BAB I PENDAHULUAN. dalam taraf kecil, maka hampir dipastikan kedepan bangsa ini akan mengalami

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kebijaksanaan dan Keadilan. Nilai-nilai

BAB V PENUTUP. maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan negatif antara. pertimbangan moral dengan moral disengagement pada siswa SMA se-

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dengan moral disengagement pada siswa SMA se Kabupaten Sleman. Data yang

BAB I P E N D A H U L U A N. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

2016 IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEDISIPLINAN SISWA DALAM MEMATUHI NORMA TATA TERTIB SEKOLAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB III ASPEK-ASPEK KAWASAN MORAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada masa remaja, terjadi proses pencarian jati diri dimana remaja banyak

BAB I PENDAHULUAN. Usia Sekolah Menengah Atas pada umumnya berada pada rentang usia

BAB I PENDAHULUAN. memasuki masa dewasa (Rumini, 2000). Berdasarkan World Health. Organization (WHO) (2010), masa remaja berlangsung antara usia 10-20

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. hidup semaunya sendiri, karena di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat

BAB I PENDAHULUAN. belajar baik di sekolah maupun di kampus. Hasil survey Litbang Media Group

BAB I PENDAHULUAN. Manusia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian ini termasuk penelitian ex post facto dan

BAB I PENDAHULUAN. Taqwa, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 1. Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 7.

BAB I PENDAHULUAN. masa anak-anak ke masa dewasa di mana pada masa-masa tersebut. sebagai masa-masa penuh tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang memasuki sekolah menengah pertama pada umumnya berada

BAB 1 PENDAHULUAN. Siswa-siswi yang sedang berada di tingkat pendidikan SMA. seringkali menjadi kekhawatiran bagi orang tua dan guru, karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahkan hal ini sudah terjadi sejak dulu. Kenakalan remaja, seperti sebuah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. making) merupakan salah satu bentuk perbuatan berpikir, hasil dari perbuatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan

BAB I PENDAHULUAN. dan tolong menolong. Memberikan pertolongan atau menolong sesama termasuk

Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

2015 PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI BERDASARKAN PROFIL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia merupakan individu ciptaan Tuhan Yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kembang remaja. Istilah remaja sendiri berasal dari bahasa latin yaitu adolescere

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tanpa karakter adalah manusia yang sudah membinatang. Orang orang

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam suatu instansi pemerintah, pemimpin yaitu seseorang yang. mempengaruhi para bawahannya untuk melakukan pekerjaan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Kenakalan remaja adalah perilaku jahat secara social pada anak-anak dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. positif dan dampak negatif dalam kehidupan kita. Berbagai macam orang dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar

BAB I PENDAHULUAN. Bab Pendahuluan Ini Memuat : A. Latar Belakang, B. Fokus Penelitian,C. Rumusan

BAB I PENDAHULUAN. untuk pembentukan konsep diri anak menurut (Burns, 1993). bagaimana individu mengartikan pandangan orang lain tentang dirinya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. dalam maupun luar negeri mudah diakses oleh setiap individu, khususnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. disebut dengan tata tertib. Siswa dituntut untuk menaati tata tertib sekolah di

HUBUNGAN ANTARA URUTAN KELAHIRAN DALAM KELUARGA DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL PADA REMAJA DI SMA MUHAMMADIYAH I KLATEN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan muncul generasi-generasi yang berkualitas. Sebagaimana dituangkan

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KENAKALAN REMAJA PELAKU TATO

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB 1 PENDAHULUAN. bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah sumber daya tersebut tidak bisa

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

BAB I PENDAHULUAN. menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik dan psikisnya. Karena dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial, individu di dalam menjalin hubungan dengan individu lain perlu

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara kita Indonesia sejak dua tahun belakangan ini banyak dihembusi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. perbuatan curang dalam dunia pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam diri manusia selalu terdapat ketidak puasan, oleh sebab itu ia akan

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia selain sebagai makhluk pribadi, juga merupakan makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. Selanjutnya dijelaskan bahwa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan antara masa anak dan masa dewasa. Masa ini juga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Kasus perceraian di Indonesia saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang asing

MORALITAS SEBAGAI PEMAHAMAN SOSIAL DAN PENALARAN MORAL PADA ANAK USIA DINI

BAB I PENDAHULUAN. dimensi ini berpengaruh baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Inhumanities, mengembangkan catatan tentang moral disengagement ini

BAB I PENDAHULUAN. asing bisa masuk ke negara Indonesia dengan bebas dan menempati sector-sektor

BAB I PENDAHULUAN. dari segi budaya, social maupun ekonomi. Sekolah menjadi suatu organisasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah alat komunikasi atau alat interaksi yang digunakan oleh manusia

BAB I PENDAHULUAN. suatu sekolah dikatakan berhasil jika ia mendapatkan nilai yang bagus dan

BAB I PENDAHULUAN. bersifat fisik maupun rohani (Ahid, 2010: 99). Beberapa orang juga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mutia Faulia, 2014

BAB I PENDAHULUAN. psikis, maupun secara social (Sudarsono, 2004). Inilah yang disebut sebagai

BAB I PENDAHULUAN. proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik. Proses belajar

I. PENDAHULUAN. Pendidikan bagi manusia tidak mengenal batas umur, jenis kelamin ras dan agama.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan masa dimana seseorang akan mulai

I. PENDAHULUAN. masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kata menyontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa

I. PENDAHULUAN. bullying. Prinsipnya fenomena ini merujuk pada perilaku agresi berulang yang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan NAPZA merupakan suatu pemakaian obat yang bukan

BAB I PENDAHULUAN. peranan sekolah dalam mempersiapkan generasi muda sebelum masuk

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, baik di negara-negara maju maupun negara-negara yang sedang

I. PENDAHULUAN. nasional yaitu membangun kualitas manusia yang beriman dan bertaqwa

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pelaksanaannya (Bandung: Citra Umbara, 2010), h. 6.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan peralihan transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan individu kompleks yang memiliki dinamika

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini permasalahan pendidikan merupakan permasalahan yang. merupakan bagian dari upaya membangun karakter dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada usia ini individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. faktor yang secara sengaja atau tidak sengaja penghambat keharmonisan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini di Indonesia terjadi beberapa permasalahan dalam berbagai bidang. Beberapa kasus terjadi di bidang hukum, politik dan tata pemerintahan. Dalam ranah pendidikan pun dilanda banyak permasalahan, salah satunya adalah siswa yang merupakan komponen utama dari kemajuan pendidikan. Banyak ditemui siswa yang melakukan tindakan buruk dalam bidang akademik maupun non akademik. Hal tersebut menjadi sebuah keprihatinan tersendiri, karena siswa yang berusia remaja merupakan penerus generasi selanjutnya bangsa ini. Apabila siswa yang merupakan generasi penerus tersebut mempunyai kebiasaan melakukan tindakan buruk, meskipun dalam taraf kecil, maka hampir dipastikan kedepan bangsa ini akan mengalami sebuah kemunduran. Jalur pendidikan menjadi sebuah hal yang penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Tidak hanya itu, selain pendidikan yang sifatnya normatif atau akademik, pendidikan non akademik juga diperlukan untuk membentuk kualitas manusia yang baik. Terlebih siswa pada usia remaja, dimana pada usia demikian merupakan tahap usia yang masih mencari jati diri. Siswa yang berusia remaja, mereka memasuki usia peralihan dari masa anak anak ke jenjang dewasa. Perbuatan perbuatan negatif kerap kali dilakukan baik disadari maupun tidak disadari oleh individu. Perilaku negatif 1

2 tersebut menjadi pemandangan biasa, salah satunya adalah mencontek. Mencontek bisa dikatakan menjadi kebiasaan bagi siswa siswa saat menghadapi ujian atau ulangan harian. Bahkan, ketika peneliti sedang mengajar dalam rangka PPL tahun 2012 di salah satu SMP Sleman, peneliti melihat sendiri secara langsung perilaku mencontek secara massal yang dilakukan oleh siswa saat mengerjakan ulangan harian, hal ini semakin terbukti ketika jawaban dari siswa siswa tersebut sama sampai tanda miring, koma atau titiknya. Selain mencontek, tawuran menjadi fenomena utama yang kerap kali dipertontonkan oleh siswa dari sekolah negeri atau swasta. Siswa yang seharusnya santun dan saling menghargai kepada satu sama lain berubah menjadi saling memusuhi. Bahkan perilaku tawuran ini mengakibatkan kematian, contoh yang masih hangat adalah Harju Pambudi seorang pelajar dari Seyegan, Sleman yang tewas akibat dari tawuran atau perkelahian yang dilakukan oleh pelajar pada selasa, 11 Desember 2012 saat pulang sekolah (Wijaya Kusuma, Kompas.com. 2012, diakses pada tanggal 18-02-13, jam 19.41). Ini menunjukan bahwa perilaku negatif siswa semacam tawuran tersebut juga terjadi pada ranah pendidikan, bukan hanya di Jakarta melainkan di daerah daerah lainnya termasuk Sleman, Yogyakarta. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Arief Rahman & Uly Gusniarti, di SMP N 2 Gamping, Sleman (2008: 4) tingkah laku menyimpang siswa antara lain diwujudkan dalam bentuk melanggar peraturan sekolah seperti masih keluyuran di luar jam pelajaran sekolah, sengaja untuk terlambat masuk,

3 sering membolos, ikut geng kriminal, menggunakan narkoba dan suka berkelahi tanpa sebab. Beberapa perilaku perilaku negatif tersebut dirasa banyak mengganggu siswa dalam menunjang prestasi belajar. Membolos mengakibatkan siswa tidak memperoleh ilmu secara optimal, sering minumminuman keras dan menggunakan obat-obatan terlarang membuat siswa menjadi agresif, sulit menerima pelajaran dan merasa malas untuk sekolah. Ikut geng kriminal membuat waktu siswa untuk belajar menjadi terbuang karena sibuk berkumpul dengan teman-temannya. Mencontek, berbohong, mencuri termasuk dalam perilaku (tindakan) moral yang melibatkan aspek aspek negatif dari tingkah laku (Santrock, 2007: 315). Tindakan moral seperti mencontek dan korupsi, termasuk dalam perkembangan moral yang mencakup pemikiran (kognisi) moral, perasaan (afeksi) moral, dan tindakan (aksi) moral (Santrock, 2007: 301). Hal ini dapat diartikan bahwa mereka yang melakukan perilaku itu baik yang masih duduk di bangku sekolah atau sudah bekerja telah dididik dan dilatih secara tidak langsung kognisinya dari kecil sampai usia dewasa, sehingga seharusnya kognisi (pengetahuan) moralnya baik, tetapi dalam prakteknya atau tindakan moralnya buruk. Muncul banyak pertanyaan dalam hal ini, mengapa mereka melakukan perilaku moral buruk atau membuat keputusan yang tidak bermoral?. Menurut Bandura dalam Detert & Trevino (2008: 374) yaitu individu membuat keputusan tidak etis karena proses regulasi diri moralnya tidak berfungsi, yang menurut Bandura disebut sebagai Moral Disengagement.

4 Moral Disengagement menurut Bandura (1999: 193), adalah suatu sudut atau pusat dalam kognitif yang merestrukturisasi suatu tindakan dengan cara-cara sebagai berikut : 1) tindakan tidak manusiawi dianggap menjadi tindakan yang dianggap baik atau benar dengan melakukan justifikasi moral, 2) bahasa yang diperhalus, 3) perbandingan yang menguntungkan subjek, 4) mengaburkan atau melemparkan tanggung jawab, 5) tidak menghargai orang lain, 6) sangat sedikit usaha untuk mengurangi akibat melukai orang lain, 7) selalu menyalahkan pihak lain, dan 8) memperlakukan tidak manusiawi pada orang yang menjadi korban. Pada riset yang dilakukan Detert & Trevino (2008: 374-391) tentang hubungan antara moral disengagement dengan pembuatan keputusan moral yang buruk diperoleh hasil sebagai berikut : 1. Ada hubungan antara empati dengan regulasi diri moral, individu semakin besar memiliki empati, maka akan semakin berkurang regulasi diri moral yang tidak berfungsi atau makin mampu untuk mengerem moral dengan baik. 2. Ada hubungan antara sifat sinis dengan regulasi diri moral, yaitu orang orang yang memiliki sifat sinis akan sulit untuk mengerem moralnya. 3. Ada hubungan positif antara orientasi locus of control yang bersifat chance dengan regulasi diri moral yang tidak berfungsi, sedangkan hubungan antara internal locus of control dan power locus of control dengan regulasi diri moral yang tidak berfungsi tidak terdukung.

5 4. Ada hubungan negatif antara identitas moral dengan regulasi diri moral yang tidak berfungsi. Mengupas tindakan moral, yang sering kali berbentuk pengambilan keputusan baik dan buruk, ada satu sisi pusat dalam kognitif yang disebut moral disengagement. Boleh dikatakan moral disengagement individu dapat menjadi fasilitator pengambilan keputusan moral yang buruk. Dalam hal ini terjadi karena dukungan aspek-aspek personal yang berasal dari pikiran (kognisi) moral, serta reaksi diri afektif dan faktor lingkungan yang semuanya saling berinteraksi dengan tindakan moral seseorang (Bandura dalam Kurtinez & Gewirtz, 1991: 45-46). Orientasi moral merupakan bagian dari kognisi moral. Orientasi moral adalah suatu konsep tentang kerangka atau perspektif yang berbeda untuk menyusun dan memahami domain moral. Salah satu dari orientasi moral menurut ahli moral Gilligan adalah orientasi keadilan (pertimbangan moral) yang merupakan hasil dari pemikiran Kohlberg. Orientasi moral oleh Kohlberg sering juga disebut sebagai pertimbangan moral atau moral judgement (Lawrence J, Walker dalam Kurtinez & Gerwitz, 1991 : 334). Orientasi keadilan ada dalam pemikiran Kohlberg sementara orientasi kepedulian ada dalam pemikiran Gilligan (Bornstein & Lamb, 1992: 445). Pertimbangan moral merupakan suatu proses pertimbangan dalam kognitif sebelum suatu tindakan moral dilakukan seseorang. Pertimbangan ini terjadi ketika seseorang dihadapkan pada dilema perbuatan moral, sehingga ia diminta melakukan pemilihan keputusan moralnya berdasarkan pertimbangan

6 moral itu. Pertimbangan moral tentu saja tidak sekadar melibatkan aktivitas intelektualitas (rasionalitas), tetapi juga melibatkan suara hati nurani sebagai upaya pertimbangan moral. Bertens (1993: 52) menyatakan bahwa hati nurani berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia mempunyai kesadaran, karena hanya manusia yang mempunyai kesadaran. Suara hati nurani merupakan judgement atas pilihan moral berdasarkan pertimbangan moral itu sendiri. Dalam hasil hasil penelitian terdahulu terdapat dua pendapat yaitu : 1. Adanya hubungan yang positif antara pertimbangan moral dengan tindakan moral, semakin tinggi pertimbangan moral seseorang maka akan semakin mendukung ke arah tindakan moralnya (Penelitian Kohlberg & Candee, 1984 dalam Kurtinez & Gewirtz, 1991: 67). 2. Adanya ketidak konsistenan antara pertimbangan moral dengan tindakan moral. (Penelitian Blasi 1980, dalam Kurtinez & Gewirtz, 1991: 67). Dari hasil penelitian tersebut peneliti memilih untuk mengikuti pendapat yang pertama, bahwa terdapat hubungan yang positif antara pertimbangan moral dengan tindakan moral. Semakin tinggi pertimbangan moralnya maka akan semakin mendukung ke arah tindakan moralnya. Dengan demikian kognisi moral (pertimbangan moral) memiliki kontribusi pada terjadinya suatu tindakan moral oleh seseorang. Menurut Kohlberg dalam Pratiwi Wahyu W (2005: 44-45) terdapat penalaran moral atau pertimbangan moral dengan melihat pada unsur unsur kesetaraan, hubungan timbal balik dan kebenaran yang diumpamakan, dapat dicapai oleh individu dengan proses internalisasi. Keadilan dalam wujud

7 ditahap tertinggi dimunculkan oleh individu dengan adanya kesadaran diri untuk melakukan segala sesuatu berdasarkan keadilan dan kesetaraan. Individu disini tidak akan melakukan tindakan yang mencederai rasa keadilan orang lain. Ada 6 tahap perkembangan pertimbangan moral menurut Kohlberg, yakni : 1) Obedience & Punishment, 2) Individualism, instrumentalism & Exchange, 3) Goodboy atau Goodgirl, 4) Law & Order, 5) Social Contract, 6) Principled Conscience. Orang yang berada pada tahap Obedience & Punishment, dianggap mempunyai pertimbangan moral yang kurang, hal ini bisa diamati pada anak di sekolah awal. Di tahap ini mereka hanya melakukan apa yang dikatakan oleh figur figur yang memiliki kekuatan. Kepatuhan ini didukung dengan suatu ancaman atau penerapan hukuman. Sementara, orang yang berada pada tahap Principled Conscience, dianggap mempunyai pertimbangan moral yang tergolong baik, karena menurut Kohlberg tahap tertinggi ini tidak mudah dicapai oleh kebanyakan orang dewasa sekalipun. Dimana tahap ini tindakan moral seseorang berdasarkan prinsip prinsip universal dan tuntutan kesadaran individu. Hadirnya fenomena - fenomena perilaku buruk pada siswa atau peserta didik pada dewasa ini sudah cukup mengkhawatirkan. Perilaku siswa yang nampak pada beberapa kasus diatas seperti mencontek, tawuran dan membolos merupakan tindakan moral yang buruk. Tindakan moral yang buruk itu dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Hasil penelitian yang dilakukan Detert & Trevino (2008: 374-391) faktor internal diantaranya adalah 1) rasa empatinya kurang, 2) identitas moral, 3) sinis dan,

8 4) usia. Sementara hasil penelitian yang dilakukan Tyas Sartika N (2007: 62-65) faktor eksternal diantaranya adalah 1) teman pergaulan, 2) pergaulan di masyarakat dan, 3) gaya asuh orang tua. Diantara aspek internal, peneliti menganggap pertimbangan moral berkaitan dengan moral disengagement, hal ini nampak dari hasil penelitian terdahulu (Penelitian Kohlberg & Candee, 1984 dalam Kurtinez & Gewirtz, 1991: 67) adanya hubungan positif antara pertimbangan moral dengan tindakan moral. Melihat dari berbagai kasus terjadinya tindakan buruk diatas yang dilakukan oleh banyak kalangan termasuk siswa pada usia remaja. Nampaknya perkembangan moral tidak berkembang baik dan bahkan terjadi regresi atau kemunduran. Hal ini terjadi disebabkan adanya faktor internal berupa pertimbangan moral dengan moral disengagement yang saling terkait. Keterkaitannya adalah apabila pertimbangan moralnya tinggi, maka seharusnya regulasi diri moralnya semakin berfungsi untuk mendukung ke arah tindakan moral yang baik, sebaliknya apabila pertimbangan moralnya rendah, maka regulasi diri moralnya tidak berfungsi atau tercerabut rem moralnya. Seperti yang diutarakan oleh Bandura, regulasi diri moral merupakan suatu sudut atau pusat dalam kognitif yang merestrukturisasi suatu tindakan moral. Sedangkan, pertimbangan moral adalah proses dimana seseorang memilih salah satu tindakan terbaik secara moral. Kedua hal ini menjadi saling keterkaitan dalam mendukung tindakan moral seseorang baik atau buruk pada siswa, karena sama sama berada dalam kognitif seseorang. Jadi, hubungan pertimbangan moral dengan moral disengagement di andaikan jika pertimbangan moralnya baik,

9 maka moral disengagementnya buruk atau lemah. Sebaliknya, di andaikan apabila moral disengagementnya baik, maka pertimbangan moralnya akan kurang atau lemah. Berkaitan dengan berbagai hal di atas, perlu dilakukan penelitian terutama tentang hubungan antara pertimbangan moral sebagai faktor internal individu yang mempengaruhi terjadinya tindakan moral oleh siswa dengan moral disengagement.. Siswa yang dijadikan subjek penelitian ini berdomisili dan bersekolah di wilayah Kabupaten Sleman. Di Kabupaten Sleman, terdapat SMA baik negeri maupun swasta, dengan masih sedikit penelitian yang meneliti tentang pertimbangan moral siswa dengan moral disengagement. Maka, meneliti moral disengagement kaitannya dengan pertimbangan moral penting untuk dilakukan. Maka penelitian ini dirumuskan dalam judul : HUBUNGAN PERTIMBANGAN MORAL DENGAN MORAL DISENGAGEMENT PADA SISWA SMA SE KABUPATEN SLEMAN. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, peneliti dapat melakukan identifikasi masalah sebagai berikut : 1. Siswa melakukan tindakan moral yang buruk berupa kecurangan saat ujian atau ulangan dan tawuran antar siswa. 2. Ada berbagai faktor eksternal berupa teman pergaulan, pergaulan di masyarakat dan gaya asuh orang tua yang turut mendukung moral disengagement menjadi tidak berfungsi.

10 3. Ada faktor internal berupa pertimbangan moral, siswa yang turut mendukung moral disengagement tidak berfungsi. 4. Masih belum diketahui secara jelas hubungan atau keterkaitan antara pertimbangan moral dengan moral disengagement pada terjadinya tindakan moral siswa yang buruk. C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka peneliti membatasi masalah terhadap masalah yang akan diteliti. Untuk itu diberi batasan sebagai berikut : Hubungan antara pertimbangan moral dengan moral disengagement pada kalangan siswa SMA se Kabupaten Sleman. D. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka dapat diketahui adanya dua variabel yang menjadi objek penelitian ini. Variabel variabel tersebut adalah pertimbangan moral dan moral disengagement. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kedua variabel tersebut, maka masalah yang hendak diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut : Adakah hubungan antara pertimbangan moral dengan moral disengagement pada siswa SMA se Kabupaten Sleman? E. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang diharapkan sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian mempunyai tujuan untuk :

11 Mengetahui hubungan antara pertimbangan moral dengan moral disengagement pada siswa SMA se Kabupaten Sleman. F. Manfaat Penelitian Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan memperluas khasanah pengetahuan guna memberikan sumbangan untuk Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum di bidang etika atau psikologi moral. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan sekaligus salah satu referensi bagi penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini. 2. Manfaat Praktis Sebagai media untuk mengukur kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang telah didapat untuk membedah masalah yang ada dalam masyarakat. Penelitian ini diharapkan memberikan pemahaman bagi siswa Kabupaten Sleman tentang moral disengagement, serta dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengelola sekolah untuk dapat mengembangkan model pendidikan moral dalam rangka memperbaiki pendidikan moral di sekolah.