BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya masa orde baru merupakan awal mula demokrasi di Indonesia.

dokumen-dokumen yang mirip
Jurnal Akuntansi & Investasi Vol. 14 No. 1, halaman: 1-13, Januari 2013

BAB I PENDAHULUAN. Setelah otonomi daerah digulirkan tahun 1999, pemerintah daerah mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Daerah kabupaten dan kota berkedudukan sebagai daerah otonom yang

I. PENDAHULUAN. Alam, 2010), untuk penyelenggaraan pemilukada setidaknya menelan biaya

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

PERMENDAGRI NOMOR 32 TAHUN 2011 PERMENDAGRI NOMOR 39 TAHUN 2012 PERMENDAGRI NOMOR 14 TAHUN 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. satu indikator baik buruknya tata kelola keuangan serta pelaporan keuangan

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. kinerja kepala daerah beserta wakil rakyat di kursi dewan.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan

BUPATI BARITO UTARAA PERATURAN BUPATI BARITO UTARA NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah tentang Otonomi Daerah, yang dimulai dilaksanakan secara efektif

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. bertumpu pada penerimaan asli daerah. Kemandirian pembangunan baik di tingkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 39 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGANGGARAN, PELAKSANAAN DAN PENATAUSAHAAN, PERTANGGUNGJAWABAN DAN PELAPORAN

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan anggaran menjadi topik menarik akhir-akhir ini. Fenomena APBN

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

224/PMK.07/2008 PETA KAPASITAS FISKAL DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. sebagai unit pelaksana otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah

BAB I PENDAHULUAN. MPR No.IV/MPR/1973 tentang pemberian otonomi kepada Daerah. Pemberian

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR 92 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI PESISIR SELATAN PROVINSI SUMATERA BARAT

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan Halaman Judul... Halaman Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran...

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Sidik et al, 2002) UU No.12 tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Terjadinya krisis pada tahun 1996 merupakan faktor perubahan

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR TAHUN 2013 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal. daerah, yang dikenal sebagai era otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 22 TAHUN 2011 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2012

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dampak yang dialami oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan

BAB I INTRODUKSI. Bab I berisi mengenai introduksi riset tentang evaluasi sistem perencanaan

PEMERINTAH ALOKASIKAN ANGGARAN DANA DESA TAHUN 2015 SEBESAR RP9,1 TRILIUN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

SOSIALISASI PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma

BAB I PENDAHULUAN. Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan. bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional mengatur dan

PROVINSI SUMATERA BARAT WALIKOTA PADANG

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BUPATI BENGKULU SELATAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berakhirnya masa orde baru merupakan awal mula demokrasi di Indonesia. Hal ini ditandai dengan lahirnya amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam amandemen UUD 1945 tersebut diperkenalkan beberapa bentuk Pemilihan Umum untuk memilih presiden dan wakil presiden serta untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah (Aribrata, 2011:1). Pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan secara langsung tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) merupakan sebuah proses pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh Warga Negara Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pemilukada meliputi : 1. Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur; 2. Pemilu Bupati dan Wakil Bupati; 3. Pemilu Walikota dan Wakil Walikota. Pemilukada di Indonesia sudah mulai diselenggarkan sejak tahun 2005 di 266 daerah provinsi maupun kabupaten/kota di Indonesia. Banyak pihak yang mengindikasikan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan Pemilukada namun efektivitas dan efisiensi penyelenggaraannya belum pernah dikoreksi secara serius 1

2 baik oleh Pemerintah Pusat maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (Ritonga & Alam, 2010:2). Terlebih lagi pada saat kepala daerah yang sudah berakhir masa jabatannya pada periode pertama kemudian mencalonkan kembali sebagai kepala daerah pada periode berikuntnya (incumbent). Adanya indikasi tersebut cukup logis mengingat kepala daerah yang sedang menjabat mempunyai ruang yang cukup luas untuk mempolitisasi anggaran. Melalui posisinya, calon incumbent mendapatkan akses yang memungkinkannya memanfaatkan pos-pos belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk mengakomodir kepentingan politisnya seperti pada pos belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan. Ketiga pos belanja tersebut dapat dimanfaatkan incumbent karena dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) 59 tahun 2007 menyebutkan bahwa belanja hibah dan belanja bantuan sosial tidak disalurkan melalui program atau kegiatan, bersifat tidak mengikat dan tidak berkelanjutan. Selain itu dalam Pusdiklatwas Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) 2007 disebutkan bahwa belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan termasuk dalam belanja yang disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Kelonggaran aturan inilah yang banyak dimanfaatkan oleh incumbent untuk menarik simpati masyarakat. Indikasi tersebut diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Ritonga dan Alam pada tahun 2010 yang membuktikan bahwa alokasi belanja hibah dan belanja bantuan sosial di daerah incumbent pada saat Pemilukada lebih besar dibandingkan sebelum Pemilukada. Selain itu ada pula penelitian yang dilakukan oleh Yuwani

3 pada tahun 2011 yang menemukan adanya peningkatan alokasi belanja hibah, bantuan sosial dan bantuan keuangan pada daerah Pemilukada incumbent APBD tahun anggaran 2009-2010. Menurut Permendagri no. 32 tahun 2011 belanja hibah diberikan kepada masyarakat dengan kriteria kelompok/orang yang memiliki kegiatan tertentu dalam bidang perekonomian, pendidikan, kesehatan, keagamaan, kesenian, adat istiadat, dan keolahragaan nonprofesional. Sedangkan belanja bantuan sosial dalam Permendagri no. 32 tahun 2011 diberikan kepada anggota/kelompok masyarakat dengan menyesuaikan kemampuan keuangan masing-masing daerah. Anggota/kelompok masyarakat yang dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) meliputi: a. individu, keluarga, dan/atau masyarakat yang mengalami masalah secara sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. belanja bantuan sosial diberikan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. b. lembaga nonpemerintahan yang berperan melindungi individu, kelompok, dan/atau masyarakat dari risiko sosial. Lain pula dengan belanja bantuan keuangan, dalam Permendagri no. 22 tahun 2011 yang menyebutkan bahwa pemberian bantuan keuangan oleh pemerintah dapat bersifat umum dan khusus. Bantuan keuangan yang bersifat umum digunakan untuk mengatasi kesenjangan fiscal. Bantuan keuangan yang bersifat khusus digunakan untuk membantu target kinerja program prioritas pemerintah daerah/desa yang menjadi penerima bantuan keuangan yang disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan penerima bantuan. Pemanfaatan bantuan keuangan yang bersifat khusus ditetapkan terlebih dahulu oleh pemberi

4 bantuan. Kondisi seperti inilah yang menjadikan peningkatan jumlah alokasi untuk belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan yang dirancang incumbent sering disambut positif oleh masyarakat melalui Pemilukada. Seyogyanya pemanfaatan pos belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan tersebut akan lebih tepat guna jika diimbangi dengan adanya konsistensi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), bahkan Panggabean (2009:18) mengatakan bahwa keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah sangat ditentukan oleh kemampuan masing-masing daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan tertentu yang tercakup dalam tanggung jawab dari daerah tersebut. Ini berarti jika peningkatan belanja hibah, bantuan sosial dan bantuan keuangan dapat dimanfaatkan dengan baik maka ketiga pos tersebut secara tidak langsung dapat membantu penyelenggaraan otonomi daerah yang tentunya akan meningkatkan pembangunan daerah. Jika pembangunan daerah terselenggara dengan baik maka bisa dipastikan daerah tersebut adalah daerah yang mandiri. Indikator kemandirian tersebut bisa dilihat dari jumlah PAD yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah Dana Perimbangan yang merupakan transfer dari pusat. Oleh karena itu penelitian ini bermaksud untuk mengetahui apakah peningkatan ketiga pos belanja tersebut dapat meningkatkan jumlah PAD dalam APBD pada tahun anggaran berikutnya. Hal ini memungkinkan terjadi mengingat tiap pos belanja dalam APBD mempunyai target kinerja masingmasing seperti pada belanja hibah, jika belanja hibah meningkat maka diharapkan pelayanan public juga meningkat. Dalam Petunjuk Teknis Pengelolaan Anggaran

5 Belanja Pemerintah provinsi Jawa Barat menyebutkan beberapa fungsi belanja hibah, yaitu : a. Hibah kepada pemerintah bertujuan untuk menunjang peningkatan penyelenggaraan pemerintah daerah dan layanan dasar umum oleh pemerintahan. b. Hibah kepada badan/lembaga/organisasi swasta dan atau kelompok masyarakat/perorangan bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaran pembangunan daerah. c. Hibah kepada perusahaan daerah bertujuan untuk menunjang peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Apabila kepala daerah memang betul mengupayakan manfaat dari peningkatan belanja hibah tersebut maka bukan hal yang tidak mungkin jika pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan PAD lain-lain yang sah akan meningkat pula. Kondisi tersebut juga seharusnya terjadi dalam belanja bantuan sosial. Dalam Petunjuk Teknis Pengelolaan Anggaran Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Barat memaparkan bahwa fungsi belanja bantuan sosial adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. Ini berarti jika peningkatan belanja bantuan sosial dapat diimbangi dengan manfaat dari efektivitas peningkatannya maka PAD akan meningkat pula. Melalui peningkatan belanja bantuan sosial yang tepat guna maka seharusnya tingkat kemiskinan suatu daerah berkurang sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah dapat terlaksana dengan baik.

6 Hal serupa seharusnya juga terjadi pada belanja bantuan keuangan. Berdasarkan Petunjuk Teknis Pengelolaan Anggaran Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Barat fungsi belanja bantuan keuangan yaitu meningkatkan kemampuan keuangan suatu daerah. Sehingga jelas bahwa peningkatan belanja bantuan keuangan yang efektif dapat meningkatkan kemandirian suatu daerah dalam membiayai pengeluaran daerahnya. Hal ini dapat mengurangi ketergantungan suatu pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat sehingga dapat menunjang kelancaran pembangunan daerah. Sidik (2002:1) mengatakan bahwa karakteristik utama dari daerah yang mampu melaksanakan otonomi daerahnya dengan baik yaitu pada kemampuan mengelola keuangan daerahnya. Konsekuensi dari kondisi tersebut berarti daerah otonom harus mempunyai kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelolanya dan menggunakan keuangan sendiri untuk mencukupi penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Berdasarkan teori-teori tersebut kita dapat mengetahui bahwa peningkatan belanja bantuan keuangan yang efektif dapat mempengaruhi peningkatan PAD. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang dikemukakan diatas maka judul penelitian yang diajukan adalah ANALISIS TERHADAP DUGAAN PEMANFAATAN BELANJA HIBAH, BELANJA BANTUAN SOSIAL DAN BELANJA BANTUAN KEUANGAN OLEH INCUMBENT DALAM PEMILUKADA SERTA EFEKTIVITASNYA TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD). Penelitian ini merupakan replikasi dari Irwan Taufiq Ritonga dan Mansur Iskandar Alam (2010). Perbedaan penelitian ini dengan sebelumnya adalah periode tahun sampel yang digunakan pada penelitian

7 sebelumnya, yaitu tahun 2009-2010, sedangkan pada penelitian ini tahun sampel yang digunakan yaitu tahun 2009, 2010, dan 2011. Perbedaan lainnya yaitu adanya penambahan variabel belanja bantuan keuangan dan PAD sehingga peneliti perlu menambahkan pengujian regresi pada penelitian ini untuk mengetahui apakah peningkatan belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan benar-benar dimanfaatkan untuk memaksimalkan potensi suatu daerah atau hanya sebatas media kampanye untuk incumbent. B. Batasan Masalah 1. Sampel pada penelitian ini adalah daerah provinsi maupun kabupaten/kota di Indonesia yang menyelenggaran Pemilukada pada tahun 2011. 2. Proksi untuk mengetahui dugaan pemanfaatan belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan dalam Pemilukada serta efektivitas ketiga pos belanja tersebut terhadap peningkatan PAD pada penelitian ini yaitu proksi alokasi belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bantuan keuangan dan PAD. C. Rumusan Masalah 1. Apakah terdapat perbedaan alokasi belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan dalam APBD provinsi maupun kabupaten/kota di Indonesia sebelum dan pada saat pelaksanaan Pemilukada di daerah incumbent?

8 2. Apakah terdapat perbedaan alokasi belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan dalam APBD provinsi maupun kabupaten/kota pada saat Pemilukada antara calon incumbent dan nonincumbent? 3. Apakah peningkatan belanja hibah, belanja bantuan sosial, dan belanja bantuan keuangan mempengaruhi peningkatan PAD pada daerah incumbent? D. Tujuan Penelitian 1. Untuk mendapatkan bukti empiris terjadinya perbedaan alokasi belanja hibah, belanja bantuan sosial, dan belanja bantuan keuangan dalam APBD provinsi maupun kabupaten/kota di Indonesia sebelum dan pada saat pelaksanaan Pemilukada. 2. Untuk mendapatkan bukti empiris terjadinya perbedaan alokasi belanja hibah, belanja bantuan sosial, dan belanja bantuan keuangan dalam APBD provinsi maupun kabupaten/kota pada saat Pemilukada antara calon incumbent dan nonincumbent. 3. Untuk mendapatkan bukti empiris terjadinya peningkatan belanja hibah, belanja bantuan sosial, dan belanja bantuan keuangan mempengaruhi peningkatan PAD pada daerah incumbent.

9 E. Manfaat Penelitian 1. Tataran Teori Sebagai bahan referensi bagi peneliti-peniliti selanjutnya di bidang Akuntansi Sektor Publik. 2. Tataran Kebijakan a. Bagi pemerintah daerah hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan evaluasi untuk mengurangi perilaku oportunistik. b. Alternatif bahan pembanding dalam melaksanakan fungsi pengawasan pengelolaan keuangan daerah.