BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditunjukkan dengan hasil kerja. Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. keuangan sebagai wujud akuntabilitas pengelolaan keuangan negara/daerah.

Jurnal Fairness. Volume 3, Nomor 1, Maret 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II. individu atau suatu organisasi pada suatu periode tertentu. Menurut Stoner (1996 :

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. 2004, manajemen keuangan daerah Pemerintah Kabupaten Badung mengalami

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS Definisi Kinerja dan Pengukuran Kinerja. Menurut Mahsun (2006:25) kinerja (performance) adalah gambaran

BAB I PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. kinerja yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pencapaian hasil serta caracara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. program bukan pada unit organisasi semata dan memakai output measurement

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan dan pengeluaran yang terjadi dimasa lalu (Bastian, 2010). Pada

BAB I PENDAHULUAN. yang mengatakan wujud dari penyelenggaraan otonomi daerah adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memperhatikan asas keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. arah dan tujuan yang jelas. Hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah,

strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.

BAB I PENDAHULUAN. pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. besarnya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dimana

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan ekonomi untuk daerah maupun kebijakan ekonomi untuk pemerintah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kualitas Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. dan kegagalan pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan. kebijakan yang ditetapkan. (BPPK Depkeu, 2014 )

BAB I PENDAHULUAN. adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan. masyarakat merupakan sebuah konsep yang sangat multi kompleks.

BAB I PENDAHULUAN. melalui Otonomi Daerah. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.22 tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. saat ini mencerminkan adanya respon rakyat yang sangat tinggi akan permintaan

BAB I PENDAHULUAN. manajemen pemerintah pusat dan daerah (propinsi, kabupaten, kota). Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Berlakunya Undang-Undang no 22 tahun 1999 dan Undang-Undang no 25

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Teori keagenan (agency theory) merupakan landasan teori dalam penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Anggaran merupakan suatu hal yang sangat penting dalam suatu organisasi.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia telah memasuki masa pemulihan akibat krisis ekonomi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Akuntabilitas merupakan salah satu unsur pokok perwujudan good governance yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. serta bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Upaya pengembangan tersebut sejalan dengan Undang-undang Nomor 28

BAB I PENDAHULUAN. bidang. Kinerja yang dicapai oleh organisasi pada dasarnya adalah prestasi para

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang dinginkan masyarakat, sebagai salah satu stakeholders. Pegawai

BAB I PENDAHULUAN. Pengukuran kinerja pemerintah merupakan hal yang sangat penting,

S A L I N A N BERITA DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 91 TAHUN No. 91, 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. monopoli dalam kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. suatu fenomena di Indonesia. Tuntutan demokrasi ini menyebabkan aspek

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Akuntansi dan Sistem Pelaporan Terhadap Akuntabilitas Kinerja Instansi

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat dengan

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Alat utama kebijakan fiskal adalah anggaran. Deddi et al. (2007)

PENINGKATAN KINERJA MELALUI ANGGARAN BERBASIS KINERJA PADA SEKSI ANGGARAN DINAS PENDAPATAN DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BINTAN

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (Good Governance). Terselenggaranya pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. telah mendorong pemerintah untuk menerapkan akuntabilitas publik.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembangunan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan berdasarkan manajemen

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perubahan politik di Indonesia saat ini mewujudkan administrasi negara yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Hakekat dari otonomi daerah adalah adanya kewenangan daerah yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. Undang Undang (UU) No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok. pemerintahan daerah, diubah menjadi Undang-Undang (UU) No.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

1 Pendahuluan. Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas) Kab. Pasuruan 1

BAB I PENDAHULUAN. kepada daerah. Di samping sebagai strategi untuk menghadapi era globalisasi,

BAB 1 PENDAHULUAN. sektor publik diakhiri dengan proses pertanggungjawaban publik, proses inilah

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintahan Daerah, yang disebut dengan Desentralisasi adalah penyerahan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang menitikberatkan pada Pemerintah

Bab I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial,

AKUNTABILITAS DALAM SEKTOR PUBLIK. Kuliah 4 Akuntabilitas Publik & Pengawasan

BAB I PENDAHULUAN. mencoba mengatasi masalah ini dengan melakukan reformasi di segala bidang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bougette (Perancis) yang berarti sebuah tas kecil. Menurut Indra Bastian (2006),

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai peraturan yang ada diantaranya adalah; Peraturan Pemerintah (PP)

BAB I PENDAHULUAN. Konsep tentang mekanisme penyusunan program kerja pemerintah daerah,

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah untuk senantiasa tanggap dengan lingkungannya, dengan berupaya

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan baru dari pemerintah Republik Indonesia yang mereformasi

BAB I PENDAHULUAN. yang bersih (good governance) bebas dari KKN sehingga hasil pelayanan dari

BAB I PENDAHULUAN. mengedepankan akuntanbilitas dan transparansi Jufri (2012). Akan tetapi dalam

BAB I PENDAHULUAN. prinsip keterbukaan, keadilan, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan daerah Propinsi Bali serta pembangunan nasional. Pembangunan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi dan pelaksanaan otonomi daerah yang lebih luas, mengakibatkan semakin kuatnya tuntutan masyarakat terhadap

BAB I PENDAHULUAN. telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, kemasyarakatan serta

BAB I PENDAHULUAN. publik dalam rangka pemenuhan hak publik. Untuk pengertian good governance,

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dapat diraih melalui adanya otonomi daerah.indonesia memasuki era otonomi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PADANG LAWAS UTARA,

BAB I PENDAHULUAN. menilai kinerja (Mardiasmo,2009,h.121). program sampai dengan tahun berjalan dengan sasaran (target) kinerja 5 (lima)

BAB I PENDAHULUAN. dalam menjalani dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tujuan akhir dari para

BAB I PENDAHULUAN. memburuk, yang berdampak pada krisis ekonomi dan krisis kepercayaan serta

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

BAB I PENDAHULUAN. maupun di daerah, unit-unit kerja pemerintah, departemen dan lembaga-lembaga

SISTEM AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (SAKIP) DAN LAPORAN AKUNTANTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP)

BAB I PENDAHULUAN. baik (Good Governance) menuntut negara-negara di dunia untuk terus

I. PENDAHULUAN. Sejak jatuhnya pemerintahan Orde Baru dan digantikan dengan gerakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. bermacam-macam. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari luasnya wilayah

BAB I PENDAHULUAN. sistem tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang ditandai

BAB II DASAR TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD)


PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR : 54 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kondisi global yang semakin maju membawa dampak

Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era reformasi yang diikuti dengan diberlakukannya kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi pemerintahan merupakan salah satu organisasi yang non profit

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Kantor Camat Kandis Kabupaten Siak Tahun 2016

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Landasan Teori 2.1.1. Kinerja 2.1.1.1. Konsep Kinerja Menurut Mahsun (2006:4) kinerja adalah kemmapuan kerja yang ditunjukkan dengan hasil kerja. Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/problem/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema strategis (strategic planning) suatu organisasi (Bastian, 2010:274). Dalam PP No. 58 Tahun 2005 Pasal 1 ayat 35 menyatakan kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur. Pemahaman mengenai konsep kinerja organisasi publik dapat dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu : 1. Melihat kinerja organisasi publik dari perspektif birokrasi itu sendiri. 2. Melihat kinerja organisasi publik dari perspektif kelompok sasaran atau pengguna jasa organisasi publik. Kedua perspektif tersebut saling berinteraksi di antara keduanya, karena pemahaman mengenai konsep kinerja organisasi publik sangat terkait erat dengan lingkungan tempat organisasi publik hidup dan berkembang. Khusus mengenai

organisasi publik berkaitan erat dengan produktifitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, akuntabilitas, serta persamaan pelayanan. Konsep yang sering dipergunakan untuk melihat kinerja organisasi publik daerah sering dikaitkan dengan penggunaan anggaran. Konsep ini sering dikenal dengan istilah performance in term of the monetary calculus of efficiency (Mardiasmo, 2006:5) 2.1.1.2. Penilaian dan Pengukuran Kinerja Menurut Petunjuk Pelaksanaan Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah berdasarkan Permenpan No. 25 Tahun 2012, pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar untuk menilai keberhasilan/kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi instansi pemerintah. Pengukuran dimaksud merupakan hasil dari suatu penilaian (assessment) yang sistematik dan didasarkan pada kelompok indikator kinerja kegiatan yang berupa indikator indikator masukan, keluaran, hasil, manfaat, dan dampak. Dessler (2009:132) mendefinisikan penilaian kinerja sebagai evaluasi kinerja karyawan saat ini/atau dimasa lalu relatif terhadap standar prestasinya. Penilaian kinerja adalah cara mengukur kontribusi individu (karyawan) kepada organisasi tempat mereka bekerja. Model penilaian kinerja yang dicontohkan oleh Dessler (2009:135) meliputi indikator sebagai berikut : 1. Kualitas Kerja adalah akuransi, ketelitian, dan bisa diterima atas pekerjaan yang dilakukan. 2. Produktifitas adalah kuantitas dan efisiensi kerja yang dihasilkan dalam periode waktu tertentu.

3. Pengetahuan pekerjaan adalah keterampilan dan informasi praktis/teknis yang digunakan pada pekerjaan. 4. Bisa diandalkan adalah sejauh mana seorang karyawan bisa diandalkan atas penyelesaian dan tindak lanjut tugas. 5. Kehadiran adalah sejauh mana karyawan tepat waktu, mengamati periode istirahat/makan yang ditentukan dan catatan kehadiran secara keseluruhan. 6. Kemandirian adalah sejauh mana pekerjaan yang dilakukan dengan atau tanpa pengawasan. Mahsun (2006:2) mengatakan penggunaan indikator kinerja sangat penting untuk mengetahui apakah suatu aktivitas atau program telah dilakukan secara efisien dan efektif. Indikator untuk tiap tiap unit organisasi berbeda-beda tergantung pada tipe pelayanan yang dihasilkan. Penentuan indikator kinerja perlu mempertimbangkan komponen berikut : 1. Biaya pelayanan (cost of service). 2. Penggunaan (utilization). 3. Kualitas dan standar pelayanan (quality and standards). 4. Cakupan pelayananan (coverage). 5. Kepuasan (satisfaction). 2.1.1.3. Kinerja Pemerintah Daerah Kinerja Instansi Pemerintah adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran visi, misi dan strategi instansi pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan

dan kegagalan pelaksanaan kegiatan kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan (MenPAN:2007). Banyak pendapat para ahli terkait dengan kinerja pemerintah daerah, baik dari sisi definisi, pengukuran, indikator, dan evaluasi kinerja. Setelah suatu sistem pengelolaan keuangan terbentuk, perlu disiapkan suatu alat untuk mengukur kinerja dan mengendalikan pemerintahan agar tidak terjadi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tidak adanya kepastian hukum dan stabilitas politik, dan ketidakjelasan arah dan kebijakan pembangunan. Pengukuran kinerja memiliki kaitan erat dengan akuntabilitas. Untuk memantapkan mekanisme akuntabilitas, diperlukan manajemen kinerja yang di dalam terdapat indikator kinerja dan target kinerja. Pelaporan kinerja, dan mekanisme reward and punishment. Indikator pengukuran kinerja yang baik mempunyai karakteristik relevant, unambiguous, cost-effective, dan simple, serta berfungsi sebagai sinyal yang menunjukkan bahwa terdapat masalah yang memerlukan tindakan manajemen dan investigasi lebih lanjut (Sumarsono, 2010:84). 2.1.2. Pengelolaan Keuangan Daerah Pengelolaan keuangan daerah sama seperti halnya dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah baik tingkat provinsi, kota/kabupaten pun juga menyusun perencanaan dan pengelolaan anggaran yang akan dilaksanakan dalam satu tahun kedepan. Peraturan Pemerintah Dalam Negeri (Permendagri) 13 Tahun 2006 disebutkan bahwa semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah harus dicatat dan dikelola dalam APBD. Penerimaan dan pengeluaran daerah tersebut adalah dalam rangka pelaksanaan tugas tugas desentralisasi. Sedangkan

penerimaan dan pengeluaran yang berkaitan dengan pelaksanaan dekonsentrasi atau tugas pembantuan tidak dicatat dalam APBD. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun anggaran. APBD adalah rencana pelaksanaan semua pendapatan daerah dan semua belanja daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Pemungutan semua penerimaan daerah bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Demikian pula semua pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD. Karena APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah, maka APBD menjadi dasar pula bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah. Tahun anggaran APBD sama dengan tahun anggaran APBN (Anggaran Pendaparan dan Belanja Negara yaitu mulai 1 januari dan berakhir tanggal 31 Desember tahun yang bersangkutan. Sehingga pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan keuangan daerah dapat dilaksanakan berdasarkan kerangka waktu tersebut. APBD disusun dengan pendekatan kinerja yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat tercapai untuk setiap sumber pendapatan. Pendapatan dapat direalisasikan melebihi jumlah anggaran yang telah ditetapkan.

Berkaitan dengan belanja, jumlah belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja. Jadi, realisasi belanja tidak boleh melebihi jumlah anggaran belanja yang telah ditetapkan. Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup. Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBD apabila tidak tersedia atau tidak cukup tersedia anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut. 2.1.3. Akuntabilitas 2.1.3.1. Penilaian dan Pengukuran Akuntabilitas Akbar (2012) mengatakan bahwa akuntabilitas (accountability) secara harfiah dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban, namun penerjemahan secara sederhana ini dapat mengaburkan arti kata accountability itu sendiri bila dikaitkan dengan pengertian akuntansi dan manajemen. Lebih lanjut dikatakan bahwa konsep akuntabilitas tersebut senada dengan apa yang dikemukakan oleh stewart tentag jenjang atau tangga akuntabilitas yang terdiri dari 5 (lima) jenis tangga akuntabilitas yakni : 1. accountability for probity and legality. 2. process accountability 3. performance accountability 4. programme accountability 5. policy accountability Akuntabilitas dapat diartikan sebagai bentuk kewajiban mempertanggungjawabkan yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik (Stanbury, 2003

dalam Ismiarti, 2013:30). Pada dasarnya, akuntabilitas adalah pemberian informasi dan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja finansial kepada pihak pihak yang berkepentingan (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999 dalam Mardiasmo, 2006:4). Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus dapat menjadi subjek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik yaitu hak untuk tahu, hak untuk diberi informasi, dan hak untuk didengar aspirasinya. Annisaningrum (2010:1) mengatakan akuntabilitas adalah mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada entitas pelaporan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik. Akuntabilitas merupakan kewajiban menyampaikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab atau menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk minta keterangan akan pertanggungjawaban. Kriteria akuntabilitas keuangan adalah sebagai berikut : 1. Pertanggungjawaban dana publik. 2. Penyajian tepat waktu 3. Adanya pemeriksaan (audit)/respon pemerintah. Prinsip akuntabilitas publik adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau norma-norma eksternal yang dimiliki oleh para stakeholders yang berkepentingan dengan pelayanan tersebut (Krina, 2003 dalam Rahmanurrasjid, 2008:85-86).

2.1.3.2. Indikator Akuntabilitas Dari konsep-konsep akuntabilitas tersebut di atas, dapat diklasifikasikan beberapa indikator akuntabilitas yaitu : 1. Pada tahap proses pembuatan sebuah keputusan, meliputi : pembuatan sebuah keputusan harus dibuat secara tertulis dan tersedia bagi setiap warga yang membutuhkan. Pembuatan keputusan sudah memenuhi standar etika dan nilai nilai yang berlaku, adanya kejelasan dari sasaran kebijakan yang diambil, dan sudah sesuai dengan visi dan misi organisasi, serta standar yang berlaku, adanya mekanisme untuk menjamin bahwa standar telah terpenuhi, konsistensi maupun kelayakan dari target operasional yang telah ditetapkan maupun prioritas dalam mencapai target tersebut. 2. Pada tahap sosialisasi kebijakan, meliputi : penyebarluasan informasi mengenai suatu keputusan, melalui media massa, media nirmassa, maupun media komunikasi personal, akurasi dan kelengkapan informasi yang berhubungan dengan cara cara mencapai sasaran suatu program, akses publik pada informasi atas suatu keputusan setelah keputusan dibuat dan mekanisme pengaduan masyarakat, dan ketersediaan sistem informasi manajemen dan monitoring hasil yang telah dicapai oleh pemerintah. 2.1.3.3. Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah Akuntabilitas publik dan keterbukaan merupakan dua sisi koin yang tidak terpisahkan sebagai bagian dari prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). Implikasinya, kini keduanya menjadi bahasan yang marak dan interchangable, penerapannya pada pola perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang participative sebagai suatu

konsekuensi logis (Akbar, 2012:2). Konsep akuntabilitas di Indonesia memang bukan merupakan hal yang baru, hampir seluruh instansi menjalankan fungsi administratif kepemerintahan. Fenomena ini merupakan imbas dari tuntutan masyarakat yang mulai digemborkan kembali pada awal era reformasi pada tahun 1998. Tuntutan masyarakat ini muncul karena pada masa orde baru konsep akuntabilitas tidak mampu diterapkan secara konsisten di setiap lini kepemerintahan yang pada akhirnya menjadi salah satu penyebab lemahnya birokrasi dan menjadi pemicu munculnya berbagai penyimpangan penyimpangan dalam pengelolaan keuangan dan administrasi negara di Indonesia. 2.1.4. Transparansi 2.1.4.1. Konsep Transparansi Coryanata (2007) mengatakan tranparansi dibangun diatas dasar arus informasi yang bebas, seluruh proses pemerintahan, lembaga lembaga dan informasi perlu diakses oleh pihak pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. Anggaran yang disusun oleh pihak eksekutif dikatakan transparansi jika memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut : 1. Terdapat pengumuman kebijakan anggaran 2. Tersedia dokumen anggaran dan mudah diakses 3. Tersedia laporan pertanggungjawaban yang tepat waktu 4. Terakomodasinya suara/usulan rakyat, 5. Terdapat sistem pemberian informasi kepada publik. Annisaningrum (2010:2), transparansi adalah memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan

bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang undangan. Penyelenggaraan pemerintahan yang transparan akan memiliki kriteria yaitu : adanya pertanggungjawaban terbuka, adanya aksesibilitas terhadap laporan keuangan, adanya publikasi laporan keuangan, hak untuk tahu hasil audit dan ketersediaan informasi kinerja. Dalam hal pelaksanaan transparansi pemerintah, media massa mempunyai peranan yang sangat penting, baik sebagai sebuah kesempatan untuk berkomunikasi pada publik maupun menjelaskan berbagai informasi yang relevan, juga sebagai penonton atas berbagai aksi pemerintah dan prilaku menyimpang dari aparat birokrasi. Untuk melaksanakan itu semua, media membutuhkan kebebasan pers sehingga dengan adanya kebebasan pers maka pihak media akan terbebas dari intervensi pemerintah maupun pengaruh kepentingan bisnis (Wiranto, 2012). Dengan adanya keterbukaan ini, maka konsekuensi yang akan dihadapi adalah kontrol yang berlebihan dari masyarakat, untuk itu harus ada pembatasan dari keterbukaan itu sendiri, dimana pemerintah harus pandai memilah mana informasi yang perlu dipublikasikan dan mana yang tidak perlu sehingga ada kriteria yang jelas dari aparat publik mengenai jenis informasi apa saja yang boleh diberikan dan kepada siapa saja informasi itu diberikan. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga supaya tidak semua informasi menjadi konsumsi publik. Ada hal hal yang menyebabkan informasi tersebut tidak boleh diketahui oleh publik.

2.1.4.2. Prinsip Prinsip Transparansi Transparansi merupakan salah satu prinsip Good Governance. Pasaribu (2011) mengatakan transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Artinya, informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan. Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintah, yakni informasi tentag kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaanya, serta hasil hasil yang dicapai. Prinsip transparansi menurut Werimon, dkk (2007:8) meliputi 2 aspek, yaitu : komunikasi publik oleh pemerintah, dan hak masyarakat terhadap akses informasi. Pemerintah diharapkan membangun komunikasi yang luas dengan masyarakat berkaitan dengan berbagai hal dalam kontek pembangunan yang berkaitan dengan masyarakat. Masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui berbagai hal yang dilakukan oleh pemerintah dalam melaksanakan tugas pemerintahan. Werimon (2007:8) menyebutkan bahwa, kerangka konseptual dalam membangun transparansi organisasi sektor publik dibutuhkan empat komponen yang terdiri dari : 1. Adanya sistem pelaporan keuangan, 2. Adanya sistem pengukuran kinerja, 3. Dilakukannya auditing sektor publik, 4. Berfungsinya saluran akuntabilitas publik (channel of accountability). Lebih lanjut dikatakan anggaran yang disusun oleh pihak eksekutif dikatakan tranparansi jika memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut :

1. Terdapat pengumuman kebijakan anggaran 2. Tersedia dokumen anggaran dan mudah diakses 3. Tersedia laporan pertanggungjawaban yang tepat waktu 4. Terakomodasinya suara/usulan rakyat 5. Terdapat sistem pemberian informasi kepada publik. Asumsinya semakin transparan kebijakan publik, yang dalam hal ini APBN maka pengawasan yang dilakukan oleh Dewan akan semakin meningkat karena masyarakat juga terlibat dalam mengawasi kebijkan publik tersebut. Transparansi penyelenggaraan pemerintah daerah dalam hubungannnya dengan pemerintah daerah perlu kiranya perhatian terhadap beberapa hal berikut : 1. Publikasi dan sosialisasi kebijakan kebijakan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, 2. Publikasi dan sosialisasi regulasi yang dikeluarkan pemerintah daerah tentang berbagai perizinan dan prosedurnya, 3. Publikasi dan sosialisasi tentang prosedur dan tata kerja dari pemerintah daerah, 4. Transparansi dalam penawaran dan penetapan tender atau kontrak proyekproyek pemerintah daerah kepada pihak ketiga, 5. Kesempatan masyarakat untuk mengakses informasi yang jujur, benar dan tidak diskriminatif dari pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah (Rahmanurrasjid, 2008:86). 2.1.4.3. Indikator Transparansi Menurut Krina (2003) dalam Rahmanurrasjid (2008:87-88) prinsip transparansi diatas dapat diukur melalui sejumlah indikator seperti : 1. Mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi dari semua proses proses pelayanan publik,

2. Mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses didalam sektor publik, 3. Mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran informasi maupun penyimpangan tindakan aparat publik didalam kegiatan melayani. 2.1.4.4. Transparansi Pengelolaan Keuangan Daerah Dalam ranah keuangan publik, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas dalam keuangan publik. Laporan keuangan memang merupakan salah satu hasil dari transparansi dan akuntabilitas keuangan publik, dan ini berarti laporan keuangan yang disusun pun harus memenuhi syarat akuntabilitas dan transparansi. Mardiasmo (2004:30) mengatakan tranparansi berarti keterbukaan (openness) pemerintah dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi. Pemerintah berkewajiban memberikan informasi keuangan dan informasi lainnya yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan oleh pihak pihak yang berkepentingan. Azas keterbukaan (transparansi) dalam penyelenggaran pemerintahan daerah adalah azas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaran pemerintahan daerah denga tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara. Penerapan azas transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah memberikan kesempatan kepada

masyarakat untuk mengetahui berbagai informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah secara benar, jujur dan tidak diskriminatif. Transparansi pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakat sehingga tercipta pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat. Manajemen kinerja yang baik adalah merupakan titik awal dari transparansi, untuk mencapai hal tersebut pemerintah harus menangani dengan baik kinerjanya dengan memperhatikan 2 aspek transparansi, yaitu : komunikasi publik oleh pemerintah, dan hak masyarakat terhadap akses informasi. Transfaransi harus seimbang, juga menyangkut kebutuhan akan kerahasiaan lembaga maupun informasi informasi yang mempengaruhi hak dan privasi individu. 2.1.5. Pengawasan Pengawasan merupakan suatu rangkaian kegiatan pemantauan, pemeriksaan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan poilitik. Pengawasan dilakukan untuk menjamin semua kebijakan program dan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku. Pengawasan keungan daerah, dalam hal ini adalah pengawasan terhadap anggaran keuangan daerah/apbd. Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 42 menjelaskan bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan

daerah dan kerjasama internasional didaerah. Berdasarkan dari Undang-undang tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pengawasan keuangan daerah dilakukan oleh DPRD yang berfokus kepada pengawasan terhadap pelaksanaan APBD. Pengawasan terhadap pelaksanaan APBD wujudnya adalah dengan melihat, mendengar, dan mencermati pelaksanaan APBD yang dilakukan oleh SKPD, baik secara langsung maupun berdasarkan informasi yang diberikan oleh konstituen, tanpa masuk ke ranah pengawasan yang bersifat teknis. Apabila ada dugaan penyimpangan, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut : a. Memberitahukan kepada Kepala Daerah untuk ditindaklanjuti oleh Satuan Pengawas Internal. b. Membentuk pansus untuk mencari informasi yang lebih akurat. c. Menyampaikan adanya dugaan penyimpangan kepada instansi penyidik (Kepolisian, kejaksaan, dan KPK) (Fanindita, 2010) Pengawasan anggaran meliputi seluruh siklus anggaran, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pertanggungjawaban. Secara sederhana pengawasan anggaran merupakan proses pengawasan terhadap pelaksanaan perlu dilakukan, hal ini bertujuan untuk memastikan seluruh kebijakan publik yang terkait dengan siklus anggaran dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dan berorientasi pada prioritas publik. Namun sebelum sampai pada tahap pelaksanaan, anggota dewan harus mempunyai bekal pengetahuan mengenai anggaran sehingga nanti ketika melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran, anggota dewan telah dapat mendeteksi apakah ada terjadi kebocoran atau penyimpangan alokasi anggaran.

Pengawasan anggaran secara yuridis telah diatur baik di tingkat Undangundang, peraturan pemerintah dan juga dalam peraturan daerah mengenai pengelolaan keuangan daerah. Dalam konteks pengelolaan keuangan, pengawasan terhadap anggaran dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 132 yang menyatakan bahwa DPRD melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah tentang APBD. Pengawasan tersebut bukan berarti pemeriksaan, tapi lebih mengarah pada pengawasan untuk menjamin pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam APBD. Hal ini sesuai juga dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa untuk menjamin pencapaian sasaran yang telah ditetapkan, DPRD melakukan pengawasan atas pelaksanaan APBD. Ini berarti bahwa pengawasan yang dilakukan oleh DPRD merupakan pengawasan eksternal dan ditekankan pada pencapaian sasaran APBD. Pengawasan merupakan tahap integral dengan keseluruhan tahap pada penyusunan dan pelaporan APBD. Pengawasan diperlukan pada setiap tahap bukan hanya pada tahap evaluasi saja (Mardiasmo, 2001) Pengawasan yang dilakukan oleh dewan dimulai pada saat penyusunan APBD, pelaksanaan APBD, perubahan APBD dan pertanggungjawaban APBD (Modjo, 2007). Pengawasan terhadap APBD penting dilakukan untuk memastikan yaitu : 1. Alokasi anggaran sesuai dengan prioritas daerah dan diajukan untuk kesejahteraan masyarakat, 2. Menjaga agar penggunaan APBD ekonomis, efisien dan efektif dan

3. Menjaga agar pelaksanaan APBD benar-benar dapat dipertanggungjawabkan atau dengan kata lain bahwa anggaran telah dikelola secara transparan dan akuntabel untuk meminimalkan terjadinya kebocoran (Alamsyah, 1977). Untuk dapat melaksanakan pengawasan terhadap APBD anggota dewan harus memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang anggaran mulai dari mekanisme penyusunan anggaran sampai kepada pelaksanaannya. 2.2. Review Penelitian Terdahulu (Theoritical Mapping) Tuasikal (2007) melakukan penelitan tentang pengaruh pemahaman sistem akuntansi pengelolaan keuangan daerah terhadap Kinerja satuan kerja di Pemerintah Daerah di Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku. Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa secara parsial menunjukkan bahwa pemahaman system akuntansi dan pengelolaan keuangan daerah berpengaruh terhadap kinerja SKPD. Secara simultan menunjukkan bahwa pemahaman system akuntansi keuangan daerah dan pengelolaan keuangan daerah berpengaruh terhadap kinerja satuan kerja. Haykal (2007) melakukan penelitan tentang analisis peran dan fungsi SKPD dalam pengelolaan keuangan daerah serta pengaruhnya terhadap kinerja SKPD (Studi kasus pada Pemkab Aceh Timur). Hasil penelitan tersebut bahwa perencanaan anggaran, penyusunan anggaran, pelaksanaan anggaran dan pelaporan anggaran berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja SKPD. Pangastuti (2008) melakukan penelitan tentang pengaruh partisipasi penganggaran dan kejelasan sasaran anggaran terhadap kinerja manajemen

pemerintah daerah dengan komitmen organisasi sebagai moderator (Studi pada Kabupaten Timor Tengah Utara). Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi penganggaran berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja manajerial. Syahrida (2009) melakukan penelitian tentang pengaruh pemahaman system akuntansi keuangan daerah dan pengelolaan keuangan daerah terhadap kinerja SKPD di Provinsi Sumatera Utara. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa secara parsial pemahaman system akuntansi keuangan daerah berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja manajerial SKPD, sedangkan pengelolaan keuangan daerah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja manajerial SKPD. Garini (2011) melakukan penelitian tentang pengaruh transparansi dan akuntabilitas terhadap kinerja instansi pemerintah pada Dinas Kota Bandung. Hasil penelitiannya menunjukkan secara simultan dan parsial akuntabilitas memberikan kontribusi atau pengaruh positif terhadap kinerja dinas di kota Bandung. Ratih (2012) melakukan penelitan tentang pengaruh pemahaman sistem akuntansi keuangan daerah, penatausahaan keuangan daerah dan pengelolaan barang milik daerah terhadap kinerja SKPD pada pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman sistem akuntansi keuangan daerah, penatausahaan keuangan daerah dan pengelolaan barang milik daerah berpengaruh secara simultan terhadap kinerja SKPD. Tinjauan penelitan terdahulu berupa tahun penelitian, nama penelitan, variabel penelitian dan hasil penelitan dapat dilihat pada tabel 2.1. (Lampiran I)