PEMBANGUNAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

dokumen-dokumen yang mirip
PEMBANGUNAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN DAN IMPLIKASINYA PADA ASPEK PENYULUHAN DI WILAYAH PERKOTAAN

untuk Mendukung Pengembangan Agribisnis dan Ekonomi Pedesaan

PROSPEK DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS AYAM RAS DALAM ERA PASAR BEBAS

MEMBANGUN SISTEM AGRIBISNIS BERBASIS AYAM RAS BERDAYA SAING MEMBANGUN SISTEM AGRIBISNIS BERBASIS AYAM RAS BERDAYA SAING

AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN MENGHADAPI ERA PERDAGANGAN BEBAS

14Pengembangan Agribisnis

REKONSILIASI PELAKU PERUNGGASAN DEMI MEMBANGUN AGRIBISNIS PERUNGGASAN YANG BERDAYA SAING

BAGIAN KETIGA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS KOMODITAS DAN SUMBERDAYA

Barat yang Integratif Melalui Pegembangan Agribisnis

INTEGRASI BISNIS PERUNGGASAN

PETERNAKAN RAKYAT AYAM RAS PERLU DI DORONG MENGUASAI UNIT AGRIBISNIS DARI HULU HINGGA HILIR

10Pilihan Stategi Industrialisasi

Konsep, Sistem, dan Mata Rantai Agribisnis

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN YANG TERINTEGRASI DE-NGAN PEMBANGUNAN WILAYAH (KASUS JAWA BARAT)

BAGIAN KEEMPAT MEMBANGUN AGRIBISNIS MEMBANGUN EKONOMI RAKYAT

CUPLIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN : VISI, MISI DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN

KONSEP, SISTEM DAN MATA RANTAI AGRIBISNIS ILLIA SELDON MAGFIROH KULIAH III WAWASAN AGRIBISNIS PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI, UNIVERSITAS JEMBER 2017

I. PENDAHULUAN. serta dalam menunjang pembangunan nasional. Salah satu tujuan pembangunan

MENINGKATKAN DAYA SAING PERUNGGASAN NASIONAL DENGAN MENGEMBANGKAN KEMITRAAN MELALUI INTEGRASI VERTIKAL

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

I. PENDAHULUAN. subsistem agribisnis hulu peternakan (upstream agribusiness) yakni kegiatan

BAB 25 Tahap -Tahap Pembangunan Cluster Industri Agribisnis

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

MANAJEMEN AGRIBISNIS (TANAMAN PANGAN & HORTIKULTURA) PEMBANGUNAN EKONOMI ISU STRATEGIS PEMBANGUNAN INDUSTRIALISASI

MEMBANGUN SISTEM AGRIBISNIS

I. PENDAHULUAN. banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses

MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PETERNAKAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT*)

Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah. berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Membangun Pertanian dalam Perspektif Agribisnis

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PERUNGGASAN DALAM ERA GLOBALISASI

3 KERANGKA PEMIKIRAN

BAB IV PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA GLOBALISASI (Konsolidasi Agribisnis dalam Menghadapi Globalisasi)

PENGEMBANGAN KOPERASI AGRIBISNIS PETERNAKAN

Jakarta, 5 April 2017

I. PENDAHULUAN. Teknologi mempunyai peran penting dalam upaya meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam menopang perekononiam masyarakat. Pembangunan sektor

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

PENATAAN WILAYAH PERTANIAN INDUSTRIAL Kawasan Pertanian Industrial unggul berkelanjutan

Sistem, Konsep, dan Pendekatan Agribisnis

MASALAH DAN PROSPEK AGRIBISNIS PERUNGGASAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN BAHAN PANGAN ASAL UNGGAS DI INDONESIA

POLA STRATEGI DAN KEBIJAKAN DALAM MEMBANGUN KEUNGGULAN KOMPETITIF AGRIBISNIS JAWA TIMUR

I. PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Hubungi pemasok, lakukan negosiasi termasuk harga, pembayaran, jumlah, kualitas dll.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. berlanjut hingga saat ini. Dunia perunggasan semakin popular di kalangan

Subsistem Agribisnis Hilir/Agroindustri: Membangun Industrialisasi Pertanian Berdaya Saing

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai bobot badan antara 1,5-2.8 kg/ekor dan bisa segera

MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TERNAK DOMBA

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI BENGKULU DALAM MENDUKUNG AGRIBISNIS YANG BERDAYA SAING

I. PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran,

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

BAB I PENDAHULUAN. Investasi adalah merupakan langkah awal kegiatan produksi sehingga

BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA

INDUSTRIALISASI MADURA: PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN AGROPOLITAN

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik

Kalau kita membicarakan upaya pemberdayakan ekonomi rakyat, maka

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas, pembangunan. (on farm) mengalami pergeseran ke arah yang lebih terintegrasi dan

Bahan Kuliah ke 9: UU dan Kebijakan Pembangunan Peternakan Fakultas Peternakan Unpad KEBIJAKAN DALAM INDUSTRI TERNAK NON RUMINANSIA

19Pengembangan Agribisnis

ABSTRACT ABSTRAK PENDAHULUAN

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR... i UCAPAN TERIMA KASIH... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN...

DEPARTEMEN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN 2007

PENINGKATAN DAYA SAING UKM DI SEKTOR PERTANIAN : PELUANG DAN TANTANGAN YANG DIHADAPI

BIAYA& PENERIMAAN USAHA. Sapi Perah

VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan produktivitas ayam buras agar lebih baik. Perkembangan

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Daftar Isi. Profil Perseroan. Kinerja Operasional. Ikhtisar Keuangan. Tantangan dan Strategi Ke Depan. Lampiran

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I.PENDAHULUAN. dikembangkan, baik dalam usaha kecil maupun dalam skala besar. Hal ini terlihat

Wawasan Agribisnis Sudut Pandang Agribisnis. Julian Adam Ridjal PS Agribisnis UNEJ

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Introduction to Agribusiness. Wisynu Ari Gutama

PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR RENCANA KERJA ( RENJA )

POKOK-POKOK PEMIKIRAN TENTANG AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN

PERSUSUAN INDONESIA: KONDISI, PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

KOMPONEN AGRIBISNIS. Rikky Herdiyansyah SP., MSc

MEMAHAMI BISNIS AYAM RAS DAN IMPLIKASINYA DALAM PENGELOLAAN

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI

TINJAUAN PUSTAKA. antar negara yang terjadi pada awal abad ke-19, menyebabkan tanaman kedelai

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat

PEMBANGUNAN PETERNAKAN BERWAWASAN AGRIBISNIS DAN BERKELANJUTAN DI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

Lingkup program/kegiatan KKP untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga berbasis sumberdaya lokal

Transkripsi:

bab enam PEMBANGUNAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA Pendahuluan Kegiatan ekonomi yang berbasis peternakan merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang memiliki prospek kedepan. Karakteristik produk peternakan (daging, telur, susu, dan produk olahannya) yang merupakan salah satu bahan pangan dan permintaannya bersifat income elastic demand yang relatif tinggi, akan memiliki peningkatan permintaan produk peternakan yang Iebih besar dari Iaju peningkatan pendapatan. Karakteristik permintaan yang demikiart dan potensi pengembangan yang masih cukup besar di Indonesia, menjadi alasan pokok untuk menjadikan peternakan sebagai salah satu sumber pertumbuhan baru bagi sektor pertanian pada PJP-II ini. Pengembangan peternakan di masa yang akan datang, akan dihadapkan pada lingkurtgan ekonomi dunia baru yang sangat 59

berbeda dengan masa Ialu. Penghapusan atau penurunan berbagai proteksi perdagangan internasional yang dipayungi oleh WTO, akan menghapus batas-batas ekonomi setiap perusahaan atau negara sedemikian rupa sehingga akan meningkatkan persaingan. Konkritnya, peternakan Indonesia akan bersaing ketat dengan peternakan negara Iain bukan saja merebut pasar intemasional tapi juga dalam merebut pasar dalam negeri Indonesia. Dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta dan pendapatan per kapita diperkirakan mencapai sekitar US $ 2500 pada tahun 2005, Indonesia akan menjadi salah satu pasar produk ternak terbesar yang akan diperebutkan oleh produsen hasil ternak dunia. Dalam menghadapi tantangan Iingkungan ekonomi baru yang hams dihadapi peternakan Indonesia, dimasa depan, diperlukan cara baru dalam mernbangun kegiatan peternakan. Hal ini tentunya, juga berimplikasi pada perubahan tuntutan kualifikasi sumberdaya manusia sebagai aktor dari pembangunan peternakan. Pada makalah ini akan diuraikan bagaimana paradigma baru pembangunan peternakan yang mampu mengakomodir Iingkungan ekonomi baru tersebut diatas. Selanjutnya akan membahas bagaimana Implikasinya bagi pengembangan sumberdaya manusia yang dibutuhkan untuk menopang pembangunan peternakan ke depan. Paradigma Baru Pembangunan Peternakan Kata kunci dalam menghadapi lingkungan ekonomi dunia yang makin bersaing adalah kemampuan daya saing (competitiveness). Bila peternakan Indonesia mampu bersaing, maka peternakan Indonesia akan mampu meningkatkan pangsanya di pasar internasional disamping di pasar domestik. Sebaliknya bila peternakan Indonesia tidak mampu bersaing, maka peternakan Indonesia akan terdesak baik di pasar domestik apalagi di pasar intemasional, 60

Secara operasional keunggulan bersaing dapat diartikan sebagai: tlie ability to deliver goods and services at the time, place, and form sought by buyer s in both t)ie domestic and internasional markets at prices as good or better than those of other potential suppliers f while earning at least opportunity cost on resources employed (Sharpies and Milham, 1990; Cook, M.L and ME, Bredahl, 1991). Konsep keunggulan bersaing yang demikian menunjukkan bahwa kemampuan memasok produk peternakan yang sesuai dengan preferensi (selera) konsumen merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi peternakan yang berdaya saing. Dengan perkataan lain kemampuan menghasilkan produk peternakan semurah mungkin belum menjamin keunggulan bersaing. Harga produk peternakan yang lebih murah hanya akan mendukung keunggulan bersaing bila produk yang dihasilkan sesuai dengan selera konsumen. Masalahnya adalah bagaimana cara membangun peternakan agai mampu memiliki keunggulan bersaing yang demikian? Dimasa lalu, pembangunan peternakan di Indonesia berakar pada paradigma pembangunan dengan orientasi peningkatan produksi hasil ternak primer. Oleh karena itu, dimasa lalu pembangunan peternakan identik denganpembangunan usaha peternakan (on-farm). Sedangkan kegiatan yang menyediakan sapronak, pengolahan hasil ternak, dan pasar produk peternakan dianggap eksogenus atau diluar jangkauan pembangunan peternakan itu sendiri. Paradigma pembangunan peternakan yang demikian, tidak kondusif untuk mencapai peternakan yang berdaya saing. Selain cenderung mengabaikan pasar (selera konsumen), paradigma tersebut cenderung menyekat-nyekat agribisnis peternakan sehingga menimbulkan masalah transmisi (pass through problems) dan menciptakan margin ganda (double marginalization) yang justru memperlemah daya saing. 61

Untuk mencapai peternakan yang berdaya saing, paradigma lama tersebut perlu dirubah kepada paradigma baru yakni paradigma agribisnis. Dengan paradigma baru tersebut pembangunan peternakan diwujudkan melalui pembangunan agribisnis hulu (industri: pembibitan, pakan, obat-obatan); usaha budidaya peternakan (on-farm agribusiness); agribisnis hilir (industri pengolahan : daging, susu, telur beserta perdagangannya); dan jasa penunjang agribisnis (perkreditan, transportasi, kebijakan pemerintah, penelitian dan pengembangan, dll.) secara simultan dan konsisten. Esensi dari pembangunan peternakan dengan paradigma agribisnis adalah bahwa preferensi konsumen yang berkembang merupakan cetak biru (blue print) dari arah pengembangan agribisnis hilir, budidaya / agribisnis hulu, dan jasa penunjang agribisnis peternakan, Sebagai contoh, bila konsumen telah menuntut daging ayam ras dengan atribut: boneless meat dengan kandungan lemak dan residu antibiotika rend ah, maka tuntutan atribut ini menjadi cetak biru bagi pengembangan teknologi pengolahan daging (agribisnis hilir), teknologi budidaya ayam ras (on-farm), teknologi pakan, pernbibitan, (agribisnis hilir), dan sistem pengendalian mutu serta pengelolaan agribisnis ayam ras mulai dari hulu hingga ke hilir. Dengan begitu alokasi sumberdaya dalam agribisnis ayam ras dapat terarah pada penciptaan produk yang sesuai dengan tuntutan pasar. Alokasi sumberdaya yang terarah ini, ditambah dengan rninimumnya masalah margin ganda dan masalah transmisi sebagai akibat dari pengelolaan integrasi vertikal, akan kondusif untuk mencapai keunggulan bersaing. Pengembangan Sumberdaya Manusia Keberhasilan pembangunan peternakan dengan pendekatan agribisnis ditentukan oleh konsistensi pengelolaan antar subsistem agribisnis hulu, budidaya,, agribisnis hilir, dan jasa penunjang agribisnis, Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan agribisnis berbasis peternakan akan sangat ditentukan keharmonisan 62

kerjasama tim (team-work) sumberdaya manusia (SDM) baik yang berada pada agribisnis hulu, budidaya, agribisnis hilir, danyang ada pada jasa penunjang. Dengan perkataan Iain, seluruh SDM yang berada pada satu agribisnis komoditas (misalnya agribisnis ayam ras) dari hulu ke hilir harus dipandang sebagai suatu tim kerja (team-work). Hasil studi mutakhir (Hill and Berder, 1996; Ward et.al., 1995) mengungkapkan bahwa ketidakefisienan, kelambatan perkembangan, dan kekurangmampuan beradaptasi dari suatu agribisnis banyak bersumber dari ketidakharmonisan kerjasama tim di agribisnis itu sendiri. Untuk mewujudkan suatu kerjasama tim yang harmonis pada agribisnis, setiap SDM yang terlibat didalamnya tidak cukup hanya memiliki wawasan mengenai bidang pekerjaannya sendiri (on-job oriented). Kunci keberhasilan suatu kerjsama tim adalah bila setiap SDM yang ada memiliki wawasan pengetahuan mengenai bagaimana pekerjaan bidang lain dilaksanakan (how to do each other s job). Secara lebih lengkap, Hill dan Berder (1996) mengungkapkan bahwa setiap SDM yang terlibat dalam agribisnis, disamping memiliki ketrampilan pada bidang pekerjaannya sendiii (on-job skill), harus juga memiliki wawasan Iengkap tentang posisinya dalam perusahaan; posisi perusahaan dalam industri; dan perilaku industri (micro behaviour). Selain itu, karena agribisnis tidak mungkin terlepas dari fenomena makro dan melampaui batas-batas negara, maka setiap SDM yang terlibat dalam agribisnis juga perlu memiliki wawasan tentang kondisi dan perilaku makro (macro beliaviour) dan kondisi atau perilaku dunia secara global (global beiiauiour). Dengan begitu setiap SDM yang ada mampu memposisikan diri dan mengetahui konsekuensi dari pekerjaannya pada masingmasing level: perusahaan, industri, makro, maupun level internasional. Suatu sub-tim kerjasama ( subteam-work) SDM yang berada pada industri pembibitan ayam ras, harus memiliki wawasan yang cukup tentang aspek budidaya, agribisnis hilir, industri ayam ras secara keseluruhan, dan bahkan industri ayam ras internasional, sehingga kinerja tim kerjasama tersebut, misalnya mutu DOC 63

yang dihasilkannya, dapat menyumbang pada upaya pencapaian daya saing agribisnis ayam ras secara keseluruhan. Analog dengan hal ini juga berlaku bagi sub-tim kerjasama SDM pada budidaya, agribisnis hilir, dan pada lembaga penunjang, SDM yang bekerja pada lembaga pemerintah misalnya harus memiliki wawasan yang cukup tentang agribisnis ayam ras (micro-macroglobal behaviour) agar mampu menghasilkan kebijaksanaan yang kondusif bagi pencapaian daya saing dan bukan kebijaksanaan yang menimbulkan optirnisme pada suatu subsistem sementara pada subsistem lainnya menimbulkan pesimisme, Persoalannya khususnya di Indonesia adalah bahwa SDM agribisnis peternakan yang tersedia umumnya memiliki perbedaan dan variasi pendidikan/pengalaman yang cukup kontras, Selain itu, wawasan SDM yang ada juga umumnya masih terbatas pada level pengetahuan mikro (micro behaviour). Mutu SDM yang demikian jelas sulit diharapkan untuk mewujudkan suatu kerjasama tim yang harmonis dan handal Memang, umumnya SDM agribisnis kita sebagian besar memperoleh pelatihan (training) baik pada saat perekrutan (recruitment) maupun dalam rangka promosi jabatan. Namun pelatihan yang ada masih terbatas pada pelatihan mengenai aspek langsung yang berkaitan dengan suatu bidang pekerjaan (on-job training) untuk memperbaiki ketrampilan di bidang pekerjaan tersebut (on-job skill), sehingga belum cukup untuk mewujudkan suatu kerjasama tim yang handal Menghadapi mutu SDM agribisnis yang demikian, kita perlu mengembangkan suatu sistem pengembangan mutu SDM agribisnis yang terencana dan rnemberi akses kepada SDM yang ada untuk rnemiliki wawasan aspek mikro makroglobal (micromacro-global-behaviour) dari agribisnis. Catatan Penutup Perubahan paradigma pembangunan petemakan dari pendekatan peningkatan produksi kepada paradigma agribisnis 64

memerlukan perubahan dalam pendidikan SDM agribisnis. Oleh karena itu, lembaga-iernbaga pembinaan SDM baik perguruan tinggi, Iembaga pembinaan SDM profesional maupun departemen SDM suatu perusahaan agribisnis hendaknya perlu menyesualkan kurikulumnya. Kurikulum pendidikan tinggi ilmu peternakan yang sampai saat ini cenderung berwawasan mikro, perlu merevisi kurikulumnya dengan mengakomodir ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan wawasan atau aspek mikro-makro-global sedemikian rupa, sehingga SDM yang dihasilkan mampu diandalkan sebagai aktor pembangunan agribisnis dalam lingkungan dunia yang penuh persaingan. 65

66