BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

dokumen-dokumen yang mirip
1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V PENUTUP. rahim kedaulatan internal sebuah negara pantai / kepulauan atas territorial laut dan

INSTRUKSI MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR IM 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAWASAN DOKUMEN KEPELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.07/MEN/2011 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR : PK.16/BPSDMP-2017 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kekayaan yang luar biasa bagi bangsa Indonesia. 1

PROGRAM STUDI NAUTIKA

4 PROFIL PENDIDIKAN MENENGAH KEJURUAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

B A B II PERENCANAAN KINERJA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG KEPELAUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Oleh. Capt. Purnama S. Meliala, MM

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG PEMBERDAYAAN INDUSTRI PELAYARAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. amanat Undang-Undang No.17 Tahun 2008 menjadi suatu yang sangat strategis

Tujuan umum dari jurusan Nautika adalah melatih para lulusan SMU/SMK/MA untuk menjadi perwira Pelayaran Besar (Samudra) bidang keahlian Nautika.

[Standar Pelayanan Minimum KM. Andalus] 1

2016, No Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 13, Tambahan Lemba

Laporan Hasil Penelitian Kelompok Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik Tahun Anggaran 2015

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENGESAHAN MARITIME LABOUR CONVENTION, 2006 (KONVENSI KETENAGAKERJAAN MARITIM, 2006)

KKOONSPKO KONSEP KO PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR : PK. 10/BPSDMP-2017 TENTANG

PEDOMAN PENYELENGGARAAN DIKLAT KETERAMPILAN KHUSUS PELAUT INTERNATIONAL MARITIME DANGEROUS GOODS (IMDG) CODE

PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR : PK.11/BPSDMP-2017 TENTANG

PENDAHULUAN Negara Kepulauan ( Archipelago State Inpres No. 5 Tahun 2005 dan UU 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Laporan Akhir Studi Penyusunan Kebutuhan Norma, Standar, Pedoman, dan Kriteria (NSPK)di Bidang Pelayaran KATA PENGANTAR

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Bab I. Pendahuluan. Globalisasi mencerminkan hubungan tanpa batas antara negara satu

BABl PENDAHULUAN. Keselamatan pelayaran merupakan hal yang sangat penting dan

BAB 2. VISI DAN MISI PRESIDEN, SERTA SASARAN

KEAHLIAN PELAUT YANG HARUS DIMILIKI PERWIRA DEK DI KAPAL NIAGA Ade Chandra Kusuma Dosen Akademi Maritim Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN I-1 A. LATAR BELAKANG.

SI 2124 PENGANTAR SISTEM TRANSPORTASI

BAB V PENUTUP. yang mengalami kecelakaan di perairan Indonesia koordinasi terhadap

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. badan usaha, tentulah diikuti dengan risiko. Apabila risiko tesebut datang

2011, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Ne

STATUS REKOMENDASI KESELAMATAN SUB KOMITE INVESTIGASI KECELAKAAN PELAYARAN KOMITE NASIONAL KESELAMATAN TRANSPORTASI. Penerima Receiver.

JAKARTA (12/6/2015)

2 2. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 1, Tambahan Lem

2013, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negar

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Tabel. 1.1 Supply dan Demand Tenaga Kerja Pelaut

namun metode ini hanya dapat membekali operator kapal yang merupakan subyek langsung dari kecelakaan kapal.

REVITALISASI SMK KEMARITIMAN DALAM UPAYA MENUNJANG INDONESIA SEBAGAI POROS MARITIM

Auditorium KNKT, Kementerian Perhubungan 28 Desember Interviewing Techniques in Accident Investigation NTSC In-House Training

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

KAJIAN TEKNOLOGI KAPAL DAN POLA PELAYANAN PELAYARAN- RAKYAT SEBAGAI MASUKAN UNTUK PEMBERDAYAAN MELALUI PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN

MEDAN FLIGHT ACADEMY BAB 1 PENDAHULUAN

1 BAB I PENDAHULUAN. pelabuhan pelabuhan hub disertai feeder dari Sumatera hingga ke Papua dengan

I. PENDAHULUAN. adanya ketimpangan dan ketidakmerataan. Salah satu penyebabnya adalah

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah akan memicu peningkatan ekonomi serta mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara

LAPORAN TAHUNAN BP3IP JAKARTA 2016

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. setiap pulau di Indonesia yaitu sepanjang km yang menjadikan Indonesia menempati

BAB I PENDAHULUAN. Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula,

RUU SISTEM TRANSPORTASI NASIONAL DAN HARAPAN SISTEM TRANSPORTASI YANG TERINTEGRASI, AMAN, EFEKTIF, DAN EFISIEN

Ijazah yang diberikan untuk jurusan Teknika adalah : - Ijazah Akademik : Diploma III (A.Md) - Ijazah Profesi : ATT III (Ahli Teknika Tingkat III)

ANALISIS POTENSI DAN PANGSA PASAR GALANGAN- GALANGAN KAPAL DI PULAU BATAM

KEBUTUHAN PEGAWAI YANG BERASAL DARI LULUSAN SEKOLAH KEDINASAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

KOMPETENSI PELAUT DALAM PENERAPAN INTERNATIONAL SAFETY MANAJEMEN CODE (ISM- CODE)

KATA PENGANTAR. Studi Pengembangan Kemitraan Lembaga Pendidikan Pemerintah & Swasta Dalam Meningkatkan Kualitas & Kuantitas Tenaga Pelaut

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. itu keselamatan menjadi prioritas utama dalam operasi penerbangan.

BAB III PROFIL PERUSAHAAN. Lembaga non struktural di lingkungan Departemen Perhubungan.Melakukan

BAB III PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGADAAN KAPAL LAUT (VESSEL) yang terbagi atas beberapa Direktorat, antara lain Dirjen Perhubungan laut.

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

PEMBERDAYAAN ANGKUTAN LAUT NASIONAL DALAM RANGKA PELAKSANAAN AZAS CABOTAGE

BAB I PENDAHULUAN. tidak hanya terbatas untuk memenuhi dan mendapatkan pangan, sandang, dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

RINGKASAN EKSEKUTIF I. PENDAHULUAN

VISI DAN MISI DINAS PERHUBUNGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KABUPATEN TANAH DATAR

Bab I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan dimana masing-masing pulau

BAB VIII PENGAWAKAN. Pasal 144. Pasal 145

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMBERDAYAAN JASA MARITIM BERBASIS PERKAPALAN DI SELAT MALAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG K E P E L A U T A N PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PROPOSAL TUGAS AKHIR (LK 1347)

Rancangan Klaster Industri Maritim Terintegrasi Sebagai Bagian Dari Konsep Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

BAB 4: PELAKSANAAN DAN TATA KELOLA MP3EI

Bahari Jogja, Volume XIII Nomor 21, Juli 2015

STUDI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPONEN WISATA DI PULAU RUPAT KABUPATEN BENGKALIS TUGAS AKHIR. Oleh : M. KUDRI L2D

Peluang Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kebijakan Saat Ini serta Usulan Perbaikannya. Indra Jaya Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG KEPELAUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No c. bahwa untuk mempercepat penyelenggaraan kewajiban pelayanan publik untuk angkutan barang di laut, darat, dan udara diperlukan progr

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki pintu gerbang perdagangan bebas persaingan bisnis antar perusahaan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang Permasalahan. membutuhkan eksistensi sistem transportasi laut sebagai penggerak pertumbuhan,

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dinyatakan bahwa

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA DEPUTI BIDANG OPERASI SAR BADAN SAR NASIONAL TAHUN 2014 DEPUTI BIDANG OPERASI SAR BADAN SAR NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi ini persaingan bisnis terutama dalam bidang transportasi menjadi

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia, terdiri dari 17.508 pulau yang tersebar di seluruh wilayah, 2/3 bagian wilayahnya merupakan wilayah perairan laut. Oleh sebab itu kapal sebagai sarana transportasi laut merupakan modal angkutan yang penting dan strategis. Kapal dengan berbagai jenis dan ukuran lalulalang di wilayah perairan Indonesia, membawa komoditi dan penumpang. Sebagai negara kepulauan, Indonesia tentu menempatkan aktivitas maritim di urutan terpenting sebagai salah satu penopang perekonomian negara (Jinca, 2011). Di sektor logistik, Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2012 mengarahkan ketersediaan jaringan infrastuktur transportasi yang memadai, handal dan efisien, sehingga terwujud konektivitas lokal (local connectivity), konektivitas nasional (national connectivity) dan konektivitas global (global connectivity) dengan transportasi laut sebagai tulang punggungnya sebagai blueprint (Widyasanti, 2012). Indonesia terkenal dengan pelaut-pelautnya yang ulung, namun saat ini banyak pelaut-pelaut Indonesia yang bekerja di kapal-kapal asing di seluruh dunia karena tingkat penggajian di kapal-kapal asing yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di kapal-kapal Indonesia. Sejak diterbitkanya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional yang intinya adalah pelaksanaan azas cabotage, maka pada tahun 2011 seluruh angkutan laut dalam negeri wajib diangkut oleh kapal-kapal berbendera Indonesia. Implementasi azas cabotage selain akan menambah jumlah armada nasional sekaligus juga akan berdampak terhadap kebutuhan pelaut, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas.. Peningkatan kebutuhan pelaut tecermin dari terus meningkatnya jumlah armada laut nasional yang saat ini mencapai 10.784 kapal dengan kapasitas total 14,52 juta GT (Gross Ton). Padahal tahun 2009 lalu jumlah armada laut berbendera Indonesia baru mencapai 9.170 unit (11,7 Juta GT) yang terdiri dari common carrier 7.546 unit ( 11,1 Juta GT) dan industrial carrier 1.624 unit (0,59 Juta GT) (Arso Martopo, 2012). Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Studi Pengembangan Kemitraan Lembaga Pendidikan Pemerintah & Swasta I - 1

Perhubungan, pada tahun 2011 memprediksi dibutuhkanya sebanyak sekitar 11.000 sampai dengan 12.000 orang pelaut untuk bekerja di dalam negeri. Kebutuhan tenaga pelaut tersebut didominasi oleh perwira, baik nautika maupun teknika, dan baru terpenuhi oleh berbagai lembaga pelatihan baik pemerintah maupun swasta sekitar 1.500 orang. Hal ini dikarenakan jumlah lembaga pendidikan maritim di Indonesia yang menghasilkan tenaga pelaut baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta tidak lebih dari 36 lembaga. Jumlah ini tidak sebanding dengan kebutuhan output-nya yang mencapai 12.000 orang pelaut. Dalam catatan lain, pada tahun 2015 nanti Indonesia diperkirakan membutuhkan 43.806 orang yang terdiri dari 18.774 perwira pelaut dan 25.032 pelaut dasar. Di samping itu kebutuhan perwira pelaut internasional semakin meningkat, pada tahun 2010 saja telah mencapai 84.000 orang, menurut Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Perhubungan. Selain permasalahan terbatasnya jumlah lembaga yang menghasilkan tenaga pelaut, permasalahan lain timbul karena pelaut yang ada lebih memilih kapal-kapal asing karena lebih menarik dalam hal penggajian, sehingga kapal-kapal nasional masih kekurangan crew. Semenjak era tahun 90-an, kesempatan pelaut-pelaut Indonesia untuk bekerja di kapalkapal asing khususnya kapal-kapal Eropa lebih besar lagi, karena kecenderungan menurunnya minat generasi muda Eropa untuk bekerja di laut. Kekurangan tenaga pelaut dari Eropa tersebut diisi oleh pelaut-pelaut dari kawasan Asia, seperti Filiphina, India, Vietnam, dan Indonesia. Selain itu permasalahan juga ada pada lembaga pendidikan pelaut yang tergolong memiliki persyaratan yang berat, karena harus tunduk pada regulasi International Maritime Organization (IMO) melalui Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW) 1978, yang diratifikasi pemerintah RI berdasarkan KEPPRES Nomor 60 Tahun 1986. Selanjutnya diamandemen dalam Seafarers Training Certification and Watchkeeping Code 1995 (STCW Code 1995) dan STCW Amandemen Manila 2010, yang mulai berlaku 1 Januari 2012. Implementasinya di Indonesia dilakukan oleh Direktorat Perkapalan dan Kepelautan (Eselon II ) yang berada di bawah Dirjen Perhubungan Laut (Eselon I) selanjutnya untuk monitoring proses pendidikan dilaksanakan oleh PPSDM Perhubungan Laut (Eselon II) yang berada di bawah BPSDM Perhubungan (Eselon I). Di samping itu lembaga pendidikan pelaut masih harus tunduk pada regulasi Ditjen Dikti Kemendikbud dan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN- PT) dan BAN-Sekolah. Beratnya persyaratan penyelenggaraan lembaga pendidikan pelaut itu lebih dirasakan oleh lembaga yang diselenggarakan oleh masyarakat, dari pada yang diselenggarakan oleh pemerintah. Untuk itu, kiranya perlu digagas mengenai upaya yang tepat untuk memaksimalkan terwujudnya harapan, guna memenuhi Studi Pengembangan Kemitraan Lembaga Pendidikan Pemerintah & Swasta I - 2

kebutuhan jumlah dan meningkatkan kualifikasi pelaut di Indonesia melalui sebuah studi pengembangan kemitraan lembaga pendidikan pemerintah dan swasta dalam meningkatkan tenaga pelaut dalam aspek kuantitas dan kualitas. Alasan lain pentingnya dilakukan studi ini adalah bahwa pelayaran adalah industri high risk, resikonya terbesar kedua setelah angkutan udara, terutama resiko terhadap keselamatan dan keamanan jiwa. Pelayaran melibatkan banyak stakeholder yaitu operator kapal, owner/charterer, operator pelabuhan, regulator dan juga awak kapal. Prinsip safety first dalam pelayaran menempatkan keselamatan sebagai hal yang utama. Agar keselamatan dapat terwujud perlu diciptakan safety culture yang ditempuh dengan sikap konsisten terhadap konsensus dan kejelasan peraturan yang diterima secara universal. Selain itu, kapal yang berlayar dalam kondisi tidak aman, mengancam kehidupan serta lingkungan laut (Purnomo, 2011). Berdasarkan data statistik diketahui bahwa 80% dari kecelakaan kapal disebabkan oleh kesalahan manusia, sehingga perhatian masyarakat akan tertuju pada Lembaga Diklat yang mendidiknya. Namun demikian angka 80% tidak mutlak, tergantung dari pendekatan apa yang dilakukan, contoh Protection and Indemnity (P&I) Club menyebut human error 62%. Untuk itu UNCLOS mengharuskan negara-negara yang memiliki kapal (flag state) tunduk pada aturan tersebut. Semua peraturan dijadikan landasan operasional kapal untuk memastikan agar selamat, aman dan zero accident. Keselamatan dan keamanan pelayaran itu dapat terwujud jika diawaki oleh pelaut-pelaut yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan pelaut yang kompeten. Di samping itu, studi ini dilaksanakan untuk menjawab permasalahan dari Inpres Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. B. MAKSUD DAN TUJUAN KEGIATAN Studi ini memiliki maksud dan tujuan kegiatan sebagai berikut : 1. Maksud dari studi adalah untuk menganalisis kebutuhan tenaga pelaut dan jumlah lulusan yang dihasilkan oleh Lembaga Pendidikan Pelaut di Indonesia, serta menemukan permasalahan mendasar penyelenggaraan pendidikan pelaut sesuai kualifikasi IMO untuk kemudian merekomendasikan solusi yang tepat. 2. Tujuan dari studi ini adalah tersusunnya konsep pengembangan kemitraan Lembaga Pendidikan Pemerintah dan Swasta dalam Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas Tenaga Pelaut, untuk menjembatani keinginan user yaitu pemilik kapal atau Otoritas Pelabuhan. Studi Pengembangan Kemitraan Lembaga Pendidikan Pemerintah & Swasta I - 3

C. RUANG LINGKUP KEGIATAN Dalam studi ini kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan meliputi halhal sebagai berikut : 1. Inventarisasi peraturan perundang-undangan dan literatur yang terkait dengan kepelautan, baik nasional maupun internasional; 2. Inventarisasi peraturan perundang-undangan dan literatur yang terkait dengan penerapan azas cabotage di Indonesia; 3. Inventarisasi jumlah tenaga pelaut yang bekerja di pelayaran dalam dan luar negeri saat ini; 4. Inventarisasi jumlah armada berbendera Indonesia yang melayani pelayaran dalam dan/atau luar negeri; 5. Identifikasi kondisi lembaga pendidikan pemerintah dan swasta di bidang kepelautan sesuai tingkatan dilihat dari sarana dan prasarana, SDM, manajemen operasional pendidikan, sistem penjamin mutu pendidikan dan lulusan; 6. Analisis kebutuhan tenaga pelaut di Indonesia nasional dan Internasional; 7. Analisis jumlah lulusan tenaga pelaut di Indonesia yang akan dihasilkan lembaga pendidikan pemerintah dan swasta; 8. Analisis kelemahan dan permasalahan lembaga pendidikan pelaut swasta dilihat dari aspek sarana dan prasarana, pengembangan sistem kurikulum, tenaga pengajar, manajemen operasional pendidikan, sistem penjamin mutu pendidikan dan lulusan; 9. Analisis konsep pengembangan kemitraan Lembaga Pendidikan Pemerintah dan Swasta dalam meningkatkan kualitas dan kantitas pelaut; 10. Rekomendasi. D. PERUMUSAN MASALAH Atas dasar pemaparan latar belakang masalah di atas, maka beberapa hal yang dianggap sebagai masalah dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Kebutuhan jumlah pelaut yang belum terpenuhi. 2. Keterbatasan output dari lembaga pendidikan pelaut. 3. Persyaratan penyelenggaraan lembaga pendidikan pelaut tergolong berat. Belum ada formula kemitraan antara lembaga pendidikan pelaut yang diselenggarakan oleh pemerintah dan oleh masyarakat yang dapat meningkatkan jumlah dan kualitas pelaut Studi Pengembangan Kemitraan Lembaga Pendidikan Pemerintah & Swasta I - 4

E. MANFAAT STUDI Studi ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi Diklat Kepelautan pemerintah dan Diklat Kepelautan masyarakat dalam membangun pola kemitraan demi meningkatkan kualitas dan kuantitas pelaut di Indonesia, sehingga supply dan demand pelaut dapat ketemu. F. SISTIMATIKA LAPORAN Laporan ini pada pokoknya terdiri dari beberapa Bab, yaitu : Bab I : Pendahuluan Bab II : Landasan Teori Bab III : Metodologi Bab IV : Data Penelitian Bab V : Analisis Bab VI : Kesimpulan dan Rekomendasi Ringkasan Eksekutif dilaporkan secara terpisah. Studi Pengembangan Kemitraan Lembaga Pendidikan Pemerintah & Swasta I - 5