4. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN HUJAN EKSTREM SURABAYA DI SURABAYA TANGGAL 24 NOVEMBER 2017

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kajian Nilai Indeks Vegetasi Di Daerah Perkotaan Menggunakan Citra FORMOSAT-2 Studi Kasus: Surabaya Timur L/O/G/O

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

Evapotranspirasi. 1. Batasan Evapotranspirasi 2. Konsep Evapotranspirasi Potensial 3. Perhitungan atau Pendugaan Evapotranspirasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

global warming, periode iklim dapat dihitung berdasarakan perubahan setiap 30 tahun sekali.

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

KAJIAN IKLIM PADA BENCANA BANJIR BANDANG SAMBELIA DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR, 20 JANUARI 2014

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai dengan Januari 2014 di

Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR

ANALISIS KLIMATOLOGIS CURAH HUJAN EKSTREM DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR TANGGAL NOVEMBER 2017

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2013 di

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

ANALISA KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI MUSIM KEMARAU DI WILAYAH SIDOARJO DAN SEKITARNYA.

BAB 1 PENDAHULUAN. Provinsi Daerah Tingkat (dati) I Sumatera Utara, terletak antara 1-4 Lintang

Analisis Kondisi Atmosfer Pada Saat Kejadian Banjir Bandang Tanggal 2 Mei 2015 Di Wilayah Kediri Nusa Tenggara Barat

Executive Summary Laporan Kondisi Cuaca di Wilayah Sumatera Barat dan Sekitarnya tanggal September 2009

III. KEADAAN UMUM LOKASI

ix

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA SATELIT TERRA MODIS

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN ANGIN KENCANG DI PRAMBON SIDOARJO TANGGAL 02 APRIL 2018

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

STASIUN METEOROLOGI KLAS I SERANG

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 KATA PENGANTAR

ANALISIS PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA DAN AQUA MODIS (STUDI KASUS : DAERAH KABUPATEN MALANG DAN SURABAYA)

TINJAUAN SECARA METEOROLOGI TERKAIT BENCANA BANJIR BANDANG SIBOLANGIT TANGGAL 15 MEI 2016

Gbr1. Lokasi kejadian Banjir dan sebaran Pos Hujan di Kabupaten Sidrap

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS CUACA EKSTRIM NTB HUJAN LEBAT TANGGAL 31 JANUARI 2018 LOMBOK BARAT, LOMBOK UTARA, DAN LOMBOK TENGAH Oleh : Joko Raharjo, dkk

DAFTAR ISI. 1.2 RUMUSAN MASALAH Error Bookmark not defined. 2.1 UMUM Error Bookmark not defined.

ANALISA NERACA AIR LAHAN WILAYAH SENTRA PADI DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG PROVINSI SULAWESI TENGAH

ANALISIS CUACA EKSTREM LOMBOK NTB HUJAN LEBAT (CH mm) DI LOMBOK TENGAH 15 SEPTEMBER 2016

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KEJADIAN BANJIR BANDANG

III. DATA DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 2.11 Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864

Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Sumedang.

JURUSAN TEKNIK & MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISA CUACA PADA SAAT KEJADIAN ROBOHNYA JEMBATAN DI PULAU BERHALA TANGGAL 7 JULI 2016

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

Gambar 1. Peta Prakiraan Cuaca Hujan Mei 2018 (Sumber : Stasiun Klimatologi Karangploso Malang)

Gambar 1. Analisa medan angin (streamlines) (Sumber :

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Prediksi Curah Hujan Di Kota Pontianak Menggunakan Parameter Cuaca Sebagai Prediktor Pada Skala Bulanan, Dasarian Dan Harian Asri Rachmawati 1)*

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Air Tanaman 1. Topografi 2. Hidrologi 3. Klimatologi 4. Tekstur Tanah

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERENCANAAN KEBUTUHAN AIR PADA AREAL IRIGASI BENDUNG WALAHAR. Universitas Gunadarma, Jakarta

ANALISA KETERSEDIAAN AIR SAWAH TADAH HUJAN DI DESA MULIA SARI KECAMATAN MUARA TELANG KABUPATEN BANYUASIN

Dari data klimatologi yang diambil dari stasiun pengamatan Landasan Udara Abdul Rahman Saleh didapatkanlah rata-rata ETo nya adalah 3,77 mm/day.

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS CURAH HUJAN SAAT KEJADIAN BANJIR DI SEKITAR BEDUGUL BALI TANGGAL 21 DESEMBER 2016

ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN ANGIN PUTING BELIUNG DI ARJASA SUMENEP TANGGAL 03 APRIL mm Nihil

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan

BAB II DASAR TEORI 2.1 Perhitungan Hidrologi Curah hujan rata-rata DAS

I. PENDAHULUAN. jagung adalah kedelai. Kedelai juga merupakan tanaman palawija yang memiliki

Penentuan Masa Tanam Kacang Hijau Berdasarkan Analisis Neraca Air di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Matakuliah : S0462/IRIGASI DAN BANGUNAN AIR Tahun : 2005 Versi : 1. Pertemuan 2

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

Kajian Curah Hujan untuk Pemutahiran Tipe Iklim Beberapa Wilayah di Kalimantan Tengah

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISA CUACA BANJIR DI ACEH UTARA TGL FEBRUARI 2016

ANALISA KETERSEDIAAN AIR DAERAH ALIRAN SUNGAI BARITO HULU DENGAN MENGGUNAKAN DEBIT HASIL PERHITUNGAN METODE NRECA

Transkripsi:

Citra MODIS Terra/Aqua Jawa 24 Terkoreksi Radiometrik Data CH Koreksi Geometrik Bogor & Indramayu Malang *) & Surabaya *) Eo Lapang Regresi Vs Lapang Regeresi MODIS Vs lapang Hubungan dengan Kekeringan *) = Hasil Bangkitan 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Korelasi antara Suhu Permukaan Darat () dengan Lapang Pengukuran suhu permukaan untuk menduga evapotranspirasi potensial di Pulau Jawa dilakukan pada siang hari, menggunakan Citra dari satelit MODIS Terra / Aqua. Untuk memperoleh nilai evapotranspirasi digunakan persamaan yang dikembangkan Narongrit dan Yasuoka dan telah digunakan untuk menduga nilai evapotranspirasi di negara Thailand. Untuk menduga evapotranspirasi menggunakan persamaan (13), dengan input suhu permukaan () dan sebaran dari pengolahan Citra MODIS Terra / Aqua, sebaran dengan dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 2. Diagram alir penelitian Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa kisaran suhu permukaan di daerah Pulau Jawa bagian utara terlihat lebih tinggi dibandingkan suhu permukaan bagian selatan. Dan sebagian besar wilayah timur Pulau Jawa memiliki kisaran suhu permukaan yang tinggi. Secara fisis hal ini disebabkan karena di bagian utara Pulau Jawa, memiliki dataran yang lebih rendah daripada daerah selatan Jawa. Dan suhu permukaan Pulau Jawa dan Bali yang terukur berada pada kisaran 28 K hingga 314 K, atau sekitar 7 C hingga 41 C. Berikut ini adalah hasil korelasi antara suhu permukaan dari Citra MODIS Terra / Aqua dengan nilai evapotranspirasi potensial () dibeberapa daerah di Pulau Jawa. 3 3 2 Vs Lapang Bogor 2 1 1 y =.731x + 6.96 R 2 =.81 Gambar 3. Sebaran di P. Jawa dan Bali 1 1 2 2 3 3 4 Gambar 4. Hubungan nilai MODIS dengan lapang Bogor. 7

Nilai kisaran dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 4 secara berturut turut ialah 23.7 3.1 C dan 23.7 33.2 mm/8hari. Gambar 4 juga menyebabkan meningkatnya nilai.7 mm/8 hari. 3 2 1 VS Lapang Indramayu y =.934x +.2771 R 2 =.616 1 1 2 2 3 3 Gambar. Hubungan nilai MODIS dengan lapang Indramayu. Nilai kisaran dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar secara berturut turut ialah 24.7 31.8 C dan 22.8 32.4 mm/8hari. Gambar juga potensial di lapang sebesar 4.7 mm/8 hari. 3 2 1 Vs Lapang Malang y =.4677x + 14.3 R 2 =.66 1 1 2 2 3 3 Gambar 6. Hubungan nilai MODIS dengan lapang Malang. Nilai kisaran dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 6 secara berturut turut ialah 19.4 33. C dan 21. 31.4 mm/8hari. Gambar 6 juga potensial di lapang sebesar 1.6 mm/8 hari. 3 2 1 Vs Lapang Surabaya y = 1.82x - 2.87 R 2 =.6211 1 1 2 2 3 3 Gambar 7. Hubungan nilai MODIS dengan lapang Surabaya. Nilai kisaran dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 7 secara berturut turut ialah 27.2 31.6 C dan 21.4 32.9 mm/8hari. Gambar 7 juga potensial di lapang sebesar 6.1 mm / 8 hari. Tabel 3. Regresi MODIS dengan Lapang Daerah Regresi R 2 Bogor y =.731x + 6.96.8 1 Indramay u y =.934x +.2771.61 6 Malang y =.4677x + 14.3.66 Surabaya Y = 1.82x - 2.87.621 1 Dari Gambar 4,, 6 dan 7 dapat dikatakan bahwa korelasi antara suhu permukaan dari citra MODIS dengan evapotranspirasi potensial hasil pengukuran membentuk sebuah hubungan linier. Pada Tabel 3, korelasi antara nilai dan evapotranspirasi potensial () lapang menghasilkan nilai keeratan (R 2 ) yang cukup tinggi, yaitu berada pada kisaran % 67%. Nilai R 2 yang tertinggi ditunjukkan di Malang, sedangkan yang terendah di Bogor. Hubungan linier pada Gambar 4,, 6 dan 7, antara dengan Lapang menunjukkan bahwa terdapatnya hubungan antara suhu permukaan dengan evapotranspirasi. Nilai evapotranspirasi dipengaruhi oleh suhu permukaan (). Akan tetapi tingginya nilai evapotranspirasi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor, melainkan masih ada faktor faktor lainnya seperti kecepatan angin, tahanan vertikal dan kelembaban udara. Untuk wilayah yang berbatasan dengan laut, adanya pengaruh transfer uap 8

air antara daratan dan lautan yang terjadi bersama sama dengan angin darat dan angin laut mempengaruhi proses evapotranspirasi. Menurut Turner et al. (198), menyatakan bahwa defisit tekanan uap air merupakan tenaga pendorong (driving force) untuk proses evapotranspirasi. 4. 2 Korelasi antara dengan Lapang Untuk menduga nilai evapotranspirasi menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Narongrit dan Yasuoka pada empat daerah yang berbeda, membutuhkan input berupa nilai. Berikut ini adalah hubungan yang diperoleh antara dengan evapotranspirasi dari data lapang di beberapa daerah. 3 3 2 2 1 1 Vs Lapang Bogor y = 8.369x + 2.31 R 2 = 2.2.4.6.8 Gambar 8. Hubungan nilai MODIS dengan lapang Bogor. Nilai kisaran dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 6 secara berturut turut ialah.4.6 dan 23.7 33.2 mm/8hari. Gambar 8 juga menjelaskan bahwa apabila meningkat sebesar.1 maka akan potensial di lapang sebesar. mm/8 hari. Di Bogor diperoleh bentuk linier yang berbeda dengan ketiga wilayah lainnya. Hal ini dikarenakan Bogor memiliki topografi yang berbeda dengan ketiga daerah lain. 3 2 1 Vs Lapang Indramayu y = -3.24x + 27.42 R 2 = 6.1.2.3.4 Gambar 9. Hubungan nilai MODIS dengan lapang Indramayu. Nilai kisaran dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 9 secara berturut turut ialah.1.3 dan 22.8 32.4 mm/8hari. Gambar 9 juga menjelaskan bahwa apabila meningkat sebesar.1 maka akan menyebabkan berkurangnya nilai 1. mm/8 hari. 3 2 1 Vs Lapang Malang y = -3.893x + 28.26 R 2 = 249.2.4.6.8 1 Gambar 1. Hubungan nilai MODIS dengan lapang Malang. Nilai kisaran dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 11 secara berturut turut ialah..8 dan 21. 31.4 mm/8hari. Gambar 11 juga menjelaskan bahwa apabila meningkat sebesar.1 maka akan menyebabkan berkurangnya nilai.4 mm/8 hari. 3 2 1 Vs Lapang Surabaya y = -33.82x + 31.988 R 2 =.298.1.1.2.2 Gambar 11. Hubungan nilai MODIS dengan lapang Surabaya. Nilai kisaran dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 11 secara berturut turut ialah.1.2 dan 22.8 32.4 mm/8hari. Gambar 11 juga menjelaskan bahwa apabila meningkat sebesar.1 maka akan menyebabkan berkurangnya nilai.8 mm/8 hari. Tabel 4. Regresi dengan lapang Daerah Regresi R 2 Bogor y = 8.369x + 2.31 2 Indramay y = -3.24x + 9

u 27.42 6 Malang y = -3.893x + 28.26 24 9 Surabaya y = -33.82x + 31.988.298 Dari hubungan antara dengan nilai evapotranspirasi hasil pengukuran di tiap stasiun diperoleh nilai keakuratan yang sangat rendah. Pada Tabel 4, nilai keeratan yang rendah dari hubungan antara dan evapotranspirasi dikarenakan tidak hanya dipengaruhi oleh saja, tetapi perlu adanya faktor lainnya yaitu keadaan atmosfer. Karena tinggi rendahya sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca. 4. 3 Korelasi antara Lapang dengan dari Citra MODIS Hasil yang diperoleh dari korelasi antara nilai evapotranspirasi potensial () dari Citra MODIS Terra / Aqua dengan nilai evapotranspirasi potensial () melalui metode lapang dapat dilihat pada Tabel. Tabel. Regresi lapang dengan MODIS Daerah Regresi R 2 Bogor y = 2.4691x - 4.7279.638 3 Indramay u y = 3.76x - 8.6337.99 8 Malang y = 1.78x + 6.13.62 7 Surabaya y = 9.811x - 84.91.639 8 Tabel menunjukkan korelasi nilai dari Citra Satelit MODIS Terra / Aqua dengan nilai lapang. Untuk wilayah Bogor ialah.6383, wilayah Indramayu.998, Malang.627, dan Surabaya adalah.6398. 3 3 2 2 1 1 MOD Vs Lapang Bogor y = 2.4691x - 4.7279 R 2 =.6383 Gambar 12. Hubungan nilai lapang vs MODIS Bogor. Nilai kisaran MODIS dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 12 secara berturut turut ialah 11.4 14. mm/8hari dan 23.7 33.2 mm/8hari. Gambar 12 juga menjelaskan bahwa MODIS meningkat sebesar 1 mm/8hari maka akan nilai evapotranspirasi potensial di lapang meningkat sebesar 2.1 mm/8 hari. 3 2 1 MOD VS Lapang Indramayu y = 3.76x - 8.6337 R 2 =.998 1 2 3 MOD Gambar 13. Hubungan nilai lapang dengan MODIS Indramayu. Nilai kisaran MODIS dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 6 secara berturut turut ialah 1.7 12.6 mm/8hari dan 22.8 32.4 mm/8hari. Gambar 13 juga menjelaskan bahwa apabila MODIS meningkat sebesar 1 mm/8hari maka akan menyebabkan naiknya yang terukur di lapang sebesar 2.1 mm/8 hari. 3 2 1 MOD Vs Lapang Malang y = 1.78x + 6.13 R 2 =.627 1 2 3 MOD Gambar 14. Hubungan nilai lapang vs MODIS Malang. Nilai kisaran MODIS dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 14 secara berturut turut ialah 1.6 14.2 mm/8hari dan 21. 31.4 mm/8hari. Gambar 14 juga menjelaskan bahwa apabila meningkat sebesar 1 mm/8hari maka nilai evapotranspirasi potensial yang terukur di lapang akan meningkat sebesar 1. mm/8 hari. 1 2 3 MOD 1

3 2 1 MOD Vs Lapang Surabaya y = 9.811x - 84.91 R 2 =.6398 1 2 3 MOD Gambar 1. Hubungan nilai lapang vs MODIS Surabaya. Nilai kisaran MODIS dan lapang yang ditunjukkan pada Gambar 1 secara berturut turut ialah 11.3 12.2 mm/8hari dan 21.4 32.9 mm/8hari. Gambar 1 juga menjelaskan bahwa apabila yang terukur dengan MODIS meningkat 1 mm/8hari maka akan nilai evapotranspirasi potensial yang terukur di lapang meningkat sebesar 9.6 mm/8 hari. Dari korelasi yang dihasilkan antara MODIS dengan lapang, di empat daerah dengan ketinggian berbeda. Diperoleh empat nilai keeratan (R 2 ) yang cukup tinggi ( % < R 2 < 6 %). Hal ini menunjukkan adanya kedekatan antara nilai MODIS dengan nilai dari hasil perhitungan lapang. Dengan nilai keeratan yang berada pada kisaran % 6 %, maka persamaan yang dikembangkan oleh Narongrit dan Yasuoka dapat digunakan untuk menduga evapotranspirasi di wilayah Indonesia. Tetapi agar hasil pendugaan evapotrnaspirasi lebih optimal maka perlu memodifikasi persamaan tersebut. 4. 4 Analisis Hubungan Evapotranspirasi dengan Kekeringan Data luas kekeringan ketiga daerah ini didasarkan oleh adanya lahan pertanian di daerah tersebut. Surabaya tidak termasuk dikarenakan karena didaerah tersebut tidak terdapat lahan pertanian. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa intensitas curah hujan lebih banyak terjadi di Bogor, pada bulan Juli sebesar 181. mm/bln. Sedangkan curah hujan yang terjadi di dua kota lainnya jauh lebih rendah dari Bogor. Terdapatnya perbedaan intensitas terjadinya curah hujan ini dapat dikatakan bahwa kapasitas air tanah di Bogor lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas air tanah di daerah Indramayu dan Malang. Pada bulan Agustus, di daerah Indaramayu terjadi bencana kekeringan terluas dibanding Bogor dan Malang. Bencana kekeringan yang terjadi mencapai 846 Ha, Bogor seluas 13 Ha dan Malang seluas Ha. Lalu hasil pendugaan evapotranspirasi baik melalui penginderaan jauh dan metode panci kelas A, menunjukkan bahwa evapotranspirasi potensial paling besar terjadi di Bogor pada bulan Agustus sebesar 71.7 mm/bln dan 1. mm/bln. Dengan hasil yang diperoleh pada Tabel 6, maka dapat dikatakan bahwa hubungan antara evapotranspirasi potensial dengan pengaruh terjadinya kekeringan memiliki keeratan yang rendah. Sehingga untuk menduga terjadinya kekeringan di suatu tidak dapat diduga hanya dengan mengukur tingginya evapotranpirasi potensial, tetapi diperlukan faktor faktor lainnya, seperti sistem irigasi, jenis tanaman, jenis tanah, kapasitas air tanah, suhu, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk daerah Indramayu yang terkena bencana kekeringan paling luas, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Seperti rendahnya curah hujan, suhu yang tinggi, dan adanya pengaruh dari sistem irigasi. Karena kurangnya keterangan mengenai sistem irigasi di Inderamayu maka dalam penelitian ini tidak membahas sistem irigasi secara mendalam. Dari Tabel 6 dapat dikatakan bahwa pengaruh terjadinya kekeringan dengan evapotranspirasi potensial tidak berkaitan secara langsung. Tabel 6. Data CH, MODIS, lapang dan Luas kekeringan. Tahun Daerah Bulan CH MOD Lapang L. Kekeringan (mm/bln) (mm/bln) (mm/bln) (Ha) Juni 83 6.9 119.1 Bogor Juli 181. 1.9 19.6 Agustus.9 71.7 1. 13 24 Juni 93 47. 111.7 Indramayu Juli 4.4 13.2 1 Agustus 6.6 132.8 846 Malang Juni 2 49.3 14.8 11

Juli 4 48. 94.7 Agustus 62.9 132. 12