kepada korban, tidak bersifat memojokan korban. Dalam permintaan visum untuk menemukan bukti, anak tidak dibebani biaya. Dalam persidangan, sidang tertutup untuk umum. Kemudian anak sebagai korban dilindungi dari berbagai ancaman maupun tekanan dari pihak lain, misalkan ada pendampingan dan ketika anak korban memberikan keterangan dia takut pada pelaku, maka hakim dengan bijaksana untuk meminta pelaku untuk keluar dari ruang sidang. Dan korban tidak diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan ganti kerugian. Dari beberapa kelemahan tersebut di atas menunjukkan bahwa adanya ketidaksesuaian antara norma dan penerapan di lapangan,hal ini ditunjukkan pada proses peradilan pidana anak sebagai korban tidak mendapatkan hak sepenuhnya sebagaimana yang diberikan oleh undang-undang. Dalam penanganan kasus perkosaan terhadap anak sebagai korban seharusnya bersifat holistik dan terintegrasi. Semua sisi memerlukan pembenahan dan penanganan, baik dari sisi medis, sisi internal penghayatan individu, aspek hukum yang masih banyak mengandung kelemahan, dukungan sosial, dukungan ekonomis, maupun langkahlangkah politis dan avokasi. Tujuan dalam memberikan kebutuhan hukum secara holistik tersebut adalah untuk memberikan keadilan. Ketidakadilan yang menimpa golongan-golongan sosial yang lemah seperti anak sebagai korban perkosaan, 47

15 dalam hal ini negara dibebani tanggung jawab sosial, artinya negara tidak boleh sekedar netral terhadap semua golongan, melainkan harus berpihak pada mereka yang lemah dan memerlukan bantuan. Berpihak dalam arti bahwa negara harus mengambil tindakan khusus untuk menjamin tuntutan keadilan. Untuk itu, bagi golongan-golongan lemah harus dibuka kemungkinan berpartisipasi aktif dalam menuntut hak-hak yang telah merugikan mereka. Sebagaimana filosofi Indonesia di negara yang berlandaskan pancasila, hakikat keadilan manusia sebagai makhluk yang beradab (sila II). Manusia pada hakikatnya adalah adil dan beradab, yang berarti manusia harus adil terhadap diri sendiri, adil terhadap Tuhannya, adil terhadap orang lain dan masyarakat serta adil terhadap lingkungan alaminya. Dengan keadilan yang berlandaskan dalam sila kedua pancasila tersebut berhak didapat bagi si pelaku maupun korban pada kasus perkosaan. Keadilan dalam hal ini bukan hanya dimaksudkan untuk sama-sama mendapatkan pada bagian sama, namun keadilan dalam kasus ini adalah untuk keadilan yang merupakan struktur kekuasaan yang menguasai golongan-golongan yang menderita ketidakadilan yakni pihak yang menderita atau dirugikan (korban). Sila kedua dalam Pancasila menunjuk kepada nilai-nilai dasar manusia, yang diterjemahkan dalam hak-hak asasi manusia, taraf kehidupan yang layak bagi manusia, dan sistem pemerintahan yang demokratis serta adil. Nilai-nilai manusiawi merupakan dasar dari apa yang sekarang disebut sebagai hak-hak asasi manusia. Terlebih pada hak yang dimiliki oleh pelaku dan korban, bila terkait dalam persoalan ini artinya hak yang didapat masing-masing harus diwujudkan karena merupakan bagian dari hak asasi manusia. Namun persoalan hak asasi 48

16 dalam hal ini tidak terlepas pada kewajiban yang di laksanakan oleh pelaku maupun korban. Karenanya tanpa adanya kewajiban maka tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia. Selain itu, hak anak sebagai korban perkosaan yang menderita secara fisik perlu mendapatkan restitusi maupun kompensasi atas akibat penderitaan yang dialaminya. 49

I. PENDAHULUAN. kebijakan sosial baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun

I. PENDAHULUAN. kebijakan sosial baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana pemerkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan, utamanya terhadap kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan menimbulkan korban. Korban/saksi dapat berupa pelaku tindak pidana yaitu: seorang Korban/saksi

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB III PERANAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK SABAGAI DASAR HUKUM DALAM PENANGGULANGAN KEKERASAN ANAK

BAB III PERANAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK SABAGAI DASAR HUKUM DALAM PENANGGULANGAN KEKERASAN ANAK BAB III PERANAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK SABAGAI DASAR HUKUM DALAM PENANGGULANGAN KEKERASAN ANAK 1.1 Peranan Undang-Undang Perlindungan Anak Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Anak Yang Menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak anak bagi semua

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak anak bagi semua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 SKRIPSI PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 Oleh ALDINO PUTRA 04 140 021 Program Kekhususan: SISTEM PERADILAN PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional sepertinya belum mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini terlihat dari sedikitnya hak-hak korban

Lebih terperinci

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN SELAMA PROSES PERADILAN PIDANA

PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN SELAMA PROSES PERADILAN PIDANA PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN SELAMA PROSES PERADILAN PIDANA Oleh Ni Putu Ari Manik Wedani Pembimbing Akademik Nyoman Satyayudha Dananjaya Program Kekhususan Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHUULUAN. terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak

BAB I PENDAHUULUAN. terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak BAB I PENDAHUULUAN A. Latar Belakang Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau majalah diberitakan terjadi tindak pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan Pendahuluan Kekerasan apapun bentuknya dan dimanapun dilakukan sangatlah ditentang oleh setiap orang, tidak dibenarkan oleh agama apapun dan dilarang oleh hukum Negara. Khusus kekerasan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 6 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi? Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 berusaha untuk benar-benar menjunjung tinggi hak asasi manusia, negara akan menjamin

Lebih terperinci

Kata kunci : Kebijakan Hukum Pidana, perlindungan, korban perkosaan

Kata kunci : Kebijakan Hukum Pidana, perlindungan, korban perkosaan PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM PERADILAN PIDANA DI KOTA KOLAKA SULAWESI TENGGARA Arwin Prima Hilumallo, AM. Endah Sri Astuti *, DR. R.B Sularto Hukum Pidana ABSTRAK Di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN JEMBRANA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN JEMBRANA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN JEMBRANA 2.1 Pengertian Perlindungan Hukum Ruang lingkup perlindungan hukum yang akan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa

I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dijaga untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan berpartisipasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang atau subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual dewasa ini bukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual dewasa ini bukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual dewasa ini bukan hanya menimpa perempuan dewasa, namun juga perempuan yang tergolong anak. Kejahatan seksual

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kejahatan bukanlah hal yang baru, meskipun tempat dan waktunya berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu kota dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan teknologi, membawa perubahan yang signifikan dalam pergaulan dan moral manusia, sehingga banyak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 5 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Apa perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN. Hak-hak korban pelanggaran HAM berat memang sudah diatur dalam

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN. Hak-hak korban pelanggaran HAM berat memang sudah diatur dalam BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Hak-hak korban pelanggaran HAM berat memang sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban khususnya mengenai kompensasi, namun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FIQIH MURA<FA AT TERHADAP VICTIMOLOGI DALAM PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN

BAB IV ANALISIS FIQIH MURA<FA AT TERHADAP VICTIMOLOGI DALAM PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN BAB IV ANALISIS FIQIH MURAfa at Terhadap Victimologi Jari>mah selain jiwa (penganiayaan)

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak 7 Perbedaan dengan Undang Undang Perlindungan Anak Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Perlindungan Anak? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan abad ke-21 ini, baik secara nasional maupun internasional. Hak Asasi Manusia telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat dikatakan bahwa kejahatan pemerkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Di tangan mereka peranperan strategis

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN. dan hak-hak lainnya. Pada dasarnya setiap manusia memiliki hak untuk

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN. dan hak-hak lainnya. Pada dasarnya setiap manusia memiliki hak untuk BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN A. Pengertian Perlindungan Hukum Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang sejak lahir memiliki hak-hak dasar yaitu hak untuk hidup, hak untuk dilindungi,

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE. Oleh : Dheny Wahyudhi 1. Abstrak

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE. Oleh : Dheny Wahyudhi 1. Abstrak PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE Oleh : Dheny Wahyudhi 1 Abstrak Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam proses peradilan

Lebih terperinci

BUPATI POLEWALI MANDAR

BUPATI POLEWALI MANDAR BUPATI POLEWALI MANDAR PERATURAN BUPATI POLEWALI MANDAR NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN DI KABUPATEN POLEWALI MANDAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Anak Sebuah Masyarakat yang di dalamnya memiliki individu yang mempunyai kepentingan yang tidak hanya sama tetapi dapat bertentangan, untuk itu diperlukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S BAB I PENDAHULUAN

Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S BAB I PENDAHULUAN Penegakan hukum tindak pidana pencabulan terhadap anak berdasarkan undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (studi di Pengadilan Negeri Sukoharjo) Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S310907004

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai

Lebih terperinci

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 7/Ags/2015

Lex et Societatis, Vol. III/No. 7/Ags/2015 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN KORBAN (KAJIAN UNDANG-UNDANG NO. 31 TAHUN 2014) 1 Oleh: Marnex L. Tatawi 2 ABSTRAK Sampai saat ini saksi dan korban belum menjadi bagian yang penting bagi proses penegakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO Salinan PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOJONEGORO NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DI KABUPATEN BOJONEGORO DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, konsep Negara hukum tersebut memberikan kewajiban bagi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DAN PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang

I. PENDAHULUAN. seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi ketentraman dan rasa aman merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang tertuang dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu masalah yang ada di dalam kehidupan masyarakat, baik dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang berbudaya modern

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

Wajib Lapor Tindak KDRT 1 Wajib Lapor Tindak KDRT 1 Rita Serena Kolibonso. S.H., LL.M. Pengantar Dalam beberapa periode, pertanyaan tentang kewajiban lapor dugaan tindak pidana memang sering diangkat oleh kalangan profesi khususnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar

Lebih terperinci

PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Supriyadi Widodo Eddyono

PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Supriyadi Widodo Eddyono PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Jakarta 2005 I. Latar Belakang Masalah perlindungan Korban dan Saksi di dalam proses peradilan pidana merupakan salah satu permasalahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Hal ini terbukti dari banyaknya jenis tindak pidana dan modus

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya, oleh karena itu mengabaikan perlindungan

PENDAHULUAN. nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya, oleh karena itu mengabaikan perlindungan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional, karena melindungi anak berarti melindungi manusia dan membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat pembangunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum bersendikan keadilan agar ketertiban, kemakmuran dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 yang menjujung tingi hak dan kewajiban bagi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. karena itu sering timbul adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh bangsa

I. PENDAHULUAN. karena itu sering timbul adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh bangsa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Indonesia yang pada saat ini sedang memasuki era globalisasi. Oleh karena itu sering timbul adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh bangsa Indonesia khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam hubungan antara manusia satu dengan yang lain sering kali

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam hubungan antara manusia satu dengan yang lain sering kali 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam hubungan antara manusia satu dengan yang lain sering kali terjadi ketidakharmonisan, pertentangan dan perbedaan pendapat yang sering berujung pada kekerasan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat

I. PENDAHULUAN. Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian dikalangan masyarakat. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dilahirkan sebagai makhluk yang bersifat individual dan juga bersifat sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing yang tentu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo 17 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo 1. Pengertian Tindak Pidana Kumpul Kebo Tindak Pidana kumpul kebo adalah perbuatan berhubungan antara laki-laki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari segi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan merupakan cara terbaik dalam menegakan keadilan. Kejahatan yang menimbulkan penderitaan terhadap korban, yang berakibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menuliskan bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum. Salah satu prinsip penting negara

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

Tri Novita Sari Manihuruk 1, Nur Rochaeti 2. Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Tri Novita Sari Manihuruk 1, Nur Rochaeti 2. Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. PERLINDUNGAN HAK ANAK KORBAN PHEDOFILIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (STUDI TENTANG PENANGANAN KASUS KEJAHATAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI POLRESTABES SEMARANG Tri Novita Sari Manihuruk 1, Nur Rochaeti

Lebih terperinci