TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Permukiman

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Sekolah

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Jalan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan

TINJAUAN PUSTAKA Estetika

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

II. TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. permukaan tanah dan atau air (Peraturan Pemeritah Nomor 34 Tahun 2006).

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

ANALISIS DAN SINTESIS

RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) WILAYAH PERKOTAAN

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami

PENGEMBANGAN ARSITEKTUR LANSEKAP KOTA KEDIRI STUDI KASUS: PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU JALUR JALAN UTAMA KOTA

BAB VII PERENCANAAN a Konsep Ruang

BAB III METODE PENELITIAN

REKOMENDASI Peredam Kebisingan

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. desain taman dengan menggunakan tanaman hias sebagai komponennya

PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN PURWOREJO

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, kawasan industri, jaringan transportasi, serta sarana dan prasarana

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

EVALUASI KETERSEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOMPLEKS PERUMAHAN BUMI PERMATA SUDIANG KOTA MAKASSAR

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA CIMAHI TAHUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS DAN PEMECAHAN MASALAH

SALINAN BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 5 TAHUN 2010 PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. didirikan sebagai tempat kedudukan resmi pusat pemerintahan setempat. Pada

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Manusia membutuhkan tempat bermukim untuk memudahkan aktivtias seharihari.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Kota

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB VI R E K O M E N D A S I

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA POSO (STUDI KASUS : KECAMATAN POSO KOTA)

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BINJAI. 2.1 Penggunaan Lahan Di Kota Binjai

INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI

BUPATI BANGKA TENGAH

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 60 TAHUN TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN RUANG TERBUKA HIJAU

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ruang Terbuka dan Ruang Terbuka Hijau

Kebutuhan Masyarakat akan Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Pusat Kota Ponorogo

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

II. TINJAUAN PUSTAKA

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

TINJAUAN PUSTAKA. waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Umum Evaluasi Kualitas Estetik

EVALUASI KETERSEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOMPLEKS PERUMAHAN BUMI PERMATA SUDIANG KOTA MAKASSAR

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA

19 Oktober Ema Umilia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

MEMUTUSKAN : : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU.

sekitarnya serta ketersediaannya yang belum optimal (pada perbatasan tertentu tidak terdapat elemen gate). d. Elemen nodes dan landmark yang

I. PENDAHULUAN. heterogen serta coraknya yang materialistis (Bintarto,1983:27). Kota akan selalu

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI TABEL V.1 KESESUAIAN JALUR HIJAU

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Danau merupakan sumber daya air tawar yang berada di daratan yang

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai

Studi Peran & Efektifitas RTH Publik di Kota Karanganyar Isnaeny Adhi Nurmasari I BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang

*39929 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 63 TAHUN 2002 (63/2002) TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG,

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

I. PENDAHULUAN. Pola pemukiman penduduk di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik

SCAFFOLDING 1 (2) (2012) SCAFFOLDING. IDENTIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK KOTA REMBANG

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Permukiman Kota adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang dicirikan oleh batasan administratif yang diatur dalam peraturan perundangan serta didominasi oleh kegiatan produktif bukan pertanian. Kota memiliki berbagai unsur dan komponen, mulai dari komponen yang terlihat nyata secara fisik seperti perumahan dan prasaran umum, hingga komponen yang secara fisik tidak dapat terlihat, yaitu berupa kekuatan politik dan hukum yang mengarahkan kegiatan kota. Di samping itu, berbagai interaksi antar unsur yang bermacam-macam memiliki tingkat kepentingan yang sama dengan unsur itu sendiri. Pada satu unsur-unsur dan keterkaitan antar unsur dipandang secara bersama-sama, maka kota-kota yang cukup besar akan terlihat sebagai organisme yang paling rumit yang merupakan hasil karya manusia (Branch, 1995). Sujarto (1991) membagi wilayah kota menjadi tiga jenis, yaitu: (a) wilayah pengembangan di mana kawasan terbangun bisa dikembangkan secara optimal, (b) wilayah kendala di mana pengembangan kawasan terbangun dapat dilakukan secara terbatas dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, dan (c) wilayah limit di mana peruntukannya hanya untuk menjaga kualitas alam, sedangkan keberadaan kawasan terbangun tidak dapat ditolerir. Keberadaan RTH menempati bagian-bagian tertentu dalam komponen penyusun tata ruang pada wilayah pengembangan, pada sebagian wilayah kendala yang berfungsi menjaga kelestarian alam, dan wilayah limit yang memang hanya diperuntukkan bagi kelestarian alam. Kota-kota di Indonesia mulai berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Peningkatan kegiatan perekonomian dan peningkatan kesejahteraan penduduk merupakan faktor utama yang meningkatkan pembangunan di perkotaan, termasuk di Indonesia. Pembangunan kota secara fisik mempunyai dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif antara lain kelancaran dan efisiensi kegiatan perekonomian yang diakibatkan oleh pembangunan berbagai fasilitas industri dan transportasi, serta pembangunan barbagai fasilitas sosial, seperti rumah sakit dan sekolah. Dampak negatif yang terjadi terutama adalah

5 menurunnya kualitas lingkungan akibat kurang diperhitungkannya kemampuan lingkungan perkotaan dalam mendukung berbagai kegiatan dan sarana yang dibangun (Nurisjah, Roslita, dan Pramukanto, 1998). Penurunan kualitas lingkungan kota yang signifikan, adalah masalah perubahan cuaca dan musim yaitu dalam hal peningkatan suhu, pencemaran udara, perubahan musim, menurunnya permukaan air tanah, banjir, intrusi air laut, serta meningkatnya kandungan logam berat dalam tanah. Masalah ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, pembangunan dan perkembangan kota, pertumbuhan industri, kepadatan lalu lintas, deforestasi, dan sebagainya. Kecepatan perkembangan kota sangat ditentukan oleh faktor-faktor percepatannya, yaitu jumlah penduduk dan aktivitas sosial ekonomi yang keduanya mempunyai sifat berkembang (Sujarto, 1991). Perubahan kedua faktor akan menyebabkan perkembangan aspek lainnya yang sebagian besar membutuhkan ruang sehingga menimbulkan persaingan untuk mendapatkan ruang yang suplainya dari waktu ke waktu relatif tetap. Tabel di bawah ini menunjukkan klasifikasi kepadatan penduduk dan hubungannya dengan kebutuhan lahan yang mengindikasikan tingkat reduksi lahan di kawasan perkotaan Tabel 1 Faktor Reduksi Kebutuhan Lahan untuk Sarana Lingkungan Berdasarkan Kepadatan Penduduk Klasifikasi Kepadatan Kawasan Rendah Sedang Tinggi Sangat Padat Kepadatan penduduk < 150 jiwa/ha 151-200 jiwa/ha 201-400 jiwa/ha >400 jiwa/ha Reduksi terhadap kebutuhan lahan - - 15% (maksimal) 30% (maksimal) Sumber: Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, 2004. Luas wilayah tertentu memiliki kemampuan menampung penduduk dengan kapasitas berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Berikut ini merupakan data dasar lingkungan perumahan menurut Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan (2004): - 1 RT : terdiri dari 150 250 jiwa penduduk - 1 RW : (2.500 jiwa penduduk) terdiri dari 8 10 RT - 1 kelurahan ( lingkungan) : (30.000 jiwa penduduk) terdiri dari 10 12 RW

6-1 kecamatan : (120.000 jiwa penduduk) terdiri dari 4 6 kelurahan setiap lingkungan - 1 kota : terdiri dari sekurang-kurangnya 1 kecamatan Lingkungan perkotaan hanya berkembang secara ekonomi namun menurun secara ekologis, padahal keseimbangan lingkungan perkotaan secara ekologi sama pentingnya dengan perkembangan nilai ekonomi kawasan perkotaan. Untuk meminimalkan permasalahan-permasalahan tersebut, terutama yang berkaitan dengan kualitas lingkungan dan kualitas hidup warga kota, perlu dilakukan perencanaan dan penataan lahan yang sesuai dengan daya dukung dan kebutuhannya. Salah satunya adalah perencanaan RTH yang sesuai dengan kebutuhan kota terkait. 2.2 Ruang Terbuka Hijau Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya. Ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai genangan retensi. Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 Tahun 1988, ruang terbuka hijau adalah bagian dari ruang terbuka kota yang didefinisikan sebagai ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih bersifat pada penghijauan tanaman atau tumbuhan secara alamiah maupun buatan (budidaya tanaman) seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan, dan lainnya. Tujuan dibentuk atau disediakannya ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan, antara lain: 1. Meningkatnya mutu lingkungan hidup dan sebagai pengaman sarana lingkungan perkotaan. 2. Menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan manusia.

7 2.2.1 Tipologi Ruang terbuka hijau dapat diklasifikasikan berdasarkan tipologinya, yaitu fisik, fungsi, struktur, dan kepemilikan seperti yang ditampilkan pada Gambar 2 di bawah ini. Gambar 2 Tipologi RTH Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, 2008. Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami terdiri atas daerah hijau yang masih alami (wilderness areas), daerah hijau yang dilindungi agar tetap dalam kondisi alami (protected areas), dan daerah hijau yang difungsikan sebagai taman publik tetapi tetap dengan mempertahankan karakter alam sebagai basis tamannya (natural park areas). RTH nonalami terdiri atas daerah hijau di perkotaan yang dibangun sebagai taman kota (urban park areas), daerah hijau yang dibangun dengan fungsi rekreasi bagi warga kota (recreational areas), dan daerah hijau antarbangunan maupun halaman-halaman bangunan yang digunakan sebagai area penghijauan. Kini RTH kota mengalami degradasi fungsi dan kualitas akibat perubahan lingkungan alami menjadi lingkungan nonalami atau binaan. RTH alami (basic nature) merupakan lanskap alami kota, sedangkan RTH binaan (second hand nature), pengembangannya lebih diarahkan pada fungsi sosial dan estetika sehingga fungsi ekologisnnya kurang optimal (Joga dan Ismaun, 2011).

8 Dilihat dari fungsi RTH dapat berfungsi ekologis, sosial budaya, estetika, dan ekonomi. Secara struktur ruang, RTH dapat mengikuti pola ekologis (mengelompok, memanjang, tersebar), maupun pola planologis yang mengikuti hirarki dan struktur ruang perkotaan. Dari segi kepemilikan, RTH dibedakan ke dalam RTH publik dan RTH privat. Pembagian jenis-jenis RTH publik dan RTH privat adalah sebagaimana Tabel 2 berikut. Tabel 2 Jenis dan Kepemilikan RTH No. Jenis RTH Publik RTH Privat 1 RTH Pekarangan a. Pekarangan rumah tinggal V b. Halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat V usaha c. Taman atap bangunan V 2 RTH Taman dan Hutan Kota a. Taman RT V V b. Taman RW V V c. Taman kelurahan V V d. Taman kecamatan V V e. Taman kota V f. Sabuk hijau V 3 RTH jalur Hijau Jalan a. Pulau jalan dan median jalan V V b. Jalur pejalan kaki V V c. Ruang di bawah jalan layang V 4 RTH Fungsi Tertentu a. RTH sempadan rel kereta V b. Jalur hijau jaringan listrik tekanan tinggi V c. RTH sempadan sungai V d. RTH sempadan pantai V e. RTH pengamanan sumber air baku/mata air V f. Pemakaman V Sumber: SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan 1. Pekarangan Pekarangan adalah lahan yang kepemilikannya jelas, berada di sekeliling rumah dan biasanya ditanami dengan kombinasi tanaman tahunan dan tanaman keras. Menurut Arifin (2009) pekarangan didefinisikan sebagai lahan yangada di sekitar rumah dengan batas kepemilikan yang jelas dan ditumbuhi berbagai jenis tanaman serta dimanfaatkan untuk kepentingan kekerabatan dan kegiatan sosial. Pekarangan merupakan tipe taman Indonesia yang memiliki keragaman struktur yang kompleks, memiliki dimensi fungsi ekobiologis serta dimensi estetik. Soemarwoto dan Soemarwoto (1981) berpendapat bahwa pekarangan adalah

9 lahan yang merupakan sistem integrasi dari berbagai elemen lunak, keras, dan manusia dalam lingkungan tersebut. Berdasarkan fungsinya, pekarangan dapat diklasifikasikan menjadi 4, yaitu: i. Produksi Berbagai tanaman di pekarangan, terutama tanaman nursery, buah-buahan, industri, sayuran, rempah-rempah, dan ternak dapat dipanen. Selain itu memberikan kontribusi bagi tambahan diet protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral dapat pula memberikan pendapatan (Arifin, 2009). ii. Sosial Budaya Menurut Abdoellah (1991), dalam usaha memenuhi berbagai kebutuhannya, pemilik terkadang memilih elemen penyusun pekarangan yang disesuaikan dengan kebutuhan bersosial ataupun kebutuhan lainnya dan berhubungan dengan kebiasaan setempat. iii. Estetika Pekarangan dengan pemilihan tanamannya merupakan wujud dari kreativitas, imajinasi, kewirausahaan, dan rasa estetik pemiliknya. Penanaman pekarangan dengan tanaman ornamental akan menciptakan nuansa tersendiri bagi rumah yang berada di dalamnya. iv. Ekologi. Fungsi ini terbagi menjadi 2, yaitu: a. Konservasi, jenis tumbuhan yang beragam pada pekarangan menghasilkan keanekaragaman yang tinggi dan bermacam ketinggian tanaman. Selain berguna untuk pengoptimalan penggunaan sinar matahari, strata juga berfungsi untuk menahan air hujan yang berenergi kinetik tinggi agar tidak langsung mengenai tanah dan mengikis lapisan humusnya. Air akan terlebih dahulu mengenai daun tumbuhan tertinggi, kemudian jatuh ke daun yang berada di bawahnya, sehingga energi kinetik air hujan berkurang. Banyaknya tumbuhan pada pekarangan menyebabkan air yang diserap oleh akar tidak langsung menghilang sebagai aliran permukaan. b. Sumber kekayaan genetik, kekayaan genetik atau keanekaragaman hayati dideskripsikan sebagai jumlah, variasi dari organisme pada semua tingkatan organisasi, dari genetik, populasi, dan tingkatan spesies pada suatu ekosistem.

10 Menurut Abdoellah (1990) dalam Whitten (1999), pekarangan merupakan sumber plasma nutfah utama yang dinamis dan sangat penting. 2. Halaman fasilitas umum dan fasilitas sosial Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 7 Tahun 2010 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau, yang dimaksud dengan fasilitas umum adalah fasilitas bangunan yang dapat menampung kepentingan dan kebutuhan aktivitas masyarakat umum secara luas, meliputi: a. fasilitas kesehatan: rumah sakit, puskesmas, apotek b. fasilitas peribadatan: masjid, gereja, vihara, klenteng c. fasilitas kebudayaan: museum, perpustakaan d. fasilitas informasi dan telekomunikasi: Telkom e. fasilitas keuangan: perbankan, money changer f. fasilitas transportasi: penjualan tiket angkutan umum 3. Jalur hijau Lanskap jalan adalah wajah dari karekter lahan atau tapak yang terbentuk pada lingkungan jalan, baik yang terbentuk dari elemen lanskap alamiah seperti bentuk topografi lahan yang mempunyai panorama yang indah, maupun yang terbentuk dari elemen lanskap buatan manusia yang disesuaikan dengan kondisi lahannya. Lanskap jalan haruslah mempunyai ciri khas karena harus disesuaikan dengan persyaratan geometrik jalan dan khas karena harus disesuaikan dengan persyaratan geometrik jalan dan diperuntukkan terutama bagi bagi kenyamanan pemakai jalan serta diusahakan untuk menciptakan lingkungan jalan yang indah, nyaman, dan memenuhi fungsi kaeamanan. Jalur hijau tanaman adalah jalur penempatan tanaman serta elemen lanskap lainnya yang terletak di dalam Daerah Milik Jalan (Damija) maupun di dalam Daerah Pengawas Jalan (Dawasja). Sering disebut jalur hijau karena didominasi elemen lanskapnya adalah tanaman yang pada umumnya berwarna hijau (Dinas Pekerjaan Umum, 1996) Tepi, median, dan pulau jalan dapat berupa taman atau nontaman, namun apabila dikaitkan dengan potensi jalur hijau jalan sebagai ruang terbuka hijau kota, maka bentuk yang diharapkan adalah adanya vegetasi sebagai pengisi ruang

11 tersebut. Median jalan adalah ruang terbuka hijau berupa jalur pemisah yang membagi jalan menjadi dua kalur atau lebih. Sedangkan pulau jalan adalah ruang terbuka hijau yang terbentuk oleh geometris jalan seperti pada persimpangan tiga atau bundaran jalan. Tanaman merupakan soft materials dalam lanskap dan peletakannya sebagai pelengkap jalan, tanaman berfungsi untuk membedakan area melalui kualitas lanskap yang unik, melapisi jalur lalu lintas dan memperkuat jajaran path dan jalan raya, memberikan penekanan pada nodes jalur lalu lintas, memberikan peneduhan dan daya tarik, screen atau menutupi pemandangan yang jelek, menghilangkan kesilauan serta mengurangi kebisingan suara. Pada persimpangan jalan harus bersih, tidak boleh ditempatkan tanaman yang dapat menutupi pandangan pemakai jalan untuk alasan keselamatan (Simonds, 2006). 4. Bantaran sungai Sempadan sungai/bantaran sungai adalah lahan pada kanan dan kiri badan sungai yang ditumbuhi oleh vegetasi alami spesifik (riparian) dan dipengaruhi oleh batuan dasar sebagai bagian dari struktur sungai. Sempadan sungai sering disebut dengan bantaran sungai walau terdapat perbedaan. Bantaran sungai adalah daerah pinggir sungai yang tergenangi air saat banjir, sedangkan sempadan sungai adalah daerah bataran banjir ditambah lebar longsoran tebing sungai (land sliding) yang mungkin terjadi, ditambah lebar bantaran ekologis dan lebar keamanan yang diperlukan kaitannya dengan letak sungai (misal areal permkimannonpermukiman). Sempadan sungai merupakan daerah ekologi dan hidraulis sungai yang penting (Maryono, 2005). Bantaran sungai merupakan bagian dari sungai, merupakan lahan pada kanan dan kiri sungai, terletak mulai batas datar tebing sungai menjauh dari badan sungai ke arah daratan. Peranan fungsinya cukup efektif sebagai penyaring (filter) nutrien, menghambat aliran permukaan dan pengendali besaran laju erosi. Bantaran sungai merupakan habitat tetumbuhan yang spesifik (vegetasi riparian), yaitu tetumbuhan yang komunitasnya tertentu mampu mengendalikan air pada saat musim penghujan dan kemarau. Berdasarkan Kepres No. 32 tahun 1990, di wilayah perkotaan ditetapkan minimal 50 meter pada kanan dan kiri badan sungai, sedangkan di luar daerah

12 perkotaan ditetapkan 100 meter. Walaupun demikian masih banyak ketidaksesuaian dengan batas ketetapan karena okupasi penduduk. 5. Bantaran rel kereta api Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan, penyediaan ruang terbuka hijau pada bentaran rel kereta api memiliki fungsi utama untuk membatasi interaksi antara kegiatan masyarakat dengan jalan kereta api. RTH Jalur Sempadan Rel Kereta Api berfungsi sebagai peresap air, peredam kebisingan, pengaman, dan konservasi flora. 6. Pemakaman Menurut Dahlan (2004), kuburan atau pemakaman perlu ditanami dengan bebungaan agar menjadi semarak indah, tidak berkesan seram menakutkan,. Lokasi ini pun perlu ditanami dengan pepohonan, agar lebih teduh, sejuk, dan nyaman. Tanaman ditempatkan sedemikian rupa agar cukup teduh, tapi tidak terlalu gelap. Jika terlalu gelap, akan menimbulkan kesan menakutkan dan juga setelah hujan akan tetap becek. Sinar matahari tidak dapat menyinari tanah dengan baik karena terhalangi oleh tajuk pohon yang terlalu rapat. 2.2.2 Penyediaan RTH di Kawasan Perkotaan a. Penyediaan RTH Berdasarkan Luas Wilayah Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut: ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat; proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat; apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.

13 Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Target luas sebesar 30% dari luas wilayah kota dapat dicapai secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan secara tipikal. b. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita sesuai peraturan yang berlaku. Tabel 3 menampilkan standar penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk tertentu. c. Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu Fungsi RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau pengamanan, sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya tidak teganggu. RTH kategori ini meliputi: jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata air.

14 Tabel 3 Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk No. Unit Lingkungan Tipe RTH Luas minimal/unit (m2) Luas minimal/kapita (m2) Lokasi 1 250 jiwa Taman RT 250 1,0 Di tengah lingkungan RT 2 2.500 jiwa Taman RW 1.250 0,5 Di pusat kegiatan RW 3 30.000 jiwa Taman Kelurahan 4 120.000 jiwa Taman kecamatan 9.000 0,3 Dikelompokkan dengan sekolah/pusat kecamatan 24.000 0,2 Dikelompokkan dengan sekolah/pusat kecamatan Pemakaman disesuaikan 1,2 Tersebar 5 480.000 jiwa Taman kota 144.000 0,3 Di pusat wilayah/kota Hutan kota disesuaikan 4,0 Di dalam/ kawasan pinggiran Untuk fungsifungsi tertentu disesuaikan 12,5 Disesuaikan dengan kebutuhan Sumber: SNI 03-1733-2004 tentang tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan 2.2.3 Manfaat Di samping jenisnya yang beragam, RTH memiliki manfaat yang besar bagi kelangsungan hidup manusia. Manfaat RTH menurut SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, antara lain: 1. meningkatkan kualitas kehidupan ruang kota melalui penciptaan lingkungan yang aman, nyaman, sehat, menarik dan berwawasan ekologis, 2. mendorong terciptanya kegiatan publik sehingga tercipta integrasi ruang sosial antar penggunanya, 3. menciptakan estetika, karakter dan orientasi visual dari suatu lingkungan, 4. menciptakan iklim mikro lingkungan yang berorientasi pada kepentingan pejalan kaki, 5. mewujudkan lingkungan yang nyaman, manusiawi dan berkelanjutan.

15 2.2.4 Syarat Vegetasi di Perkotaan RTH dibangun dari kumpulan tumbuhan dan tanaman atau vegetasi yang telah diseleksi dan disesuaikan dengan lokasi serta rencana dan rancangan peruntukkannya. Lokasi yang berbeda (seperti pesisir, pusat kota, kawasan industri, sempadan badan-badan air, dll) akan memiliki permasalahan yang juga berbeda yang selanjutnya berkonsekuensi pada rencana dan rancangan RTH yang berbeda. Untuk keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka sifat dan ciri serta kriteria arsitektural, hortikultural tanaman dan vegetasi penyusun RTH harus menjadi bahan pertimbangan dalam menyeleksi jenis-jenis yang akan ditanam (Anonim dalam Makalah Lokakarya Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan, 2005) Persyaratan umum tanaman untuk ditanam di wilayah perkotaan menurut Anonim pada makalah Lokakarya Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan, antara lain: (a) Disenangi dan tidak berbahaya bagi warga kota; (b) Mampu tumbuh pada lingkungan yang marjinal (tanah tidak subur, udara dan air yang tercemar); (c) Tahan terhadap gangguan fisik (vandalisme); (d) Perakaran dalam sehingga tidak mudah tumbang; (e) Tidak gugur daun, cepat tumbuh, bernilai hias dan arsitektural; (f) Dapat menghasilkan oksigen dan meningkatkan kualitas lingkungan kota; (g) Bibit atau benih mudah didapatkan dengan harga yang murah (terjangkau) oleh masyarakat; (h) Prioritas menggunakan vegetasi endemik (lokal); (i) Keanekaragaman hayati. Agar dapat berfungsi dalam arsitektur lanskap, terdapat beberapa kriteria tanaman yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Pengontrol visual Tanaman pagar yang rapat dan mempunyai ketinggian lebih dari 1,8 meter dapat menciptakan suasana pribadi dan agar dapat menghalangi sinar secara efektif, tanaman harus diletakkan pada tempat yang strategis antara sumber sinar dengan area yang akan dilindungi (Carpenter et al., 1975). Efektifitas tanaman dalam mengontrol sinar, baik sinar langsung maupun sinar pantulan tergantung dari ukuran tanaman, ketinggian tanaman dan kepadatan daun (Grey dan Deneke, 1978) 2. Pembatas fisik

16 Penghalang fisik bagi manusia dan hewan diberikan oleh tanaman yang berketinggian antara 0,9 1,8 meter. Tanaman dengan ketinggian lebih dari 1,8 meter selain dapat menciptakan penghalang fisik yang baik, juga dapat digunakan sebagai pengontrol visual (Carpenter et al., 1975). Grey dan Deneke (1978) menambahkan bahwa tanaman yang berduri dapat menghalangi pergerakan. 3. Pengontrol suhu Radiasi matahari berpengaruh terhadap suhu lingkungan. Efektifitas pepohonan dalam menangkap radiasi matahari tergantung pada kepadatan daun, bentuk daun, dan pola percabangan Grey dan Deneke (1978) menyatakan bahwa pohon yang memiliki batas kanopi tinggi berguna dalam menangkap radiasi matahari. Kriteria tanaman yang dapat digunakan untuk menghalangi sinar dan menurunkan temperatur adalah: a) tajuk lebar, b) bentuk daun lebar, dan c) ketinggian kanopi lebih dari 2 meter 4. Penahan angin Tanaman dapat mengontrol angin dengan cara menghalangi, mengarahkan atau memperkuat angin (Carpenter et al., 1975). Efektifitas penanamannya sebagai penahan angin ditentukan oleh tinggi tanaman, lebar penanaman, dan kerapatan daun. Grey dan Deneke (1978) menyatakan bahwa tingkat proteksi suatu area oleh angin tergantung pada tinggi pohon. Angin yang mempunyai arah tegak lurus terhadap deretan tanaman penahan angin gerakannya akan akan dipengaruhi sampai pada jarak 5 10 kali tinggi tanaman penghalang pada ruang dekat pohon dan sampai 30 kali tinggi tanaman pada bagian belakang. Lebar tanaman dan mudah tidaknya tanaman ditembus angin tergantung dari pengaturan tanaman yang baik agar dapat menahan angin, yaitu dengan mengkombinasikan antara pohon dan semak. Selain itu tanaman penghalang angin juga dapat mempengaruhi suhu daerah di belakangnya (Crockett, 1971). 5. Pengontrol Presipitasi dan Kelembaban Kriteria tanaman yang dapat menangkap jatuhnya air hujan dan mengontrol pergerakan air ke tanah adalah tanaman berdaun jarum atau berdaun kasar (berambut), pola percabangan horizontal dan tekstur batang yang kasar (Grey

17 dan Deneke, 1978). Tanaman dapat mengontrol kelembaban dengan melepaskan air ke udara melalui transpirasi. Semakin banyak jumlah daun, jumlah air yang dikeluarkan semakin banyak, dengan demikian kelembaban udara semakin tinggi (Carpenter et al., 1975). 6. Pengontrol bising Efektifitas tanaman dalam mengontrol bising tergantung dari tinggi tanaman, kepadatan daun dan lebar penanaman. Tanaman yang mempunyai penutupan daun sampai bawah, lebih efektif dalam mengontrol bising. Secara umum vegetasi paling efektif digunakan utnuk mengurangi kebisingan dengan frekuensi tinggi yang mengganggu atau berbahaya. Beberapa tanaman dengan lebar 25 50 kaki dapat mengurangi suara bising dengan frekuensi tertinggi antara 10 20 db, tapi kurang efektif jika digunakan untuk mereduksi kebisingan dengan frekuensi yang lebih rendah. Penanaman satu jenis tanaman tidak seefektif penanaman beberapa jenis tanaman, karena penanaman satu spesies hanya dapat menangkap suara dengan frekuensi rendah atau tinggi saja, tapi tidak efektif dalam mereduksi suara dengan frekuensi sedang (antara tinggi dan rendah). Selanjutnya Grey dan Deneke (1978) menyatakan bahwa tanaman berdaun tebal, cabang, dan batang besar dan penanaman yang rapat serta cabang-cabang yang ringan, mudah bergerak sehingga menimbulkan suara merupakan tanaman yang efektif dalam mengontrol kebisingan. 7. Pengontrol polusi udara Polusi udara dapat berupa partikel debu atau gas (Grey dan Deneke, 1978). Polutan yang berbentuk pertikel dapat ditangkap oleh daun tanaman yang kasar dan berambut secara efektif. Partikel-partikel polutan yang terbawa angin ditangkap oleh cabang dan dedaunan pohon. Kriteria tanaman yang dapat digunakan untuk menyergap polutan berupa gas adalah: a. Mempunyai pertumbuhan yang cepat b. Tumbuh sepanjang tahun c. Percabangan dan daun yang padat d. Daun yang berambut

18 8. Kontrol erosi Erosi tanah dipengaruhi oleh daya perlindungan tanah terhadap angin dan air, karakteristik fisik tanah serta topografi. Erosi oleh angin dipengaruhi oleh kecepatan, waktu dan arah angin, serta faktor tanah itu sendiri seperti kelembaban, struktur fisik dan lapisan tanah. Pohon dan semak sejak lama digunakan untuk mencegah erosi akibat angin (Grey dan Deneke, 1975). Menurut Carpenter et al, (1985), perlindungan terbaik terhadap erosi tanah adalah penutupan tanah dengan baik oleh vegetasi, karena tanaman dapat mereduksi pengaruh dari hujan pada tanah pada tanah dan akarnya membantu menangkap partikel tanah yang dapat tercuci.