1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Hipertensi atau lebih dikenal dengan tekanan darah tinggi sangat berisiko memicu penyakit kardiovaskular di antaranya jantung dan stroke yang sering menjadi penyebab kematian bagi penderitanya (Anonim, 2003a & Anonim, 2003b). Meskipun demikian, hipertensi sering kali tidak disadari karena beberapa kasus yang terjadi tidak menimbulkan gejala berupa keluhan (Mauk, 2006). Akibatnya, 76% kasus hipertensi di Indonesia belum terdiagnosa sehingga penderita tidak mengetahui kondisi kesehatannya (Anonim, 2012a). Oleh karena itu, kasus hipertensi dapat terus menjadi bahaya laten dan sangat perlu diwaspadai karena dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya. Pada tahun 2007 angka prevalensi hipertensi di Indonesia dilaporkan sebesar 37,1%. Pada tahun 2011 prevalensi hipertensi di dunia mencapai 14,2% dan dua per-tiga di antaranya berada di negara berkembang yang berpenghasilan rendah-sedang (Anonim, 2012a; Anonim, 2013a). Prevalensi hipertensi diperkirakan akan terus meningkat karena kebiasaan dan gaya hidup tidak sehat seperti kurang olah raga, asupan pangan tinggi sodium, dan konsumsi alkohol berlebihan (Mauk, 2006; Anonim, 2003a). Selain itu, menurut Mauk (2006), penderita obesitas, diabetes, orang dengan riwayat hipertensi pada keluarga, dan 1
2 masyarakat keturunan Afro-Amerika juga berisiko tinggi mengalami hipertensi. Sebanyak 29% orang dewasa di seluruh dunia diprediksi mengalami hipertensi pada tahun 2025 (Anonim, 2013a). Begitu banyak faktor yang meningkatkan kemungkinan masyarakat menderita hipertensi. Kasus hipertensi sering diselesaikan dengan dua cara, pemberian obat kimiawi dan pengaturan diet. Namun demikian, terdapat pula kelemahan dalam penerapan kedua cara tersebut. Salah satu jenis obat yang sering diresepkan dokter untuk mengatasi hipertensi adalah jenis inhibitor Angiotensin Converting Enzyme (ACE), misalnya perindopril, captopril, enalapril, lisinopril, dan ramipril (Sweitzer, 2003). Namun, penggunaan obat tersebut secara berlebihan dilaporkan menimbulkan efek samping berupa perubahan fungsi ginjal, elektrolit tidak seimbang, batuk, pusing, lemah tubuh, dan hipotensi ortostatik (Mauk, 2006). Akibatnya, konsumsi obat antihipertensi terutama jenis inhibitor ACE menjadi kurang nyaman jika diterapkan dalam jangka panjang. Selain pemberian obat antihipertensi, pengaturan diet rendah kolesterol juga sering digunakan dalam upaya menurunkan tekanan darah dan mencegah hipertensi (Anonim, 2006). Namun, usaha ini sangat lambat efeknya sehingga kurang disukai masyarakat karena membutuhkan kedisiplinan. Oleh karena itu diperlukan alternatif pengobatan hipertensi yang aman dan menyenangkan sehingga lebih efektif untuk diterapkan oleh masyarakat.
3 Wakai dan Yamamoto (2012) melaporkan adanya polipeptida pendek berkisar 2-7 asam amino yang diisolasi dan dipurifikasi dari susu hasil fermentasi bakteri asam laktat dan diketahui memiliki aktivitas penghambatan ACE. Rasa susu sapi fermentasi banyak disukai masyarakat dan telah menjadi alternatif baru makanan sehat penurun tekanan darah dan antihipertensi yang lebih efektif (Yamamoto et al., 1994; Fulgsang et al., 2002). Namun demikian, terdapat kelemahan dalam pemanfaatan susu sapi fermentasi yaitu tidak dapat diterapkan pada para vegan dan lactose intolerant. Menurut Guang dan Phillips (2009) serta Liu dan Pan (2011) beberapa jenis tanaman pangan telah diketahui berperan sebagai sumber inhibitor ACE. Tanaman tersebut antara lain bayam, soba, bawang putih, gandum, brokoli, jagung, padi, bunga matahari, kacang hijau, dan kedelai. Kedelai dan olahannya telah digunakan oleh masyarakat sebagai sumber protein nabati yang sangat popular. Olahan kedelai berupa susu kedelai telah menjadi alternatif pengganti susu sapi yang murah dan aman bagi para vegan dan lactose intolerant. Menurut Shurtleff dan Aoyagi (2000) serta Hajirostamloo (2009), susu kedelai mengandung protein tinggi. Jika difermentasi, protein susu kedelai diduga akan menghasilkan peptida pendek yang memiliki aktivitas penghambatan ACE. Salah satu metode fermentasi susu yang telah diterapkan di Indonesia adalah fermentasi susu kerbau untuk membuat makanan khas Sumatera Barat yang disebut dadih (Setiyanto & Muhammad, 2005). Dalam penelitian ini proses tersebut
4 telah diadaptasi untuk membuat dadih dari susu kedelai yang disebut dadih soya. Berdasarkan uraian tersebut dan mengingat pentingnya usaha penanggulangan hipertensi di Indonesia, diperlukan penelitian mengenai aktivitas penghambatan ACE oleh dadih soya hasil fermentasi spontan. Penelitian ini diharapkan dapat menambah fungsi dadih soya dan menjadi salah satu usaha optimalisasi fungsi pangan olahan dalam menekan prevalensi hipertensi secara efektif dan dapat diterapkan oleh semua kalangan masyarakat. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang penelitian, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana keanekaragaman bakteri asam laktat proteolitik penghasil inhibitor ACE dalam dadih soya hasil fermentasi spontan? 2. Apakah dadih soya hasil fermentasi spontan memiliki aktivitas penghambatan ACE? 3. Bagaimana karakteristik peptida bioaktif penghambat ACE yang terkandung dalam dadih soya?
5 C. Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Memperoleh, mengkarakterisasi, serta mengidentifikasi bakteri asam laktat proteolitik yang berperan dalam proses fermentasi dadih soya. 2. Mengetahui aktivitas penghambatan ACE oleh dadih soya hasil fermentasi spontan bakteri asam laktat. 3. Mengetahui berat molekul peptida bioaktif yang terkandung dalam dadih soya. D. Manfaat penelitian Melalui penelitian ini diharapkan diperoleh pengetahuan baru mengenai potensi dadih soya hasil fermentasi bakteri asam laktat sebagai pangan alternatif antihipertensi alami yang dapat dikonsumsi oleh orang yang tidak toleran laktosa dan para vegan.