2. TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi dan Komposisi Kimia Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin)

dokumen-dokumen yang mirip
2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Deskripsi Ikan Tuna

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT)

PERKEMBANGAN HISTAMIN SELAMA PROSES FERMENTASI DAN PENYIMPANAN PRODUK BAKASANG JEROAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis, Lin) RAHMATIA GARWAN

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc.

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Susu kedelai adalah salah satu hasil pengolahan yang merupakan hasil ekstraksi dari

BIOKIMIA HISTAMIN. DINI SURILAYANI S.Pi., M.Sc

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 7. MIKROBIOLOGI HASIL PERIKANAN. 7.1 Jenis-jenis Mikroba Pada Produk Perikanan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 5 0 C. Berdasarkan penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. ekonomi, perubahan pola hidup, peningkatan kesadaran gizi, dan perbaikan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang

Harryara Sitanggang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Jambi) ataupun yang berasal dari daging seperti sosis dan urutan/bebontot

Uji Organoleptik Ikan Mujair

HASIL DAN PEMBAHASAN

SKRIPSI. APLIKASI KOMBINASI EKSTRAK FULI PALA (Myristica fragrans Houtt) DAN NaCl SEBAGAI PENGAWET PADA MI BASAH MATANG. Oleh : MAULITA NOVELIANTI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dicampurkan dengan bahan-bahan lain seperti gula, garam, dan bumbu,

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011)

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang aman dan beberapa spesies digunakan sebagai terapi dalam proses

Nova Nurfauziawati VI. PEMBAHASAN

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Nilai konsumsi tahu tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan konsumsi

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh berbagai kalangan. Menurut (Rusdi dkk, 2011) tahu memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara sepintas

BAB I PENDAHULUAN. makanan yang halal dan baik, seperti makan daging, ikan, tumbuh-tumbuhan, dan

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bahan Baku Kerang. Kerang Anadara sp termasuk Kelas Pelecypoda (Bivalva) yang mempunyai

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan,

BAB I PENDAHULUAN. makanan sangat terbatas dan mudah rusak (perishable). Dengan pengawetan,

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat.

I. PENDAHULUAN. berasal dari susu seperti yogurt, keju, es krim dan dadih (produk olahan susu fermentasi

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan salah satu hasil kekayaan alam yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia untuk dijadikan

Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas. KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

MENGENAL LEBIH JAUH SKOMBROTOKSIN

merupakan komponen terbesar dari semua sel hidup. Protein dalam tubuh pembangun, dan zat pengatur dalam tubuh (Diana, 2009). Protein sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan susu segar sebagai bahan dasarnya, karena total padatan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN IKAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008).

Tingkat Kelangsungan Hidup

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat

BAB I PENDAHULUAN. nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu hasil perikanan budidaya

PAPER BIOKIMIA PANGAN

BAB I PENDAHULUAN. lainnya, karena jenis tersebut yang paling banyak di tangkap dan di

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. laut maupun ikan air tawar. Menurut Arias dalam Fernandes (2009) ikan

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama

TINJAUAN PUSTAKA Daging Sapi Daging Ayam

BAB I KLARIFIKASI HASIL PERTANIAN

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi

KOMPOSISI DAN MIKROBA TELUR

BAB I PENDAHULUAN. kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

BAB I PENDAHULUAN. pengolahan susu dengan bantuan mikroba untuk menghasilkan berbagai produk

TINJAUAN PUSTAKA. (a) (b) (c) (d) Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 (a), 1B1 (b), 2B2 (c), dan 2C12 (d) Sumber : Firmansyah (2009)

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan produk pangan menggunakan bahan baku kacang-kacangan

Berikut tips mengenali dan memilih pangan yang berasal dari hewan yang memenuhi kriteria Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH).

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah daging dari ternak yang sehat, saat penyembelihan dan pemasaran diawasi

4 Telur biasanya juga mengandung semua vitamin yang sangat dibutuhkan kecuali vitamin C. Vitamin larut lemak (A, D, E, dan K), vitamin yang larut air

BAB I PENDAHULUAN. protein hewani yang mengandung omega-3 dan protein yang cukup tinggi sebesar

I PENDAHULUAN. banyak ditemukan dan dikonsumsi yaitu ikan tongkol. Secara ilmu pengetahuaan,

BAB I PENDAHULUAN. sebagai salah satu sumber protein hewani. Ikan juga merupakan bahan makanan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. segar seperti diolah menjadi sosis, nugget, dendeng, kornet dan abon.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

I. PENDAHULUAN. Buah naga (Hylocereus polyrhizus) merupakan buah yang saat ini cukup populer

BAB III BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. dapat diperoleh di pasar atau di toko-toko yang menjual bahan pangan. Abon dapat

BAB I PENDAHULUAN. mamalia seperti sapi, kambing, unta, maupun hewan menyusui lainnya.

1) Mahasiswa Program Studi THP STITEK Balik Diwa Makassar 2) Staf Pengajar Program Studi THP STITEK Balik Diwa Makassar ;

Transkripsi:

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi dan Komposisi Kimia Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) Cakalang adalah ikan pelagis perenang cepat (good swimmer) dan mempunyai sifat rakus (varacious). Ikan ini melakukan migrasi jarak jauh dan hidup bergerombol dalam ukuran besar. Bentuk tubuhnya digolongkan dalam bentuk torpedo yaitu badan fusiform, bagian kepala sangat tebal, ramping dan kuat ke arah ekor dan sedikit pipih pada bagian samping. Penangkapan ikan cakalang dapat menggunakan pole and line, hand line dan tonda. Cakalang memiliki tubuh fusarium, memanjang dan agak bulat, tapis insang (gill net) berjumlah 53-65 pada helai pertama. Mempunyai 2 sirip punggung yang terpisah. Pada sirip punggung pertama terdapat 14-16 finlet dan sirip punggung kedua terdapat 7-9 finlet. Badan tidak bersisik kecuali pada badan dan lateral line terdapat titik-titik kecil. Bagian punggung berwarna gelap disisi bawah dan perut keperakan dengan 4-6 buah garis-garis berwarna kehitaman (gelap) yang memanjang pada bagian sepenjang badan (Matsumoto et al. 1984). Cakalang mempunyai ukuran panjang 50-70 cm dan berat 1500-5000 g, dengan perbandingan rata-rata untuk setiap bagian tubuh adalah sebagai berikut : daging putih 1-2 %, daging merah 10 %, kepala 11-26 %, insang 3,3 %, isi perut 6,6 %, hati 0,9-3,5 %, ekor dan sirip 1,5-2,5 %, tulang 8,1-11,1 % dan kulit 3,8-6,6 % (Kizevetter 1993). Klasifikasi ikan cakalang menurut Matsumoto et al. (1984) adalah sebagai berikut: Kingdom Subfilum Superkelas Series Kelas Subkelas Ordo Subordo Famili : Animalia : Craniata : Gnastomata : Pisces : Teleostomi : Actinopterigii : Perciformes : Scombridae : Scombridae

8 Subfamili Tribe Genus Spesies : Scombrina : Thunnini : Katsuwonus : Katsuwonus pelamis, Lin Daerah penyebaran ikan cakalang adalah perairan tropis dan subtropis pada lautan Atlantik, Hindia dan Pasifik kecuali laut Mediterania. Penyebaran ini dibedakan menjadi dua macam yaitu penyebaran horizontal atau penyebaran menurut letak geografis perairan dan penyebaran vertikal atau penyebaran menurut kedalaman perairan (Matsumoto et al. 1984). Morfologi ikan cakalang dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) (www.google.image.com) Daging ikan cakalang segar mempunyai komposisi kimia yang terdiri dari kadar air 70,40 %, kadar lemak 1,81 %, kadar protein 21,45 %, kadar abu 1,27 % dan kadar serat kasar 1,81 %. Ikan cakalang juga mengandung histidin yang tinggi yaitu 13,4 ppm daging (Matsumoto et al. 1984).

9 2.2. Kesegaran Ikan dan Proses Kemunduran Mutunya Ikan merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan biologis oleh enzim atau mikroorganisme pembusuk, sehingga memerlukan penanganan yang khusus untuk mempertahankan mutunya. Ikan sebagai bahan mentah yang cepat mengalami pembusukan, maka perlu diterapkan teknik penanganan yang baik meliputi waktu penanganan, temperatur dan kebersihan (Astawan et al. 1993; Soenardi 2005). Mutu kesegaran ikan dinilai berdasarkan sejauh mana ikan tersebut masih segar (Syah 2004). Ikan segar merupakan ikan yang baru saja ditangkap belum disimpan atau diawetkan dan mempunyai mutu tidak berubah serta tidak mengalami kerusakan (SNI 01-2729-1992). Nilai kesegaran ikan ditentukan oleh kondisi tempat penangkapan, metode penangkapan dan penanganan yang dilakukan terhadap ikan. Nilai kesegaran ikan menunjukkan mutu ikan tersebut. Tingkat mutu ikan ditentukan oleh kenormalan semua variabel sensori yang meliputi penampakan, tekstur dan bau. Semua variabel sensori ini memiliki hubungan dengan sifat fisiko-kimia ikan (Botta 1994). Menurut Yunizal dan Wibowo (1998) untuk mengenali segar tidaknya ikan dapat dilakukan pengamatan visual terhadap penampilan ikan secara menyeluruh terutama penampilan fisik, mata, insang dan adanya lendir, meraba adanya lendir dan kelenturan ikan, menekan daging ikan untuk melihat teksturnya dan mencium bau ikan. Setelah ikan mati, berbagai proses perubahan fisiko-kimia dan mikrobiologi terjadi dengan cepat. Semua proses perubahan ini akhirnya bermuara pada pembusukan. Tahap-tahap kemunduran kesegaran ikan adalah pre-rigor, rigormortis, autolisis dan penyerangan bakteri. Fase yang terjadi pada ikan yang baru mengalami kematian disebut fase pre-rigor. Perubahan pada fase ini ditandai terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit ikan yang membentuk lapisan bening tebal di sekeliling tubuh. Lendir yang dilepaskan tersebut sebagian besar terdiri dari glukomukoprotein (Rahayu et al. 1992). Keadaan ini secara biokimia ditandai dengan menurunnya kadar adenosin triphosphate (ATP) dan keratin fosfat seperti halnya pada reaksi glikolisis (Eskin 1990). Perubahan selanjutnya, ikan memasuki tahap rigormortis

10 ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah mati sebagai hasil perubahan biokimia yang kompleks dalam tubuh ikan (FAO 1995). Hilangnya kelenturan ikan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin yang berlangsung lambat pada tahap awal dan menjadi cepat pada tahap selanjutnya. Setelah itu, ikan memasuki tahap post-rigor yang ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara bertahap. Lamanya tingkat rigor dipengaruhi oleh kandungan glikogen dalam tubuh ikan dan suhu lingkungan. Kandungan glikogen yang tinggi dapat menunda datangnya proses rigor. Fase rigormortis dianggap penting, karena pada fase ini belum terjadi proses pembusukan dan dikenal sebagai petunjuk bahwa ikan masih dalam keadaan segar (Eskin 1990). Rigormortis merupakan salah satu perubahan yang terjadi pada daging ikan segera setelah ikan mati, ditunjukkan oleh perubahan kreatin fosfat menjadi ATP dan dimulai pada saat kandungan ATP mulai berkurang. Senyawa ATP terus terdegradasi dan tingkat rigormortis sempurna terjadi pada saat konsentrasinya mencapai 1 µmol/g (Mazzarano-Manzano et al. 2000). Serabut otot daging ikan hidup mengandung protein dalam gel lunak. Selama rigor, gel menjadi kaku dan bila rigor telah berlalu, otot daging menjadi lunak dan lentur kembali. Keadaan ini berlangsung selama 1 7 jam sesaat setelah ikan mati. Nilai ph ikan pada fase ini sekitar 6 7 (Eskin 1990). Tahapan kemunduran mutu ikan Sakaguchi (1990) disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Tahapan kemunduran mutu ikan Parameter Tahapan kemunduran mutu ikan Pre-rigor Rigormortis Post-rigor Pembusukan Penampakan Cerah dengan kilauan Kilau Warna memudar umum metalik menurun atau pucat Kondisi Keruh, opaq/ Tebal, lengket, Bersih dan transparan permukaan seperti susu kelabu Warna insang Merah cerah atau merah Merah Coklat atau segar kecoklatan kelabu Bau insang Bau segar Asam atau anyir Sangat asam Resistensi Lembut dan Keras dan Elastisitas Lunak dan daging elastis elastis menurun lembek Penampakan daging Semi transparan Keruh Sumber: Sakaguchi (1990)

11 Marioka et al. (1999) menjelaskan bahwa kondisi post-rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Proses autolisis adalah terjadinya penguraian daging ikan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh ikan. Hal ini terjadi terutama pada ikan yang disimpan tanpa dibuang isi perutnya. Proses autolisis akan menyebabkan penguraian protein menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu peptida, asam amino dan amonia yang akan meningkatkan nilai ph daging ikan. Autolisis ditandai dengan adanya senyawa amonia, yang pada tahap sebelumnya tidak dihasilkan pada jaringan tubuh ikan (FAO 1995). Kemunduran mutu ikan setelah mati disebabkan oleh aktivitas enzimatis dan mikrobiologis yang sudah ada secara alami pada tubuh ikan ketika hidup. Pada suhu di bawah 4 ºC proses kemunduran mutu ikan dapat dihambat, sebab pada suhu tersebut penguraian tubuh ikan oleh mikroorganisme dan enzim berlangsung dengan lambat. Kemunduran mutu ikan akan menyebabkan perubahan mutu terhadap flavor, aroma, warna dan penampakan daging ikan yang dapat mempengaruhi daya terima menjadi rendah (Clucas dan Ward 1996). 2.3. Mikrobiologi Ikan Segar Keberadaan mikroba pada ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu spesies ikan, lingkungan air, habitat, cuaca dan cara penangkapan. Pengaruh spesies ikan terhadap populasi mikroorganisme terutama disebabkan oleh perbedaan kandungan lendir pada kulit ikan antara satu spesies dengan spesies lainnya. Lendir yang menutupi ikan mengandung bakteri jenis Pseudomonas, Sarcina, Serattia, Micrococcus, Vibrio dan Bacillus (Kimata 1961). Bakteri yang berhasil diisolasi dari saluran usus ikan segar meliputi Achromobacter, Acinetobacter, Alcaligenes, Enterobacter, Flavobacterium, Pseudomonas dan Xanthomonas. Bakteri yang terdapat pada insang, usus dan lendir ikan sebanyak 60 % terdiri dari jenis Pseudomonas dan Achromobacter, 20 % terdiri dari jenis Corynebacterium, Flavobacterium dan Micrococcus. sedangkan sisanya adalah Alcaligenes, Bacillus, Proteus, Seratia, Graffkya dan E. coli (Rahayu et al. 1992).

12 Lingkungan air mempengaruhi mikroorganisme pada ikan. Ikan yang hidup di laut utara membawa banyak bakteri psikrofilik, sedangkan ikan yang hidup di laut tropis lebih banyak membawa bakteri mesofilik. Ikan yang hidup di air tawar membawa bakteri jenis Brevibacterium, Alcaligenes, Streptococcus, dan Lactobacillus. Ikan banyak mengandung bakteri apabila dibiarkan dalam waktu 2-3 jam pada suhu kamar akan cepat mengalami pembusukan. Bakteri yang berperan dalam kebusukan ikan adalah bakteri Gram-negatif berbentuk batang terutama dari jenis Pseudomonas, Achromobacter dan Alcaligenes (Rahayu et al. 1992). Kepadatan bakteri pada ketiga lokasi insang, kulit, dan usus tidak sama. Kepadatan bakteri masing-masing pada insang berkisar 10 3-10 5 Cfu/g, kulit berkisar 10 2-10 6 Cfu/g dan pada usus berkisar 10 3-10 7 Cfu/g. Bakteri-bakteri tersebut menyerang tubuh ikan mulai dari insang atau luka-luka yang terdapat pada kulit menuju jaringan tubuh bagian dalam, dari saluran pencernaan menuju jaringan daging dan dari permukaan kulit menuju ke jaringan tubuh bagian dalam dan cara ketiga yang paling sedikit (Hadiwiyoto 1993). Proses pengawetan dan pengolahan ikan ditujukan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Banyak cara yang telah dilakukan untuk mencegah atau menghambat proses perubahan yang disebabkan oleh bakteri, antara lain dengan menyiangi ikan, merendam ikan dalam zat kimia, menggunakan es batu yang telah diberi zat antibakteri atau melalui proses pembekuan (Clucas dan Ward 1996). 2.4. Protein Ikan Ikan mengandung protein yang cukup tinggi dan komposisi asam aminonya tidak sama dengan hewan-hewan darat. Ditinjau dari kandungan asam aminonya, maka protein ikan diklasifikasikan sebagai sumber protein yang bermutu tinggi sebab mengandung asam amino esensial yang lengkap (Zaitsev et al. 1969; Suzuki 1981). Protein adalah senyawa yang mempunyai berat molekul besar, yaitu ribuan sampai jutaan dalton. Protein merupakan komponen utama dalam sel hidup dan memegang peranan penting dalam proses kehidupan. Hasil-hasil hewani yang umum digunakan sebagai sumber protein

13 adalah daging (sapi, kerbau, kambing, dan ayam), telur (ayam dan bebek), susu dari hasil-hasil perikanan seperti ikan, udang dan kerang (Zaitsev et al. 1969; Winarno et al. 1993). Protein hewani disebut juga protein yang lengkap dan bermutu tinggi karena mempunyai asam amino esensial yang lengkap dan susunannya mendekati apa yang diperlukan oleh tubuh dan daya cernanya tinggi sehingga jumlah yang dapat diserap oleh tubuh juga tinggi (Sakaguchi 1990). Komponen asam amino ikan laut, ikan air tawar dan daging sapi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi asam amino dalam protein daging ikan laut, ikan air tawar dan daging sapi Asam amino Ikan laut (%) a) Ikan air tawar (%) b) Daging sapi (%) c) Alanin 5,2 7,8 10,34 3 Asam aspartat 6,2-11,8 18,3 6,05 Asam glutamat 5,9-15,6 3,03 11,95 Glisin 1,0 5,6 8,37 3,3 Isoleusin 2,6 7,7 7,8 2,23 Leusin 3,9 18,0 13,34 4,91 Metionin 1,5 3,7 6,64 2,07 Serin 2,5 5,4 1,0 1,76 Treonin 0,6 6,2 7,5 2,92 Valin 0,6 5,4 8,2 2,14 Arginin 2,6 9,6 1,1 4,07 Lisin 4,1 14,4 1,6 4,92 Histidin 1,2 5,7 5,91 1,62 Fenilalanin 1,9 4,8 8,56 2,71 Prolin 3,0 7,1 5,8 1,91 Triptofan 0,4 1,4 1,26 5,4 Tirosin 1,3 5,0 7,9 2,30 Sumber: a) Zaitsev et al. (1969) b) Mahmud et al. (1990) c) Slamet dan Purawisastra (1979) Pada Tabel 2 dapat dilihat ada beberapa jumlah asam amino ikan yang sama dengan daging sapi, namun demikian jumlah jaringan ikat dalam otot ikan lebih kecil dari pada daging sapi serta serat-serat otot ikan lebih pendek daripada serat-serat otot sapi. Hal ini menyebabkan tekstur daging ikan lebih empuk dari daging sapi (Slamet dan Purawisastra 1979).

14 2.5. Histidin dan Histamin Histidin secara alami ditemukan pada kebanyakan hewan dan tumbuhan terutama yang tinggi proteinnya seperti ikan, unggas, keju dan biji gandum. Histidin adalah salah satu asam amino yang merupakan prekursor histamin (Tjay dan Rahardja 2007). Pada umumnya histidin bebas merupakan histidin yang dihasilkan dari degradasi protein pada saat ikan tersebut mengalami pembusukan (Brink et al. 1990; Stratton et al. 1991; Lehane dan Olley 2000). Ada dua macam histidin dalam daging ikan yaitu histidin bebas dan histidin terikat dalam protein. Hanya histidin bebas yang dapat mengalami dekarboksilasi menjadi histamin. Histidin bebas yang terdapat pada daging ikan erat sekali hubungannya dengan terbentuknya histamin dalam daging. Semua daging ikan yang berwarna merah seperti cakalang, marlin dan sardin, tinggi kandungan histidin bebasnya (Pan 1984). Rossi et al. (2003); Kung et al. 2005; McLauchlin et al. 2005; Veciana et al. (1996); Kuda et al. (2007) menjelaskan bahwa histidin bebas banyak terdapat pada ikan scombroid yang berasal dari famili scombroidae dan jaringan lainnya seperti pada jeroan khususnya pilorikaeka dan usus. Lehane dan Olley (2000); Tsai et al. (2007) menambahkan bahwa histamin adalah senyawa yang terdapat di dalam daging ikan yang menyebabkan keracunan scombroid. Keracunan scombroid merupakan salah satu jenis intoksikasi pangan yang disebabkan oleh mengkonsumsi spesies ikan laut scombroid dan sejenisnya. Keracunan histamin (intoksikasi kimiawi) terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah mengkonsumsi ikan yang mengandung histamin tinggi. Intoksikasi histamin tersebut terjadi dengan gejala seperti; kemerahan di sekitar leher dan wajah, badan terasa panas dan gatal-gatal. Gejala penderitaan yang dialami konsumen biasanya selama beberapa jam, tetapi pada beberapa kasus gejala tersebut dapat sampai beberapa hari.

15 2.5.1. Kandungan histamin dan pembentukannya pada ikan Histamin merupakan senyawa amin biogenik hasil dekarboksilasi asam amino histidin (ά-amino ß-inidosal asam propionat) (Keer et al. 2002; Tjay dan Rahardja 2007). Kandungan histamin pada ikan segar adalah rendah tetapi pada ikan busuk, kandungannya menjadi tinggi (Tsai et al. 2007). Nigous et al. (1990) menyatakan bahwa penyebab reaksi dekarboksilasi adalah berupa enzim, panas ataupun suasana basa. Reaksi pembentukan histamin menurut Cheffel et al. (1986) disajikan pada Gambar 3. Gambar 3. Reaksi pembentukan histamin (Cheffel et al. 1986) McLauchlin et al. (2005); Suryanti et al. (2006) melaporkan kandungan histamin pada ikan scombroid yang sudah rendah mutunya bervariasi antara 10-100 ppm bahkan kadang-kadang sampai 700-1000 ppm. Kadar histamin jika melebihi 25 ppm sudah mulai terbentuk kerusakan, kadar >50 ppm sudah berbahaya untuk kesehatan dan kadar >100 ppm sudah bersifat racun pada manusia (SNI 01-2360-1991). Standar yang ditetapkan oleh Ditjen P 2 HP DKP (2007) kadar histamin untuk hasil dan produk perikanan adalah 100 ppm. Brink et al. (1990) melaporkan kandungan histamin 100-800 ppm sudah toksik, kadar 500 ppm sudah berbahaya bagi kesehatan manusia (Askar dan Treptow 1993), sedangkan kadar histamin produk perikanan yang masih aman untuk dikonsumsi adalah <5 ppm (USDFA 2001).

16 Pada tahun 1998 di New Zaeland, dilaporkan terjadi keracunan histamin pada pengunjung restoran yang memakan steak tuna yang mengandung histamin >50 ppm (Mah et al. 2002). Jumlah histamin yang terbentuk bervariasi pada setiap spesies ikan tergantung pada jumlah histidinnya, tipe dan banyaknya bakteri yang menunjang pertumbuhan dan aktivitas mikroba dan dipengaruhi oleh suhu penyimpanan dan ph (Pan 1984; Fardiaz 1993; Kushner 1998; Lehane dan Olley 2000; Kim et al. 2000). Autolisis pada daging ikan mulai berlangsung secara biokimia segera setelah ikan mati terutama pada daging sekitar rongga perut. Setelah fase rigormortis, enzim di dalam perut ikan aktif menguraikan komponen ikan yang menyebabkan terjadinya perubahan pada rasa, warna tekstur, bau dan penampakan ikan (Hidayat et al. 2006). Menurut Sillasantos et al. (1996); Lehane dan Olley (2000); Tsai et al. (2007) bahwa jumlah histamin yang dihasilkan dari aktivitas bakteri lebih banyak daripada hasil reaksi autolisis. Jumlah histamin yang dikandung oleh ikan dipengaruhi oleh jumlah mikroba atau bakteri yang terdapat pada ikan tersebut. Kandungan histamin pada ikan yang berukuran kecil jauh lebih banyak dibandingkan dengan ikan yang berukuran besar (Syah 2004). Bakteri pembentuk histamin lebih banyak dijumpai pada insang dan jeroan ikan daripada kulit karena insang dan jeroan merupakan sumber bakteri (Shewan dan Hobbs 1997). Hasil penelitian Keer et al. (2002); Kim et al. (2000) menyatakan bahwa terdapat hubungan atau korelasi positif antara jumlah bakteri dan kadar histamin yang dihasilkan. Pada jaringan ikan beku yang dithawing, produksi histaminnya dapat terhambat. Hal ini disebabkan oleh rusaknya bakteri penghasil histamin dalam proses pembekuan (freezing) dan thawing sehingga mencegah pembentukan senyawa tersebut. Kim et al. (2004); Tsai et al. (2007) menjelaskan bahwa aktivitas bakteri dan pembentukan histamin dipengaruhi oleh suhu dan waktu inkubasi. Tiap-tiap spesies mempunyai suhu dan waktu optimum yang berbeda. Bakteri pembentuk histamin dapat dikelompokkan menjadi spesies yang mampu memproduksi histamin dalam jumlah besar (>100 ppm) pada suhu di atas 15 0 C dengan lama inkubasi < 24 jam dan spesies yang memproduksi histamin dalam jumlah kecil

17 (< 25 ppm) setelah diinkubasi pada temperatur 30 0 C selama > 48 jam. Bakteribakteri yang dapat mendekarboksilasi histidin disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Bakteri-bakteri yang mendekarboksilasi histidin Bakteri Hafnia spp., Hafnia alvei Klebsiella spp., Klebsiella pneumonia, Escherichia coli Clostridium spp., C. perfringens Lactobacillus spp., Lactobacillus 30a Enterobacter spp. Proteus sp., Proteus morganii Sumber : Eitenmiller et al. (1981) Morfologi Gram-negatif, batang, fakultatif anaerobik Gram-negatif, batang, fakultatif anaerobik Gram-negatif, batang, fakultatif anaerobik Gram-positif, batang, anaerobik Gram-positif, batang, fakultatif anaerobik Gram-negatif, batang, fakultatif anaerobik Hasil penelitian Taylor dan Behling (1982); Tsai et al. (2007) menunjukkan bahwa bakteri Proteus morganii, Klebsiella pneumonia dan Enterobacter aerogenes termasuk penghasil histamin yang paling banyak, sedangkan Hafnia alvei, E. coli dan Clostridium freundii menghasilkan histamin sedikit. Keer et al. (2002); Setiyono (2006) menyatakan bahwa histamin merupakan komponen biogenik amin yaitu bahan aktif yang diproduksi secara biologis melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas serta terdapat pada berbagai bahan pangan seperti ikan, daging merah, keju dan makanan fermentasi. Menurut Orejana (1984) bahwa adanya histamin pada daging ikan berkaitan dengan Scombroid poisoning sehingga histamin dapat digunakan sebagai indikator adanya suatu toksin dalam tuna, mackerel (kembung) dan ikanikan sejenis lainnya. Istilah Scombroid poisoning merupakan istilah yang umum digunakan untuk menyebutkan ikan yang secara alami telah mengandung senyawa toksin. Ditambahkan lebih lanjut oleh Veciana et al. (1996); Rossi et al. (2003) bahwa ikan-ikan yang termasuk dalam kelompok ini adalah ikan tongkol, kembung, cakalang, tuna dan bonito. Yatsunami et al. (1994) melaporkan bahwa bakteri pembentuk histamin yang diisolasi dari produk fermentasi ikan sardin adalah Staphylococcus, Micrococcus, Vibrio dan Pseudomonas. Kuda et al. (2001); Kuda et al. (2002)

18 menyatakan bahwa kadar histamin pada ikan mackerel dan ikan sardin berkisar 12,6-30,5 ppm, sedangkan bakteri pembentuk histamin yang paling dominan adalah bakteri asam laktat berbentuk kokus Tetragenococcus. Kobayashi et al. (2004) melaporkan bakteri pembentuk histamin yang berhasil diidentifikasi dari fermentasi ikan mackerel dan ikan sardin adalah T. mutiaticus. Dapkevicius et al. (2000) melaporkan juga bahwa ditemukan strain Lactobacillus sake yang mendegradasi histidin menjadi histamin dalam pasta ikan sardin yang difermentasi. Mah et al. (2002) melaporkan bahwa peningkatan histamin pada sardin dan mackerel setelah penyimpanan pada suhu 4 0 C selama fermentasi 10 hari berkisar 521-751 ppm. 2.5.2. Reaksi fisiologis histamin Histamin mempunyai fungsi penting dalam tubuh yaitu dihubungkan dengan fenomena fisiologis, patologis terutama dengan pelepasan pada reaksi anafilaksis dan alergi. Alergi berarti masuknya suatu bahan asing yang menyebabkan reaksi tidak menyenangkan di dalam jaringan tubuh, namun tidak terjadi pada setiap orang. Keracunan adalah efek dari mengkonsumsi pangan tertentu yang melebihi dari yang ditetapkan berlaku pada setiap orang. Secara garis besar reaksi alergi dapat dibagi atas 3 golongan yaitu reaksi pertama terjadi sangat cepat, reaksi ini terjadi sedemikian rupa sehingga bibir, lidah dan tenggorokan langsung membengkak dan menghalangi masuknya makanan. Manifestasi alerginya cepat sehingga mudah diketahui makanan yang mengandung alergen. Reaksi kedua terjadi lebih lambat perlu waktu berjam-jam lamanya dengan demikian lebih sukar untuk mengetahui makanan mana yang bertanggung jawab atas manifestasi alergi pada seorang penderita. Reaksi ketiga lebih lama lagi, manifestasi klinis dari reaksi ketiga ini biasanya berupa kemerahan pada kulit (Rengganis 2007). Ada 5 gejala kunci alergi yang dapat terjadi apabila seseorang mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung alergen yaitu pembengkakan di sekitar mata, tangan, abdomen dan pergelangan, denyut jantung yang cepat atau berdebar-debar khususnya terjadi setelah makan, keringat yang berlebihan

19 walaupun tidak berolah raga. Reaksi antigen-antibodi menyebabkan pelepasan histamin sehingga terjadi fase dilatasi, gatal dan edema (Mumby 1995). Pelepasan histamin selama terjadi reaksi antigen-antibodi telah dilaporkan oleh para peneliti. Histamin telah diketahui merupakan perantara terjadinya fenomena hipersensitivitas (Syamsudin 1990). Keracunan histamin jarang terjadi dan biasanya terjadi karena overdosis. Gejala utama yang timbul yaitu sakit kepala, diare, muntah-muntah, bibir bengkak dan rasa terbakar di tenggorokan (Rice et al. 1976; Ronald et al. 1999). Menurut Lehane dan Olley (2000) keracunan histamin dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu keracunan tingkat lemah apabila mengkonsumsi 8-40 ppm, keracunan sedang apabila mengkonsumsi 70-100 ppm dan keracunan kuat apabila mengkonsumsi 150-400 ppm histamin. 2.6. Fermentasi Proses fermentasi adalah pemecahan karbohidrat menjadi alkohol dan karbondioksida (CO 2 ), tetapi banyak proses yang disebut fermentasi tidak selalu menggunakan substrat karbohidrat sebagai media fermentasi yang menghasilkan alkohol dan CO 2 saja. Selain karbohidrat, protein dan lemak dapat juga dipecah oleh mikroba atau enzim tertentu untuk menghasilkan asam amino, asam lemak dan zat-zat lainnya (Rahayu et al. 1992). Fukami et al. (2002); Syah (2004) menjelaskan bahwa pada prinsipnya fermentasi adalah proses perubahan substrat organik yang kompleks menjadi komponen yang lebih sederhana dengan adanya aktivitas enzim dan mikroba dalam keadaan terkontrol, dimana bahan-bahan atau komponen yang dihasilkan dapat menghambat kegiatan mikroba pembusuk. Selain menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan, perubahan yang terjadi dapat memperbaiki nilai gizi produk. Gildberg dan Thongthai (2001); Ichimura et al. (2003) menyatakan bahwa fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat dari pemecahan kandungan-kandungan bahan pangan tersebut. Hasil fermentasi terutama

20 tergantung pada jenis bahan pangan (substrat), jenis mikroba dan kondisi di sekelilingnya yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut. Berdasarkan sumber mikroba yang berpengaruh dalam fermentasi, maka fermentasi makanan dapat dibedakan atas dua kelompok yaitu fermentasi spontan dan fermentasi tidak spontan. Fermentasi spontan terjadi pada makanan yang dalam pembuatannya tidak ditambahkan mikroba dalam bentuk starter, tetapi mikroba yang berperan aktif dalam proses fermentasi berkembang biak secara spontan karena lingkungan hidupnya yang dibuat sesuai untuk pertumbuhannya. Fermentasi tidak spontan terjadi pada makanan yang dalam pembuatannya ditambahkan mikroba dalam bentuk kultur atau starter, dimana mikroba tersebut akan berkembang biak dan aktif dalam mengubah bahan yang difermentasi menjadi produk yang diinginkan (Fardiaz 1993; Ruddle dan Ishige 2005). 2.6.1. Fermentasi dengan garam Peranan garam dalam fermentasi adalah sebagai penyeleksi mikroorganisme yang diperlukan. Jumlah garam yang ditambahkan berpengaruh pada populasi mikroorganisme dan jenis mikroorganisme yang tumbuh. Oleh karena itu kadar garam dapat digunakan untuk mengendalikan aktivitas fermentasi apabila faktor-faktor lainnya sama (Winarno et al. 1993; Hermansyah 1999). Penambahan garam dalam fermentasi ikan mempunyai beberapa fungsi yaitu meningkatkan rasa ikan, membentuk tekstur yang diinginkan, mengontrol pertumbuhan mikroorganisme yang diinginkan dalam fermentasi dan menghambat pertumbuhan mikroorgansime pembusuk dan patogen (Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993; Ijong dan Ohta 1995). Garam dapat berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan mikroorgansime pembusuk dan patogen karenanya mempunyai sifat-sifat antimikroba yaitu: garam akan meningkatkan tekanan osmotik substrat; garam menyebabkan terjadinya penarikan air dalam bahan pangan, sehingga a w bahan pangan akan menurun dan mikroorganisme tidak akan tumbuh; garam menyebabkan terjadinya penarikan air dari dalam sel mikroorganisme sehingga sel akan kehilangan air dan mengalami pengerutan; ionisasi garam akan

21 menghasilkan ion klor yang beracun terhadap mikroorganisme dan dapat mengganggu kerja enzim proteolitik karena dapat mengakibatkan terjadinya dena- turasi protein (Heruwati 2000; Rahayu et al.1992). Fermentasi menggunakan garam sangat berperan dalam penguraian senyawa-senyawa seperti enzim dari ikannya sendiri, terutama enzim dari isi perut dan mikroorganisme yang berasal dari ikan maupun garam yang digunakan (Rahayu et al. 1992). Ijong dan Ohta (1995) menambahkan bahwa pada proses pembuatan bakasang ikan sardin, garam yang digunakan selain berfungsi untuk mengikat air dan pemberi rasa sedap juga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang tidak dikehendaki. 2.6.2. Fermentasi bakasang Proses fermentasi yang terjadi pada ikan merupakan proses penguraian secara biologis atau semibiologis terhadap senyawa-senyawa kompleks terutama protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dalam keadaan terkontrol. Selama proses fermentasi, protein ikan akan terhidrolisis menjadi asam-asam amino dan peptida yang berperan dalam pembentukan cita rasa produk. Jika ke dalam bahan mentahnya ditambahkan sumber karbohidrat, misalnya pati atau nasi, maka selama fermentasi akan terjadi pemecahan pati menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana seperti asam dan alkohol (Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993). Produk akhir fermentasi ikan dapat berupa ikan utuh, pasta atau saus. Prinsip pengawetan pada produk fermentasi ikan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya penurunan aktivitas air oleh garam, gula, pengeringan dan dikombinasikan dengan penurunan ph oleh bakteri pembentuk asam (Rahayu et al. 1992). Bakasang adalah suatu produk fermentasi ikan berupa larutan kental (semisolid) dan dibuat melalui fermentasi dengan medium garam yang rasanya asam dan biasanya disajikan sebagai pelengkap lauk yang sebelumnya dibumbuhi cabe dan gula. Bakasang merupakan salah satu produk fermentasi oleh mikroba fermentatif yang disebut bakteri asam laktat (Gunena 2000; Ijong dan Ohta 1995).

22 Bakasang digolongkan dalam fermentasi spontan, karena dalam pembuatannya dilakukan penambahan garam dan tidak menambahkan starter mikroba maupun karbohidrat. Produk fermentasi yang dibuat menggunakan kadar garam tinggi tidak dapat digunakan sebagai makanan sumber protein karena rasanya yang terlalu asin, sehingga jumlah yang dapat dikonsumsi juga terbatas. Produk-produk semacam ini biasanya hanya digunakan sebagai bahan perangsang makan, penyedap makanan atau bumbu. Proses fermentasi ikan merupakan proses biologis atau semi-biologis yang pada prinsipnya dapat dibedakan atas empat golongan (Rahayu et al. 1992) yaitu: 1). Fermentasi menggunakan kadar garam tinggi, misalnya dalam pembuatan peda, kecap ikan dan bakasang. 2). Fermentasi menggunakan asam-asam organik, misalnya dalam pembuatan silase ikan dengan cara menambahkan asam-asam propionat dan format. 3). Fermentasi menggunakan asam-asam mineral, misalnya dalam pembuatan silase ikan menggunakan asam-asam kuat. 4). Fermentasi menggunakan bakteri asam laktat, misalnya dalam pembuatan bakasang. Daengsubha (1998) melaporkan bahwa dari produk Plaa-ra (produk sejenis bakasang yang berasal dari ikan air tawar di Thailand) dengan waktu fermentasi selama 6 bulan telah ditemukan mikroba seperti Bacillus, Pediococcus halophilus, Micrococcus sp. dan Staphylococcus epidermis dengan komposisi terdiri dari 7,95-20,28 % protein, 11,61-23,82 % garam, ph 4,0-6,90 serta terdapat 0,71-1,94 % asam laktat. Sumanti (1998) berhasil melakukan isolasi dan identifikasi bakteri halofilik selama fermentasi jeroan ikan cakalang, ditemukan bakteri seperti Micrococcus, Halobacterium salinarum, Staphylococcus sp dan Bacillus sp. Pada fermentasi bakasang ikan sardin yang diteliti oleh Ijong dan Ohta (1995) ditemukan bakteri asam laktat Lactobacillus pada ph 5,5-5,9 menggunakan kadar garam 20 % dan lama fermentasi 14 hari. Mikroba yang berhasil diisolasi dari bakasang ikan mujair ditemukan Lactobacillus, Streptococcus, Staphylococcus, Bacillus, Clostridium, Micrococcus, Enterobacter, Enterococcus dan Streptococcus dengan ph 5-7 selama 2 hari fermentasi (Gunena 2000). Muller et al. (2002) melaporkan bahwa

23 mikroflora yang diisolasi dari produk fermentasi Plaa-som (salah satu produk fermentasi ikan laut (Channas triatus) selama 12 hari fermentasi ditemukan Lactobacillus plantarum, Lalimentarius, Lactococcus garviae, Pediococcus pentosaceus, Staphylococcus dan Zygossacharomycez sp. Komposisi kimia silase jeroan ikan cakalang (produk sejenis bakasang dari Sulawesi Utara) terdiri dari protein 14,82-15,91 %, lemak 0,91-1,37 %, air 69,13-75,38 % dan kadar abu 13,12-15,07 % (Kaseger 1986).