TINJAUAN PUSTAKA Lumut adalah tumbuhan tingkat rendah dengan ciri-ciri antara lain: umumnya berukuran kecil, memiliki profil yang umumnya rendah dengan tinggi sekitar 1-2 cm. Lumut pada umumnya tidak mempunyai jaringan pembuluh dan tanpa kutikula atau dengan kutikula yang sangat tipis, dinding sel tanpa diperkuat oleh lignin. Lumut adalah tumbuhan poikilohidrik, bergantung pada kelembapan yang ada di lingkungannya. Pada periode kering lumut bersifat dorman, pada saat kondisi lingkungan menjadi basah lumut segera menyerap air untuk aktivitas fotosintesis. Lumut berkembang biak dengan spora, pergiliran generasi didominasi oleh gametofit (Gradstein et al. 2001). Dewasa ini diperkirakan terdapat lebih dari 15000 jenis lumut yang termasuk ke dalam 1200 marga dengan persebaran yang luas. Tiga divisi lumut meliputi: Marchantiophyta (lumut hati/liverworts) terdiri atas 6000-8000 jenis (Crandall-Stotler & Stotler 2002; Gradstein et al. 2001), Bryophyta (lumut sejati/mosses) lebih dari 10000 jenis (Buck & Goffinet 2002), dan Anthophyta (lumut tanduk/hornworts) sekitar 100 jenis (Renzaglia & Vaughn 2002). Kekayaan jenis lumut di kawasan Indonesia telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Tan dan Iwatsuki (1999) melaporkan ada 426 jenis lumut di Irian Jaya dan 650 jenis di Borneo. Dari checklist yang disusun oleh Gradstein et al. (2005), ada 476 jenis lumut di Sulawesi. Ho et al. (2006) melaporkan 490 jenis lumut sejati di Sumatera. Di pulau Jawa, ada 568 jenis lumut hati dan lumut tanduk yang dilaporkan oleh SÖderstrÖm et al. (2010), dan 628 jenis lumut sejati (Tan & Iwatsuki 1999), sebagian besar ditemukan di Jawa Barat. Secara evolusi lumut menempati posisi di antara alga hijau dan tumbuhan berpembuluh (Goffinet 2002). Sama seperti pada alga hijau dan tumbuhan berpembuluh, lumut juga memiliki klorofil a dan b sebagai pigmen fotosintesis dan pati sebagai cadangan makanan utamanya. Salah satu bentuk adaptasi lumut terhadap lingkungan terestrial yang relatif kering berupa gamet yang dihasilkan di dalam gametangia, yaitu organ yang dilindungi oleh sel-sel steril. Sel telur dibuahi dalam gametangia betina. Zigot yang terbentuk berkembang menjadi embrio yang dipertahankan dalam sel-sel pelindung tersebut selama waktu tertentu (Goffinet 2002).
4 Peranan Ekologi dan Potensi Lumut Lumut di kawasan hutan hujan pegunungan terdapat melimpah dengan keanekaragaman yang tinggi, berperan dalam konservasi tanah. Lapisan lumut yang tebal di permukaan lahan yang terbuka ataupun di lantai hutan, dapat memperlambat aliran air sehingga mencegah erosi. Lumut epifit yang tumbuh di batang pohon dapat memperlambat aliran air di permukaan batang (stem flow). Hal ini dimungkinkan karena kemampuan lumut yang tinggi dalam menyerap sekaligus menahan air hujan, mencapai 5-25 kali bobot keringnya (Gradstein et al. 2001). Lumut dapat digunakan sebagai bioindikator polutan. Kondisi ini dimungkinkan karena dengan tidak terdapatnya kutikula pada lumut memudahkan larutan dan gas, termasuk gas dan larutan pencemar, mencapai selsel sekaligus terakumulasi dalam jumlah besar (Glime 2007; Dey & De 2012). Sebagian besar polutan tersebut diakumulasi dalam sel-sel daun (Gradstein et al. 2001). Lumut sudah dimanfaatkan dalam berbagai bidang di banyak negara. Di bidang kesehatan, dari berbagai penelitian dilaporkan adanya sejumlah kandungan bahan aktif pada lumut, beberapa di antaranya bersifat sebagai antijamur dan antibakteri (Bodade et al. 2008; Asakawa 2008; Beike 2010; Dey & De 2012). Pada lumut juga ditemukan berbagai senyawa kimia sebagai metabolit sekunder, di antaranya terpenoid dan komponen aromatik, yang dimanfaatkan di bidang industri (Mues 2002; Dey & De 2012). Taman lumut dengan koleksi berbagai jenis lumut digunakan untuk edukasi di samping dari segi estetika bermanfaat untuk menambah keindahan dan kesejukan. Selain itu lumut juga banyak digunakan dalam bidang kesenian (Glime 2007). Keanekaragaman Jenis Lumut di Berbagai Habitat Maraknya pembalakan dan alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian, pertambangan, pemukiman, perkebunan dan keperluan lainnya, menyebabkan ekosistem hutan terganggu. Hal ini dapat mengancam biodiversitas pada kawasan tersebut, termasuk komunitas lumut. Beberapa penelitian memperlihatkan keanekaragaman lumut tertinggi dijumpai pada hutan primer, diikuti hutan sekunder dan perkebunan (Sporn et al. 2010; Gradstein & Culmsee 2010; Ariyanti
5 & Sulistijorini 2011). Penggundulan hutan khususnya di daerah tropik menyebabkan hilangnya jenis lumut endemik. Tingkat kehilangan jenis lumut bervariasi bergantung kepada skala perubahan habitat yang terjadi. Tumbuhan epifit yang ternaung (shade epiphyte), termasuk lumut epifit, paling terpengaruh oleh gangguan hutan tersebut (Gradstein 1992). Alih fungsi hutan primer menjadi hutan sekunder atau perkebunan akan menurunkan keanekaragaman lumut epifit. Gradstein (1992) menyatakan bahwa sekitar 20% marga lumut hati shade epiphyte di hutan primer tidak dijumpai di hutan sekunder ataupun di perkebunan, akibat terbukanya kanopi hutan primer. Adanya pembukaan area hutan yang digantikan oleh perkebunan dengan tanaman eksotik, menyisakan sekitar 10% jenis lumut, sedangkan pada hutan sekunder tersisa sekitar 50-70% jenis lumut dibandingkan hutan primer (Gradstein 1992). Informasi dan data tentang kekayaan lumut epifit di luar hutan primer, termasuk kekayaan lumut yang ada di perkebunan, masih sangat jarang (Gradstein 1992). Kekayaan jenis lumut yang terdapat di daerah monokultur seperti perkebunan, tidak setinggi yang terdapat di hutan primer sebagai habitat alaminya. Sungguhpun demikian jenis lumut epifit yang tumbuh di perkebunan, dapat beradaptasi terhadap habitat mikro yang relatif kering dan tetap mempunyai peluang hidup yang baik (Gradstein et al. 2001). Penelitian yang dilakukan Ariyanti et al. (2008) di Sulawesi Tengah pada tiga habitat yang berbeda yaitu di hutan primer, hutan sekunder, dan perkebunan kakao menunjukkan kekayaan jenis lumut sejati terendah ditemukan di perkebunan kakao, diikuti hutan sekunder. Kekayaan jenis lumut sejati tertinggi ditemukan di hutan primer. Lumut yang dominan di perkebunan kakao adalah Caudalejeunea revurvistipula, Lopholejeunea subfusca, Mastigolejeunea auriculata, Floribundaria floribunda, dan Chaetomitrium lanceolatum. Suleiman et al. (2009) melaporkan, di perkebunan kelapa sawit Sabah ditemukan lumut sejati sebanyak 56 jenis dalam 31 marga dan 14 suku. Jumlah tersebut sekitar 7,7% dari total lumut sejati yang ada di Borneo dan 9,3% dari lumut sejati yang ada di Sabah. Dalam penelitian tersebut ditemukan Acroporium convolutum sebagai catatan baru untuk Borneo dan Ectropotheciella distichophylla untuk Sabah. Lumut epifit yang umum ditemukan pada batang
6 kelapa sawit adalah Syrrhopodon ciliatus dan Atrhocormus schimperi, dan pada permukaan tanah di area perkebunan kelapa sawit umumnya adalah lumut Vesicularia dubyana. Eksplorasi dan checklist lumut di Kebun Raya Bogor masih terus dilakukan. Junita (2010) mengidentifikasi sebanyak 42 jenis lumut sejati epifit yang termasuk dalam 21 marga dan 11 suku. Apriana (2010) melaporkan sejauh ini ditemukan sebanyak 92 jenis lumut hati epifit di Kebun Raya Bogor, dari hasil eksplorasi dan dari koleksi spesimen yang ada di Herbarium Bogoriense. Wahyuni (2010) melaporkan sebanyak 43 jenis lumut terestrial meliputi 33 jenis lumut sejati dan 10 jenis lumut hati pada lokasi yang sama. Keanekaragaman Jenis Lumut pada Elevasi yang Berbeda Secara umum di kawasan hutan hujan tropik kekayaan jenis lumut hati meningkat pada elevasi yang lebih tinggi sedangkan kekayaan jenis lumut sejati justru semakin menurun. Gradstein dan Culmsee (2010) dalam penelitian di Sulawesi Tengah, menemukan sekitar 55% lumut sejati dan 45% lumut hati di hutan dataran rendah. Pada hutan pegunungan bawah lumut hati memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi (60%) dibandingkan lumut sejati (40%). Grau et al. (2007) dari penelitian di Nepal, melaporkan kekayaan jenis lumut meningkat dengan bertambahnya elevasi. Pada penelitian tersebut, kekayaan lumut hati tertinggi dijumpai pada elevasi 2800 m dpl dan lumut sejati pada ketinggian 2500 m dpl. Enroth (1990) meneliti lumut di Huon Peninsula Papua New Guinea, dan melaporkan adanya kecenderungan kekayaan jenis lumut yang meningkat sampai dengan elevasi 2300 m dpl, pada elevasi yang lebih tinggi kekayaan jenis lumut mulai menurun. Menurut Richards (1984) setiap kenaikan elevasi sekitar 100 m di daerah tropik akan menyebabkan penurunan suhu sekitar 0.4-0.7 O C dan kenaikan curah hujan tahunan. Umumnya lumut tumbuh optimal pada kisaran suhu 15-25 O C dengan intensitas cahaya yang rendah, dan pada lingkungan yang lembap dan ternaung (Glime 2007).
7 Penelitian Lumut di Perkebunan Teh Teh (Camellia sinensis) diperkirakan berasal dari China yang telah memanfaatkannya sejak 2000 tahun yang lalu. Pada masa itu teh masih ditanam secara tradisional. Budidaya teh di perkebunan baru dilakukan mulai tahun 1820 di India. Sejak tahun 1870 teh mulai menyebar ke beberapa negara tropik, termasuk Indonesia. Dewasa ini areal perkebunan teh sudah menyebar dari daerah beriklim sedang sampai daerah tropik (Ohsawa 1982). Perkebunan teh di Indonesia umumnya dijumpai di dataran tinggi, mulai ketinggian 600 m dpl sampai sekitar 2000 m dpl. Tanaman teh termasuk jenis pohon tetapi umumnya dipelihara sebagai tanaman perdu dengan tinggi kurang dari 150 cm. Lingkungan perkebunan yang hangat dan lembap dengan suhu rata-rata lebih dari 15 O C, dan curah hujan minimal 50 mm/bulan, diperlukan untuk pertumbuhan tanaman teh. Di perkebunan teh juga ditanam berbagai jenis tumbuhan yang berfungsi sebagai wind breaker yaitu pemecah dan penahan angin untuk mempertahankan iklim mikro. Pemeliharaan tanaman teh (mencakup pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, pengendalian gulma, dan pemangkasan), dapat menentukan kualitas dan kuantitas teh. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan penyemprotan, pengendalian gulma dengan cara tradisional ataupun menggunakan herbisida. Pemangkasan umumnya dilakukan 3-4 tahun sekali untuk merangsang pertumbuhan tunas muda, mempertahankan bidang pemetikan agar tetap rendah, dan meningkatkan produktivitas (Ohsawa 1982). Penelitian tentang lumut di perkebunan teh belum banyak dilakukan. Informasi yang ada berasal dari penelitian singkat yang dilakukan Pancho (1979) di perkebunan teh Pagilaran. Dalam penelitian tersebut ditemukan 15 jenis lumut dari 12 marga yang termasuk dalam 9 suku. Tan et al. (2006) juga pernah melakukan penelitian lumut di perkebunan teh Nirmala, tetapi penelitian tersebut tidak komprehensif.