HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0

dengan panjang a. Ukuran kristal dapat ditentukan dengan menggunakan Persamaan Debye Scherrer. Dilanjutkan dengan sintering pada suhu

Tabel 3.1 Efisiensi proses kalsinasi cangkang telur ayam pada suhu 1000 o C selama 5 jam Massa cangkang telur ayam. Sesudah kalsinasi (g)

HASIL DAN PEMBAHASAN. didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kemudian larutan yang dihasilkan diendapkan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. Hasil dan Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. karakterisasi sampel kontrol, serta karakterisasi sampel komposit. 4.1 Sintesis Kolagen dari Tendon Sapi ( Boss sondaicus )

METODOLOGI PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakterisasi mikroskopik yang pertama dilakukan adalah analisis

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB 3 METODE PENELITIAN. Neraca Digital AS 220/C/2 Radwag Furnace Control Indicator Universal

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Penelitian Penelitian yang telah dilakukan bertujuan untuk menentukan waktu aging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 1 Ikan alu-alu (Sphyraena barracuda) (

Kata kunci: surfaktan HDTMA, zeolit terdealuminasi, adsorpsi fenol

HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven, neraca analitik,

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

3.5 Karakterisasi Sampel Hasil Sintesis

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu aging

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dihasilkan sebanyak 5 gram. Perbandingan ini dipilih karena peneliti ingin

EKSTRAKSI GELATIN DARI LIMBAH TULANG IKAN TENGGIRI (Scomberomorus sp.) DENGAN JENIS DAN KONSENTRASI ASAM YANG BERBEDA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan

Uji Kekerasan Sintesis Sintesis BCP HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Bahan Dasar

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. sol-gel, dan mempelajari aktivitas katalitik Fe 3 O 4 untuk reaksi konversi gas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi. SINTESIS SENYAWA Mg/Al HYDROTALCITE-LIKE DARI BRINE WATER UNTUK ADSORPSI LIMBAH CAIR

3. Metodologi Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PASI NA R SI NO L SI IK LI A KA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Morfologi dan Rendemen Tubuh Cangkang Kijing Lokal (Pilsbryoconcha sp.)

4 Hasil dan Pembahasan

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi

3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Metode Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Ide Penelitian. Studi Literatur. Persiapan Alat dan Bahan Penelitian. Pelaksanaan Penelitian.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7. Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pori

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis proses preparasi, aktivasi dan modifikasi terhadap zeolit

EFEK ASAM TERHADAP SIFAT TERMAL EKSTRAK GELATIN DARI TULANG IKAN TUNA (Euthynnus affinis)

PENGARUH KONSENTRASI NaOH DAN Na 2 CO 3 PADA SINTESIS KATALIS CaOMgO DARI SERBUK KAPUR DAN AKTIVITASNYA PADA TRANSESTERIFIKASI MINYAK KEMIRI SUNAN

PEMBAHASAN. mengoksidasi lignin sehingga dapat larut dalam sistem berair. Ampas tebu dengan berbagai perlakuan disajikan pada Gambar 1.

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBUATAN KITOSAN DARI KULIT UDANG PUTIH (Penaeus merguiensis) DAN APLIKASINYA SEBAGAI PENGAWET ALAMI UNTUK UDANG SEGAR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan

Bab IV Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan terhitung sejak bulan Desember 2014 sampai dengan Mei

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

4 Hasil dan pembahasan

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan terhitung sejak bulan Januari 2015 sampai dengan Juni

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Contoh

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Mulai. Persiapan alat dan bahan. Meshing AAS. Kalsinasi + AAS. Pembuatan spesimen

Bab III Metodologi Penelitian

MODIFIKASI ZEOLIT ALAM SEBAGAI KATALIS MELALUI PENGEMBANAN LOGAM TEMBAGA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Modifikasi Ca-Bentonit menjadi kitosan-bentonit bertujuan untuk

TINGKATAN KUALISTAS KITOSAN HASIL MODIFIKASI PROSES PRODUKSI. Abstrak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 Hasil dan Pembahasan

ANALISIS FASA KARBON PADA PROSES PEMANASAN TEMPURUNG KELAPA

METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April sampai September 2015 dengan

PEMANFAATAN LIMBAH TULANG

Metodologi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III EKSPERIMEN. 1. Bahan dan Alat

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dalam penelitian ini digunakan TiO2 yang berderajat teknis sebagai katalis.

4 Pembahasan Degumming

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

SINTESIS DAN KARAKTERISASI KRISTAL NANO ZnO

BAB 3 METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik Fakultas Matematika

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Bahan Baku Limbah sisa produksi fillet ikan nila sebanyak 120 kg diperoleh dari PT. Aqua Farm Nusantara, Semarang dengan kondisi limbah terdiri dari kepala, tulang, sisa daging yang menempel, lendir dan darah (Lampiran 3), selanjutnya limbah ikan nila dicuci dan dibuang kepala sehingga tersisa limbah tulang ikan nila seberat 58.2 kg yang akan digunakan sebagai bahan baku dan berat awal limbah tulang ikan pada penelitian ini. Tahapan awal persiapan bahan baku yaitu limbah tulang nila direbus pada suhu 100 C selama 30 menit yang bertujuan untuk menghilangkan lemak dan memudahkan proses pemisahan sisa daging yang menempel pada tulang selanjutnya didinginkan sebelum dilakukan proses pemisahan daging dan tulang. Setelah pemisahan daging dari tulang dan pencucian dihasilkan tulang ikan nila bersih seberat 8.7 kg atau 14.95% selanjutnya tulang ikan nila dikeringkankan menggunakan pengeringan matahari (kadar air 8%) dan menghasilkan tulang ikan nila kering seberat 5.5 kg atau 9.45% kemudian dilakukan proses pengecilan ukuran tulang menggunakan hammer mill sehingga menghasilkan bubuk tulang kasar (0.2-0.5 cm) dengan berat 4.3 kg atau 7.39% yang merupakan bahan baku (sampel BB) yang akan digunakan dalam tahapan ekstraksi nanokalsium tulang ikan. Proses pengecilan ukuran bertujuan untuk lebih memperluas permukaan bahan sehingga proses ekstraksi dapat berlangsung lebih cepat dan sempurna. Tabel 7 Data limbah dan perubahannya selama proses persiapan bahan baku Kondisi Data Limbah % Rendemen * Sebelum Perebusan Setelah Perebusan Limbah tulang ikan nila 48.50% Limbah kepala ikan nila 49.50% Tulang ikan nila bersih 14.95% Tulang ikan nila kering 9.45% Bubuk kasar tulang ikan nila 7.39% * Dibandingkan dengan berat awal limbah ikan limbah (120 kg) Ekstraksi Nanokalsium Tulang Ikan Proses ekstraksi nanokalsium dilakukan untuk pemanfaatan kalsium secara efisien, sehingga bahan baku (tulang ikan nila) menjadi lunak sebelum proses milling. Tulang ikan nila menjadi lunak seiring dengan meningkatnya lama waktu pemasakan atau perebusan menggunakan akuades, larutan asam dan basa. Proses ekstraksi kalsium dari tulang ikan nila pada penelitian ini dilakukan menggunakan 4 metode ektraksi (Gambar 3), dan pada setiap metode ekstraksi dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.

28 1. Ekstraksi dengan akuades Ekstraksi sampel A yaitu ekstraksi menggunakan akuades yang dipanaskan yang merupakan modifikasi metode Dongoran et al. (2007), dengan bagian yang dimodifikasi yaitu tanpa proses penghilangan lemak (degreasing) menggunakan heksana, perbandingan sampel dan akuades serta banyaknya proses ekstraksi. Proses ekstraksi pada penelitian ini dilakukan sebanyak 3 kali dengan perbandingan sampel dan akuades yaitu 1:3. Proses ekstraksi yang dilakukan adalah bahan baku direbus menggunakan akuades pada suhu 100 C selama 60 menit, didinginkan dan difiltrasi untuk pemisahan filtrat dan residu, selanjutnya residu diekstraksi lagi dengan akuades (3 kali perebusan). Residu hasil ekstraksi kemudian didinginkan dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50 C selama 12 jam hingga mencapai kadar air < 8% selanjutnya sampel dibuat menjadi tepung menggunakan disc mill dan diayak pada saringan 100 mesh, dan untuk mempertahankan mutu sampel maka dilakukan proses sterilisasi pada suhu 121 C selama 15 menit. Proses pelunakan tulang yang dilakukan menggunakan air dengan proses pemanasan dapat dijelaskan dengan adanya sejumlah kecil protein yang terlarut dalam air, menunjukkan adanya perubahan tekstur tulang (Malde et al. 2010). Proses pelunakan dilakukan untuk mempermudah pada proses milling untuk menghasilkan tepung dengan ukuran yang lebih kecil sehingga jika digunakan sebagai sumber kalsium dalam bahan pangan akan meningkatkan penyerapan dan asupan kalsium yang dikonsumsi. 2. Ekstraksi dengan NaOH Ekstraksi sampel B, merupakan proses ekstraksi menggunakan NaOH, ekstraksi ini merupakan modifikasi metode Murtiningrum (1997). Modifikasi yang dilakukan mencakup: suhu pemanasan dan proses ekstraksi dan perbandingan larutan NaOH dan sampel. Pada penelitian ini menggunakan NaOH 1 N, pada suhu 100 C selama 60 menit, ekstraksi sebanyak 3 kali dan perbandingan larutan pengekstrak dan sampel 3:1. Penggunaan NaOH (basa) sebagai larutan pengekstrak memiliki sifat yang lebih menguntungkan dibandingkan HCl (asam), karena kelarutan pada daerah alkalin lebih tinggi dari pada kelarutan pada daerah asam, hal ini disebabkan karena jumlah gugus bermuatan negatif lebih banyak daripada gugus yang bermuatan positif, dengan demikian protein dan NaOH membentuk ester makin sempurna sehingga protein yang dapat dihilangkan makin besar (Cheftel et al. 1985). 3. Ekstraksi dengan NaOH dilanjutkan ekstraksi dengan HCl Sampel C adalah sampel yang merupakan hasil ekstraksi yang dilakukan menggunakan modifikasi metode Suptijah (2010b), meliputi: perbandingan sampel dan pelarut dan tanpa proses kalsinasi menggunakan furnish dan yang digunakan adalah residu padatan tulang kemudian digiling menggunakan metode top down (milling) untuk menjadi bubuk nanokalsium.

Proses ekstraksi awal adalah bahan baku diekstraksi menggunakan NaOH 1 N pada suhu 100 C selama 60 menit, didinginkan dan difiltrasi untuk pemisahan residu dan filtrat, selanjutnya residu hasil pemisahan kemudian dinetralkan dengan menggunakan pencucian berulang hingga mencapai ph netral dan setelah netral residu tersebut kemudian dihidrolisis menggunakan HCl 1 N (perendaman) selama 24 jam, kemudian dipanaskan pada suhu 100 C selama 60 menit, didinginkan dan difiltrasi untuk memisahkan residu dan filtrat. Residu diekstraksi lagi menggunakan HCl 1 N pada suhu 100 C selama 60 menit (3 kali perebusan), didinginkan, difiltrasi dan dinetralkan hingga mencapai ph netral. Sampel dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50 C selama 12 jam hingga mencapai kadar air < 8% sebelum dibuat menjadi tepung menggunakan disc mill, diayak menggunakan saringan 100 mesh dan disterilisasi pada suhu 121 C selama 15 menit yang bertujuan untuk mempertahankan mutu sampel. 29 4. Ekstraksi dengan HCl Ekstraksi sampel D adalah proses ekstraksi menggunakan HCl yang merupakan modifikasi metode Thalib (2009), meliputi konsentrasi HCl dan lama waktu perebusan. Proses awal ekstraksi yaitu bahan baku diekstraksi menggunakan HCl 1 N pada suhu 100 C selama 60 menit, kemudian didinginkan dan difiltrasi untuk pemisahan filtrat dan residu, selanjutnya dilakukan lagi ekstraksi terhadap residu (3 kali perebusan). Residu hasil ekstraksi (setelah 3 kali ekstraksi) selanjutnya dinetralisasikan menggunakan akuades sehingga mencapai ph netral, kemudian dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50 C selama 12 jam (kadar air 8%) selanjutnya sampel digilling menggunakan disc mill untuk dijadikan tepung kalsium, kemudian diayak menggunakan saringan 100 mesh. Proses sterilisasi sampel dilakukan pada suhu 121 C selama 15 menit guna mempertahankan mutu sampel. Ekstraksi menggunakan asam pada proses pembuatan kolagen dan gelatin dari tulang ikan atau disebut sebagai proses demineralisasi. Proses deminaralisasi tulang dilakukan dengan menggunakan HCl encer dengan tujuan melarutkan kalsium dalam bentuk hidroksiapatit dari matriks tulang sehingga membentuk ossein (bagian tulang yang lunak). Proses demineralisasi tulang dilakukan untuk mengubah mineral dalam tulang khususnya kalsium yang tidak larut air berubah bentuk menjadi larut air yaitu mono-kalsium fosfat dan kalsium klorida. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Bahan Baku dan Nanokalsium Rendemen Rendemen merupakan parameter yang paling penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk atau bahan dan semakin besar rendemennya maka semakin tinggi pula nilai ekonomis dan nilai efektifitas produk tersebut. Perhitungan rendemen berdasarkan persentase perbandingan antara berat akhir sampel dengan berat awal sampel sebelum proses.

30 Hasil pengukuran rendemen pada penelitian ini seperti yang disajikan pada Tabel 8, terlihat rendemen sampel BB (7.39%), sedangkan sampel A, B, C dan D (6.80%; 5.91%; 3.49% dan 4.41%). Rendemen hasil ekstraksi yang tertinggi adalah sampel A, nanokalsium hasil ekstraksi menggunakan akuades dan terendah adalah sampel C, nanokalsium yang diekstraksi menggunakan NaOH dan HCl. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan air dan proses pemanasan hanya mampu menurunkan sejumlah kecil senyawa organik jika dibandingkan dengan menggunakan pelarut asam dan basa. Tabel 8 Hasil analisis fisik sampel (% bk) Sampel Rendemen (%) Derajat Putih (%) ukuran Partikel (nm) BB 7.39 71.43 e 655.69 A 6.80 74.03 d 255.00 B 5.91 88.37 b 235.93 C 3.49 93.72 a 145.50 D 4.41 82.80 c 242.35 Ket: BB (bahan baku), A (akuades), B (NaOH), C (NaOH+HCl), D (HCl) Derajat Putih Derajat putih sampel seperti ditampilkan pada Tabel 8, terlihat bahwa derajat putih sampel BB (71.43%), A (74.03%), B (88.37%), C (92.17%) dan D (82.80%). Analisis sidik ragam derajat putih semua sampel menunjukkan bahwa berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 13) dan hal ini menunjukkan bahwa derajat putih sampel dipengaruhi oleh perlakuan ekstraksi. Jenis pelarut dan proses ekstraksi member pengaruh yang nyata pada derajat putih bubuk nanokalsium yang dihasilkan. Perlakuan menggunakan NaOH dan pemanasan mengakibatkan perubahan warna tepung tulang ikan nila menjadi lebih putih (Techochatchawal et al. 2009). Ekstraksi nanokalsium menggunakan NaOH dan HCl, memiliki (sampel C) derajat putih tertinggi yaitu 93.72% yang mendekati dengan derajat putih bubuk CaCO 3 komersil yaitu 92%. Derajat putih nanokalsium yang dihasilkan 71.43-92.17% dengan rerata 81.76%, hasil ini relatif lebih kecil dibandingkan derajat putih nanokalsium dari cangkang udang vannamei pada penelitian Suptijah et al. (2012) yaitu 81.73-93.39% dengan rata-rata 87.56%, dan lebih tinggi dibandingkan derajat putih tepung tulang ikan tuna pada penelitian Trilaksani et al. (2006) yaitu 59.3-74.8%. Bubuk kalsium berwarna putih biasanya lebih disukai untuk fortifikasi pada produk pangan dibandingkan dengan bubuk yang gelap warnanya, tepung tulang ikan biasanya digunakan sebagai bahan tambahan pada susu skim (Hemung 2013). Derajat putih nanokalsium dipengaruhi oleh komponen mineral penyusunnya, komponen utama penyusun nanokalsium adalah kalsium yang memiliki warna putih, oleh sebab itu derajat putih nanokalsium juga tinggi (Estrela dan Holland 2003). Derajat putih pada produk serbuk berhubungan dengan salah satu sifat yang sangat bermanfaat dalam komersialiasi produk dan semakin tinggi nilai pengotor maka nilai derajat putihnya akan mengalami proses

penurunan (Togari 1979). Selama proses penyimpanan dapat terjadi perubahan warna pada bubuk kalsium, diakibatkan adanya kandungan asam amino yang mengakibatkan reaksi browning nonezimatis, namun dengan penyimpanan pada kondisi vakum dan suhu rendah dapat mencegah terjadinya reaksi tersebut. Ukuran Partikel Proses pengukuran partikel dilakukan pada sampel dalam bentuk larutan, sehingga sampel dilarutkan menggunakan akuades dan dipanaskan untuk membentuk larutan suspensi kemudian diukur menggunakan PSA (Particle Size Analyzer). Rata-rata ukuran partikel nanokalsium hasil ekstraksi merupakan nilai metode komulan ukuran terdispersi berdasarkan intensitasnya diketahui bahwa sampel A B, C, dan D adalah sebagai berikut 255.00 nm; 145.50 nm; 208.19 nm dan 242.35 nm, sedangkan untuk sampel BB ukuran rata-rata partikel adalah 655.69 nm (Lampiran 7-11). Ukuran partikel pada penelitian ini hampir sama dengan ukuran nano partikel methazolamide CaP (kalsium fosfat) yaitu 256.4 nm (Chen et al. 2010) dan ukuran sampel penelitian ini dapat digolongkan ke dalam nanopartikel seperti yang dijelaskan oleh Mohanraj dan Chen (2006) nanopartikel adalah partikel yang berukuran 10-1000 nm. Ukuran partikel sampel C 145.50 nm, merupakan sampel dengan ukuran partikel terkecil dibandingkan sampel lainnya, hal ini diduga akibat kombinasi ekstraksi perlakuan yang digunakan yaitu ekstraksi dengan NaOH dan HCl sehingga menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil dibandingkan ukuran partikel pada perlakuan lainnya. Proses ekstraksi menggunakan NaOH, mampu menghidrolisis senyawa organik yang terdapat dalam tulang ikan, sehingga memurnikan tulang ikan dari senyawa pengotor, sementara ekstraksi dengan HCl selain untuk proses demineralisasi juga merupakan proses degreasing yang dapat menghilangkan lemak. Ukuran partikel sampel B lebih kecil dibandingkan sampel D ini menunjukkan bahwa ekstraksi menggunakan NaOH menghasilkan ukuran partikel sampel yang lebih kecil dibandingkan dengan ukuran partikel sampel hasil ekstraksi menggunakan HCl. Ukuran partikel sampel sampel A memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan sampel lainnya, ini menunjukkan bahwa ekstraksi dengan akuades tidak dapat melunakan tulang dibandingkan pelarut asam maupun basa, sehingga pada proses penepungan atau milling tidak dapat menghasilkan bubuk kalsium dengan ukuran yang lebih kecil. Proses pelunakan tulang menggunakan air pada suhu tinggi (perebusan) mampu mengubah tekstur tulang karena adanya sejumlah senyawa organik yang larut air seperti lemak dan protein (Kim dan Mendis 2009). Hasil analisis rendemen, derajat putih dan ukuran partikel (Tabel 8), menunjukkan bahwa metode ekstraksi yang menghasilkan kalsium dengan karakteristik terbaik adalah ekstraksi menggunakan NaOH dan dilanjutkan dengan HCl (sampel C), hal ini ditunjukkan dengan derajat putih yang tinggi dan ukuran pertikel yang kecil, sedangkan memiliki rendemen terkecil dibandingkan dengan sampel lainnya. Ekstraksi menggunakan NaOH (sampel B), merupakan sampel yang memiliki karakteristik kalsium yang baik, hal ini ditunjukkan dengan derajat putih yang tinggi (88.37%), ukuran partikel yang kecil (235.93) dan memiliki rendemen yang lebih tinggi dibandingkan sampel C (5.91%). 31

32 Analisis Proksimat 1. Kadar Air Kadar air sampel BB (8.76%), A (6.51%), B (4.67), C (2.33) dan D (4.29%) seperti yang disajikan pada Tabel 9. Sampel A (nanokalsium ekstraksi menggunakan akuades) memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan sampel nanokalsium lainnya dan yang terendah pada sampel C (nanokalsium ekstraksi menggunakan NaOH dan HCl). Kadar air sampel BB, A, B, C dan D yang dihasilkan dengan perlakuan proses ekstraksi secara statistik berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 14). Tabel 9 Komposisi proksimat nanokalsium tulang ikan nila dibandingkan dengan kalsium tulang ikan cod dan salmon serta Tilapia Bone Powder (g/100 g, %bk) Sampel Air Abu Protein Lemak BB 8.76 a 69.37 e 26.06 a 2.85 a A 6.51 b 72.53 d 24.12 a 2.53 b B 4.67 c 95.93 a 0.38 c 0.94 d C 2.33 c 92.74 b 0.61 c 0.87 d D 4.29 d 85.40 c 7.03 b 1.78 c TBP (Tilapia Bone Powder) * 2.46 75.83 14.81 5.82 Tulang ikan salmon (protease) ** - 55.5 36 3.0 Tulang ikan cod (protease) ** - 67.8 26.6 <0.2 Tulang ikan salmon (rebus) ** - 43 35.7 17.8 Tulang ikan cod (rebus) ** - 65.7 32.4 7.9 Ket: BB (bahan baku), A (akuades), B (NaOH), C (NaOH+HCl), D (HCl) * Hemung (2013), ** Malde et al. (2010) Nilai kadar air pada penelitian ini hampir sama bila dibandingkan dengan hasil penelitian Murtiningrum (1997) yaitu 4.54-7.20% sedangkan lebih rendah dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Nurimala et al. (2006) yaitu 12.57% dan lebih tinggi dibandingkan kadar air tepung tulang ikan kakap pada penelitian Dongaran et al. (2007) yaitu 2.20% serta tepung tulang ikan nila (TBP, Tilapia Bone Powder) pada penelitian Hemung (2013) yaitu 2.46%. Perbedaan kadar air tersebut dipengaruhi oleh jenis tulang ikan, metode pembuatan termasuk metode pengeringan yang dilakukan. 2. Kadar Abu Kadar Abu suatu produk pangan menunjukkan residu bahan organik yang tersisa setelah bahan organik dalam makanan terdestruksi. Analisis kadar abu bertujuan untuk mengetahui berapa besar kandungan mineral yang terdapat dalam nano kalsium tulang ikan nila (Fennema 1996). Tulang mengandung selsel hidup dan matriks intraseluler dalam bentuk garam mineral. Garam mineral tersebut terdiri dari kalsium fosfat sebanyak 80% dan sisanya adalah kalsium

karbonat dan magnesium fosfat (Frandson 1992). Kadar abu suatu bahan adalah jumlah atau kadar mineral dalam suatu bahan makanan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan meliputi dua macam garam, yaitu garam organik, contohnya: garam asam asetat, dan garam anorganik, seperti garam klorida atau NaCl (Winarno 2000). Hasil analisis kadar abu seperti pada Tabel 9, menujukkan bahwa kadar abu sampel BB adalah 69.36%, sedangkan untuk sampel nanokalsium terlihat kadar abu tertinggi adalah sampel B (95.93%) dan terendah sampel A (72.53%), sedangkan sampel C (92.74%) dan D (85.39%). Kadar abu pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan kadar abu tepung tulang ikan nila (TBP) yaitu sebesar 75.83% (Hemung 2013) kecuali jika dibandingkan dengan sampel BB dan A, hal yang sama ditunjukkan juga pada tepung tulang ikan cod dan salmon yang diekstraksi menggunakan enzim protease dan air memiliki kadar abu yang rendah yaitu 43-67.8%. Analisis statistik kadar abu sampel BB dan sampel nanokalsium dengan beberapa perlakuan ekstraksi berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 15) dan hal ini menunjukkan bahwa jenis pelarut yang digunakan untuk ekstraksi memberi pengaruh terhadap kadar abu sampel. 33 3. Kadar Protein Kadar protein pada penelitian ini menunjukkan nilai yang berbeda berdasarkan proses ekstraksi yang dilakukan dan ditunjukkan oleh nilai ratarata kadar protein semua sampel. Kadar protein sampel BB (26.06), sedangkan kadar protein nanokalsium pada sampel A yaitu 24.12% yang merupakan nanokalsium dengan kadar protein tertinggi dan terendah pada sampel B yaitu 0.38%, sedangkan sampel C (0.61%) dan D (7.03%). Secara statistik kadar protein sampel berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 16). Kadar protein sampel dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan sebagai pengekstrak. Ekstraksi nanokalsium menggunakan akuades (sampel A) mampu menurunkan kadar protein bahan baku dari 26.06% menjadi 24.12%. Sampel B memiliki kadar protein terendah dan tidak berbeda dengan sampel C. Hal ini menunjukkan bahwa ekstraksi menggunakan NaOH pada suhu 100 C dapat mereduksi protein tulang ikan hingga mencapai (98.53%), sementara ekstraksi menggunakan NaOH yang dilanjutkan dengan HCl adalah (97.67%) dan lebih efektif dibandingkan kemampuan mereduksi protein menggunakan HCl (73.04%). Protein akan terhidrolisis apabila dicampurkan dengan asam, alkali kuat, enzim proteolitik dengan bantuan proses pemanasan. Protein terhidrolisis melalui proses pemecahan protein secara bertahap menjadi molekul-molekul peptide yang sederhana dan asam-asam amino (Kirk dan Othmer 1964). 4. Kadar Lemak Kadar lemak tulang ikan berkisar antara 1-27% (Johns 1977), sedangkan kadar lemak sampel BB (2.85%), sementara sampel A (2.53%) merupakan sampel dengan kadar lemak tertinggi diantara sampel nanokalsium lainnya dan

34 terendah pada sampel C (0.86%) sedangkan untuk sampel B (0.94%) dan sampel D (1.78%). Analisis statistik menunjukkan kadar lemak sampel berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 17). Kadar lemak sampel pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan pada tepung tulang ikan cod (perebusan) dan ikan salmon (protease dan perebusan) yaitu 3%-17.8% serta lebih tinggi dibandingkan kadar lemak tepung tulang ikan cod (protease) yaitu <0.2% (Malde et al. 2010) dan tepung tulang ikan nila (TBP) yaitu 5.82% (Hemung 2013) seperti terlihat pada Tabel 9. Perbedaan kadar lemak pada ikan berbeda tergantung pada spesies, lokasi geografis, makanan yang dimakan dan musim (Piggot dan Tucker 1990). Kadar lemak yang rendah diduga akibat proses perebusan berulang untuk melakukan penghilangan lemak dan minyak. Menurut Zaitsev et al. (1969), perebusan dapat menyebabkan lemak mengalami hidrolisis atau autooksidasi sebagian serta ada yang berinteraksi dengan protein. Kadar lemak produk yang rendah mempunyai daya awet yang lebih lama karena resiko terjadinya resiko ketengikan produk akibat oksidasi lemak lebih rendah. Hasil analisis proksimat semua sampel pada penelitian ini dibandingkan dengan penelitian Malde et al. (2010), menunjukkan bahwa ekstraksi kalsium dapat dilakukan selain menggunakan pelarut asam dan basa dapat juga dilakukan dengan menggunakan enzim protease, sementara ekstraksi dengan metode perebusan menggunakan air panas dilakukan pada kedua penelitian ini. Proses ekstraksi dengan berbagai metode yang dilakukan tujuannya untuk menghasilkan kalsium dari tulang ikan yang memiliki bioavailabilitas yang baik jika digunakan sebagai bahan tambahan dalam produk olahan. Analisis Kalsium dan Fosfor Kadar kalsium dan fosfor semua sampel seperti ditunjukkan pada Tabel 10, kadar kalsium sampel BB (18.70%), A (18.72%), B (20.67%), C (22.56%) dan D (21.47%) dan hasil analisis statistik kadar kalsium berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 18). Tabel 10 Kadar kalsium dan fosfor sampel (g/100 g, % bk) Sampel Kalsium (Ca) Fosfor (P) Rasio Ca/P BB 18.70 d 8.91 d 2.10 A 18.72 d 8.86 d 2.11 B 20.66 c 10.09 c 2.05 C 22.56 a 12.05 a 1.87 D 21.47 b 11.77 b 1.82 Ket: BB (bahan baku), A (akuades), B (NaOH), C (NaOH+HCl), D (HCl) Kadar kalsium tertinggi terdapat pada sampel C yaitu 24.27 % dan terendah pada pada sampel A yaitu 18.72% dan kadar kalsiumnya tidak berbeda dengan kalsium sampel BB. Kadar kalsium pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan kadar kalsium hasil penelitian Suptijah et al. (2012) yaitu 84.67%-85.68% dan penelitian Trilaksani et al. (2006) yaitu 23.72%-39.24% (%bb). Menurut Malde

et al. (2010) perlakuan menggunakan larutan asam dan enzim yang dipanaskan pada proses maserasi kalsium dari tulang ikan meningkatkan ketersediaan kalsium dalam sampel. Hasil analisis fosfor pada penelitian ini (Tabel 10), menunjukkan bahwa sampel BB (8.91%), A (8.86), B (10.09%), C (12.05%) dan D (11.77%) dan secara statistik berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 19). Kadar fosfor pada penelitian Trilaksani et al. (2006) memiliki nilai rata-rata 11.34%-14.25% (%bb) pada tepung tulang ikan tuna dengan berbagai variasi waktu autokafling dan frekuensi perebusan lebih tinggi dari kadar fosfor pada penelitian ini, sementara tidak berbeda dengan hasil penelitian Luu dan Nguyen (2009) pada tepung tulang ikan lele (10.5%), kakap (12.8%) dan salmon (11.0%). Rasio perbandingan Ca/P (Tabel 10) nanokalsium ekstraksi menggunakan akuades (A) dan NaOH (B) adalah 2.05, sedangkan pada sampel C dan D rasionya 1.87, dan hasil ini sama dengan beberapa penelitian sebelumnya pada tulang hewan dan tulang ikan (Sittikulwitit et al. 2006, Luu dan Nguyem 2009, Malde et al. 2010). Beberapa kajian mengatakan bahwa fosfat dibutuhkan untuk transport kalsium dalam sistem metabolisme (Kim dan Mendis 2006), selanjutnya dikatakan bahwa dengan rasio Ca/P (2:1) pada tulang ikan merupakan rasio optimum untuk transpor kalsium atau puncak massa tulang yang optimum. 35 Analisis Gugus Fungsi Menggunakan FTIR Analisis menggunakan FTIR dilakukan untuk mengidentifikasi gugus fungsi yang terbentuk pada sampel tulang ikan nila sebelum diekstraksi dan setelah mengalami perlakuan ekstraksi, dengan spektra dan peta pita absorpsi (Gambar 5; Tabel 11). Gugus fungsi yang terindikasi pada nanokalsium diantaranya gugus fosfat (PO 3-4 ), karbonat (CO 2-3 ) dan gugus hidroksil (OH). Apatit karbonat adalah 2- komponen anorganik dalam tulang dan gigi, berdasarkan lokasinya subtitusi CO 3 terdiri dari 2 tipe yaitu apatit karbonat tipe A (AKA) terbentuk jika ion karbonat menggantikan posisi OH - dan apatit karbonat tipe B (AKB) jika karbonat menggantikan posisi ion PO 3-4 (Mathai dan Takagi 2001). Spektra pita absorpsi fosfat (PO 3-4 ) 1 (vibrasi simetris strectching) dan fosfat 2 (vibrasi simetris bending) tidak tampak pada sampel BB dan A, sementara pada sampel B, C dan D fosfat 1 secara berturut terdapat pada bilangan gelombang 961, 903, 960 dan 959 cm -1, sedangkan pita absorpsi fosfat 2 di daerah 469, 471, dan 474 cm -1. Absorpsi fosfat 3 (vibrasi asimetris strectching) pada semua sampel tampak di daerah 1035 cm -1 untuk sampel BB, A dan B, sementara sampel C pada bilangan gelombang 1027 cm -1 dan D di daerah 1031 cm -1. Kehadiran pita absorpsi fosfat 3 menunjukkan bahwa kalsium fosfat pada tulang ikan nila hadir dalam bentuk campuran fasa amorfus dan fasa kristalin atau derajat kristalinitas kalsium fosfat, hal sama juga terbentuk pada tulang tikus dimana pada pita absorpsi 1036 cm -1 mengindikasi adanya campuran fasa amorfus dan fasa kristalin (Dahlan et al. 2006). Pita absorpsi fosfat 4 (vibrasi asimetris bending) sebagai bentuk belah pita absorpsi yang ditunjukkan pada bilangan gelombang disekitar 563 dan 603 cm -1 pada semua spektra sampel yang menunjukkan kehadiran kristal hidroksiapatit

36 (HAp). Derajat belah pita absorpsi fosfat 4 selain mengindikasi adanya kehadiran kristal apatit tapi juga menunjukkan kandungan fasa kristal dalam sampel (Dahlan et al. 2006). Tabel 11 Peta absorpsi FTIR sampel Gugus fungsi 1 PO 4 3-2 PO 4 3-3 PO 4 3- Sampel BB A B C D cm -1 %T cm -1 %T cm -1 %T cm -1 %T cm -1 %T - - 961 25.4 903 30.58 959 33.9 - - - 960 13.77 - - - 469 43.15 471 32.06 474 50.29 1035 12.63 1034 37.56 10.35 0.00 1027 0.00 1031 6.67 3-4 PO 4 563 25.08 563 47.8 564 2.94 563 1.00 562 18.75 603 28.66 602 50.78 603 4.72 603 2.44 603 24.5 AKA (CO 2-3 ) - 1545 61.36 1547 41.73 1555 37.12 1563 50.48 AKB (CO 2-3 ) 1455 38.06 1453 59.40 1455 19.06 1455 21.98 1456 46.66 1417 37.9 1413 60.21 1416 19.35 1416 22.40 1415 47.30 872 47.09 871 62.37 873 41.10 873 28.21 873 46.64 OH permukaan 1648 40.79 1656 58.22 1634 42.06 1635 32.34 1647 43.79 3430 36.55 3429 57.58 3435 13.97 3435 10.78 3430 38.24 OH Kristal 3698 59.83 Ket: BB (bahan baku), A (akuades), B (NaOH), C (NaOH+HCl), D (HCl) Sumber: Huang et al. (2011), Dahlan et al. (2006), Pita absorpsi spektra FTIR sampel untuk apatit karbonat (CO 2-3 ) tipe A (AKA) tidak tampak pada sampel BB, sedangkan untuk sampel A, B, C dan D secara berturut-turut terlihat pada bilangan gelombang 1545, 1547, 1555 dan 1563 cm -1. Apatit karbonat tipe B (AKB) sampel BB terlihat pada intensitas pita absorpsi 872, 1417 dan 1455 cm -1, sedangkan pita absorpsi sampel A di daerah 871, 1413 dan 1453 cm -1, sampel B pada 873, 1416 dan 1455 cm -1, dan sampel C pita absorpsi di daerah 873, 1416 dan 1455, sementara pita absorpsi sampel D pada 873, 1415 dan 1456 cm -1. Secara biologi, apatit karbonat tipe B lebih mendominasi dalam struktur apatit tulang dibandingkan tipe A (Mathai dan Takagi 2001) dan hal ini juga ditunjukkan dari hasil penelitian ini dimana karbonat tipe B lebih mendonimasi dalam sampel. Gugus hidroksil (OH - ) semua sampel ditunjukkan dengan pita absorpsi lebar di daerah sekitar 1634-1656 dan 3429-3435 cm -1 sementara pada sampel bahan baku tampak pita absorpsi kecil pada bilangan gelombang 3698 cm -1 yang menunjukkan terbentuknya gugus hidroksil kristal atau air kristal. Pita absorpsi spektra FTIR pada penelitian ini memiliki kemiripan dengan penelitian Huang et al. (2011) melaporkan tentang karakteristik spektra bubuk FHAP (fish hidroxyapatite) menunjukkan gugus fosfat (PO 3-4 ) terdapat di daerah 563, 957 dan 1030 cm -1, sedangkan gugus apatit karbonat (CO 2-3 ) terindikasi pada 876 dan 1412-1547 cm -1. Hasil analisis FTIR untuk HAp (hidroxyapatite) isolasi dari tulang ikan tuna terlihat sejumlah pita pada spektra yang terbentuk pada

daerah 601, 631, 873, 962, 1027, 1088, 1413, 1454 cm -1 dan pita yang lebar pada daerah antara 3300-3600 cm -1, yang menunjukkan karakteristik puncak-puncak spektra HAp (Venkatesan dan Kim 2010). Pita absorpsi gugus fosfat (PO 4 3- ) pada spektra FTIR terdapat dalam bentuk vibrasi simetris strectching, vibrasi simetris bending, vibrasi asimetris strectching, dan vibrasi asimetris bending. Bentuk pita absorpsi fosfat 3 dan 4 adalah pita asimetris yang mengindikasikan bahwa senyawa sampel tidak seluruhnya dalam bentuk amorf. Pita absopsi apatit karbonat (CO 3 2- ) terindikasi dalam tipe AKA yang terbentuk pada sampel A, B, C dan D serta tidak terbentuk pada sampel BB, sementara tipe AKB terbentuk pada semua sampel yang ditunjukkan oleh 3 bilangan gelombang di sekitar 873, 1415 dan 1455 cm -1. 37 Gambar 4 Spektrum FTIR sampel Berdasarkan persen transmitan (Tabel 11) menunjukkan makin rendah persen transmitan pada gugus fosfat (PO 4 3- ) dan apatit karbonat (CO 3 2- ) sampel semakin tinggi kristalitinasnya, hal ini terlihat pada sampel B dan C yang memiliki persen transmitan gugus fosfat lebih rendah memiliki derajat kristalinitas lebih tinggi dibandingkan dengan sampel lainnya. Analisis Morfologi Menggunakan SEM/EDS Scanning electron microscopy (SEM) adalah jenis mikroskop elektron yang menggunakan berkas electron untuk menggambarkan profil permukaan benda dan prinsip kerjanya adalah menembak permukaan benda dengan berkas elektron berenergi tinggi, sehingga permukaan benda yang dikenai berkas akan memantul kembali berkas tersebut atau menghasilkan elektron sekunder ke segala arah (Mikrajuddin dan Khairurrijal 2008).

38 BB 1 BB 2 A A 1 A 2 B 1 B 2 C 1 C 2 D 1 D 2 Gambar 5 Mikrograf SEM sampel Analisis morfologi permukaan semua sampel menggunakan SEM dengan pembesaran 2500x dan 5000x seperti terlihat pada Gambar 5. Hasil analisis menunjukkan bahwa sampel BB memiliki permukaan yang kasar, tidak beraturan

dan sedikit berpori, sementara sampel A terlihat lebih datar, tidak beraturan dan cenderung padat, sedangkan tampak permukaan sampel B terlihat lebih padat, tidak beraturan dan berbentuk bongkahan dengan butiran sampel yang cenderung mengembang dan tampak hidroskopis (hal ini juga ditunjang dengan hasil FTIR, terlihat pita absorpsi OH permukaan dengan intensitas persen transmitan yang kecil). Permukaan sampel C tampak tidak beraturan dengan banyak serpihan kecil butiran sampel, tajam dan lebih berpori dibandingkan dengan sampel lainnya, sementara sampel D terlihat serpihan sampel yang lebih halus dan membulat, serta sedikit berpori. Tabel 12 Hasil analisis unsur sampel menggunakan EDS Unsur % Massa Sampel BB A B C D % % % % % % % % Atom Massa Atom Massa Atom Massa Atom Massa 39 % Atom C K 13.55 24.41 13.86 22.56 14.69 23.95 8.22 14.95 8.44 15.69 O K 33.98 45.98 45.88 56.06 43.55 53.31 39.2 53.52 36.39 50.78 Na K - - 0.35 0.3 1.5 1.28 0.68 0.65 0.53 0.51 P K 8.02 5.6 8.02 5.6 12.4 7.84 16.07 11.33 15.07 10.87 Cl K - - - - - - 0.42 0.26 1.37 0.86 Ca K 44.45 24.01 44.45 24.01 27.72 13.54 35.4 19.29 38.2 21.28 Analisis EDS adalah suatu teknik yang diterapkan dalam penentuan komposisi unsur pada permukaan suatu sampel. Teknik ini menggunakan sinar-x yang dipancarkan oleh unsur-unsur pada permukaan sebagai respon terhadap bombardir elektron (Zunbul 2005). Hasil analisis menggunakan EDS menunjukkan terdapat 4 unsur utama dalam semua sampel yaitu karbon (C), oksigen (O), fosfor (P) dan kalsium (Ca) dengan persen massa dan persen atom seperti pada Tabel 12. Hasil analisis unsur menggunakan EDS menunjukkan bahwa persen massa kalsium menurun sedangkan persen massa fosfor yang meningkat pada sampel hasil ekstraksi menggunakan asam ataupun basa. Sampel BB dan A memiliki kesamaan pada persen massa kalsium, fosfor dan karbon sedangkan untuk oksigen mengalami peningkatan pada sampel A dan tampak persen massa natrium dengan jumlah yang sangat kecil. Sampel B, menunjukkan persen massa kalsium mengalami penurunan menjadi 27.72% sementara terjadi peningkatan pada fosfor dan sejumlah kecil karbon, sehingga dapat dikatakan bahwa terjadi perubahan struktur senyawa dalam sampel. Sampel C dan D terlihat terjadi penurunan persen massa karbon dan kalsium sementara fosfor dan oksigen meningkat. Analisis Kristal Menggunakan XRD Profil hasil analisis XRD (X-ray Diffraction) disesuaikan dengan data JCPDS (Joint Comitte on Powder Diffraction Standart) dan karakterisasi dilakukan untuk mengetahui fasa yang terbentuk pada sampel, derajat kristalinitas sampel dan ukuran kristal sampel.

40 Senyawa yang terbentuk dalam sampel adalah kalsium fosfat dengan rumus kimia Ca 4 P 2 O 9, dalam bentuk kristalin dan amorf. Fasa kristalin yang terbentuk dan mendominasi sampel BB dan A adalah fasa apatit karbonat atau [Ca 10 (PO 4 ) 3 (CO 3 ) 3 (OH) 2 ], sedangkan fasa kristalin pada sampel B, C dan D selain apatit karbonat, terbentuk juga hidroksiapatit [Ca 5 (PO 4 ) 3 (OH)]. Kehadiran fasa amorf pada tulang menunjukkan bahwa pembentukan kristal stabil apatit didahului oleh pembentukan kristal non apatit. Tabel 13 Puncak-puncak profil XRD sampel Fasa AKA AKB HAP BB A B C D 2 ( ) 2 ( ) 2 ( ) 2 ( ) 2 ( ) - 25.88 25.9 46.66 33.9-29.02 53.18 49.5 39.68-51.52-53.28 53.28 25.92 31.9 28.6 25.9 25.96 31.84 39.66 46.74 28.92 28.6 40.1 46.68 - - 46.4 46.82 49.44 - - 49.36 49.47 - - - - - - 31.86 31.66 30.2 - - 40.1 34.64 31.6 - - 49.64 39.66 - Apatit karbonat pada sampel BB merupakan bentuk apatit karbonat tipe B (AKB) atau [Ca 10 (PO 4 ) 3 (CO 3 ) 3 (OH) 2 ] yang terbentuk pada sudut 25.92, 31.84, 40.1, 46.82 dan 49.47, sementara untuk sampel A terlihat pada sudut 2 = 31.9 ; 39.66, 46.68 dan 49.44. Pada sampel B terbentuk pada sudut 2 = 28.6 dan 46.74, sedangkan AKB pada sampel C terbentuk di sudut 2 = 25.9 dan 31.66, dan sampel D terbentuk pada sudut 2 = 25.96, 28.6, 46.4 dan 49.36. Apatit karbonat tipe A (AKA) atau [Ca 10 (PO 4 ) 6 CO 3 ] tidak terlihat pada sampel BB, sedangkan pada sampel A terlihat pada sudut 2 = 25.88, 29.02 dan 51.52, sementara untuk sampel B terbentuk pada sudut 2 = 25.9 dan 53.18, sampel C untuk AKA terbentuk pada sudut 2 = 46.66, 49.5, dan 53,28 sampel D terlihat pada sudut 2 = 33.9, 39.68 dan 53.28. Fasa kristalin pada sampel B, C dan D selain apatit karbonat juga terbentuk fasa HAp (hidroksiapatit). Fasa HAp sampel B terbentuk pada sudut 2 = 31.86, 40.1 dan 49.64, sedangkan sampel C pada sudut 2 = 31.66 ; 34.64 dan 39.66, pada sampel D terbentuk pada sudut 2 = 30.2 dan 31.6. Derajat kristalinitas yaitu besaran yang menyatakan banyaknya kandungan kristal dalam suatu material dengan membandingkan luasan area kristal dengan total luasan area amorf dan area kristal. Hasil pengukuran derajat kristalinitas sampel (Tabel 14), menunjukkan sampel B lebih kristalin dibanding sampel lainnya, sementara secara alami tulang ikan nila memiliki derajat kristalinitas yang lebih rendah (sampel BB)

dibandingkan dengan sampel hasil ekstraksi menggunakan asam dan basa, hal ini diduga berhubungan dengan hilangnya sejumlah senyawa organik selama proses ekstraksi. Derajat kristalinitas sampel secara berturut-turut adalah sampel BB (71.4%), A (71.9%), B (78.4%), C (77.9%) dan D (73.5%). Proses isolasi hidroksiapatit (HAp) dari tulang ikan tuna menggunakan suhu tinggi mengakibatkan hilangnya senyawa organik sehingga meningkatkan kemurnian, stabilitas dan kristalinitas HAp yang terbentuk (Venkatesan dan Kim 2010). Ukuran kristal, seperti terlihat pada Tabel 14 merupakan hasil perhitungan menggunakan persamaan Scherrer yaitu: = ( ) Dari rumus tersebut diketahui bahwa k adalah konstanta yang nilainya bervariasi, untuk tulang nilainya adalah 0.9 (Bigi et al. 1992), adalah panjang gelombang sinar-x yang digunakan yaitu 1.540958(Å), merupakan panjang gelombang Cu sebagai sumber sinar-x, adalah sudut Bragg, B adalah FWHM (full with half maximum) yang dipilih. Harga FWHM berbanding terbalik dengan ukuran kristal, makin kecil harga FWHM maka ukuran kristal yang dihasilkan semakin besar. Tabel 14 Derajat kristalinitas dan ukuran kristal sampel Sampel Kristalinitas (%) 2 ( ) FWHM ( ) ( ) (rad) D (002) (nm) BB 71.4 25.92 0.504 0.252 0.00440 283.68 A 71.9 25.88 0.678 0.339 0.00591 210.95 B 78.4 25.9 0.332 0.166 0.00290 430.69 C 77.9 25.9 0.914 0.457 0.00797 156.44 D 73.5 25.96 0.894 0.447 0.00780 159.87 Ukuran kristal pada sudut 2 = 25.8-25.96, menunjukkan sampel B memiliki ukuran kristal lebih besar dibandingkan dengan sampel lainnya, sedangkan ukuran kristal terkecil terbentuk pada sampel C. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstraksi menggunakan asam akan menghasilkan ukuran kristal lebih kecil dibandingkan penggunaan larutan basa. Secara keseluruhan puncak maksimum intensitas fasa (Gambar 6) pada semua sampel secara berturut-turut terbentuk pada sudut 2 = 31.84 (BB), 31.9 (A), 31.86 (B); 31.66 (C) dan 31.6 (D), disimpulkan bahwa metode ekstraksi yang digunakan tidak mempengaruhi sudut dengan intensitas maksimum kalsium pada sampel, akan tetapi jenis pelarut untuk ekstraksi mempengaruhi perubahan fasa yang terbentuk pada puncak tertinggi. Pada sampel BB dan A, puncak tertinggi merupakan apatit karbonat tipe B [Ca 10 (PO 4 ) 3 (CO 3 ) 3 (OH) 2 ], sedangkan pada sampel B, C dan D merupakan fasa kalsium hidroksiapatit [Ca 5 (PO 4 ) 3 (OH)]. Deklinasi spektrum pada 2 sudut 20 hingga 25 menunjukkan adanya fasa amorfus sedangkan puncak pada 2 sudut 30 hingga 35 menunjukkan bahwa kristal mineral kedua nano kalsium memiliki partikel berukuran kecil dalam skala nano. Hasil yang sama ditunjukkan pada difraksi sinar-x tulang tikus (Dahlan et al. 2006). 41

42 Gambar 6 Difraktogram XRD sampel Hasil analisis FTIR menunjukkan gugus fungsi terbentuk pada sampel adalah gugus fosfat (PO 3-4 ), karbonat (CO 2-3 ) dan hidroksil (OH - ) dalam fasa amorf dan kristalin, yang ditandai dengan 4 fosfat dalam bentuk pita belah pada bilangan gelombang 563 dan 603 cm -1. Hasil ini didukung oleh data analisis menggunakan XRD yang menunjukkan adanya fasa amorf dan kristalin pada semua sampel, yang didominasi oleh fasa apatit karbonat pada sampel BB dan A, sedangkan sampel B, C dan D selain apatit karbonat, terbentuk juga hidroksiapatit [Ca 5 (PO 4 ) 3 (OH)]. Analisis morfologi menggunakan SEM terlihat bahwa sampel yang diekstraksi menggunakan NaOH (sampel B) memiliki permukaan yang tidak beraturan, datar dan berbentuk bongkahan serta terlihat hidroskopis, sedang sampel yang diekstraksi menggunakan HCl (sampel D) permukaan sampel terlihat lebih berpori. Analisis menggunakan EDS menunjukkan bahwa persen massa kalsium dan karbon mengalami penurunan ketika diekstraksi menggunakan larutan asam maupun basa (sampel B, C dan D), sedangkan persen massa fosfor meningkat. Hasil ini didukung oleh analisis XRD, yang menunjukkan bahwa pada sampel BB dan A lebih didominasi oleh fasa apatit karbonat karena persen massa unsur karbon dan oksigen yang tinggi, sementara pada sampel B, C dan D selain terbentuk fasa apatit karbonat terbentuk pula hidroksiapatit sebagai akibat meningkatnya persen massa fosfor.