BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan serangkaian pulau besar-kecil dengan lingkungan yang berbeda-beda terletak diantara dua benua yaitu Australia dan Asia. Bangsa Indonesia pada awalnya berasal dari ras Mongoloid dan Australomelanosoid yang membentuk sub ras Proto-Melayu dan selanjutnya Proto-Melayu dengan Mongoloid membentuk Deutro-Melayu. Adanya penyebaran manusia yang mendiami pulau-pulau yang berlainan dan terpisah-pisah dalam waktu yang cukup lama dalam lingkungan yang berubah-ubah dan berbeda-beda akan menimbulkan perubahan pada bentuk fisik (Marwati dkk., 1984). Perbedaan asal-usul dari berbagai suku bangsa akan menyebabkan keanekaragaman pada bentuk fisiknya (Sukadana, 1983 cit. Rizia Irsa dkk., 2013). Bentuk wajah merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk melihat ciri keanekaragaman serta mampu mengidentifikasikan adanya persamaan dan perbedaan yang dimiliki oleh masing masing suku (Rizia Irsa dkk., 2013). Suku Jawa dan suku Minangkabau walaupun berasal dari satu sub ras yang sama Deutro-Melayu, tetapi masing-masing berada dalam lingkungan yang berbeda, sehingga menimbulkan tata cara hidup serta kebudayaan yang berbeda (Marwati dkk., 1984). Hal ini terlihat pada sistem garis keturunan, suku Jawa menganut paham patrilinear (keturunan seseorang didasarkan pada garis bapak) sementara suku Minangkabau menganut pahan matrilinear (keturunan seseorang 1
2 didasarkan pada garis ibu) yang disebut saparuik (satu perut). Gabungan dari beberapa paruik yang merasa berasal dari cikal bakal yang sama disebut suku. Oleh karena itu ada larangan untuk mencari pasangan dalam suku yang sama (Zulyani Hidayah, 1997). Menurut (Coronese 1986 cit. Rizia Irsa dkk., 2013) pada suku Jawa larangan tersebut tidak ada, pola kehidupan sosial dan kepercayaan yang dianut suatu suku adalah faktor penting yang mempengaruhi cara hidup dan perkawinan. Pola perkawinan yang berbeda-beda di dalam kelompok suku tertentu akan menghasilkan perbedaan bentuk fisik secara turun-temurun. Perkawinan antar suku akan memberikan generasi baru yang berbeda dengan sifat fisik orang tuanya, sehingga berkembanglah suku-suku tersebut. Beberapa studi telah dilakukan untuk meneliti faktor lingkungan terhadap perubahan fisik diantaranya oleh peneliti Odias (2008 cit. Wiwekowati dkk., 2013) melakukan penelitian tentang analisis wajah perempuan suku Batak, sedang Wiwekowati (2013) melakukan penelitian analisis fotometrik frontal wajah mahasiswi suku Bali di FKG UNMAS Denpasar. Hasil penelitian Iwa Sutarjo (1995) menunjukkan bahwa bentuk wajah frontal dan sagital anak suku Jawa usia 6-12 tahun pada umumnya arah frontal berbentuk oval untuk dataran tinggi, dan bulat untuk dataran rendah, arah sagital berbentuk cembung baik untuk dataran tinggi maupun rendah. Menurut (Amikaramata, 2010 cit Rizia Irsa dkk., 2013) adanya faktor makanan dan kebiasaan hidup, struktur rahang yang dipengaruhi oleh bentuk gigi menghasilkan lebar bizygomatik dan akan mempengaruhi ukuran wajah secara keseluruhan.
3 Pola makan juga dapat menjadi simbol budaya suatu suku (Zainal arifin, 2009). Masyarakat Jawa, yang tinggal di Yogyakarta lebih cenderung banyak makan jenis sayuran, berasa manis dan tidak berminyak juga lauk-pauk yang didominasi berbahan kedelai berupa tahu dan tempe (Ali khomsan dkk.,2008). Masyarakat Minangkabau lebih dominan menjadikan makanan berbahan dasar daging maupun ikan laut menjadi konsumsi utama pada pola makan keseharian dibanding jenis sayuran. Masakan dimasak dengan berminyak, pemakaian santal yang kental, dan pedas menjadi jenis makanan (samba ) yang utama dibanding dengan jenis sayuran (Zainal Arifin, 2009). Perubahan makanan dan cara mengolahnya mempengaruhi alat pengunyahan (Marwati dkk., 1984). Jenis makanan yang dikonsumsi suku Minangkabau, yang tinggal di kecamatan Tanjung Paku, Kota Solok berdaya serat tinggi sehingga berefek pada fungsi pengunyahan, pada aktifitas otot-otot mastikasi. Masyarakat suku Jawa, di Kecamatan Wirosaban Yogyakarta dengan kondisi lain, diet sehari-hari lebih lunak dan kurang berserat, hal ini menyebabkan berkurangnya fungsi pengunyahan dan menyebabkan kontraksi lengkung gigi, sehingga dapat merubah penyesuaian oklusal yang terjadi pada perkembangan normal (Linden, 1986). Diet makanan yang berserat merangsang otot mastikasi bekerja keras, menambah beban fungsi pada gigi, berdampak pada bentuk lengkung gigi sehingga mampu mempertahankan lebar lengkung gigi yang mempengaruhi bentuk dari tulang mandibula. Aktifitas pengunyahan ini akan berpengaruh terhadap erupsi gigi, pertumbuhan dan perkembangan rahang, sehingga dapat mempengaruhi bentuk wajah secara menyeluruh dan khususnya sepertiga bagian bawah wajah.
4 Tahap perkembangan gigi-geligi erat hubungannya dengan pertumbuhan tulang rahang. Selama perkembangan gigi, seiring dengan tanggalnya gigi decidui dan erupsinya gigi permanen, tulang rahang akan menjadi lebih panjang untuk dapat mengakomodir gigi-geligi tersebut agar dapat tumbuh dengan normal. Pertambahan umur berkaitan erat dengan pertumbuhan wajah dan perkembangan gigi geligi, pertumbuhan wajah pada wanita dimulai dengan cepat dari waktu gigi molar kedua desidui erupsi sampai erupsinya gigi molar kedua permanen yang biasanya tumbuh pada waktu pubertas. Pertumbuhan ke arah anteroposterior wajah pada wanita akan selesai setelah masa puber dan pada pria berlanjut terus hingga erupsi molar ke tiga. Perubahan tinggi dan lebar wajah pada perempuan terjadi lebih cepat dibanding laki-laki pada masa pubertas karena dipengaruhi oleh perbedaan percepatan pertumbuhan atau Pubertas Growth Suport (PGS) antara kedua jenis kelamin tersebut (Linden, 1986). Pada periode gigi permanen awal, pertumbuhan sepertiga wajah bagian tengah, terutama hidung juga terjadi pada masa remaja dan mencapai puncaknya pada usia 12 tahun sampai kira-kira usia 16 tahun pada wanita sedangkan pada pria usia 13-14 tahun dan bisa mencapai usia diatas 16 tahun dan masih ada pertumbuhan yang signifikan sampai dewasa (Pambudi Rahardjo, 2012). Keserasian pola pertumbuhan yang terjadi pada bagian wajah pada suatu ras tertentu belum tentu serasi untuk kelompok ras yang lainnya, karena setiap kelompok etnik mempunyai bentuk wajah dan ciri-ciri yang khas. Menurut Hendro Kusnoto (1987) tidak ada penelitian pada salah satu suku yang dapat diterapkan pada suku yang lain. Karakteristik wajah manusia dapat dinilai
5 berdasarkan jarak antara titik-titik antropometri yang telah ditentukan sebagai batas dimensi wajah yang meliputi antara lain panjang wajah, lebar wajah dan panjang hidung, lebar hidung (Enlow,1990). Analisis wajah dapat dilakukan dari berbagai dimensi baik secara transversal, vertikal maupun horizontal. Hasil pengukuran pada wajah akan didapatkan hubungan antara bitemporal, bizygomatik, bigonial serta perbandingan tinggi wajah atas dan bawah yang dapat menentukan bentuk wajah yang sangat bervariasi dari lebar, panjang hingga sempit bahkan bentuk persegi (Menighini, 2005). Bentuk wajah dibagi menjadi tiga kelompok (Rakosi,1992) yaitu leptoprosop, mesoprosop dan euriprosop yang sesuai dengan bentuk kepala yang merupakan perbandingan dari ukuran tinggi wajah dan lebar wajah yang sering disebut sebagai indeks wajah. Pengukuran pada wajah dapat dilakukan dengan berbagai cara. Metode yang sering dilakukan adalah metode antropometri langsung. Metode ini dipandang sebagai metode yang simple, mudah, dan ekonomis. Tetapi sisi kelemahan metode ini adalah memerlukan waktu yang lebih lama, perlu kerjasama yang tinggi antara pengukur dan subyek, serta tidak dapat memberikan rekaman yang permanen dari wajah (Preedy 2012). Perbedaan penekanan pada jaringan lunak saat pengukuran juga menpengaruhi hasil ukur (Lucas, dkk 2012) apabila terjadi kesalahan data tidak dapat dikoreksi kembali setelah subyek pulang. Adanya keterbatasan metode antropometri langsung, menyebabkan dikembangkannya teknik-teknik berbasis komputer dengan menggunakan gambar dua dimensi (2D), seperti fotografi dan sefalometri lateral, atas pengukuran langsung dari subjek yang bergerak (Grayson et al., 1988; Al-Omari et al., 2005 cit. Wong, et. al, 2008). Keuntungan dari
6 gambar 2D adalah akuisisi cepat, sangat efisien untuk membandingkan keadaan, perubahan, maupun perbedaan antara satu orang dengan yang lainnya, baik dalam satu suku maupun antar suku di masa dahulu, sekarang maupun yang akan datang, ringan (mudah dibawa kemana-mana), data bersifat permanen, dapat dijadikan referensi yang akurat terhadap kondisi-kondisi yang telah lalu, serta mampu menggambarkan kondisi yang sebenarnya dan noninvasif (Wong dkk, 2008). Namun demikian, metode ini masih memungkinkan dibayangi oleh kesalahan pengukuran karena analisis subyektif, pembesaran, variasi dalam pencahayaan, orientasi kepala, dan jarak subjek-kamera (Farkas et al., 1980 cit. Wong et.al., 2008). Pada kelompok suku Jawa di kecamatan Wirosaban Yogykarta maupun kelompok suku Minangkabau di kecamatan Tanjung Paku keduanya berasal dari satu subras yang sama, yaitu keturunan kelompok Deutero-Melayu. Suku Jawa memiliki ciri-ciri bentuk kepala branchi-mesochepali, bibir agak tebal, profil hidung konkaf (Daldjoeni, 1991). Suku Minangkabau bentuk kepala lonjong, bentuk wajah oval dengan tipe hidung sedang (Rizia Irsa dkk., 2013). Kedua populasi tersebut berbeda dalam letak geografis, lingkungan dan pola makan sehingga dapat digunakan untuk klasifikasi antropologi serta membandingkan pada makhluk hidup yang satu dengan yang lain dengan kajian foto wajah metode pengukuran foto dengan program komputer.
7 B. Perumusan Masalah Berdasarkan dari latar belakang tersebut, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimanakah perbedaan ukuran dan indek wajah antara kelompok anak suku Jawa dan suku Minangkabau laki-laki dan perempuan pada periode gigi permanen awal? C. Keaslian Penelitian Hasil penelitian Iwa Sutarjo (1995) menunjukkan bahwa bentuk wajah frontal dan sagital anak suku Jawa usia 6-12 tahun pada umumnya arah frontal berbentuk oval untuk dataran tinggi dan bulat untuk dataran rendah, arah sagital berbentuk cembung baik untuk dataran tinggi maupun rendah. Peneliti Odias (2008 cit. Wiwekowati dkk., 2013) melakukan penelitian tentang analisis wajah perempuan suku Batak, sedang Wiwekowati (2013) melakukan penelitian analisis fotometrik frontal wajah mahasiswi suku Bali di FKG UNMAS Denpasar. Peneliti Rizia Irsa dkk., (2013) membedakan variasi kefalometri dengan analisis foto frontal pada beberapa suku di Sumatera Barat. Dalam penelitian ini akan dilakukan penelitian fotografi tentang perbedaan ukuran wajah antara kelompok anak suku Jawa dan suku Minangkabau laki-laki dan perempuan pada periode gigi permanen awal.
8 D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui ukuran dan indek wajah pada kelompok anak laki-laki dan anak perempuan suku Jawa dan suku Minangkabau pada periode gigi permanen awal. 2. Membedakan ukuran dan indek wajah pada kelompok anak laki-laki dan anak perempuan suku Jawa dan suku Minangkabau pada periode gigi permanen awal. E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Ilmu Pengetahuan a. Menambah pengetahuan di bidang Ilmu Kesehatan Gigi Anak khususnya mengenai ukuran dan indek wajah anak suku Jawa dan suku Minangkabau pada periode gigi permanen awal. b. Berguna dalam menambah perbendaharaan ilmu dibidang antropologi dan kedokteran forensik khususnya bidang kedokteran gigi anak 2. Masyarakat a. Dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai pertumbuhan dan perkembangan wajah, terutama karena hubungannya dengan estetika wajah. b. Dapat menambah pengetahuan secara tidak langsung mengenai perkembangan teknologi fotografi bidang kedokteran gigi terutama dalam analisis wajah.
9