I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

dokumen-dokumen yang mirip
ELIZABETH KARLINDA P H

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB III METODE PENELITIAN

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012

I. PENDAHULUAN. negara untuk mengembangkan outputnya (GNP per kapita). Kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013).

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH,

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2013

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP)

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S --

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016

RUANG LINGKUP KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI JAWA TENGAH

KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DERAH

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab.

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

PENEMPATAN TENAGA KERJA

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 561.4/52/2008 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH

PROFIL PEMBANGUNAN PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Beras merupakan komoditi yang penting bagi Indonesia. Hal ini

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah merupakan sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian

BAB I PENDAHULUAN. untuk menjamin kesejahteraan masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

BAB I BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

SINKRONISASI OPERASIONAL KEGIATAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI JAWA TENGAH TA. 2017

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah Agustus 2017

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 116 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNURJAWATENGAH. PERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOM0R '2 TAJroJii 2e15 TENTANG

BAB V. PERKEMBANGAN KEMISKINAN. 5.1 Perkembangan Kemiskinan pada Masa Pemerintahan Orde Baru

DINAS ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PROVINSI JAWA TENGAH

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara atau wilayah di berbagai belahan dunia pasti melakukan kegiatan pembangunan ekonomi, dimana kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta menghapuskan kemiskinan, atau paling tidak mengurangi tingkat kemiskinan di negara atau wilayah tersebut. Tidak hanya negara yang relatif sudah maju (negara berkembang) saja yang melakukan kegiatan pembangunan, negara yang belum maju pun melakukan kegiatan pembangunan. Dalam suatu negara atau wilayah, pembangunan ekonomi menjadi sesuatu yang sangat penting karena ketika berbicara mengenai pembangunan ekonomi berarti di dalamnya terdapat sebuah proses pembangunan yang melibatkan pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan beberapa perubahan. Perubahan-perubahan itu antara lain mencakup perubahan struktur ekonomi (dari pertanian ke industri atau jasa) dan perubahan kelembagaan, baik lewat regulasi maupun reformasi kelembagaan itu sendiri (Kuncoro, 1997). Prestasi ekonomi suatu negara dapat dinilai dengan berbagai ukuran agregat. Secara umum, prestasi tersebut diukur melalui sebuah besaran dengan istilah pendapatan nasional. Meskipun bukan merupakan satu-satunya ukuran untuk menilai prestasi ekonomi suatu negara, itu cukup representatif dan sangat lazim digunakan. Pendapatan nasional bukan hanya berguna untuk menilai perkembangan ekonomi suatu negara dari waktu ke waktu, tapi juga membandingkannya dengan negara lain. Rinciannya secara sektoral dapat menerangkan stuktur perekonomian negara yang bersangkutan. Di samping itu,

2 dari angka pendapatan nasional selanjutnya dapat pula diperoleh ukuran turunannya, sepeti pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita (Dumairy,1996). Berhasil atau tidaknya proses pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara atau wilayah dapat dilihat dari perkembangan indikator-indikator perekonomian tersebut, apakah mengalami peningkatan atau penurunan. Salah satu indikator yang dapat dilihat adalah Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan untuk daerah tertentu disebut Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selain PDRB, pendapatan per kapita juga salah satu konsep penting dalam perekonomian suatu Negara. Menurut Todaro (2003), produk nasional bruto per kapita merupakan konsep yang paling sering dipakai sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk di suatu Negara. Indonesia telah memberlakukan otonomi daerah pada tahun 2001 dimana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengatur sendiri urusan pemerintahannya termasuk urusan pembangunan ekonomi, namun pada kenyataannya sampai saat ini Pulau Jawa masih menjadi pusat pembangunan ekonomi bagi Indonesia. Bahkan dilihat dari Pulau Jawa sendiri, ketidakmerataan distribusi juga terjadi PDRB di Pulau Jawa. Menurut data Badan Pusat Statistik, PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah merupakan yang terendah diantara provinsi lain di Pulau Jawa. Provinsi DKI Jakarta merupakan Provinsi dengan PDRB per kapita tertinggi, disusul Provinsi Jawa Timur, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan yang terakhir adalah Provinsi Jawa Tengah. Provinsi DKI Jakarta memiliki PDRB sekitar delapan kali lebih tinggi dari pada PDRB Provinsi Jawa Tengah. Perkembangan PDRB Per

3 Kapita Tanpa Minyak & Gas Enam Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Perkembangan PDRB per kapita tanpa minyak dan gas enam provinsi di Pulau Jawa tahun 2005-2009 (ribu rupiah) Provinsi Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 DKI Jakarta 48.570 55.610 62.199 73.713 81.746 Jawa Timur 11.033 12.796 14.456 16.635 18.285 Jawa Barat 9.468 11.28 12.434 13.987 15.121 Banten 9.329 10.585 11.408 12.756 13.598 DI Yogyakarta 7.529 8.652 9.584 10.985 11.830 Jawa Tengah 6.372 7.565 8.419 9.543 10.416 Sumber: BPS Selain pendapatan per kapita, rata-rata pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah relatif lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan provinsi lainnya di Pulau Jawa. Peringkat pertama ditempati oleh Provinsi Banten dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 8,95 persen. Provinsi DKI Jakarta menempati peringkat kedua dengan persentase rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 6,03 persen. Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat menempati peringkat ketiga dan keempat dengan persentase rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5,95 persen dan 5,8. Persen. Dua posisi terakhir diduduki oleh Provinsi Jawa Tengah dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 persen dan Provinsi DI. Yogyakarta dengan 4,47 persen.

4 Tabel 2 Pertumbuhan ekonomi enam provinsi di Pulau Jawa tahun 2006-2010 (persen) Ratarata Tahun 2006- Provinsi 2006 2007 2008 2009 2010 2010 Banten 5,57 6,04 22,53 4,69 5,94 8,95 DKI Jakarta 5,95 6,44 6,23 5,02 6,51 6,03 Jawa Timur 5,8 6,11 6,16 5,01 6,68 5,95 Jawa Barat 6,02 6,48 6,21 4,19 6,09 5,8 Jawa Tengah 5,33 5,59 5,61 5,14 5,84 5,5 DI, Yogyakarta 3,7 4,31 5,03 4,43 4,87 4,47 Jawa 5,78 6,19 7,03 4,81 6,3 6,02 Sumber: BPS Jika dilihat dari PDRB per kapita kabupaten dan kota di Jawa Tengah, perekonomian Provinsi Jawa Tengah ternyata hanya terpusat di beberapa daerah. Hal ini ditunjukkan dari PDRB per kapita di Jawa Tengah masih belum merata. Data BPS Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 menunjukkan hanya sekitar sepuluh kabupaten dan kota di Jawa Tengah yang memiliki PDRB per kapita lebih tinggi dari rata-rata PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten dan kota lainnya memiliki PDRB per kapita kurang dari rata-rata di Jawa Tengah. Lima kabupaten dan kota yang memiliki PDRB per kapita tertinggi berturut-turut adalah Kabupaten Kudus, Kota Semarang, Kabupaten Cilacap, Kota Surakarta serta Kota Magelang dimana PDRB per kapita daerahnya jauh lebih tinggi dari kabupaten dan kota yang lainnya yaitu di atas Rp 17 juta per tahun. Sedangkan lima daerah yang memiliki PDRB per kapita terendah berturut adalah Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Kebumen serta Kabupaten Demak. Daerah-daerah tersebut memiliki PDRB per kapita yang relatif sangat rendah dibandingkan yang lain yaitu hanya sekitar Rp 5 juta per tahun. Dari data Tabel 3, dapat diduga bahwa masih ada pemerintah daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah yang belum optimal dalam

5 membangun perekonomian dengan memberdayakan potensi ekonomi di wilayahnya. Padahal di era otonomi daerah ini, pemerintah daerah sudah diberi wewenang untuk mengelola potensi di daerah masing-masing. Wewenang ini yang seharusnya dapat dioptimalkan pemerintah daerah dalam membangun perekonomian daerah. Tabel 3 PDRB per kapita tanpa minyak dan gas kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 No Kabupaten/Kota PDRB per Kapita No Kabupaten/Kota PDRB per Kapita 1 Kudus 40.471.198 19 Jepara 8.310.082 2 Kota Semarang 27.891.154 20 Pati 7.880.407 3 Cilacap 24.030.196 21 Sragen 7.860.941 4 Kota Surakarta 19.908.672 22 Banjarnegara 7.712.477 5 Kota Magelang 17.806.644 23 Batang 7.454.500 6 Kota Pekalongan 13.516.524 24 Temanggung 7.154.116 7 Sukoharjo 12.025.057 25 Wonogiri 6.937.837 8 Kendal 11.969.893 26 Pubalingga 6.796.774 9 Semarang 11.895.657 27 Magelang 6.788.665 10 Karanganyar 11.343.175 28 Banyumas 6.648.928 11 Kota Tegal 10.998.560 29 Pemalang 6.391.781 12 Kota Salatiga 10.856.888 30 Tegal 5.689.566 13 Klaten 9.975.148 31 Demak 5.620.418 14 Purwerejo 9.299.166 32 Kebumen 5.590.039 15 Boyolali 8.706.517 33 Wonosobo 5.202.502 16 Pekalongan 8.622.288 34 Blora 5.165.508 17 Brebes 8.437.736 35 Grobogan 4.966.466 18 Rembang 8.402.062 Jawa Tengah 10.809.358 Sumber: BPS Provinsi Jateng Dengan berlakunya otonomi daerah, maka untuk melaksanakan pembangunan diperlukan kemandirian dan kemampuan dari pemerintah daerah untuk membiayai kebutuhan dana pembangunan. Dengan demikian, pemerintah daerah tentu harus mampu menggali sumber-sumber ekonomi dan mengolah potensi yang ada di daerahnya sehingga pembangunan di daerah tersebut dapat terus terlaksana. Selain dengan cara menggali sumber-sumber ekonomi daerah sebagai sumber pendanaan pembangunan, tentunya diperlukan penanaman modal

6 baik yang berasal dari dalam negeri (PMDN) maupun dari luar negeri (PMA) untuk mengembangkan perekonomian di suatu wilayah. Ada dua pihak yang secara garis besar berinteraksi dalam menentukan kinerja perekonomian daerah yaitu pemerintah daerah dan pelaku usaha. Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan publik yang terkait dunia usaha memiliki peran yang besar dalam penentuan bentuk kompetisi pasar di daerah. Sedangkan pelaku usaha sebagai pencipta nilai tambah ekonomi turut menentukan kinerja perekonomian daerah melalui peranan investasi yang berasal dari pemodalan swasta. Kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) terutama tercermin pada berbagai Peraturan Daerah (Perda), diantaranya perda tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Melalui APBD yang merupakan alat kebijakan utama, pemda membuat kebijakan pengeluaran untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik. Setelah fungsi pelayanan publik mendapatkan perbaikan kualitas maka tahapan berikutnya pada proses pembangunan berkelanjutan adalah penciptaan keadaan berusaha yang mendukung pergerakan ekonomi daerah. Pengembangan usaha swasta harus menjadi motor penggerak ekonomi lokal karena APBD memiliki banyak keterbatasan dalam hal jumlah dan cakupan program pembangunan yang dapat dibiayainya (KPPOD 2007). Melihat pentingnya peran pemerintah daerah melalui tata kelola pemerintahan daerah dalam meningkatkan perekonomian, maka penelitian ini ingin menjelaskan keterkaitan antara tata kelola ekonomi daerah dengan Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB) per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Penelitian mengenai tata kelola

7 ekonomi daerah ini didasarkan pada survei Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang dilaksanakan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada tahun 2007. Survei ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kualitas tata kelola ekonomi daerah di Indonesia. Pada tahun 2007, survei dilaksanakan di 243 kabupaten dan kota di 15 provinsi di Indonesia. Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh McCulloch dan Malesky (2010) mengenai dampak tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia. Namun, hasilnya sangat mengejutkan yakni hanya ada sedikit atau tidak ada hubungan yang signifikan antara tata kelola perekonomian daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Hal yang mendorong hasil ini dimungkinkan karena dalam penelitian tersebut menganalisis dampak tata kelola perekonomian daerah terhadap pertumbuhan secara agregat. Untuk menganalisis hal tersebut menggunakan skor indeks akhir serta sub-indeks tata kelola ekonomi daerah. Sementara ada 90 pertanyaan dari kuisioner yang ditanyakan kepada para responden memiliki skala pengukuran yang berbeda-beda. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan analisis secara parsial yaitu menganalisis variabel-variabel yang ditanyakan kepada responden untuk mengetahui keterkaitan setiap indikator tata kelola ekonomi daerah terhadap PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi. 1.2. Permasalahan Perekonomian di provinsi Jawa Tengah pun hanya terfokus di beberapa kabupaten dan kota. Data BPS Provinsi Jawa tengah pada tahun 2007, PDRB per kapita tertinggi di Jawa Tengah berturut-turut adalah Kabupaten Kudus, Kota Semarang, Kabupaten Cilacap, Kota Surakarta serta Kota Magelang dimana

8 PDRB per kapita daerahnya jauh lebih tinggi dari kabupaten dan kota yang lainnya yaitu di atas Rp 17 juta per tahun. Peringkat daerah dengan PDRB per kapita tertinggi tahun 2007 tersebut sama dengan peringkan PDRB per kapita tahun 2010. Artinya, kelima daerah tersebut secara konsisten memiliki perekonomian yang lebih besar dari daerah lainnya. Sedangkan lima daerah yang memiliki PDRB per kapita tahun 2007 terendah berturut adalah Kabupaten Tegal, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Blora serta Kabupaten Grobogan. Daerah-daerah tersebut memiliki PDRB per kapita yang relatif sangat rendah dibandingkan yang lain yaitu hanya sekitar Rp 5 juta per tahun. Tabel 4 Pering kat PDRB per kapita dan indeks tata kelola ekonomi daerah lima kabupaten/kota tertinggi dan terendah di Jawa Tengah tahun 2007 PDRB per Pering Indeks Kabupaten/Kota kapita (Rp) kat Kabupaten/Kota TKED 1 Kudus 35.615.217 1 Purbalingga 71,1 2 Kota Semarang 23.067.839 2 Kota Magelang 70,5 3 Cilacap 18.526.334 3 Kudus 69 4 Kota Surakarta 15.831.794 4 Kota Salatiga 68,6 5 Kota Magelang 14.173.787 5 Wonosobo 68,2 31 Tegal 4.586.950 31 Karanganyar 59 32 Kebumen 4.556.330 32 Kota Surakarta 58,7 33 Wonosobo 4.422.065 33 Pemalang 57,5 34 Blora 4.204.875 34 Kota Semarang 57,2 35 Grobogan 3.973.827 35 Kebumen 55,2 Sumber: BPS dan KPPOD Namun, dilihat dari indeks tata kelola ekonomi daerah, kabupaten/kota dengan tata kelola ekonomi daerah terbaik adalah Kabupaten Purbalingga, Kota Magelang, Kabupaten Kudus, Kota Salatiga dan Kabupaten Wonosono. Sedangkan kabupaten/kota dengan tata kelola ekonomi daerah terburuk adalah Kabupaten Karanganyar, Kota Surakarta, Kabupaten Pemalang, Kota Semarang dan Kabupaten Kebumen. Menariknya, Kota Semarang yang merupakan

9 kabupaten tertinggi kedua di Jawa Tegah ternyata menempati peringkat tata kelola ekonomi daerah terburuk kedua, setelah Kabupaten Kebumen. Tidak hanya itu, Kabupaten Wonosobo yang merupakan salah satu kabupaten dengan pendapatan per kapita terendah pun ternyata memiliki tata kelola ekonomi daerah terbaik di peringkat kelima. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai ketidaksesuaian dalam pelaksanaan pembangunan. Baik buruknya tata kelola ekonomi daerah tergantung peran pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan di kabupaten/kota masing-masing. Di era otonomi daerah ini, pemerintah daerah sudah seharusnya berlomba dalam meningkatkan perekonomian masing-masing. Salah satu peran yang utama dari pemerintah daerah dalam meningkatkan perekonomian daerah adalah melalui tata kelola ekonomi daerah. Penelitian mengenai tata kelola ekonomi daerah ini didasarkan pada survei Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang dilaksanakan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang disurvei oleh KPPOD di tahun 2007. Survei ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kualitas tata kelola ekonomi daerah di Indonesia. Pada tahun 2007, survei dilaksanakan di 243 kabupaten dan kota di 15 provinsi (KPPOD 2007). Berdasarkan uraian diatas, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana kondisi tata kelola ekonomi daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah?

10 2. Bagaimana keterkaitan tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah? 3. Bagimana implementasi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Jawa Tengah? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka penulis merumuskan tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis kondisi tata kelola ekonomi daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah. 2. Menganalisis keterkaitan tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah. 3. Menganalisis implementasi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak sebagai berikut : 1. Bagi peneliti sendiri, penelitian ini menjadi jawaban atas permasalahan yang ingin diketahui dan menjadi tambahan pengetahuan.

11 2. Bagi para penentu kebijakan di pemerintah Provinsi Jawa Tengah serta Pemerintah Daerah di Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat dalam menambah pemahaman tentang aspek atau indikator dalam tata kelola ekonomi daerah yang berpengaruh terhadap PDRB per kapita. Pemahaman tersebut membantu penentu kebijakan untuk fokus dalam membuat kebijakan dalam meningkatkan meningkatkan perekonomian kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. 3. Bagi para pemangku peran masyarakat serta LSM, penelitian ini diharapakan dapat digunakan sebagai alat advokasi kepada para pemimpin daerah untuk melakukan perbaikan tata kelola ekonomi daerah. 4. Bagi masyarakat umum, mahasiswa dan peneliti lain, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan informasi, tambahan pengetahuan, dan sumber rujukan bagi penelitian terkait selanjutnya bagi peneliti yang berminat di bidang tata kelola ekonomi daerah. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ini berdasar pada survei tata kelola ekonomi daerah yang dilakukan oleh KPPOD. Kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang disurvei di tahun 2007. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan data cross section dengan unit analisis kabupaten dan kota di Jawa Tengah pada tahun 2007. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Pendekatan analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui kondisi tata kelola ekonomi daerah dan PDRB per kapita di kabupaten dan kota

12 Provinsi Jawa Tengah. Pendekatan analisis kuantitatif digunakan untuk mencari keterkaitan tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah dengan menggunakan unit analisis variabel-variabel tata kelola ekonomi daerah. Indikator tata kelola ekonomi daerah yang dianalisis dalam penelitian ini adalah : (1) akses lahan usaha dan kepastian berusaha, (2) perizinan usaha, (3) interaksi pemda dan pelaku usaha, (4) program pengembangan usaha swasta, (5) kapasitas dan integritas Kepala Daerah, (6) biaya transaksi, (7) kebijakan infrastruktur daerah, (8) keamanan dan penyelesaian sengketa, dan (9) kualitas peraturan daerah. Penelitian ini juga menganalisis faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah yakni belanja pemerintah daerah dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).