IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakterisasi mikroskopik yang pertama dilakukan adalah analisis

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 3.1 Efisiensi proses kalsinasi cangkang telur ayam pada suhu 1000 o C selama 5 jam Massa cangkang telur ayam. Sesudah kalsinasi (g)

HASIL DAN PEMBAHASAN. didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kemudian larutan yang dihasilkan diendapkan

dengan panjang a. Ukuran kristal dapat ditentukan dengan menggunakan Persamaan Debye Scherrer. Dilanjutkan dengan sintering pada suhu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0

SINTESIS DAN KARAKTERISASI KOMPOSIT APATIT-KITOSAN DENGAN METODE IN-SITU DAN EX-SITU ASTRI LESTARI

3.5 Karakterisasi Sampel Hasil Sintesis

KARAKTERISASI BIOKOMPOSIT APATIT-KITOSAN DENGAN XRD ( X-RAY DIFFRACTION),

1.2. Tujuan Penelitian 1.3. Tempat dan Waktu Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cangkang Telur 2.2. Mineral Tulang

METODOLOGI PENELITIAN

Potensi Kerang Ranga sebagai Sumber Kalsium dalam Sintesis Biomaterial Substitusi Tulang

Uji Kekerasan Sintesis Sintesis BCP HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Bahan Dasar

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pori

Keywords: Blood cockle shell, characterization, hydroxyapatite, hydrothermal.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

SINTESIS DAN KARAKTERISASI β-tricalcium PHOSPHATE DARI CANGKANG TELUR AYAM DENGAN VARIASI SUHU SINTERING

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil XRD

BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN

Sintesis dan Karakterisasi Bone Graft dari Komposit Hidroksiapatit/Kolagen/Kitosan (HA/Coll/Chi) dengan Metode Ex-Situ sebagai Kandidat Implan Tulang

HASIL DAN PEMBAHASAN

SINTESIS DAN KARAKTERISASI β-tricalcium PHOSPHATE BERBASIS CANGKANG KERANG RANGA PADA VARIASI SUHU SINTERING

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keterangan Gambar 7 : 1. Komputer 2. Ocean Optic USB 2000 Spektrofotometer

Pengaruh Sintering dan Penambahan Senyawa Karbonat pada Sintesis Senyawa Kalsium Fosfat

IDENTIFIKASI PENGARUH VARIASI UKURAN BUTIRAN TERHADAP UNSUR DAN STRUKTUR KRISTAL CANGKANG TELUR AYAM RAS

SINTESA HIDROKSIAPATIT DENGAN MEMANFAATKAN LIMBAH CANGKANG TELUR: KARAKTERISASI DIFRAKSI SINAR-X DAN SCANNING ELECTRON MICROSCOPY (SEM)

OBSERVASI MORFOLOGI DAN KOMPOSISI HIDROKSIAPATIT YANG TERBUAT DARI CANGKANG TELUR AYAM KAMPUNG DAN AYAM RAS CUCU CAHYATI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven, neraca analitik,

SINTESIS DAN KARAKTERISASI KOMPOSIT APATIT-KITOSAN DENGAN METODE IN-SITU DAN EX-SITU ASTRI LESTARI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 1 Ikan alu-alu (Sphyraena barracuda) (

SPEKTROSKOPI INFRAMERAH, SERAPAN ATOMIK, SERAPAN SINAR TAMPAK DAN ULTRAVIOLET HIDROKSIAPATIT DARI CANGKANG TELUR FIFIA ZULTI

BAB III EKSPERIMEN. 1. Bahan dan Alat

KAJIAN KOMPOSISI HIDROKSIAPATIT YANG DISINTESIS DENGAN METODE HIDROTERMAL NURUL YULIS FA IDA

Sintesis Hidroksiapatit dari Cangkang Kerang Darah (Anadara granosa) dengan Proses Hidrotermal Variasi Rasio Mol Ca/P dan Suhu Sintesis

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Sintesis Nano-Komposit Hidroksiapatit/Kitosan (nha/cs)

SINTESIS β-tricalcium PHOSPHATE DENGAN SUMBER KALSIUM DARI CANGKANG TELUR AYAM MAYA KUSUMA DEWI

PEMBUATAN KOMPOSIT POLIMER-KALSIUM FOSFAT KARBONAT: SPEKTROSKOPI SERAPAN ATOMIK, ULTRAVIOLET DAN FOURIER TRANSFORM INFRARED TAOFIK JASA LESMANA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Densitas Abu Vulkanik Milling 2 jam. Sampel Milling 2 Jam. Suhu C

SINTESIS DAN KARAKTERISASI HIDROKSIAPATIT DARI CANGKANG KERANG RANGA BALGIES

SINTESIS KOMPOSIT HIDROKSIAPATIT DENGAN VARIASI 10-50% KITOSAN TATY DIANAWATI

PENUMBUHAN KRISTAL APATIT DARI CANGKANG TELUR AYAM DAN BEBEK PADA KITOSAN DENGAN METODE PRESIPITASI

BAB IV. karakterisasi sampel kontrol, serta karakterisasi sampel komposit. 4.1 Sintesis Kolagen dari Tendon Sapi ( Boss sondaicus )

PEMANFAATAN LIMBAH CANGKANG TELUR AYAM DAN BEBEK SEBAGAI SUMBER KALSIUM UNTUK SINTESIS MINERAL TULANG

SINTESIS DAN KARAKTERISASI HIDROKSIAPATIT DARI CANGKANG TELUR AYAM RAS (Gallus gallus) MENGGUNAKAN METODE PENGENDAPAN BASAH

BAB III METODE PENELITIAN. bulan Agustus 2011 sampai bulan Januari tahun Tempat penelitian

I. PENDAHULUAN. tulang dan gigi diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan sel-sel yang akan

Pengaruh Waktu Ageing dan Kecepatan Pengadukan Pada Sintesis Hidroksiapatit dari Cangkang Telur dengan Metode Presipitasi

STUDI KARAKTERISTIK HIDROKSIAPATIT DARI CANGKANG TELUR AYAM RAS DAN AYAM KAMPUNG RATIH WIDYANING TYAS

BAB I PENDAHULUAN. karies gigi (Wahyukundari, et al., 2009). Berdasarkan hasil riset dasar yang

SINTESIS HIDROKSIAPATIT BERPORI DARI CANGKANG TELUR AYAM DENGAN MATRIKS SELULOSA NATA DE COCO DAN NATRIUM ALGINAT SUGANDI

SINTESIS HIDROKSIAPATIT BERPORI DARI CANGKANG TELUR AYAM DAN POROGEN DARI KITOSAN INDRI PUTRI SITORESMI

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Konversi Kulit Kerang Darah (Anadara granosa) Menjadi Serbuk Hidroksiapatit

BAB 4 DATA DAN ANALISIS

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan

ANALISIS FASA KARBON PADA PROSES PEMANASAN TEMPURUNG KELAPA

Sintesis Hidroksiapatit dari Cangkang Telur dengan Metode Presipitasi

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

4 Hasil dan Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBUATAN KOMPOSIT POLIMER-KALSIUM FOSFAT KARBONAT : KARAKTERISASI X-RAY DIFFRACTION (XRD) DAN SCANNING ELECTRON MICROSCOPY (SEM) PRIYO PUJI WALUYO

HASIL DAN PEMBAHASAN

PELAPISAN HIDROKSIAPATIT BERBASIS CANGKANG TELUR PADA LOGAM STAINLESS STEEL 316 DENGAN METODE DEPOSISI ELEKTROFORETIK CARYONO

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Modifikasi Ca-Bentonit menjadi kitosan-bentonit bertujuan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN. preparsai sampel dan pembakaran di furnace di Laboratorium Fisika Material

BAB II TEORI DASAR. 1. Hydroxyapatite

LAMPIRAN A HASIL ANALISIS AAS. Dari analisis AAS diperoleh nilai absorbansi untuk masing masing 0,2 0,024 0,4 0,0342 0,6 0,045 0,8 0, ,0602

KAJIAN STRUKTUR DAN MORFOLOGI HIDROKSIAPATIT YANG DISINTESIS MENGGUNAKAN METODE HIDROTERMAL BAGOES PERMADA

KARAKTERISTIK GIGI YANG TERPAPAR ASAM SUNTI (Averrhoa bilimbi L)

SPEKTROSKOPI INFRAMERAH, SERAPAN ATOMIK, SERAPAN SINAR TAMPAK DAN ULTRAVIOLET HIDROKSIAPATIT DARI CANGKANG TELUR FIFIA ZULTI

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tulang adalah jaringan ikat yang keras dan dinamis (Kalfas, 2001; Filho

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi

ANALISIS DERAJAT KRISTALINITAS, UKURAN KRISTAL DAN BENTUK PARTIKEL MINERAL TULANG MANUSIA BERDASARKAN VARIASI UMUR DAN JENIS TULANG MELLY NURMAWATI

SINTESIS DAN KARAKTERISASI SERBUK HIDROKSIAPATIT SKALA SUB-MIKRON MENGGUNAKAN METODE PRESIPITASI

CANGKANG TELUR AYAM RAS DENGAN VARIASI KOMPOSISI DAN PENGARUHNYA TERHADAP POROSITAS, KEKERASAN, MIKROSTRUKTUR, DAN KONDUKTIVITAS LISTRIKNYA

I. PENDAHULUAN. kebudayaan manusia. Menurut sejarah, keramik sudah dikenal oleh orang-orang

SINTESIS DAN PENCIRIAN HIDROKSIAPATIT DARI LIMBAH CANGKANG KERANG HIJAU DENGAN METODE KERING CHAECAR HIMAWAN SISWANTO

SINTESIS HIDROKSIAPATIT BERBAHAN DASAR PRECIPITATED CALCIUM CARBONATE (PCC) DENGAN METODE BASAH-PENGENDAPAN

TINJAUAN PUSTAKA Tulang

PROSES PELAPISAN SERBUK Fe-50at.%Al PADA BAJA KARBON DENGAN PENAMBAHAN Cr MELALUI METODA PEMADUAN MEKANIK SKRIPSI

Deskripsi. SINTESIS SENYAWA Mg/Al HYDROTALCITE-LIKE DARI BRINE WATER UNTUK ADSORPSI LIMBAH CAIR

PENGARUH PENAMBAHAN LARUTAN MgCl 2 PADA SINTESIS KALSIUM KARBONAT PRESIPITAT BERBAHAN DASAR BATU KAPUR DENGAN METODE KARBONASI

Perhitungan Energi Disosiasi Gugus Fungsi OH - dan PO 4

WULAN NOVIANA ( )

THE INFLUENCE OF CITHOSAN CONCENTRATION VARIATION OF HYDOXYAPATITE SCAFFOLD SPONGE ON CRYSTALINITY AND PORE SIZE

PEMBUATAN KOMPOSIT KITIN/KITOSAN YANG DIEKSTRAK DARI CANGKANG KEPITING DAN KARAKTERISASINYA. Oleh: Fitrah Rama Dhony S. ABSTRAK

4. Hasil dan Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

Sintesis Hidroksiapatit Dari Kulit Kerang Darah Dengan Metode Hidrotermal Suhu Rendah

PENUMBUHAN KRISTAL APATIT DARI CANGKANG TELUR AYAM DAN BEBEK PADA KITOSAN DENGAN METODE PRESIPITASI

Spektroskopi Difraksi Sinar-X (X-ray difraction/xrd)

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di

I. PENDAHULUAN. fosfat dan kalsium hidroksida (Narasaruju and Phebe, 1996) dan biasa dikenal

Transkripsi:

9 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. HASIL 4.1.1. Difraksi Sinar-X Sampel Analisis XRD dilakukan untuk mengetahui fasa apa saja yang terkandung di dalam sampel, menghitung derajat kristalinitas sampel, parameter kisi kristal dan ukuran kristal sampel. Pola yang didapat dibandingkan dengan data JCPDS 9-432 (HAp), JCPDS 35-180 (AKA), JCPDS 19-272 (AKB) dan JCPDS 44-0778 (OKF). Berikut adalah pola hasil analisa XRD masing-masing sampel Gambar 12 Pola XRD Insitu 1 (B1) Gambar 9 Pola XRD Kitosan Murni Gambar 13 Pola XRD Insitu 2 (B2) Gambar 10 Pola XRD Kontrol 1 (A1) Gambar 14 Pola XRD Eksitu 1 (C1) Gambar 11 Pola XRD Kontrol 2 (A2) Gambar 15 Pola XRD Eksitu 2 (C2)

10 Gambar 9 memperlihatkan pola XRD kitosan murni yang menunjukkan adanya beberapa sudut dengan intensitas cukup tinggi yaitu pada 2θ = 19.84 0 dan 20.06 0. Gambar 10 memperlihatkan pola XRD dari kontrol ulangan pertama (A1), puncak tertinggi dimiliki oleh HAp yakni pada sudut 2θ = 31.84 0. Sampel A2 pada sudut 2θ = 31.88 0 (Gambar 11), B1 pada sudut 2θ = 31.94 0 (Gambar 12), B2 pada sudut 2θ = 31.76 0 (Gambar 13), C1 pada sudut 2θ = 31.96 0 (Gambar 14) dan sampel C2 pada sudut 2θ = 31.9 0 (Gambar 15). Mayoritas puncak yang teridentifikasi dari keenam sampel adalah milik HAp, meskipun mineral apatit masih muncul pada puncak-puncak tertentu, seperti pada sampel C1 puncak tertinggi tidak hanya dimiliki oleh HAp tapi juga milik AKB (Gambar 14). Sampel apatit-kitosan yang diperoleh dengan metode insitu dan eksitu, pola XRD yang dihasilkan memperlihatkan bahwa telah muncul puncak milik kitosan di beberapa sudut, namun intensitasnya lebih rendah dibandingkan pada kitosan murni. Sampel B1 pada sudut 2θ = 19.62 0 dan 22.12 0, B2 pada sudut 2θ = 19.68 0, C1 pada sudut 2θ = 20.02 0 yang merupakan puncak bersama dengan OKF dan pada 21.9 0 merupakan puncak bersama dengan HAp. Sampel C2 pada sudut 2θ = 19.9 0 merupakan puncak bersama dengan OKF dan pada sudut 20.16 0 Tabel 3 memperlihatkan derajat kristalinitas sampel yang diperoleh langsung dengan program dari alat karakterisasi XRD. Derajat kristalinitas kontrol dengan 2 kali ulangan (A1 dan A2) memiliki nilai 85.20% dan 80.15%. Kedua sampel ini memiliki derajat krisatinitas yang paling tinggi dibandingkan dengan sampel lainnya. Sampel insitu memiliki derajat kritalinitas sebesar B1 = 55.28% dan B2 = 56.87%. Sedangkan untuk sampel eksitu memiliki derajat krisalinitas sebesar C1 = 75.49% dan C2 = 77.58%. Sampel B1 dan B2 memiliki derajat yang paling rendah dibandingkan sampel kontrol dan eksitu. Tabel 4 memperlihatkan hasil perhitungan ukuran kristal. Ukuran kristal dihitung dengan menggunakan persamaan Scherrer pada bidang 002 k D Cos dengan β merupakan FWHM (Full width at half maximum) dari garis difraksi skala 2θ pada bidang 002, λ merupakan panjang gelombang yang digunakan pada alat XRD (nilainya adalah 0.15406 nm) dan k adalah konstanta untuk material biologi (nilainya sebesar 0.94)[23]. Ukuran kristal sampel dengan dua kali pengulangan berkisar sekitar 25-29 nm. Perhitungan ukuran kristal dapat dilihat pada Lampiran 9. Tabel 5 memperlihatkan hasil perhitungan parameter kisi. Perhitungan parameter kisi dapat dilihat pada Lampiran 8. Nilai parameter kisi keenam sampel menunjukkan bahwa keenam sampel tersebut adalah HAp dengan tingkat akurasi nilai a dan c rata -rata mencapai 99 %. Tabel 3 Derajat kristalinitas sampel Kode Sampel Kristalinitas (%) A1 85.20 A2 80.15 B1 55.28 B2 56.87 C1 75.49 C2 77.58 Tabel 4 Ukuran kristal sampel Kode Sampel β/2 (deg) β/2 (rad) D 002 (nm) A1 0.28665 0.00500 29.717 A2 0.32835 0.00573 25.943 B1 0.305 0.00532 27.935 B2 0.29165 0.00509 29.208 C1 0.31 0.00541 27.485 C2 0.32 0.00558 26.622 Tabel 5 Parameter kisi sampel Kode Parameter Kisi Sampel a (Å) Akurasi % c (Å) Akurasi % A1 9.358 99.2204 6.8913 99.851 A2 9.481 99.4835 6.8751 99.915 B1 9.460 99.6998 6.9204 99.428 B2 9.499 99.2727 6.9426 99.105 C1 9.349 99.2175 6.8091 98.955 C2 9.519 99.0744 6.914 99.526

11 4.1.2. FTIR (Fourier Transform Infrared ) Sampel Analisis FTIR untuk mengetahui gugus fungsi yang terkandung dalam sampel. Spektrum transmitansi IR keenam sampel diperlihatkan pada Gambar 16-22. Tabel 6 memperlihatkan bilangan gelombang gugusgugus fungsi yang dimiliki oleh keenam sampel. Sampel A1 memiliki gugus fungsi OH pada bilangan gelombang 3434 cm -1 dan 1641 cm -1, gugus PO 4 stretching pada bilangan gelombang sekitar 1098-963 cm -1 dan PO 4 bending pada 604-471 cm -1, gugus CO 3 (ν 2 ) pada bilangan gelombang 874 cm -1 dan CO 3 (ν 3 ) pada 1567-1418 cm -1. Sampel A2 memiliki gugus fungsi OH pada bilangan gelombang 3431 cm -1 dan 1637 cm -1. gugus PO 4 stretching pada bilangan gelombang sekitar 1035 cm -1, 962 cm -1 dan PO 4 bending pada 604-471cm 1, gugus CO 3 (ν 2) pada bilangan gelombang 875 cm -1 dan CO 3 (ν 3 ) pada 1574-1404 cm -1. Sampel B1memilki gugus fungsi OH pada bilangan gelombang 3420 cm -1 dan 3171 cm -1 yang bertumpukan dengan gugus fungsi NH milik kitosan sehingga nilai transmitansinya terlihat lebih lebar dan pada bilangan gelombang 1648 cm -1 yang bertumpukkan dengan gugus fungsi amida I milik kitosan, gugus PO 4 stretching pada bilangan gelombang sekitar 1097cm -1 dan 1031 cm -1 dan PO 4 bending pada 603-475 cm -1, gugus C-OH pada bilangan gelombang 896 cm -1 dan CO 3 (ν 3 ) pada 1564 cm -1 yang bertumpukkan dengan gugus fungsi amida II milik kitosan, 1403 dan 1343 cm -1. Sampel B2 memilki gugus fungsi OH pada bilangan gelombang 3419-3231 cm -1 yang bertumpukan dengan gugus fungsi NH milik Tabel 6. Pola pita absorbsi sample hasil FTIR kitosan sehingga nilai transmitansinya terlihat lebih lebar, gugus PO 4 stretching pada bilangan gelombang sekitar 1033 cm -1 dan PO 4 bending pada 604-471cm -1, gugus C-OH pada bilangan gelombang 894 cm -1 dan CO 3 (ν 3 ) pada 1574 cm -1 yang bertumpukkan dengan gugus fungsi amida II milik kitosan, pada 1424 cm -1, selain itu pada bilangan gelombang 1300 cm -1 yang bertumpukkan dengan gugus fungsi miliki C-O, gugus fungsi C-H muncul pada bilangan gelombang 2930 cm -1. Sampel C1 memilki gugus fungsi OH pada bilangan gelombang 3415-3176 cm -1 yang bertumpukan dengan gugus fungsi NH milik kitosan sehingga nilai transmitansinya terlihat lebih lebar dan pada bilangan gelombang 1640 cm -1 yang bertumpukkan dengan gugus fungsi amida I milik kitosan, gugus PO 4 stretching pada bilangan gelombang 1031 cm -1 dan PO 4 bending pada 604-475 cm -1, gugus C-OH pada bilangan gelombang 897 cm -1 dan CO 3 (ν 3 ) pada 1567 cm -1 yang bertumpukkan dengan gugus fungsi amida II milik kitosan, dan pada 1403-1311 cm -1. Sampel C2 memilki gugus fungsi OH pada bilangan gelombang 3431-3176 cm -1 yang bertumpukan dengan gugus fungsi NH milik kitosan sehingga nilai transmitansinya terlihat lebih lebar PO 4 stretching pada bilangan gelombang sekitar 1033 cm -1 dan PO 4 bending pada 604-470cm -1, gugus C-OH pada bilangan gelombang 894 cm -1 dan CO 3 (ν 3 ) pada 1574 cm -1 yang bertumpukkan dengan gugus fungsi amida II milik kitosan, 1403 cm -1 selain itu pada bilangan gelombang 1300 cm -1 yang bertumpukkan dengan gugus fungsi miliki C-O, gugus fungsi C-H muncul pada bilangan gelombang 2929 cm -1. Kode sampel PO 4 stretching A1 1098;1087; 1075;1051; 1023;963 PO 4 bending 604;566; 471 A2 1035;962 604;565; 471 B1 1097;1031 603;564; 475 B2 1033 604;564; 471 C1 1031 604;563; 475 Pola absorbsi (cm -1 ) CO 3 (υ 2) CO 3 (υ 3) OH C-OH N-H C-H Amida I Amida II 874 1567;1453; 1418 875 1574;1454;1 404-1564;1403;1 343-1574;1424; 1300-1567;1403; 1342;1311 3434;1641 - - - - - 3431;1637 - - - - - 3420;3171;1 648 3419;3182;3 268;3231 3415;3165;1 640 896 3420; 3171 894 3419; 3182; 3268; 3231 897 3415; 3165-1648 1564 2930-1574 - 1640 1567 C2 1033 604;564; 470-1574;1403; 1300 3431;3308;3 176 894 3431; 3308; 3176 2929-1574

12 Gambar 16 Pola FTIR Kitosan Murni Gambar 19 Pola FTIR Insitu 1 (B1) Gambar 17 Pola FTIR Kontrol 1 (A1) Gambar 20 Pola FTIR Insitu 2 (B2) Gambar 18 Pola FTIR Kontrol 2 (A2) Gambar 21 Pola FTIR Eksitu 1 (C1)

13 Gambar 22 Pola FTIR Eksitu 2 (C2) Gambar 24 Morfologi kitosan murni Tabel 7 Derajat Belah Spektra FTIR pada pita vibrasi PO 4 (ν 4 ) Sampel Sampel Derajat belah A1 1.067729 B1 1.056865 C1 1.066406 A2 1.174699 B2 1.095164 C2 1.112745 4.1.3. Morfologi dan EDXA (EnergyDispersive X-Ray Analysis ) Sampel Analisis morfologi dilakukan dengan karakterisasi SEM dan untuk melihat kandungan Ca dan P pada sampel dilakukan analisis EDXA. Berikut hasil dari karakterisasi SEM pada sampel (Gambar 23.26) dengan perbesaran 10000x. Tabel 7 memperlihatkan rasio Ca/P dari sampel dengan melihat kandungan Ca dan P dari hasil EDXA. Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 10. Gambar 25 Morfologi Sampel Insitu (B) Gambar 26 Morfologi Sampel Eksitu (C) Gambar 23 Morfologi Sampel Kontrol (A)

14 Tabel 8 Rasio Molaritas Ca/P Sampel Kode Sampel Ca/P Kontrol 1.817 Insitu 1.733 Eksitu 1.934 4.1.4. Kekerasan Sampel Analisis tingkat kekerasan sampel dilakukan dengan uji Vickers. Berikut hasil dari uji tingkat kekerasan sampel. Tabel 8 memperlihatkan hasil dari uji kekerasan sampel. Sampel memiliki tingkat kekerasan masing-masing untuk A1= 2.761 HV, A2 = 2.815 HV, B1 = 3.312 HV, B2 = 3.098 HV, C1 = 4.489 HV dan sampel C2 sebesar 3.473 HV. Hasilnya menunjukkan sampel biokomposit apatit kitosan dengan metode eksitu memilki tingkat kekerasan yang paling besar dibandingkan dengan metode insitu. Secara umum sampel apatit yang telah dikompositkan dengan kitosan memiliki tingkat kekerasasan yang lebih besar dibandingkan dengan sampel tanpa penambahan kitosan (kontrol) Tabel 9 Nilai kekerasan sampel. Kode Sampel Jarak rata-rata VHN (HV) A1 180.0 2.862 188.0 2.623 182.0 2.799 A2 131 119 137 B1 170.0 167.0 180.0 B2 123.5 128.5 116 C1 120.0 160.0 165.0 C2 120 115 112 2.701 3.274 2.470 3.208 3.325 2.862 3.0396 2.808 3.445 6.439 3.622 3.406 3.219 3.505 3.696 VHN ratarata (HV) 2.761 2.815 3.312 3.098 4.489 3.473 4.1.5. Massa Biokomposit Lampiran 2 memperlihatkan massa biokomposit apatit-kitosan merupakan massa gabungan bahan yakni CaO, (NH 4 ) 2 HPO 4 dan kitosan. Hasilnya memperlihatkan bahwa massa gabungan yang diperoleh dari hasil perhitungan lebih besar dibandingkan massa hasil eksperimennya. Begitupun pada sampel kontrol massa eksperimen lebih kecil hingga separuhnya dibandingkan massa gabungan antara CaO dan (NH 4 ) 2 HPO 4. 4.2. PEMBAHASAN 4.2.1. Analisis XRD Hasil dari pola XRD sampel dengan dua kali pengulangan tidak berbeda nyata, peak tertinggi dari semua sampel merupakan milik HAp, walaupun masih muncul peak peak milik mineral apatit yang lainnya namun mayoritas peak sampel merupakan milik dari HAp. Artinya dalam semua sampel telah terbentuk apatit. Peak kitosan yang muncul pada sampel biokomposit apatit-kitosan intensitasnya sangat rendah. Intensitas peak kitosan yang rendah pada sampel setelah dikompositkan dengan apatiti disebabkan struktur kitosan yang lebih amorf dibandingkan kristal apatit. Apatit telah mengisi matrik kitosan, apatitkitosan telah menyebar seragam pada sampel sehingga intensitas kitosan yang terdeteksi menjadi lebih rendah. Munclnya puncak kitosan menunjukan bahwa penambahan kitosan sebagai matrik untuk kalsium fosfat telah berhasil Derajat kristalinitas adalah besaran yang menyatakan banyaknya kandungan kristal dalam suatu material dengan membandingkan luasan kurva kristal dengan penjumlahan luasan kristal dan amorf. Pola XRD yang terbentuk pada sampel B dan C memperlihatkan intensitas sampel secara keseluruhan naik dibandingkan sampel A, yang menunjukan sampel semakin amorf, hal ini dikarenakan kitosan menyebar seragam di dalam biokomposit. Tingkat kristalinitas yang diperoleh dari pola XRD tersebut pun menunjukan bahwa penambahan kitosan sebagai matriks mengakibatkan tingkat kristalinitas biokomposit apatit-kitosan menurun dibandingkan dengan dalam bentuk apatit saja. Sampel insitu memiliki tingkat kristalinitas yang lebih rendah dibandingkan dengan metode eksitu. Hal ini bisa terjadi karena kitosan yang menyebar pada

15 permukaan biokomposit lebih banyak jadi sampel bersifat lebih amorf. Penurunan tingkat kristalinitas biokomposit dibandingkan tingkat kristalinitas apatitnya mengindikasikan bahwa penambahan kitosan pada apatit sudah membentuk ikatan antara apatit dengan kitosan sebagai matriknya Ukuran kristal dihitung dengan menggunakan persamaan Scherrer (Lampiran 9). Ukuran kristal berbanding terbalik dengan harga FWHM. Semakin kecil nilai FWHM menunjukkan ukuran kristal yang semakin besar. Ukuran kristal dihitung pada bidang 002 karena karakteristik kehadiran HAp pada sampel ditandai dengan munculnya bidang 002 [24] Tabel 4 memperlihatkan bahwa ukuran kristal pada sampel ukuran kristalnya tidak berbeda secara signifikan ketika kitosan dikompositkan dengan apatit. Karena kitosan tidak mempengaruhi ukuran sampel apatit, kitosan berguna untuk mengikat apatit terlihat dari karakterisasi SEM biokomposit telah berbentuk granula. Parameter kisi dapat dihitung dengan menggunakan jarak antar bidang pada geometri kristal heksagonal. Perhitungan parameter kisi dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil perhitungan parameter kisi a dan c dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa parameter kisi berada pada kisaran nilai parameter HAp, sehingga dapat dikatakan bahwa fasa yang terbentuk adalah hidroksiapatit. Penambahan kitosan mempengaruhi nilai a dan c dari sampel. Hal ini akibat pengaruh gugus CO milik kitosan yang akan mengubah posisi HAp karena menggantikan gugus CO 3 dan atau OH, sehingga nilai c maupun a bisa bertambah atau berkurang. 4.2.2. Analisis FTIR Data hasil XRD didukung oleh data spektroskopi FTIR. Spektroskopi FTIR mengidentifikasikan gugus fungsi dalam sampel. Gugus- gugus fungsi yang teridentifikasi dari sampel dapat dilihat pada Tabel 6. Analisis hasil FTIR memperlihatkan telah terbentuknya apatit pada sampel A,B dan C dengan munculnya gugus fungsi PO 4, OH dan CO 3. Gugus fungsi N-H, C-H dan amida I dan amida II yang merupakan karakteritik dari kitosan, ternyata muncul pada sampel B dan C, artinya pada sampel B dan C telah terbentuk biokomposit apatitkitosan. Sampel dengan dua kali ulangan ternyata menghasilkan perbedaan gugus fungsi karakteristik kitosan yang muncul, pada sampel B1 dan C1 (ulangan pertama) muncul gugus fungsi amida II tapi tidak muncul gugus fungsi C-H, sedangkan pada sampel B2 dan C2 muncul gugus fungsi C-H namun gugus fungsi amida I tidak lagi muncul. Pada sampel ini pun terlihat terjadi tumpang tindih (overlapping) dibeberapa panjang gelombang seperti gugus fungsi N- H yang tumpang tindih dengan gugus fungsi OH. Terjadi overlapping pada beberapa bilangan panjang gelombang yang dimiliki kitosan dan apatit menunjukkan telah terjadi ikatan antara biopolimer kitosan dengan keramiknya yakni HAp. Teridentifikasinya gugus fungsi N-H dan C-H, amida I dan amida II pada sampel B1, B2, C1 dan C2, membuktikan bahwa telah berikatannya kitosan dengan kalsium fosfat. Artinya biokomposit apatit-kitosan telah berhasil terbentuk. Metode insitu dan eksitu yang dilakukan tidak memperlihatkan hasil yang berbeda secara signifikan, gugus fungsi yang muncul di kedua metode yang digunakan sama, hanya yang berbeda nilai transmitansi dan bilangan gelombangnya. Penurunan derajat kristalinitas pada spektra FTIR dapat diidentifikasi dari derajat belah pada pita vibrasi ν 4 PO 4 (Tabel 7). Semakin tinggi derajat belah pada pita tersebut menunjukkan bahwa kristalinitas meningkat. Derajat belah sampel mengalami penurunan setelah dilakukan penambahan kitosan yang paling banyak penurunnya pada sampel insitu (B1 dan B2). Hal ini menguatkan hasil derajat kristalinitas yang ditunjukkan dari karakterisasi XRD. Sampel biokomposit apatit-kitosan dengan menggunakan metode insitu memiliki nilai derajat kristalinitas yang paling rendah. Faktanya menunjukkkan bahwa penambahan kitosan menurunkan derajat kristalinitas biokomposit. 4.2.3. Analisis SEM dan EDXA Permukaan halus pada kitosan murni berangsur-angsur mulai terganggu dengan bergabungnya apatit (HAp) sehingga menghasilkan permukaan yang lebih kasar dari sebelumnya. Partikel HAp telah tumbuh dengan baik dalam matriks kitosan [9]. Partikel HAp dalam komposit menyebar seragam, dapat terlihat melalui matriks kitosan yang telah saling berhubungan antar sel. Bentuk pori-pori terlihat berubah dibandingkan sampel HAp sendiri, dalam

16 sampel kitosan murni pori-pori lebih datar dan ketika HAp bergabung pori-pori terlihat lebih banyak membulat dibanding datar [9]. Analisis dari hasil SEM dengan perbesaran 10.000x dalam sampel kitosan murni memperlihatkan (Gambar 24) poriporinya tampak lebih kecil.dan datar serta pemukaannya terlihat halus. Sedangkan pada sampel A1 yang merupakan sampel apatit tanpa penambahan kitosan (Gambar 23) morfologi permukaan sampelnya terlihat teratur, berbentuk butiran-butiran halus, butiran pada sampel yang paling besar sekitar 0.74 μm. Setelah terbentuk komposit aptit-kitosan (Gambar 25 dan 26) morfologi sampel terlihat membentuk bongkahan atau granula- granula, pori-pori menjadi lebih besar dan permukaan terlihat kasar. Sampel B1 yakni sampel apatit-kitosan dengan penambahan kitosan sebelum proses presipitasi (insitu), bongkahan yang terbentuk memiliki diameter sekitar 2.14 μm dan untuk sampel C1 yakni sampel apatitkitosan dengan penambahan kitosan setelah proses presipitasi (eksitu), bongkahan yang terbentuk berdiameter sekitar 2.154 μm. Bongkahan pada sampel B1 terlihat lebih kecil dibandingkan pada sampel C1 Bentuk bongkahan atau granula pada sampel B1 dan C1 menunjukan bahwa sudah terbentuk suatu komposit yakni ikatan antara kalsium fosfat dengan kitosan sebagai matriknya. Sehingga morfologi yang terlihat jauh berbeda dengan sampel A1 maupun sampel kitosan murni. Komposit apatit kitosan secara insitu dan eksitu tidak berbeda secara signifikan pada bentuk morfologinya, namun hasil analisis SEM ini menunjukkan bahwa komposit apatit-kitosan terbentuk dari jaringan atau ikatan berongga kecil yang dibentuk oleh matriks kitosan yang tertanam partikel apatit didalamnya Pengukuran EDXA dilakukan bersamaan dengan observasi SEM. Rasio molaritas Ca/P dapat dilihat pada Tabel 8. Rasio Ca/P pada Hap murni adalah 1.67[8]. Rasio pada sampel relatif lebih besar daripada rasio HAp. Hal ini dikarenakan starting material yang digunakan sebagai sumber CaO adalah cangkang telur yang masih mengandung CaCO 3, sehinggga setelah terjadi reaksi antara CaO dan (NH 4 ) 2 HPO 4 masih ada CaCO 3 yang tidak ikut berreaksi sehingga mempengaruhi jumlah Ca pada sampel. Selain itu kehadiran ion-ion tubuh akan memperbesar nilai rasio Ca/P terlihat dari hasil analisis FTIR munculnya gugus karbonat dan pada hasil analisis XRD pun muncul fasa milik AKA dan AKB maupun OKF, artinya ada ion-ion lain yang masuk ke dalam sampel pada saat proses presipitasi sehinggga nilai Ca/P jadi lebih besar dari 1.67 Nilai Ca/P didapatkan dengan menghitung mol Ca dan P dari persentase massa hasil EDXA dibagi dengan bobot atom Ca dan P, kemudian mol Ca dibagi mol P. Rasio molaritas Ca/P pada Tabel 7 memperlihatkan bahwa molaritas sampel C1 memiliki nilai paling besar dibandingkan sampel lainnya. Hal ini dikarenakan pada saat melakukan penambahan kitosan presipitat dibiarkan terbuka sehinggga dimungkinkan terjadi reaksi dengan udara dari luar sehingga nilai rasio Ca/P sampel menjadi lebih besar. Namun secara keseluruhan nilai rasio Ca/P sampel memang tidak tepat 1.67 namun masih mendekati nilai tersebut. 4.2.4. Analisis Uji Kekerasan Vickers Senyawa apatit biologi membentuk material tulang dalam bentuk padatan. Sehingga padatan yang dihasilkan dapat diukur tingkat kekerasannya dengan menggunakan Micro Hardnes Tester, alat yang digunakan adalah perangkat uji Vickers. Nilai kekerasan pada sampel terdapat pada Tabel 9. Nilai kekerasan tulang dalam satuan HV (Hardness Vickers). Nilai kekerasan sampel diukur pada tiga titik yang berbeda pada permukaan sampel, setiap titik memiliki nilai kekerasan yang berbeda. Hasil uji kekerasan pada Tabel 9 memperlihatkan bahwa penambahan kitosan pada sampel mengakibatkan nilai kekerasan sampel meningkat. Sampel C1 dan C2 memiliki nilai kekerasan paling besar diikuti sampel B1 dan B2. Sampel yang tidak diberikan tambahan kitosan memiliki kekerasan yang paling kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan kitosan menjadikan biokomposit memiliki sifat ulet, tidak seperti apatit yang bersifat getas dan rapuh. 4.2.5. Analisis Massa Biokomposit Massa sampel setelah ditambahkan kitosan ternyata lebih besar jika dibandingkan dengan massa kontrol, walaupun lebih kecil daripada massa perhitungan gabungan dari bahan yang digunakan. Hal ini mengindikasikan bahwa pada massa biokomposit memang terdapat

17 massa kitosan yang menyebabkan massa biokomposit lebih besar dibandingkan massa pada apatit saja. V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Pembuatan biokomposit apatit kitosan telah dapat dilakukan baik dengan metode insitu maupun eksitu. Karakterisasi XRD menunjukkan adanya puncak kitosan yang muncul pada sampel dengan intensitas yang lebih rendah dibandingkan kitosan murni, derajat kristalinitas semakin rendah setelah kitosan dikompositkan dengan apatit, hal ini terjadi karena kitosan menyebar seragam dipermukaan pada biokomposit sehingga lebih bersifat amorf. Fourier Transform Infrared (FTIR) mengidentifikasi adanya gugus fungsi N-H, C-H, amida I dan amida II yang muncul pada sampel insitu dan eksitu memperlihatkan bahwa kitosan telah berikatan dengan apatit sebagai biokomposit. Hasil Scanning Electron Microscopy (SEM) pun memperlihatkan bahwa morfologi dari sampel insitu dan eksitu yang berbentuk bongkahan, menunjukkan bahwa partikel apatit telah tertanam dengan baik pada kitosan sebagai matriksnya, artinya apatitkitosan telah saling berikatan. Hasil uji Vickers menunjukkan bahwa setelah kitosan dikompositkan dengan apatit nilai kekerasan biokomposit menjadi lebih besar, artinya biokomposit apatit-kitosan ini tidak lagi memiliki sifat getas tapi lebih ulet. Karakter sampel yang dihasilkan dengan metode insitu dan eksitu tidak terlalu berbeda secara signifikan, karena dari hasil X-Ray Diffraction (XRD), Fourier Transform Infrared (FTIR) maupun Scanning Electron Microscopy (SEM) tidak terlalu jauh berbeda. Namun untuk tingkat kekerasan sampel diperoleh yang paling besar pada sampel eksitu. 5.2. Saran Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk memvarisaikan konsentrasi kitosan maupun konsentrasi kalsium dan fosfat yang digunakan sehingga dapat diketahui pada konsentrasi berapa diperoleh biokomposit yang paling optimal. DAFTAR PUSTAKA 1 Baht, Sujata V.2002. Biomaterials. Pangbone England: Alpha Science International Ltd. 2 Darwin. D. 2008. Aplikasi Teknik Isotop dan Radiasi pada Pembuatan Biomaterial untuk Keperluan Klinis.http://nhc.batan.go.id [3 April 2009: 09.20] 3 Ramakrishna, S., Mayer, J., Wintermantel, E., Leong, K.W., Biomedical applications of polymercomposite materials:a review, pp.1189-1224,vol.61, Composites Science and Technology, 2001. 4 Riyani.E.2005.Karakterisasi Senyawa Kalsium fosfat Karbonat HAsil Presipitasi Menggunakan XRD,SEM,dan EDXA Pengaruh Perubahan Ion F - dan Mg + [Skripsi] Departemen Fisika.Fakultas Matematika dan IPA. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 5 Hincke.M.T, Tsang.C.P,Courtney. M, Hill.V, Narbaitz.R.Purification and Immunochenistry of a Soluble Matrix Protein of The Chicken Eggshell (Ovocleidin 17).Calsiff Tissue 1995;56(6):578-83.[Cited:1]. File://F:\ancs\meid54349.htm 6 Chang.R..Kimia Dasar Jilid 2 Konsep- Konsep Inti. PT.Erlangga: Jakarta 7 [Anonim].2007.Sistem Reproduksi Betina.Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN: Suska Riau. 8 Aoki.H.1991. Science and Medical Applications of Hydroxyapatite. Tokyo: Institute for Medical and Dental Engineering. Medical and Dental University 9 Yildirim,Oktay.2004. Preparation and Characterization of Chitosan/Calsium Phosphate Based Composite Biomaterials.[disertasi]. Turki: Departement Materials Science and Engineering, Mayor Materials Science and Engineering. Izmir Institute of Technology. 10 Kumar.MN, Muzzarelli RA,Muzzareli C, Sashiwa H, Domb Aj.2004. Chitosan chemistry and Pharmacentical