BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Dalam tesis ini membahas kreditur dan debitur terganggu pelaksanaan perjanjian sewa guna usaha/ leasing kapal dengan sistem finance lease karena musnahnya obyek perikatan karena force majeure/ overmacht. Di sini debitur memilih dengan menggunakan sistem pembayaran finance lease dengan bentuk transaksi finance lease: sale and lease back karena sesuai dengan nilai ekonomis yang dianggap tidak memberatkan dan memberikan keuntungan perusahaan ke depannya. Alhasil dalam perjalanannya, debitur mengalami musibah tenggelamnya kapal sebagai obyek perikatan karena overmacht. Pada prinsipnya, overmacht atau keadaan memaksa merupakan suatu situasi yang ada secara factual dan terjadi serta mempengaruhi pelaksanaan kesepakatan sebagai hukum yang berlaku bagi para pihak dalam suatu perbuatan hukum tertentu yaitu dengan adanya keadaan tertentu setelah dibuatnya persetujuan, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat. Keadaan memaksa tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu keadaan memaksa yang bersifat tetap dapat mengakibatkan suatu kontrak atau perjanjian tidak mungkin lagi untuk dilaksanakan atau tidak akan dapat dipenuhi sama sekali, biasanya berkaitan dengan musnahnya barang yang diperjanjikan dan keadaan memaksa yang bersifat sementara yang mewajibkan seorang pihak untuk memenuhi perjanjian setelah keadaan memaksa tersebut sudah tidak ada. Keadaan memaksa merupakan suatu keadaan dimana salah satu pihak peserta melaksanakan kewajiban menurut perjanjian yang menghalangi debitur untuk memenuhi
prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat. Berdasarkan konstruksi yuridis di atas, overmacht dan suatu debitur yang berada dalam keadaan memaksa memiliki alasan hukum untuk dapat dinyatakan benar sebagai sebuah status hukumnya dalam suatu hubungan hukum. Hal tersebut diperkuat dengan ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata khususnya pasal 1244 dan 1245 yang menegaskan bahwa keadaan memaksa adalah keadaan dimana debitur terhalang dalam memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tak terduga lebih dahulu dan tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, debitur dibebaskan untuk membayar ganti rugi dan bunga. Untuk itu sebagai sebuah ketentuan hukum, suatu overmacht harus memenuhi unsur : 1. Ada halangan bagi debitur untuk memenuhi kewajiban. 2. Halangan itu bukan karena kesalahan debitur. 3. Tidak disebabkan oleh keadaan memaksa yang menjadi resiko dari debitur. Maka dengan demikian berlakunya suatu perikatan menjadi terhenti, sehingga melahirkan akibat hukum : 1. Kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi. 2. Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai. 3. Resiko tidak beralih kepada debitur. Dengan demikian atas adanya overmacht pada dasarnya tidak melenyapkan adanya perikatan, hanya memutuskan berlakunya perikatan. Hal ini penting bagi adanya overmacht yang bersifat sementara. Dalam suatu perjanjian timbal balik, apabila salah satu dari pihak karena overmacht terhalang untuk berprestasi maka lawan juga harus dibebaskan untuk berprestasi. Tetapi di lain hal karena kesepakatan perjanjian sewa
guna usaha/ leasing ini dengan sistem finance lease maka pihak leasee harus menanggung resiko perjanjian dengan tetap harus memenuhi prestasinya. B. SARAN Penggunaan pembiayaan sewa guna usaha/ leasing seperti diuraikan sebelummnya memberikan beberapa keuntungan bagi debitur untuk melakukan suatu usaha, manfaat pembiayaan leasing tersebut dapat menghemat modal kerja, mendiversifikasi sumber-sumber pembiayaan yang lain, persyaratan yang fleksibel, menampilkan kinerja operasional yang lebih baik, menguntungkan arus kas, memperoleh proteksi, memberikan perlindungan karena adanya teknologi yang baru, sumber pelunasan kewajiban dan kapitalisasi biaya. Begitu banyak manfaat dari penggunaan pembiayaan leasing. Tetapi tentunya debitur harus mempelajari penggunaan leasing dan memilih sistem penggunaan leasing dengan hati-hati untuk kebaikan perusahaan. Bagi perusahaan pelayaran (debitur) yang ingin membeli kapal denngan menggunakan perusahaan leasing (kreditur) harus memahami secara detail berbagai bentuk dokumen dalam proses perikatan/ perjanjian jual beli kapal. Ada berbagai dokumen dalam proses jual-beli kapal, diantaranya perjanjian jual beli, penawaran fasilitas sewa guna usaha/ leasing, perjanjian sewa guna usaha, berita acara serah terima kapal dari penjual dan berita acara serah terima dari agen kapal (keagenan kapal yang ditunjuk penjual kapal). Hal yang paling utama tentunya adalah perjanjian jual-beli antara penjual dan pembeli, dalam paparan penulisan ini adalah perjanjian sewa guna usaha antara perusahaan leasing (lessor) dan perusahaan pelayaran (lessee). Perikatan/ perjanjian antara lessor dan leesee dalam hal ini menurut penulis sudah memenuhi syarat yang
berlaku. Kejadian bencana alam/ force majeure/ overmacht yang menyebabkan kapal tenggelam tentunya sangat merugikan kedua belah pihak terutama pihak lessee karena kehilangan kapal dan diwajibkan untuk memenuhi prestasi yaitu meneruskan pembayaran leasing atau melunasi sisa pembayaran pembelian kapal. Disinilah perusahaan harus lebih awal mempelajari sistem penggunaan leasing dan hukum yang berlaku dalam perjanjian yang dilaksanakan dalam leasing. Peran asuransi kapal (marine hull insurance) juga merupakan faktor utama yang dapat membantu lessee untuk melunasi sisa pembayaran pembelian kapal dan mengurangi kerugian bagi lessee. Tetapi tentunya untuk mendapatkan pembayaran dari pihak asuransi kapal umumnya membutuhkan waktu yang cukup lama karena proses investigasi memerlukan waktu yang cukup panjang dan biaya yang cukup besar sehingga pemutusan pembayaran leasing menjadi polemik yang sangat penting antara kedua belah pihak. Dalam hal ini tentunya dapat diselesaikan dengan proses negosiasi sesuai ketentuan perjanjian, perhitungan akuntansi maupun hukum yang berlaku yang memberikan rasa keadilan kedua belah pihak. Dari pengamatan penulis yang memiliki cukup pengalaman di dunia usaha pelayaran, dan mengikuti seminar-seminar asosiasi perusahaan pelayaran, hal pencapaian dengan ketentuan-ketentuan di atas seringkali dapat tercapai sesuai kesepakatan dan rasa keadilan bersama meskipun dengan proses yang kadang sangat panjang. Hal-hal kejadian/ kecelakaan di dunia usaha pelayaran tersebut seperti kejadian keterlambatan keberangkatan kapal, kejadian keterlambatan kapal tiba yang cukup lama, kejadian lamanya kapal bongkar/muat, kejadian rusaknya barang/cargo, kejadian tabrakan kapal, kejadian tenggelamnya kapal karena berbagai macam akibat dan lain-lain. Jikalau kejadian /kecelakaan di atas dilakukan melalui proses peradilan atau badan arbitrasi tentunya akan memakan waktu cukup lama dan biaya yang tidak sedikit dan bahkan seringkali merugikan kedua belah pihak. Oleh karena itu sebaiknya
kedua belah pihak harus mampu menahan diri dan memiliki itikad baik dengan mencari solusi agar dapat tercapai kesepakatan dan tercipta rasa keadilan bersama dengan menggunakan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku.