BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskular dan kanker merupakan salah satu penyakit yang diakibatkan oleh kebiasaan merokok dan dapat berujung pada kematian. Sebanyak satu miliar perokok tersebar di seluruh dunia dan setiap tahunnya lima juta penduduk dunia meninggal akibat merokok. Di Amerika Serikat diperkirakan 21% penduduknya yang berusia 18 tahun ke atas adalah perokok, sedangkan di Hawai 15% penduduknya merokok sigaret setiap hari. 1 Berdasarkan data dari Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA), 34,7% penduduk Indonesia adalah perokok dan merupakan negara dengan jumlah penduduk merokok terbanyak dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya, yaitu 51,11%. 2 Jika pola konsumsi rokok ini terus berlanjut, diperkirakan jumlah kematian di dunia akan mencapai sepuluh juta orang pada tahun 2020. 1 Merokok telah lama diketahui sebagai faktor risiko terjadinya penyakit periodontal, karena merokok dapat mempercepat, memperparah dan sebagai habitat yang menguntungkan bagi patogen-patogen periodontal. Penyakit periodontal sangat mempengaruhi kualitas hidup karena dapat membuat gigi menjadi tanggal. Nikotin yang terdapat pada rokok dicurigai dapat mempengaruhi pembuluh darah, sistem imun, proses inflamasi serta proses penyembuhan. 3 Dalam suatu terapi periodontal, hasil pengobatan pada pasien perokok tampak tidak bermakna, misalnya dalam hal mengurangi kedalaman poket. Pada pasien bukan perokok angka keberhasilan pengurangan kedalaman poket mencapai 85% sedangkan pada pasien perokok hanya 50%. Selain itu angka keberhasilan perawatan periodontal pada perokok cenderung menurun menjadi 50%. Kasim melaporkan pasien refractory periodontitis juga lebih banyak dijumpai pada perokok yaitu sekitar 86-90%. 4 Al-Tayeb dalam penelitiannya terhadap orang-orang dewasa di Arab Saudi menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara perokok dengan periodontitis.
Perokok aktif memiliki persentase inflamasi gingiva, kehilangan perlekatan dan kehilangan gigi yang lebih besar dibandingkan non perokok. Pada penelitian ini dijumpai bahwa perokok memiliki risiko kehilangan gigi tiga kali lebih besar, dan kehilangan tulang alveolar sekitar 27% dibandingkan non perokok. 5 Melihat dampaknya yang begitu luas terhadap kesehatan, tidak mengherankan bila 70% perokok ingin berhenti merokok. 1 Hughes menyatakan sebanyak 40% perokok berusaha untuk berhenti merokok setiap tahunnya, namun hanya 2% yang sukses berhenti merokok. 6 Williams melaporkan lebih dari 30 juta perokok Amerika sama sekali tidak memiliki keinginan untuk berhenti merokok. Di Amerika Serikat, 46 juta perokok tidak mau mencoba untuk berhenti merokok selama satu tahun, bahkan sehari pun mereka tidak mau berhenti merokok. Di Hawai 70% perokoknya juga tidak termotivasi untuk berhenti merokok. 1 Szwed dalam penelitiannya pada perokok berusia 30-55 tahun menunjukkan 60% perokok memiliki tingkat ketergantungan merokok rendah dan 89% memiliki tingkat motivasi berhenti merokok tinggi. Tingkat ketergantungan merokok dan motivasi berhenti merokok merupakan dua faktor yang mempengaruhi upaya keberhasilan berhenti merokok. 7 Ketergantungan adalah suatu keadaan fisik maupun psikologis seseorang yang mengakibatkan badan maupun jiwanya selalu memerlukan obat tertentu untuk dapat melakukan aktivitasnya, 8 sedangkan motivasi adalah dorongan bertindak untuk memuaskan suatu kebutuhan. 9 Penilaian tingkat ketergantungan merokok bertujuan untuk membantu memilih upaya intervensi yang akan diberikan. Penilaian tingkat motivasi berhenti merokok bertujuan untuk mengidentifikasi perokok yang siap berhenti merokok. 10 Watel et al. dalam penelitiannya melaporkan bahwa perokok yang memiliki masalah kesehatan akibat merokok lebih termotivasi untuk berhenti merokok dibandingkan yang tidak memiliki masalah kesehatan. 11 Hyland et al. melaporkan sebanyak 92% perokok termotivasi untuk berhenti merokok karena khawatir akan kesehatannya sekarang dan di masa yang akan datang. Sebanyak 59% termotivasi berhenti merokok karena biaya yang dikeluarkan akibat merokok, 56% karena khawatir akan kesehatan orang lain (misal anak dan istri) dan 52% karena ingin
memberi contoh yang baik kepada anak-anaknya. 12 Sieminska et al. melaporkan 57% perokok memiliki motivasi untuk berhenti merokok disebabkan karena khawatir akan masalah kesehatan, 32% disebabkan masalah kesehatan pribadi dan 32% disebabkan karena alasan sosial seperti ajakan teman untuk berhenti. 13 Cox dalam penelitiannya terhadap 201 orang pasien kanker paru-paru melaporkan sebanyak 65,3% termotivasi untuk berhenti merokok, sedangkan 34,7% di antaranya tidak termotivasi. 14 Shahab dalam penelitiannya pada penderita penyakit paru menunjukkan 10% pasien paru obstruktif kronis masih merokok dan hanya 5% yang berhenti merokok. 15 Penelitian Abu-Baker pada pasien penyakit jantung koroner menunjukkan 60,7% di antaranya masih merokok, 29,7% telah berhenti merokok dan 9,6% kembali merokok. 16 Semer et al. dalam penelitiannya terhadap pelajar yang memiliki kebiasaan merokok di California menunjukkan bahwa 87% di antaranya termotivasi berhenti merokok karena penyakit gingiva, 81% karena kanker rongga mulut, dan 53% karena stain gigi. 17 Meskipun kesehatan merupakan motivasi utama seseorang berhenti merokok, namun masih sedikit perokok menyadari bahwa ada hubungan antara merokok dengan kesehatan rongga mulut. Al-Shammari et al. dalam penelitiannya terhadap pasien yang berkunjung ke dokter gigi menyatakan bahwa pasien perokok kurang menyadari efek merokok pada rongga mulutnya. Hanya sedikit perokok yang menyadari bahwa ada hubungan antara merokok dengan kesehatan rongga mulut. Pada penelitiannya 86,1% perokok mengetahui bahwa merokok menyebabkan stain gigi, 72% mengetahui efek merokok terhadap kesehatan periodontal, 52,4% mengakibatkan kanker rongga mulut dan 24% mengakibatkan gangguan penyembuhan luka. 18 Rendahnya kesadaran pasien mengenai efek merokok terhadap kesehatan rongga mulut menunjukkan betapa pentingnya seorang dokter gigi merencanakan program pelayanan smoking cessation (berhenti merokok) bagi pasien yang memiliki kebiasaan merokok, sehingga layanan berhenti merokok harus dipandang sebagai bagian integral dari kualitas perawatan gigi yang diberikan oleh dokter gigi. 19
Perkembangan pelayanan berhenti merokok di luar negeri tidak lagi melibatkan dokter umum dan dokter spesialis saja, tetapi juga melibatkan dokter gigi. Ikatan Dokter Gigi di Kanada (The Canadian Dental Hygienist Association) menyatakan bahwa dokter gigi wajib mencatat riwayat merokok dan memberikan nasehat berhenti merokok serta intervensinya sebagai suatu pelayanan rutin dalam sebuah praktek klinis. 20 Di Indonesia, perkembangan klinik berhenti merokok masih terbatas di puskesmas-puskesmas tertentu dan beberapa rumah sakit besar di Jawa. Penelitian Nawi dkk pada 447 dokter di Jogjakarta menyimpulkan bahwa tiga perempat dokter tidak menanyakan kebiasaan merokok pada pasiennya sebagai suatu kegiatan rutin dan kebanyakan dokter cenderung menanyakan kebiasaan tersebut pada pasien yang memiliki gangguan pernapasan dan penyakit jantung daripada pasien yang memiliki masalah di rongga mulut ataupun pasien diabetes. 21 Lambatnya perkembangan pelayanan berhenti merokok di Indonesia menyebabkan terbatasnya hasil penelitian mengenai pelayanan tersebut di Indonesia termasuk peran dokter gigi dalam menghentikan kebiasaan merokok. Padahal dokter gigi adalah orang pertama yang mampu mengidentifikasi efek oral akibat merokok pada rongga mulut pasien. 22 Penelitian di Kanada pada 514 dokter gigi, 54,9% dilaporkan menasehati perokok untuk berhenti; 36,9% menyatakan bahwa mereka siap membantu pasiennya untuk berhenti merokok. Penelitian pada 126 klinik gigi, 46% di antaranya menanyakan pasien tentang penggunaan tembakau dan minat mereka untuk berhenti merokok, 25% di antaranya membantu pasien untuk berhenti merokok. Namun sebuah survei di Inggris menyatakan bahwa baik dokter gigi maupun perawatnya kurang terampil dan tidak memiliki cukup waktu untuk memberikan pelayanan berhenti merokok kepada pasiennya. 23 Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengetahui tingkat ketergantungan merokok, tingkat motivasi berhenti merokok, dan faktor-faktor yang memotivasi berhenti merokok pada masyarakat di Medan. Pegawai Fakultas Kedokteran Gigi USU adalah kelompok masyarakat dengan rata-rata tingkat
pendidikan menengah dan bekerja di lingkungan pendidikan yang merupakan daerah bebas asap rokok. Supir angkot merupakan kelompok masyarakat yang paling sering merokok saat mereka bekerja terutama ketika mereka sedang menunggu penumpang. Oleh karena itu peneliti memilih kedua kelompok masyarakat tersebut sebagai responden dalam penelitian ini. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana perubahan kondisi rongga mulut, tingkat ketergantungan merokok, tingkat motivasi berhenti merokok dan faktor-faktor apa saja yang memotivasi berhenti merokok pada pegawai FKG USU dan supir angkot di Medan. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk : 1. Mengetahui perubahan kondisi rongga mulut pada pegawai FKG USU dan supir angkot di Medan. 2. Mengetahui tingkat ketergantungan merokok pada pegawai FKG USU dan supir angkot di Medan. 3. Mengetahui tingkat motivasi berhenti merokok pada pegawai FKG USU dan supir angkot di Medan. 4. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi berhenti merokok pada pegawai FKG USU dan supir angkot di Medan. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah untuk : 1. Bagi dokter gigi Sebagai bahan masukan untuk merencanakan pelayanan berhenti merokok pada pasien perokok.
2. Bagi Pemerintah kota Medan Sebagai bahan masukan untuk memperbesar ukuran label peringatan di bungkus rokok dan menggalakkan program larangan merokok di tempat-tempat umum. 3. Bagi masyarakat Sebagai bahan sasaran media untuk menyebarluaskan bahaya merokok pada rongga mulut.