BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Repository.Unimus.ac.id

BAB I. PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) banyak ditemukan di daerah

BAB I PENDAHULUAN (3, 4)

BAB I PENDAHULUAN. (5). Kasus infeksi dengue di Provinsi Jawa Tengah menempati urutan kedua secara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DAFTAR ISI.. HALAMAN JUDUL HALAMAN PERSETUJUAN.. HALAMAN PERNYATAAN. KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL.. DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lain lain masih cukup tinggi angka kesakitan dan kematian yang menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. dengue (DEN) dari kelompok Arbovirus B, yaitu termasuk arthtropod-borne virus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah. kesehatan utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas

I. PENDAHULUAN. vektor penyakit infeksi antar manusia dan hewan (WHO, 2014). Menurut CDC

I. PENDAHULUAN. Salah satu penyakit yang ditularkan oleh nyamuk sebagai vektornya adalah Demam

BAB 1 PENDAHULUAN. hampir di seluruh belahan dunia terutama negara tropik dan subtropik sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dan ditularkan oleh gigitan nyamuk Ae. aegypti ini menjadi penyakit tular virus

STATUS KERENTANAN NYAMUK Aedes aegypti TERHADAP INSEKTISIDA MALATION 5% DI KOTA SURABAYA. Suwito 1 ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan yang ditemukan di

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong Arthropod Borne Virus, genus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

BAB I LATAR BELAKANG

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 dan yang terbaru adalah Den-5.

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dan ditularkan melalui perantara nyamuk Aedes aegypti dan Aedes

BAB III METODE PENELITIAN

Penyakit DBD merupakan masalah serius di Provinsi Jawa Tengah, daerah yang sudah pernah terjangkit penyakit DBD yaitu 35 Kabupaten/Kota.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes spp.

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Demam Chikungunya merupakan salah satu re-emerging disease di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan

PERBEDAAN INTENSITAS PEMAKAIAN INSEKTISIDA RUMAH TANGGA DENGAN RESISTENSI NYAMUK Aedes aegypti TERHADAP GOLONGAN PIRETROID DI KOTA SEMARANG

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SebaranJentik Nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kepadatan penduduk. Menurut WHO (2009), Sekitar 2,5 miliar penduduk dunia

BAB I PENDAHULUAN. Hemoglobinopati adalah kelainan pada sintesis hemoglobin atau variasi

BAB III METODE PENELITIAN. jumlah tempat perindukan nyamuk yang mempengaruhi populasi larva Aedes

KEPADATAN JENTIK Aedes aegypti sp. DAN INTERVENSI PENGENDALIAN RISIKO PENULARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA PADANG TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV METODE PENELITIAN. obyektif. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional yakni

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. yang sering ditemukan di daerah tropis dan. subtropics. Di Asia Tenggara, Indonesia memiliki

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh virus dengue. DBD merupakan penyakit dengan jumlah kasus yang tinggi di

BAHAN DAN METODE Lokasi Pengambilan Sampel

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Penelitian Pengamatan Tempat Perindukan Aedes

BAB I PENDAHULUAN. manusia melalui perantara vektor penyakit. Vektor penyakit merupakan artropoda

BAB V HASIL. Studi ini melibatkan 46 sampel yang terbagi dalam dua kelompok, kelompok

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

HUBUNGAN KEPADATAN JENTIK Aedes sp DAN PRAKTIK PSN DENGAN KEJADIAN DBD DI SEKOLAH TINGKAT DASAR DI KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan. salah satu masalah kesehatan lingkungan yang cenderung

Analisis Terhadap Densitas Larva Nyamuk Aedes aegypti (Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue/DBD)

BAB I PENDAHULUAN. Dengue adalah salah satu penyakit infeksi yang. dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

JURNAL. Suzan Meydel Alupaty dr. H. Hasanuddin Ishak, M.Sc,Ph.D Agus Bintara Birawida, S.Kel. M.Kes

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah salah. satu penyakit yang menjadi masalah di negara-negara

Jurnal Kesehatan Masyarakat

Keberadaan Kontainer sebagai Faktor Risiko Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Palu, Sulawesi Tengah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

92 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes. ISSN (elektronik) PENDAHULUAN. Latar Belakang

SURVEI ENTOMOLOGI DAN PENENTUAN MAYA INDEX DI DAERAH ENDEMIS DBD DI DUSUN KRAPYAK KULON, DESA PANGGUNGHARJO, KECAMATAN SEWON, KABUPATEN BANTUL, DIY

BAB I PENDAHULUAN. lancarnya transportasi (darat, laut dan udara), perilaku masyarakat yang kurang sadar

BAB I PENDAHULUAN. tropis. Pandangan ini berubah sejak timbulnya wabah demam dengue di

BAB I PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang menyebar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

SUMMARY HASNI YUNUS

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

Hubungan Kepadatan Larva Aedes spp. dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Lubuk Kecamatan Koto Tangah Kota Padang

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan snyamuk dari genus Aedes,

FOKUS UTAMA SURVEI JENTIK TERSANGKA VEKTOR CHIKUNGUNYA DI DESA BATUMARTA UNIT 2 KECAMATAN LUBUK RAJA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TAHUN 2009

A. LATAR BELAKANG MASALAH

SURVEY KEPADATAN LARVA AEDES AEGYPTI DI KECAMATAN MAMUJU KABUPATEN MAMUJU

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. beberapa negara-negara tropis, terutama Yogyakarta. Tingginya prevalensi DBD

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi Nyamuk

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. O1 X 0 O k : Observasi awal/pretest sebanyak 3 kali dalam 3minggu berturut-turut

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

Status kerentanan Aedes aegypti terhadap beberapa golongan insektisida di Provinsi Kalimantan Selatan

Pasal 3 Pedoman Identifikasi Faktor Risiko Kesehatan Akibat Perubahan Iklim sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO), juta orang di seluruh dunia terinfeksi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue, ditularkan

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang. dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan

Efryanus Riyan* La Dupai** Asrun Salam***

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Deskripsi hasil penelitian mencakup tentang lokasi penelitian, survai larva dan rearing nyamuk Ae. aegypti, survai penggunaan insektisida, penentuan status resistensi populasi nyamuk Ae. aegypti terhadap insektisida piretroid serta distribusi alel kdr kodon 1016 yang terdeteksi. Bagan laporan tercantum pada Gambar 4.1. Koleksi larva dari tiga kabupaten/kota dipelihara menjadi nyamuk umur 3-5 hari (n = 150 per lokasi) Pengumpulan data riwayat penggunaan insektisida (10-20 rumah di sekitar kasus) Uji resistensi nyamuk Ae. aegypti terhadap insektisida piretroid (n = 125 per lokasi) Analisis status resistensi populasi nyamuk Ae. aegypti terhadap insektisida piretroid Ekstraksi DNA genom (n = 4 dari uji bioassay; 2 sampel nyamuk resisten dan 2 sampel nyamuk rentan) Analisis polimorfisme nukleotida tunggal gen VGSC domain II kodon 1016 Gambar 4.1 Bagan Laporan Penelitian 2. Analisis Hasil Survai Vektor Aedes aegypti a. Daerah Asal Habitat Ae. aegypti Nyamuk Ae. aegypti yang digunakan sebagai subjek penelitian dikumpulkan melalui survai vektor berupa stadium larva dan pupa kemudian dipelihara hingga menjadi nyamuk dewasa. Survai vektor dilakukan di tiga kabupaten/kota endemis DBD di dataran tinggi Provinsi Jawa Tengah yaitu Kabupaten Semarang (Desa Bandungan, Kelurahan Gebugan, Kelurahan Karangjati), Kabupaten Pemalang (Desa Gombong) dan Kota Semarang (Kelurahan Tembalang). Diketahui diantara kelima lokasi survai vektor, Kelurahan Tembalang memiliki elevasi kurang dari 300 meter di atas permukaan laut, namun daerah tersebut tetap menjadi lokasi survai sebab 31

merupakan dataran tertinggi di Kota Semarang yang endemis DBD. Survai dilakukan dalam periode bulan Juni-Agustus 2016 pada tempat penampungan air di dalam rumah warga yang berada dalam radius 50 meter dari rumah penderita DBD berdasarkan data Puskesmas setempat tahun 2015-2016. Tabel 4.1 Koordinat Lokasi Penelitian Kabupaten/Kota Lokasi Koordinat Elevasi (m) Kabupaten Semarang Desa Bandungan 07 13 31.13 LS 910 110 21 58.39 BT Kelurahan Gebugan 07 10 34.71 LS 524 110 23 54.59 BT Kelurahan Karangjati 07 10 56.79 LS 486 110 25 41.32 BT Kabupaten Pemalang Desa Gombong 07 11 48.68 LS 1111 109 18 01.46 BT Kota Semarang Kelurahan Tembalang 07 03 28.59 LS 216 110 26 11.34 BT Gambar 4.2 Peta Lokasi Penelitian di Dataran Tinggi Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Kabupaten/Kota b. Karakteristik Tempat Penampungan Air Sumber Larva Pengukuran kepadatan populasi Aedes berdasarkan House Index (HI), Container Index (CI) dan Breteau Index (BI) dari tiga kabupaten/kota endemis DBD di dataran tinggi Provinsi Jawa Tengah adalah HI berkisar antara 35% (Kota Semarang) hingga 66,7% (Kabupaten Pemalang), CI berkisar antara 40% (Kota Semarang) hingga 56% (Kabupaten Pemalang) dan 32

BI berkisar antara 60% (Kota Semarang) hingga 93,3% (Kabupaten Pemalang). Hal ini menunjukkan bahwa densitas populasi Aedes sebagai vektor di daerah endemis DBD di dataran tinggi Provinsi Jawa Tengah bervariasi dan masih melebihi ambang batas aman penularan yang ditetapkan bahwa HI tidak boleh lebih dari 5% dan angka bebas jentik 95% atau lebih (60). Gambar 4.3 Distribusi Indeks Larva Aedes Menurut Kabupaten/Kota di Dataran Tinggi Provinsi Jawa Tengah Tabel 4.2 Karakteristik TPA di Dalam Rumah Karakteristik Tempat Penampungan Air Keberadaan Larva Aedes Positif Negatif Total n % n % N Jenis TPA Kulah 20 30,3 46 69,7 66 0,614 Drum 4 100,0 0 0,0 4 Gentong/Tempayan 9 50,0 9 50,0 18 Tandon Air Besar 1 100,0 0 0,0 1 Ember 9 29,0 22 71,0 31 Tampungan Air Dispenser 1 50,0 1 50,0 2 Tampungan Air Kulkas 0 0,0 1 100,0 1 Total 44 35,8 79 64,2 123 Bahan TPA Semen 11 26,8 30 73,2 41 0,547 Besi 3 100,0 0 0,0 3 Tanah Liat/Gerabah 1 100,0 0 0,0 1 Keramik 8 40,0 12 60,0 20 Plastik 21 36,2 37 63,8 58 Total 44 35,8 79 64,2 123 Warna Dinding Gelap 20 33,9 39 66,1 59 0,820 Terang 24 37,5 40 62,5 64 Total 44 35,8 79 64,2 123 p 33

Berdasarkan survai vektor yang dilakukan pada 85 rumah di tiga kabupaten/kota endemis DBD di dataran tinggi Provinsi Jawa Tengah ditemukan sebanyak 147 buah tempat penampungan air (TPA) diantaranya 123 buah TPA di dalam rumah dan 24 buah TPA di luar rumah. Jenis TPA di dalam rumah yang paling banyak ditemukan positif larva adalah kulah di kamar mandi, gentong/tempayan dan ember. Hasil analisis TPA tercantum pada Tabel 4.2 dan menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis TPA, bahan TPA dan warna dinding TPA terhadap peluang keberadaan larva Ae. aegypti (p>0,05). 3. Analisis Data Penggunaan Insektisida a. Insektisida Program Kesehatan Berdasarkan data Puskesmas tahun 2015-2016, Kabupaten Semarang dan Kabupaten Pemalang pernah dilakukan kegiatan fogging dalam 1 tahun terakhir, sedangkan Kota Semarang dalam satu tahun terakhir insektisida program kesehatan belum pernah diadakan namun pada tahun-tahun sebelumnya insektisida berbahan aktif sipermetrin pernah digunakan dalam kegiatan fogging di wilayah ini. Tabel 4.3 Riwayat Pajanan Insektisida Program Kesehatan di Daerah Endemis DBD di Dataran Tinggi Provinsi Jawa Tengah Kabupaten/Kota Kegiatan Bahan Insektisida Aktif Kabupaten Semarang <= I tahun Sipermetrin, Paration Kabupaten Pemalang <= 1 tahun Sipermetrin, Malation Kota Semarang >1 tahun Sipermetrin b. Insektisida Rumah Tangga Tabel 4.4 Perbedaan Penggunaan Insektisida Rumah Tangga di Daerah Endemis DBD di Dataran Tinggi Provinsi Jawa Tengah Kabupaten/ Kota Penggunaan IRT Tidak Ya Total n % n % N Kabupaten Semarang 24 48,0 26 52,0 50 0,097 Kabupaten Pemalang 11 73,3 4 26,7 15 Kota Semarang 14 70,0 6 30,0 20 Total 49 57,6 36 42,4 85 p 34

Masyarakat di daerah endemis DBD di dataran tinggi Provinsi Jawa Tengah yang menggunakan insektisida rumah tangga secara umum 42,4%. Analisis statistik Chi Square menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna (p=0,097) dalam penggunaan insektisida rumah tangga. Masyarakat di daerah endemis DBD di dataran tinggi Provinsi Jawa Tengah memiliki kebiasaan yang relatif sama dalam penggunaan insektisida rumah tangga. Gambar 4.4 Jenis Insektisida yang Digunakan Masyarakat di Daerah Endemis DBD di Dataran Tinggi Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan hasil survai, insektisida jenis bakar paling dominan digunakan sebesar 15,3% (Gambar 4.4) dan insektisida merek baygon yang paling banyak digunakan masyarakat untuk pengendali vektor pada tingkat rumah tangga sebesar 20% (Gambar 4.5). Gambar 4.5 Merek Insektisida Rumah Tangga yang Digunakan Masyarakat di Daerah Endemis DBD di Dataran Tinggi Provinsi Jawa Tengah 35

4. Analisis Resistensi Nyamuk Aedes aegypti terhadap Insektisida Piretroid Pengujian resistensi nyamuk Ae. aegypti dilakukan dengan metode susceptibility test sesuai standar WHO menggunakan impregnated paper yang mengandung bahan aktif insektisida piretroid yakni sipermetrin 0,05%. Insektisida golongan ini telah digunakan lebih dari 10 tahun dalam program pengendalian vektor DBD di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan pengamatan selama 1 jam paparan insektisida, nyamuk Ae. aegypti yang berasal dari Kelurahan Tembalang mengalami knockdown lebih cepat dibandingkan dengan yang berasal dari daerah lain (Gambar 4.6). Hasil analisis probit menunjukkan bahwa lama waktu kontak terhadap insektisida untuk mencapai nyamuk pingsan (knockdown time) 50% bagi nyamuk Ae. aegypti dari daerah endemis DBD di Provinsi Jawa Tengah berkisar antara 48,20 hingga 102,66 menit, sedangkan KDT95% berkisar antara 143,83 hingga 838,34 menit. Tabel 4.5 Data Knockdown Time Nyamuk Ae. aegypti terhadap Insektisida Piretroid Berdasarkan Persentase Nyamuk Pingsan 50% dan 95% Lokasi Knockdown Time* Habitat Asal KDT 50 Kisaran Kisaran KDT 95 Kisaran Kisaran Bawah Atas Bawah Atas Desa Bandungan 91,87 77,95 119,21 294,05 200,37 550,78 Kel. Gebugan 102,66 84,09 146,75 293,44 190,34 649,02 Kel. Karangjati 48,20 41,95 59,13 143,83 99,92 301,46 Desa Gombong 82,19 71,44 101,23 280,93 198,13 482,22 Kel. Tembalang 78,82 65,73 101,64 838,34 484,36 1894,13 *Dihitung dalam satuan menit Gambar 4.6 Jumlah Nyamuk Knockdown Selama 1 Jam Paparan Insektisida Sipermetrin 0,05% 36

Hasil uji resistensi setelah holding 24 jam menunjukkan persentase mortalitas berkisar 16% hingga 80% dengan rerata 41,4% dan simpangan baku 26,68. Jumlah kematian nyamuk Ae. aegypti terendah berasal dari Desa Bandungan, sedangkan kematian tertinggi berasal dari Kelurahan Tembalang. Hal ini menunjukkan bahwa nyamuk Ae. aegypti yang berasal dari Kelurahan Tembalang masih toleran terhadap insektisida berbahan aktif sipermetrin 0,05%. Tabel 4.6 Data Hasil Uji Resistensi Nyamuk Ae. aegypti terhadap Insektisida Sipermetrin 0,05% Habitat Asal Jumlah Nyamuk Kabupaten/Kota Lokasi Diuji Mati Mortalitas* Kategori Kab. Semarang Desa Bandungan 100 16 16% Resisten Kel. Gebugan 100 20 20% Resisten Kel. Karangjati 100 56 56% Resisten Kab. Pemalang Desa Gombong 100 35 35% Resisten Kota Semarang Kel. Tembalang 100 80 80% Toleran *Kriteria uji resistensi standar WHO: mortalitas <80% resisten, 80%-98% toleran dan >98% rentan 5. Analisis Molekuler Allele-Specific Polymerase Chain Reaction Deteksi polimorfisme yang berkaitan dengan kejadian knockdown resistance (kdr) pada nyamuk Ae. aegypti terhadap insektisida piretroid difokuskan pada domain II kodon 1016. Deteksi ini dilakukan dengan berbasis DNA genom nyamuk Ae. aegypti resisten maupun rentan secara individual. DNA genom (gdna) diperoleh dari hasil isolasi/ekstraksi nyamuk Ae. aegypti yang telah diukur kemurniannya dengan Nanodrop 2000 Spektrofotometer. DNA genom hasil ekstraksi selanjutnya diamplifikasi dalam proses Allele- Specific PCR dengan menggunakan forward primer dan reverse primer (Gly dan Val) yang dirancang untuk membatasi fragmen atau urutan DNA tersebut sepanjang 60 pasangan basa untuk Valin dan 80 pasangan basa untuk Glisin. Hasil amplifikasi AS-PCR selanjutnya dianalisis melalui proses gelelektroforesis guna mengetahui ukuran DNA produk PCR dan divisualisasikan melalui gel-documentation. Produk PCR yang teramplifikasi akan nampak berupa pita DNA (bands) sesuai ukuran basa apabila terkena sinar ultraviolet (Gambar 4.7). Pita DNA muncul pada posisi antara 50-100 bp karena amplikon memiliki ukuran 60 pasangan basa dan 80 pasangan basa. Hasil analisis kodon 1016 gen 37

VGSC menunjukkan bahwa polimorfisme terjadi pada seluruh populasi nyamuk Ae. aegypti strain dataran tinggi di Provinsi Jawa Tengah. M V/V V/V V/G V/V V/V V/V K- 100 bp 50 bp 80 bp 60 bp Gambar 4.7 Produk PCR berupa amplikon gen VGSC kodon 1016 dengan ukuran 60 dan 80 pasangan basa. Urutan sampel dari kiri ke kanan marker berbasis 50 bp, sampel Karangjati, Bandungan, Tembalang, Gombong, Gebugan, Gombong dan kontrol negatif (K-) Tabel 4.7 Data Hasil Identifikasi Genotip dan Alel Kdr Kodon 1016 Nyamuk Ae. aegypti Strain Dataran Tinggi di Provinsi Jawa Tengah Lokasi Status* Jumlah Genotip** Frekuensi p Habitat Asal Sampel Uji V/V V/G G/G Alel G Desa Bandungan R 2 1 0 1 0,50 0,035 S 2 2 0 0 0,00 Kel. Gebugan R 3 1 1 1 0,50 S 1 1 0 0 0,00 Kel. Karangjati R 2 1 0 1 0,50 S 0 0 0 0 0,00 Desa Gombong R 2 1 0 1 0,50 S 1 1 0 0 0,00 Kel. Tembalang R 2 0 1 1 0,75 S 2 2 0 0 0,00 Total R 11 4 2 5 0,55 S 6 6 0 0 0,00 *Status nyamuk Ae. aegypti hasil uji bioassay: resisten (R), susceptible (S) **Genotip yang terdeteksi: V/V wild-type, V/G mutan heterozigot, G/G mutan homozigot Analisis genotip pada kodon 1016 yang terdeteksi tercantum pada Tabel 4.7 dan menunjukkan ada perbedaan yang bermakna antara sampel nyamuk resisten dan susceptible terhadap frekuensi alel kdr yang terdeteksi (p<0,05). Genotip 38

kodon 1016 terdeteksi dalam beberapa tipe antara lain V/V homozigot yang bersifat normal (wild-type), G/G mutan homozigot dan V/G mutan heterozigot. Munculnya alel mutan 1016G dalam penelitian ini menunjukkan bahwa nyamuk Ae. aegypti telah mengalami perubahan struktur genetik dan susbtitusi asam amino Valin menjadi Glisin pada kodon 1016 sehingga nyamuk Ae. aegypti mampu mempertahankan diri terhadap paparan insektisida golongan piretroid. 39

B. Pembahasan Penyakit dengue dan Zika tengah menjadi perhatian dunia sebab kedua penyakit tersebut terus mengalami peningkatan kasus dan menjadi beban masalah kesehatan masyarakat. Secara umum penyakit tersebut ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti yang banyak dijumpai di daerah perkotaan namun penelitian ini mengungkapkan bahwa kasus DBD dan nyamuk Ae. aegypti juga dapat dijumpai di daerah dataran tinggi. Survai vektor dilakukan di tiga kabupaten/kota endemis DBD di dataran tinggi Provinsi Jawa Tengah yakni Kabupaten Semarang, Kabupaten Pemalang dan Kota Semarang dengan ketinggian daerah berkisar 216-1111 meter di atas permukaan laut. Hasil survai menunjukkan kepadatan larva yang ditemukan di dalam rumah dari ketiga daerah tersebut termasuk dalam kategori tinggi sehingga rawan terhadap transmisi penularan virus dengue dan berpotensi menimbulkan kasus DBD. House Index (HI) menggambarkan masih banyaknya rumah yang positif larva sehingga risiko penularan virus dengue melalui nyamuk Ae. aegypti perlu diwaspadai terlebih lokasi penelitian berada di sekitar rumah kasus DBD. Container Index (CI) sebagai gambaran dari banyaknya TPA yang ditemukan positif larva menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna pada tiap-tiap jenis TPA, bahan TPA dan warna dinding TPA terhadap peluang keberadaan larva Ae. aegypti meskipun demikian masyarakat tetap perlu mengantisipasi tempat-tempat penampungan air yang berpeluang digunakan nyamuk Ae. aegypti untuk berkembang biak. Breteau Index (BI) menggambarkan hubungan antara TPA positif larva dengan banyaknya rumah yang diperiksa, semakin tinggi BI maka dapat disimpulkan bahwa masih banyak rumah yang dijumpai memiliki tempat penampung air yang positif larva. Penelitian mengenai kepadatan larva ini cukup berbeda dengan penelitian sebelumnya di Kabupaten Temanggung, sebagai daerah dengan ketinggian lebih dari 500 meter di atas permukaan laut ditemukan HI sebesar 27,3%, CI 19,1% dan BI 40,9% (24) sedangkan di Kelurahan Tembalang, Kota Semarang ditemukan HI sebesar 13%, CI 5,42% dan BI 16% (76). Densitas vektor di kedua lokasi penelitian 40

tersebut lebih rendah dari temuan penelitian yang dilakukan. Diantara ketiga kabupaten/kota endemis DBD di dataran tinggi Provinsi Jawa Tengah, densitas vektor yang terdapat di Kabupaten Pemalang selama ini belum banyak dilaporkan, terutama di daerah dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. Hasil penelitian ini memberikan informasi sekaligus sebagai bukti bahwa Ae. aegypti saat ini telah memperluas wilayah habitatnya hingga dataran tinggi. Tingginya densitas populasi vektor dengue di Provinsi Jawa Tengah berbanding lurus dengan kejadian resistensi Ae. aegypti dampak dari penggunaan insektisida program kesehatan maupun sektor rumah tangga dalam pengendalian vektor dengue. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pengujian bioassay yang mengungkapkan bahwa bahan aktif sipermetrin 0,05% masih memberikan efek yang cukup baik hanya pada nyamuk Ae. aegypti yang berasal dari Kelurahan Tembalang, Kota Semarang sebab mortalitas nyamuk sebesar 80%. Kriteria mortalitas nyamuk disesuaikan dengan ketetapan WHO bahwa rentan terhadap insektisida apabila kematian nyamuk uji 98% atau lebih, toleran apabila kematian nyamuk uji antara 80% hingga 98% dan resisten apabila kematian nyamuk uji kurang dari 80% (75). Secara umum menurut penelitian sebelumnya status resistensi nyamuk Ae. aegypti terhadap insektisida golongan piretroid di Provinsi Jawa Tengah telah dilaporkan dengan berbagai bahan aktif antara lain sipermetrin 0,05% (21, 23), permetrin 0,25% (22), permetrin 0,75% (23, 24), deltametrin 0,05% (24) dan lamdasihalotrin 0,05% (23). Namun hasil analisis penelitian ini secara terbatas menunjukkan bahwa status resistensi nyamuk Ae. aegypti di Kabupaten Semarang terhadap insektisida berbahan aktif sipermetrin 0,05% berbeda dengan laporan sebelumnya (77). Nyamuk Ae. aegypti yang berasal dari Kabupaten Semarang dan Kabupaten Pemalang dalam penelitian ini tidak lagi sensitif terhadap paparan insektisida berbahan aktif sipermetrin 0,05%. Hal ini tidak jauh berbeda dengan temuan di Kabupaten Temanggung yang melaporkan bahwa nyamuk Ae. aegypti di dataran tinggi tersebut juga telah resisten terhadap insektisida berbahan aktif deltametrin 0,05% (24). 41

Timbulnya resistensi nyamuk Ae. aegypti tidak terlepas dari riwayat penggunaan insektisida yang digunakan dalam pengendalian vektor di lokasi penelitian. Kabupaten Semarang, Kabupaten Pemalang dan Kota Semarang diketahui merupakan daerah endemis DBD berdasarkan data Puskesmas setempat pada tahun 2015-2016. Tingginya status resistensi nyamuk Ae. aegypti di Kabupaten Semarang dan Kabupaten Pemalang dapat dipengaruhi salah satunya dari riwayat penggunaan insektisida program kesehatan. Kedua daerah tersebut dalam satu tahun terakhir kegiatan pengendalian vektor cukup aktif dilakukan dengan menggunakan insektisida berbahan aktif sipermetrin yang merupakan turunan dari insektisida golongan piretroid. Berbeda dengan Kota Semarang, intensitas penggunaan insektisida program kesehatan justru telah dibatasi dalam satu tahun terakhir namun tidak dipungkiri bahwa nyamuk Ae. aegypti di daerah tersebut menunjukkan status toleran terhadap paparan bahan aktif sipermetrin 0,05% sebab insektisida tersebut telah digunakan dalam jangka waktu yang lama pada tahun-tahun sebelumnya. Riwayat penggunaan insektisida rumah tangga juga turut mempengaruhi risiko timbulnya resistensi pada nyamuk Ae. aegypti di lokasi penelitian. Berdasarkan hasil survai, insektisida jenis bakar dan semprot paling dominan digunakan dan merek baygon yang paling banyak dipilih oleh masyarakat. Baygon sebagai insektisida rumah tangga yang terdiri dari jenis bakar dan semprot diketahui mengandung bahan aktif sipermetrin, imiprotrin, transflutrin dan d-alletrin yang termasuk dalam insektisida golongan piretroid (47). Hal ini memperkuat analisis sebelumnya mengenai penyebab nyamuk Ae. aegypti di lokasi penelitian tidak lagi peka terhadap insektisida piretroid. Guna mengetahui mekanisme terjadinya resistensi akibat paparan insektisida piretroid pada populasi nyamuk Ae. aegypti di lokasi penelitian maka dilakukan pengujian lebih lanjut secara molekuler menggunakan teknik AS-PCR. Deteksi mutasi kdr kodon 1016 sebelumnya telah banyak dilakukan di beberapa negara di Amerika Latin (33, 34, 38-40) dan Asia Tenggara (30-32, 35-37) dengan berbagai macam teknik PCR. Namun perubahan genetik pada kodon 1016 yang ditandai dengan perubahan substitusi asam amino Valin menjadi Glisin lebih banyak ditemukan di 42

wilayah Asia Tenggara sedang di Amerika Latin terjadi perubahan subtitusi asam amino Valin menjadi Isoleusin. Insektisida piretroid diketahui merupakan golongan insektisida yang menekan gen VGSC sehingga mengganggu sistem saraf dan menyebabkan perubahan genetik karena ditemukannya polimorfisme alel konckdown resistance. Penelitian ini berhasil mendeteksi alel kdr gen VGSC pada nyamuk Ae. aegypti strain dataran tinggi di Provinsi Jawa Tengah dengan teknik AS-PCR. Hal ini ditunjukkan dengan terdeteksinya tiga variasi genotip pada seluruh kelompok sampel yakni V/V (58,8%) wild-type homozigot yang bersifat normal, V/G (11,8%) mutan heterozigot dan G/G (29,4%) mutan homozigot dengan frekuensi alel untuk wild-type sebesar 45% dan mutan sebesar 55%. Terdeteksi variasi genotip pada penelitian ini mengindikasikan bahwa bahan aktif sipermetrin diyakini berkontribusi menimbulkan perubahan genetik pada nyamuk Ae. aegypti strain dataran tinggi di Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya di Thailand yang mendeteksi V1016G dengan teknik dan primer yang sama (43). Penelitian ini menunjukkan bahwa nyamuk Ae. aegypti yang secara fenotip dinyatakan telah resisten terhadap insektisida berbahan aktif sipermetrin sebagian besar mengalami mutasi genetik dibandingkan dengan yang rentan meski secara keseluruhan jumlah sampel yang diuji banyak ditemukan alel wild-type homozigot yang menandakan bahwa mutasi belum terjadi. Frekuensi masing-masing genotip pada kelompok resisten diketahui sebesar 36,4% (V/V), 18,2% (V/G) dan 45,5% (G/G) sedangkan pada kelompok rentan dalam penelitian ini alel mutan tidak terdeteksi. Penelitian lain di Provinsi Jawa Tengah yang menggunakan teknik PCR dan primer berbeda juga mengungkapkan bahwa secara genotip mutasi banyak terdeteksi pada nyamuk Ae. aegypti resisten dan pada penelitian tersebut alel 1016G yang terdeteksi termasuk dari nyamuk Ae. aegypti yang rentan (32). Hal ini berbeda dengan laporan penelitian lain di Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah dimana mutasi heterozigot terdeteksi sebesar 59,1% (37) namun penelitian tersebut tidak menjelaskan mutasi yang terdeteksi secara genotip berasal dari nyamuk Ae. aegypti yang telah resisten atau rentan. 43

Berdasarkan status kerentanan nyamuk Ae. aegypti, frekuensi keberadaan alel 1016G lebih banyak ditemukan pada kelompok resisten dari pada kelompok rentan. Tidak terdeteksinya alel mutan pada nyamuk Ae. aegypti yang rentan terhadap insektisida dalam penelitian ini diduga karena alel 1016G bersifat resesif sebagai alel kdr (39, 78), sehingga polimorfisme V1016G mungkin bukan satusatunya noktah yang berhubungan dengan kejadian knockdown resistance pada gen VGSC nyamuk Ae. aegypti di lokasi penelitian. Paparan insektisida lain dan faktor lingkungan sekitar juga dapat mempengaruhi mekanisme resistensi yang mungkin berkembang dalam tubuh serangga. Hasil penelitian ini dapat menambah referensi data terbaru perkembangan resistensi vektor khususnya Aedes aegypti di Indonesia. Penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan genetik telah terjadi pada gen VGSC nyamuk Ae. aegypti strain dataran tinggi di Provinsi Jawa Tengah akibat paparan insektisida yang digunakan dalam kegiatan pengendalian vektor. Hal ini diperkuat dengan riwayat penggunaan insektisida golongan piretroid dalam program pengendalian vektor dan intensitas penggunaan insektisida rumah tangga yang cukup sering oleh masyarakat di lokasi penelitian. Maka penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui mekanisme yang paling mempengaruhi terjadinya mutasi pada nyamuk Ae. aegypti strain dataran tinggi di Provinsi Jawa Tengah. C. Keterbatasan Penelitian 1. Penelitian ini belum menjangkau seluruh daerah endemis DBD di dataran tinggi Provinsi Jawa Tengah dikarenakan kendala proses pengangkutan sampel agar tetap stabil kondisinya hingga di laboratorium, 2. Penelitian ini tidak menggunakan nyamuk dewasa yang diambil langsung di lokasi penelitian dalam pengujian kerentanan nyamuk terhadap insektisida dikarenakan pengambilan nyamuk dewasa tidak mudah dan penggunaan umpan tubuh manusia dalam proses penangkapan nyamuk sangat berisiko jika dilakukan di daerah endemis DBD, 3. Penelitian ini hanya mendeteksi mekanisme resistensi nyamuk Aedes aegypti strain dataran tinggi di Provinsi Jawa Tengah melalui perubahan gen VGSC, 44

penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui mekanisme resistensi lain yang mungkin terjadi pada nyamuk Aedes aegypti strain dataran tinggi, 4. Proses penyimpanan sampel penelitian yang terlalu lama baik yang berupa nyamuk utuh maupun hasil isolasi DNA genom dan sering mengalami perubahan suhu terus menerus dapat mempengaruhi kualitas DNA dan kualitas amplikon yang dihasilkan, 5. Teknik Allele-Specific Polymerase Chain Reaction (AS-PCR) diketahui dapat menggambarkan karakteristik hasil amplifikasi secara langsung, namun proses sequensing mungkin masih diperlukan guna mengetahui perubahan transisi basa yang terjadi pada produk hasil pengujian molekuler. 45