I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
VII DAMPAK PENCAPAIAN KEBIJAKAN GERNAS DAN PENERAPAN BEA EKSPOR KAKAO TERHADAP KINERJA INDUSTRI HILIR DAN PENERIMAAN PETANI

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Pengembangan Agribisnis Kakao di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

V KERAGAAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. penyumbang devisa, kakao (Theobroma cacao) juga merupakan salah satu

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao I. PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

I. PENDAHULUAN. dan jasa menjadi kompetitif, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional. kerja bagi rakyatnya secara adil dan berkesinambungan.

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. melimpah, menjadikan negara ini sebagai penghasil produk-produk dari alam

I. PENDAHULUAN. komoditas utama penghasil serat alam untuk bahan baku industri Tekstil dan

OUTLOOK KOMODITI KAKAO

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Memasuki era perdagangan bebas, Indonesia harus membuat strategi yang

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui, dalam kata lain cadangan migas Indonesia akan semakin menipis.

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V GAMBARAN UMUM PRODUK PERTANIAN

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang. melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

BAB I PENDAHULUAN. kelapa sawit dan karet dan berperan dalam mendorong pengembangan. wilayah serta pengembangan agroindustry.

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

I. PENDAHULUAN. besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional yang

Pe n g e m b a n g a n

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Subsektor perkebunan merupakan salah satu sektor pertanian yang

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. untuk membangun dirinya untuk mencapai kesejahteraan bangsanya. meliputi sesuatu yang lebih luas dari pada pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan

RINGKASAN EKSEKUTIF

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah menghadapi berbagai

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. opportunity cost. Perbedaan opportunity cost suatu produk antara suatu negara

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN STRATEGIS

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian Menurut Sub Sektor, 2014 Ekspor Impor Neraca

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Luas Lahan Komoditi Perkebunan di Indonesia (Ribu Ha)

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, oleh sektor

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAKAO. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komoditas unggulan dari sub sektor perkebunan di Indonesia

BAHAN MASUKAN PAPARAN DIRJEN PDN PADA LOKAKARYA KAKAO 2013 SESI MATERI: RANTAI TATA NIAGA KAKAO. Jakarta, 18 September 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Bila pada tahun 1969 pangsa sektor pertanian primer

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

I. PENDAHULUAN. Pengembangan kelapa sawit telah memberikan dampak yang sangat positif bagi

I. PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi daerah dan nasional. Pertanian yang berkelanjutan

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KAKAO

POTENSI DAN PELUANG EKSPOR PRODUK PERKEBUNAN UNGGULAN DI SULAWESI SELATAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

AGRIBISNIS KAKAO DAN PRODUK OLAHANNYA BERKAITAN DENGAN KEBIJAKATAN TARIF PAJAK DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tabel 1. Hortikultura

Salam sejahtera bagi kita semua

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. untuk kemudian didatangkan ke negara tersebut dengan tujuan untuk memenuhi

Kakao merupakan salah satu tanaman andalan dalam pembangunan sub. sektor perkebunan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani serta

BAB I PENDAHULUAN. anggota ASEAN pada ASEAN Summit di Singapura pada Juni Pertemuan tersebut mendeklarasikan pembentukan Asian Free Trade Area

BAB 1 PENDAHULUAN. Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam

IV METODE PENELITIAN

I PENDAHULUAN. tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian yang mendominasi perekonomian masyarakat desa, dimana

Transkripsi:

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industrialisasi komoditas komoditas pertanian terutama komoditas ekspor seperti hasil perkebunan sudah selayaknya dijadikan sebagai motor untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional serta peningkatan pendapatan petani. Pengembangan agroindustri menjadi sangat penting mengingat Indonesia memiliki potensi dan keunggulan yang sangat besar seperti ketersediaan bahan baku, tenaga kerja dan teknologi yang melimpah. Selain itu, proses industrialisasi juga dapat mendorong transformasi sektor pertanian ke industri sehingga dapat menggerakkan kegiatan ekonomi suatu komoditas mulai dari hulu sampai hilir melalui peningkatan nilai tambah komoditas menjadi produk. Saragih (2010) menyebutkan bahwa pengembangan agroindustri secara otomatis akan menarik pertumbuhan pertanian primer sebagai penyedia bahan baku dan pertumbuhan pertanian primer ini akan menarik pertumbuhan industri hulu pertanian. Lebih luas lagi, Sinaga dan Susilowati (2007) menyebutkan bahwa kebijakan industri yang diarahkan kepada agroindustri diyakini akan dapat membangkitkan ekonomi nasional yang pertumbuhannya akan ditransmisikan ke seluruh sektor perekonomian dan menjadi pendorong terbentuknya pertumbuhan ekonomi nasional yang cepat dan merata. Jika dikaitkan dengan proses liberalisasi perdagangan yang terjadi, maka agroindustri merupakan suatu keharusan untuk tetap dapat bersaing di pasar. Produk pertanian primer tidak bisa lagi mengandalkan keunggulan komparatif dari sisi harga, sehingga produk olahan pertanian dalam bentuk barang setengah jadi maupun produk final dapat dijadikan andalan sektor pertanian untuk bersaing sehingga pengembangan agroindustri harus menempati posisi sentral dalam strategi pemerintah (Tambunan, 2010; Wilkinson and Rocha, 2009). Sinkronisasi antara sektor pertanian dan industri dalam bentuk agroindustri menjadi sangat penting mengingat kedua sektor ini merupakan pilar utama perekonomian Indonesia. Sektor industri merupakan penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar bagi perekonomian Indonesia diikuti oleh sektor pertanian. Pada tahun 2010, sektor industri menyumbang PDB sebesar 28,8 persen, sementara sektor pertanian menyumbang sebesar 15,3 persen (BPS, 2011). Sumbangan kedua sektor ini dapat lebih ditingkatkan jika terjadi sinergi

2 yang lebih erat dalam bentuk agroindustri sehingga diperoleh nilai tambah dan daya saing yang lebih besar khususnya untuk komoditas komoditas pertanian karena kedua sektor ini memiliki keterkaitan yang cukup erat. Susilowati, et al.,2007) menyebutkan bahwa sektor industri akan menciptakan permintaan investasi sektor pertanian primer yang merupakan penyedia bahan baku industri. Di sisi lain, Supriyati dan Suryani (2006) menyebutkan bahwa peluang pengembangan agroindustri masih sangat terbuka ditinjau dari sisi ketersediaan bahan baku yang disediakan oleh sektor pertanian dan permintaan produk olahan hasil industri. Komoditas perkebunan yang menghasilkan komoditas komoditas ekspor andalan Indonesia seperti kelapa sawit, karet, kakao, kelapa, kopi dan lada sebagian besar masih diekspor dalam bentuk komoditas primer. Hal ini menyebabkan harga komoditas perkebunan cenderung fluktuatif dan nilai tukar komoditas menjadi turun (Suprihatini, et al., 2004). Oleh karena itu, pengembangan industri hilir komoditas komoditas perkebunan akan mengurangi ekspor dalam bentuk primer serta menjaring nilai tambah produk, memperkuat struktur ekspor komoditas, mengurangi risiko fluktuasi harga komoditas primer, mencegah penurunan nilai tukar dan mengantisipasi kejenuhan pasar komoditas primer perkebunan di masa yang akan datang dan pada akhirnya mampu meningkatkan devisa negara (Suprihatini, 2004). Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor dari subsektor perkebunan yang merupakan komoditas unggulan nasional di mana komoditas ini memberikan sumbangan devisa ketiga terbesar setelah kelapa sawit dan karet. Ekspor kakao Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada Tahun 2009, ekspor kakao berjumlah 535.236 ton dengan nilai sebesar US$ 1.413.535,-. Jumlah ini meningkat drastis dalam dua dasawarsa terakhir di mana pada tahun 1990, ekspor Indonesia hanya sebesar 119.725 ton dengan nilai US$ 127.091,- (Gambar 1). Sama halnya dengan komoditas perkebunan lainnya, kakao Indonesia sebagian besar masih diekspor dalam bentuk komoditas primer yaitu biji kakao kering sehingga harganya relatif masih rendah (Pusdatin, 2010). Dari 535.236 ton ekspor kakao Indonesia, sebanyak 439.305 ton atau lebih dari 82 persen diekspor dalam bentuk biji. Selebihnya diekspor dalam bentuk kakao buah, pasta, butter, tepung, dan makanan yang mengandung coklat (Ditjenbun, 2010).

3 Gambar 1 Volume dan nilai ekspor kakao Indonesia, Tahun 1969-2009. (Sumber: Ditjenbun, 2010) Luas areal pertanaman dan produksi kakao Indonesia juga meningkat cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir (Gambar 2). Pada tahun 1990, luas areal kakao Indonesia hanya sebesar 357.490 ha dengan produksi 142.347 ton. Jumlah ini meningkat tajam 10 tahun kemudian dengan luas areal menjadi 749.917 ha dengan produksi 421.142 ton. Kemudian pada tahun 2010 meningkat lagi lebih 2 kali lipat menjadi 1.651.539 ha dengan produksi 844.626 ton. Hal ini menandakan bahwaa usahatani kakao semakin menarik untuk diusahakan. Perkembangan usahatani kakao yang cukup signifikan tersebut menempatkan Indonesia sebagai produsen kakao terbesar keempat di dunia setelah Pantai Gading, Ghana dan Nigeria pada tahun 2008, di mana Pantai Gading memiliki luas areal sebesar 1,78 juta hektar (Pusdatin, 2010). Sedangkan pada tahun 2010, posisi Indonesia menjadi peringkat ketiga yang memproduksi lebih dari 15 persen kakao dunia (ICCO, 2011). Dengan perkembangan usahatani kakao yang terus menerus serta masih besarnya potensi yang dimiliki, Indonesia dapat menjadi produsen kakao terbesar dunia pada masa yang akan datang. Perkebunan kakao tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Sentra sentra produksi kakao berada di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Sebagian besar perkebunan kakao diusahakan oleh perkebunan rakyat dengan proporsi hampir mencapai 95 persen dan melibatkan

4 1.567.273 kepala keluargaa petani pada tahun 2010. Banyaknya petani yang terlibat membuat penguasaan lahan rata rata untuk setiap petani cukup kecil, yaitu hanya 1 ha/kepala keluarga. Hal tersebut juga berdampak pada rendahnya produktivitas tanaman kakao Indonesia. Pada tahun 2009, produktivitas kakao pada perkebunan rakyat (PR) hanya sebesar 811 kg/ha/tahun, sedangkan perkebunan besar nasional (PBN) dan perkebunan besar swasta (PBS) sedikit lebih baik dengan produktivitas masing masing 941 dan 979 kg/ha/tahun (Ditjenbun, 2010). Tingkat produktivitas tersebut jauh di bawah potensi produksi klon unggul kakao yang mencapai 2 ton/ha/tahun. Sebagai perbandingan, produktivitas kakao di Guatemala pada tahun 2008 mencapai 1,71 ton/ha/tahun yang merupakan negara dengan produktivitas kakao tertinggi di dunia. Gambar 2 Luas areal dan produksi kakao Indonesia, Tahun 1967 2010. (Sumber: Ditjenbun, 2010) Rendahnya produktivitas kakao nasional tidak terlepas dari belum diterapkannya teknologi budidaya anjuran, terutama oleh perkebunan rakyat serta belum digunakannya klon unggul. Di samping itu, perkebunan kakao banyak terserang hama dan penyakit khususnya hama penggerek buah kakao. Masalah pada subsistem usahatani (on farm) tersebut tidak terlepas dari permasalahan yang terjadi pada subsistem hulu seperti penyediaan benih unggul dan sarana produksi. Data statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2009, jumlah tanaman kakao yang rusak dan tua sehingga tidak dapat menghasilkan

5 mencapai 220.040 ha, atau hampir 15 persen dari total perkebunan kakao nasional. Pada subsistem hilir, mutu produk kakao Indonesia, khususnya yang dihasilkan dari perkebunan rakyat sangat rendah. Biji kakao hasil perkebunan rakyat umumnya tidak difermentasi serta banyak mengandung kotoran dan jamur. Selain itu, pengolahan kakao seperti dalam bentuk bubuk coklat belum berkembang. Kondisi ini menyebabkan produksi dan ekspor produk-produk kakao olahan seperti kakao butter, tepung kakao, kakao paste serta makanan yang mengandung coklat masih sangat rendah dan nilai tambah yang diperoleh sangat sedikit. Hal ini dapat dilihat dari komposisi ekspor dan nilai ekspor kakao dimana pangsa ekspor biji kakao mencapai 82 persen hanya menghasilkan 77 persen dari total nilai ekspornya (Gambar 3). (a) Volume ekspor (b) Nilai ekspor Gambar 3 Volume dan nilai ekspor kakao Indonesia, Tahun 2009. (Sumber: Ditjenbun, 2010) Minimnya pengolahan kakao tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang terjadi dalam sistem agribisnis kakao mulai dari hulu sampai hilir sehingga agroindustri kakao belum berkembang dan beroperasi secara optimal (Drajat dan Wahyudi, 2008). Padahal, kakao merupakan komoditas agroindustri karena hanya bisa di jual ke konsumen (industri) setelah melalui proses pengolahan (Manggabarani, 2010). Di sisi lain, potensi pengembangan industri hilir kakao masih sangat besar jika dilihat dari berlimpahnya bahan baku yang tersedia serta peluang untuk memperoleh nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja yang sangat besar sehingga harus dimanfaatkan oleh pelaku bisnis kakao di Indonesia (Wahyudi dan Rahardjo, 2008). Besarnya potensi pengembangan industri hilir kakao serta adanya berbagai faktor yang menghambat mendorong pemerintah menerapkan berbagai

6 kebijakan yang terkait dengan agribisnis kakao sehingga diharapkan agroindustri kakao nasional dapat berkembang. Kebijakan yang telah dilaksanakan antara lain: (i) kebijakan industri nasional yang menempatkan industri pengolahan kakao sebagai industri prioritas; (ii) gerakan nasional peningkatan produktivitas dan mutu kakao (Gernas kakao); (iii) penerapan bea ekspor kakao untuk menjamin kebutuhan industri dalam negeri. Penerapan kebijakan tersebut diharapkan mampu mendorong perkembangan industri hilir kakao dalam negeri serta memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan petani yang merupakan salah satu komponen penting dalam sistem agribisnis kakao, sehingga perlu dikaji dinamika dampaknya pada masa yang akan datang. 1.2 Rumusan Masalah Sebagai salah satu produsen kakao terbesar di dunia, pengembangan industri hilir diharapkan dapat menjadi motor penggerak sistem agribisnis kakao yang lebih berdaya saing. Namun hal tersebut tidak sejalan dengan perkembangan industri hilir kakao. Pada periode 2005 2009, ketika produksi kakao menunjukkan tren peningkatan sebesar 3,94 persen per tahun, kapasitas dan realisasi produksi industri pengolahan kakao justru mengalami penurunan (Tabel 1). Pada Tahun 2005, kapasitas yang dimiliki industri pengolahan kakao mampu mengolah produksi kakao nasional sebesar 41,85 persen, namun yang terealisasi hanya 23,02 persen karena tingkat utilisasi kapasitas industri hanya sebesar 55 persen. Sedangkan kapasitas industri pada tahun 2009 justru mengalami penurunan menjadi 297.000 ton walaupun sempat mencapai 353.900 ton pada periode 2006 2007. Penurunan kapasitas industri tersebut menyebabkan kemampuan industri pengolahan kakao dalam menyerap produksi biji kakao domestik turun dari 41,85 persen pada tahun 2005 menjadi 36.69 persen pada tahun 2009. Pengolahan kakao nasional yang belum berkembang menyebabkan nilai tambah kakao diperoleh negara-negara yang menjadi tujuan ekspor biji kakao, seperti Malaysia yang merupakan negara tujuan utama ekspor biji kakao Indonesia (42 persen dari total ekspor biji kakao). Pada Tahun 2010, volume grinding kakao Malaysia mencapai 302 ribu ton, jauh di atas volume grinding Indonesia yang hanya sebesar 130 ribu ton (Gambar 4). Padahal pada tahun yang sama, produksi biji kakao Malaysia hanya sebesar 15 ribu ton, sehingga untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negerinya, Malaysia mengimpor biji

7 kakao dalam jumlah yang cukup besar, salah satunya dari Indonesia. Pada tahun 2010, Malaysia mengimpor biji kakao dari Indonesia sebesar 202 ribu ton (Kemendag, 2011). Berkembangnya industri hilir kakao Malaysia menyebabkan negara tersebut memperoleh nilai tambah dan daya saing yang lebih besar. Hal ini dapat dilihat dari nilai ekspor kakao Malaysia yang mencapai 71 persen nilai ekspor kakao Indonesia, padahal produksi kakao Malaysia hanya 1,8 persen dari produksi kakao Indonesia. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pengembangan industri hilir kakao dalam negeri menjadi sangat penting untuk peningkatan nilai tambah dan daya saing ekspor kakao Indonesia. Tabel 1 Produksi biji kakao, kapasitas dan realisasi industri pengolahan kakao,tahun 2005 2009 Tahun Produksi Biji Kakao (ton) Kapasitas Produksi Industri (ton) Realisasi Produksi Industri (ton) Utilisasi Kapasitas Industri (%) Rasio Kapasitas Industri Produksi Kakao (%) Rasio Realisasi Industri Produksi Kakao (%) 2005 748.828 313.400 172.370 55,00 41,85 23,02 2006 769.386 353.900 198.200 56,00 46,00 25,76 2007 740.006 353.900 198.200 56,00 47,82 26,78 2008 803.594 297.000 178.000 59,93 36,96 22,15 2009 809.583 297.000 178.500 60,10 36,69 22,05 Sumber: Ditjenbun (2010); Ditjen Agrokim (2009), diolah Salah satu permasalahan yang menyebabkan tidak berkembangnya industri pengolahan kakao adalah adanya upaya negara negara tujuan ekspor kakao olahan Indonesia dalam melindungi industri kakao dalam negerinya menjadi penghambat perkembangan industri pengolahan kakao dalam negeri. Muttaqin (2011a) menyebutkan bahwa ekspor produk kakao olahan Indonesia sulit bersaing di Eropa dan Amerika Serikat karena mendapat hambatan berupa pengenaan bea masuk hingga 7 9 persen yang membuat industri pengolahan kakao sulit berkembang. Masalah lain yang dihadapi industri pengolahan kakao domestik adalah pasokan bahan baku yang belum memenuhi standar, sehingga sebagian besar bahan baku harus dipenuhi melalui impor. Muttaqin (2011b) mencatat bahwa produksi kakao fermentasi nasional hanya 15 persen dari produksi sehingga hanya memenuhi sekitar 60 persen dari kebutuhan industri pengolahan. Penerapan perdagangan bebas sesuai dengan Komitmen ASEAN

8 CEPT dimana mulai 1 Januari 2010, bea masuk produk olahan kakao antar negara ASEAN menjadi 0 persen membuka peluang membanjirnya produk kakao olahan dari negara ASEAN terutama Malaysia juga dapat menjadi ancaman bagi industri pengolahan kakao nasional (Manggabarani, 2010). Gambar 4 Perkembangann produksi dan grinding kakao Indonesia dan Malaysia, Tahun 2006-2010. (Sumber: Ditjenbun, 2010; Kemendag, 2011; ICCO, 2011; Malaysian Cocoa Board, 2011) Upaya pemerintah untuk mengembangkan industri hilir kakao sudah cukup banyak dan melibatkan berbagai instansi. Dalam kebijakan industri nasional yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 28 Tahun 2008, industri pengolahan kakao dan coklat termasuk dalam klaster industri prioritas nasional yang akan diperkuat dan direstrukturisasi agar mampu menjadi industri kelas dunia dan industrii andalan masa depan. Untuk menindaklanjuti hal tersebut, dilakukan beberapa strategi seperti optimalisasi kapasitas industri kakao dalam negeri dimana pada tahun 2014 diharapkan dapat mencapai 80 persen dari kapasitas terpasang (Depperin, 2008). Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri yang berkualitas, Departemen Pertanian melakukan gerakan peningkatan produksi dan mutu kakao nasional (Gernas Kakao). Gerakan ini merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah dalam upaya mempercepat peningkatan mutu hasil kakao nasional. Sementara itu, untuk menumbuhkan industri pengolahan kakao, Kementerian Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 67/PMK.011/2010 menetapkan bea keluar atas barang ekspor

9 berupa biji kakao yang besarannya antara 0 sampai 15 persen, tergantung harga komoditas di pasar internasional (Kemenkeu, 2010). Upaya untuk memperlancar pasokan biji kakao untuk industri pengolahan dalam negeri dilakukan dengan penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen untuk perdagangan biji kakao dalam negeri sejak tahun 2007 (Media Industri, 2010). Berbagai kebijakan tersebut diklaim berdampak positif terhadap industri kakao dalam negeri. Ditjenbun (2011) menyebutkan bahwa sebelum diterapkannya bea keluar kakao, dari 16 unit industri kakao dalam negeri, yang beroperasi hanya 5 unit. Namun, setelah peraturan bea keluar diterapkan, jumlah industri yang beroperasi bertambah 6 unit dan 3 unit yang ada meningkatkan kapasitas terpasang. Berbagai kebijakan tersebut juga diklaim meningkatkan nilai tambah kakao dalam negeri sebesar 26 persen dan menurunkan volume ekspor biji kakao sekitar 20 persen (Ditjenbun, 2011). Keberhasilan tersebut diharapkan sejalan dengan upaya peningkatan ekspor kakao olahan yang ditargetkan sebesar 8 persen per tahun (Ditjen Agrokim, 2009). Keberhasilan penerapan kebijakan bea keluar dalam merangsang industri hilir kakao dikhawatirkan tidak sejalan dengan upaya meningkatkan taraf hidup petani. Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa kakao yang dihasilkan petani sebagian besar tidak sesuai dengan kebutuhan industri sehingga bahan baku industri dipenuhi dari impor menjadi kontraproduktif. KPPU (2009) menyebutkan bahwa industri pengolahan kakao dan petani belum terintegrasi dan terdistorsi oleh sistem perdagangan yang berujung pada inefisiensi. Ketika industri pengolahan dan kegiatan usahatani tidak terintegrasi dengan baik, maka penerapan bea keluar ekspor biji kakao hanya akan menyebabkan turunnya harga di tingkat petani, sehingga bea keluar tersebut menjadi tanggungan petani kakao. Arsyad (2007) menyebutkan bahwa kebijakan bea ekspor akan menekan harga domestik sehingga menurunkan pendapatan petani. Selain itu, penetapan bea ekspor juga menyebabkan dampak negatif terhadap volume ekspor dan produksi. Skenario larangan ekspor gelondong jambu mete yang diteliti oleh Indrawanto (2008) menunjukkan bahwa kebijakan larangan ekspor mampu menjamin pasokan bahan baku untuk agroindustri, namun di sisi lain biaya keterjaminan pasokan tersebut akan ditanggung oleh petani berupa penurunan harga akibat semakin sempitnya alternatif pasar. Penerapan bea ekspor juga tetap memunculkan peluang terjadinya policy resistance seperti yang terjadi pada

10 penerapan kebijakan penghapusan pajak pertambahan nilai perdagangan kakao. Sejak penerapan penghapusan pajak pertambahan nilai perdagangan kakao domestik pada tahun 2007, industri pengolahan kakao justru mengalami penurunan kapasitas dan realisasi produksi (Tabel 1). Opini tersebut didukung oleh hasil penelitian Permani, et al., (2011) yang menyebutkan bahwa penerapan pajak ekspor kakao berpengaruh menyebabkan kerugian yang sangat signifikan kepada petani, dan hanya sedikit mampu mendorong perkembangan industri pengolahan. Hal ini menunjukkan bahwa selain menyebabkan penurunan pendapatan petani secara langsung, kebijakan penerapan bea ekspor kakao juga berpeluang tidak mampu mendorong perkembangan industri hilir kakao. Pengembangan agroindustri juga dapat berdampak negatif kepada petani secara langsung. Hanson and Cranfield (2009) mengingatkan bahwa jika proses agroindustrialisasi tidak diikuti dengan kebijakan yang tepat dapat memberikan efek negatif dalam jangka pendek melalui tersingkirnya petani kecil dan usaha informal. Sedangkan dalam jangka panjang dapat memunculkan konsentrasi vertikal dan horizontal dari rantai pasok produk agroindustri serta terjadinya eksternalitas lingkungan. Pengembangan agroindustri kakao selayaknya dapat berkontribusi positif kepada seluruh komponen yang terkait terutama petani kecil, walaupun setiap komponen/stakeholders yang terlibat memiliki kepentingan dan kebutuhan yang berbeda - beda sesuai dengan pendapat Sa id (2010). UNEP (2009) menyebutkan bahwa salah satu tahap penting dalam integrasi kebijakan adalah harmonisasi kebijakan untuk kepentingan yang berbeda dari setiap stakeholders yang terkait. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa pengembangan industri hilir kakao melibatkan berbagai pihak dengan kepentingan dan permasalahan yang berbeda beda sehingga menimbulkan interaksi yang rumit. Pertumbuhan produksi biji kakao yang sangat cepat tidak mampu diimbangi oleh pertumbuhan industri pengolahan. Kebijakan yang diterapkan pemerintah seperti bea ekspor juga diduga tidak mampu memberikan dampak positif terhadap seluruh pihak yang terlibat akibat adanya dampak negatif yang ditimbulkan berupa penurunan pendapatan petani. Untuk itu, sesuai dengan pendapat Syam, et al.,(2006), strategi pengembangan agroindustri berbasis kakao di Indonesia seharusnya dilakukan melalui pendekatan sistem sehingga pendekatannya lebih menyeluruh, terintegrasi dan bersinergi antar komponen yang terkait. Adanya dinamika yang terjadi pada setiap komponen yang terkait dengan industri hilir kakao

11 menyebabkan perubahan perilaku dari waktu ke waktu. Untuk itu, perlu dibangun model agroindustri kakao yang mencakup seluruh komponen yang terlibat sebagai sistem serta dinamika perubahan perilakunya. Selain itu, perlu dianalisis bagaimana dampak kebijakan pengembangan agroindustri kakao yang diterapkan pemerintah (Gernas dan bea ekspor kakao) terhadap dinamika industri hilir kakao nasional dan penerimaan petani, serta alternatif kebijakan yang dapat diterapkan pemerintah yang mampu mengakomodasi kepentingan dari elemen-elemen yang terkait dalam sistem agroindustri kakao. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Membangun model dinamika sistem agroindustri kakao 2. Menganalisis dampak pencapaian kebijakan Gernas kakao dan penerapan bea ekspor kakao terhadap kinerja industri hilir kakao dan penerimaan petani. 3. Menyusun alternatif kebijakan untuk pengembangan industri hilir kakao dan upaya peningkatan penerimaan petani. 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan mengevaluasi kebijakan Gernas kakao dan penerapan bea ekspor kakao yang telah diterapkan pemerintah dalam upaya pengembangan industri hilir kakao dan peningkatan penerimaan petani. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif kebijakan bagi pengambil kebijakan dalam upaya pengembangan industri hilir kakao sekaligus mampu meningkatkan penerimaan petani. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khazanah penelitian yang terkait dengan komoditas kakao dan penggunaan pendekatan dinamika sistem dalam menganalisis kebijakan di bidang pertanian. 1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 1. Sistem agroindustri kakao dalam penelitian ini melingkupi subsistem penyediaan bahan baku (usahatani kakao), subsistem pengolahan kakao, subsistem perdagangan kakao dan subsistem konsumsi produk kakao olahan.

12 2. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan agroindustri kakao yang dianalisis adalah kebijakan gerakan peningkatan produktivitas dan mutu kakao (Gernas kakao) dan penerapan bea ekspor kakao. Kebijakan Gernas kakao juga tidak dirinci menjadi instrumen-instrumen yang lebih detil seperti subsidi input (pupuk dan benih), pembinaan kelembagaan dan lain-lain. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan lain yang terkait dengan sistem agribisnis kakao baik langsung maupun tidak langsung tidak dilibatkan dalam model. 3. Dalam submodel pengolahan kakao, bahan baku yang dilibatkan dalam memproduksi kakao olahan hanya biji kakao, baik fermentasi dan non fermentasi, sehingga bahan baku lain yang digunakan tidak dianalisis. 4. Produk industri hilir yang digunakan dalam model dinamika sistem adalah produk kakao olahan secara keseluruhan dan tidak menganalisis secara detil bentuk-bentuk kakao olahan seperti kakao butter, kakao pasta, kakao powder, dan produk makanan dari coklat/kakao. Dengan demikian, data yang digunakan juga merupakan data agregat produk kakao olahan secara nasional.