BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB I PENDAHULUAN. sebagai unit pelaksana otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal,

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB I PENDAHULUAN. Setelah beberapa dekade pola sentralisasi dianut oleh Bangsa Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB V PENDANAAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. (Maryati, Ulfi dan Endrawati, 2010).

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

ketentuan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perekonomian Indonesia akan diikuti pula dengan kebijakankebijakan

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam era globalisasi dan

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

PEMERINTAH KOTA SURABAYA RINCIAN LAPORAN REALISASI ANGGARAN MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH, ORGANISASI, PENDAPATAN, BELANJA DAN PEMBIAYAAN

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

BAB I PENDAHULUAN. bangsa kita. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no 22/1999 dan UU no 25/1999), yang diharapkan menjadi momentum bagi masyarakat dan pemerintah di pusat maupun di daerah untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terjadi, dimana pola sentralisasi pada semua aspek membawa dampak tidak tepatnya pelaksanaan pembangunan dengan sasaran yaitu kesejahteraan masyarakat, karena memang rentangnya yang terlalu panjang. Semangat kemandirian yang dikandung oleh kedua UU tersebut, memberikan penyelesaian atas berbagai masalah yang ada. Namun dalam pelaksanaannya akan sangat bergantung kepada adanya kesepahaman berbagai pihak atas pelaksanaan kedua UU tersebut. Oleh karena itu peran Pemerintah Pusat di satu sisi ma-sih sangat menentukan bagi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah, se-lain prakarsa kreatif dari daerah pada sisi lainnya. Dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah tersebut, maka dana perimbangan dialokasikan sebagian besar dalam bentuk dana block grant yaitu bantuan yang tidak disertai dengan petunjuk serta persyaratan-persyaratan khusus

untuk penggunaannya. Hal ini memberikan implikasi penting kepada daerah yaitu memperbesar kemungkinan keberhasilan pelaksanaan pembangunan di daerah. Namun disisi lain keberhasilan serta kegagalan pengalokasiannya sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Daerah (kabupaten dan kota) diberikan kewenangan yang lebih luas dalam mengelola berbagai sumber daya yang dimiliki. Mardiasmo (2005) menyatakan bahwa daerah tidak lagi sekedar menjalankan instruksi dari pemerintah pusat, tetapi dituntut untuk mengembangkan kreatifitas dan inovasi dalam mengoptimalkan potensi yang selama ini (sebelum otonomi) dapat dikatakan terpasung. Adanya kewenangan yang dimiliki ini memberikan konsekuensi adanya tuntutan peningkatan kemandirian daerah (Sidik, 2002). Daerah diharapkan mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi (peningkatan kesejahteraan masyarakat). Secara teoritis, desentralisasi ini diharapkan akan menghasilkan dua manfaat nyata, yaitu : pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di daerah masing-masing. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produksi melalui pergeseran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintahan yang paling rendah yang memiliki informasi paling lengkap (Mardiasmo 2002:6). Salah satu kendala yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah (desentralisasi) adalah adanya disparitas (kesenjangan) fiskal antar daerah.

Pemerintah pusat memberikan bantuan (transfer) kepada pemerintah daerah, salah satunya pemberian Dana Alokasi Umum (DAU). Daerah yang mempunyai kemampuan fiskal rendah akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang relatif besar, sebaliknya daerah yang mempunyai kemampuan fiskal tinggi akan mendapat DAU dalam jumlah yang kecil. Pemberian DAU ini diharapkan benar-benar dapat mengurangi disparitas fiskal horizontal, daerah mempunyai tingkat kesiapan fiskal yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Daerah diharapkan mampu mengalokasikan sumber dana ini pada sektor-sektor produktif yang mampu mendorong adanya peningkatan investasi di daerah dan juga pada sektor yang berdampak pada peningkatan pelayanan publik, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kontribusi publik terhadap pajak (misal : membayar pajak atau retribusi). Kemandirian daerah menjadi semakin tinggi seiring dengan meningkatnya kapasitas fiskal daerah, dan pada gilirannya tanggungan pemerintah untuk memberikan DAU bisa lebih dikurangi. Hal ini kemudian disikapi pemerintah dengan penerapan otonomi daerah lebih luas, nyata dan bertanggungjawab yang bertujuan untuk meningkatan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah (Mardiasmo 2002). Sehingga dapat memacu peningkatan aktivitas perekonomian di daerah yang pada akhirnya memperkuat perekonomian nasional. Penerapan otonomi daerah. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mensyaratkan adanya perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004, adalah suatu

sistem pembiayaan pemerintah dalam kerangka negara kesatuan yang mencakup pembagian keuangan antara pusat dan daerah serta pemerataan antardaerah secara proporsional, adil, demokratis dan transparan. Alokasi dana dari pusat ke daerah secara garis besar ditentukan oleh dua faktor, yaitu kapasitas fiskal (fiscal capacity) dan kebutuhan fiskal (fiscal need). Penerimaan daerah adalah salah satu faktor pendukung dalam melaksanakan kewenangan-kewenangan yang menjadi tanggungjawab dan urusan pemerintah kabupaten/kota. Dalam hal pembangunan perekonomian daerah, peranan pemerintah dapat dikaji dari sisi anggarannya (APBD). Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan yang dijalankan pemerintah daerah untuk menentukan arah dan tujuan pembangunan. Instrumen ini diharapkan berfungsi sebagai salah satu komponen pemicu tumbuhnya perekonomian suatu daerah. Pemahaman tentang betapa pentingnya peranan anggaran sebagai salah satu instrumen kebijakan yang berfungsi memacu perekonomian suatu daerah harus berhadapan dengan kondisi di lapangan yang tidak dapat menjamin berjalannya fungsi tersebut dengan baik. Secara rinci komponen-komponen dalam APBD tersebut, dapat dicermati sebagai berikut: Pertama, pendapatan daerah (bukan penerimaan daerah), dikelompokkan ke dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dana Perimbangan dan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah. PAD yaitu pendapatan yang diperolah daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan

terdiri atas komponen-komponen pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba BUMD serta lain-lain PAD. Pada komponen-komponen PAD inilah daerah otonom memiliki kewenangan yang luas untuk mengkreasikan penerimaannya, baik secara ekstensifikasi maupun secara intensifikasi sumber-sumber penerimaan. Sedangkan dana perimbangan terdiri atas: bagi hasil, dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Dana bagi hasil daerah meliputi pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan penerimaan dari Sumber Daya Alam (SDA). Pada komponen PAD ditambah dengan Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (DBHPBP) inilah yang merupakan indikator fiscal capacity bagi setiap daerah. Fiscal capacity ini merupakan indikator utama dalam mengukur kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai sendiri kegiatan pemerintahan daerah yang dijalankan, tanpa tergantung bantuan dari luar, termasuk dari pemerintah pusat. DAU dan DAK merupakan alokasi pembiayaan daerah yang termuat dalam APBN yang dimaksudkan untuk membantu pembiayaan pemerintahan daerah baik secara umum, maupun secara khusus. Dimana DAU memiliki tujuan utama untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sedangkan DAK dialokasikan kepada daerah dengan tujuan untuk membantu pembiayaan daerah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan khususnya. Lain-lain pendapatan yang sah, dapat berupa dana kontinjensi atau dana penyeimbang yang dikelola dalam rekening khusus dan ditetapkan dengan peraturan

daerah yang meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang dan jasa oleh Daerah.. Belanja daerah yang terdiri atas 4 (empat) komponen yakni: belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan serta belanja tak terduga. Belanja aparatur daerah secara operasional dapat dipahami sebagai belanja yang dialokasikan dan digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat luas. Sedangkan belanja pelayanan public, yakni belanja yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat luas. Target / Realisasi Penerimaan dan belanja Kabupaten Dairi dapat dilihat dalam tabel 1.1. sebagai berikut.

Tabel 1.1. Target / Realisasi Penerimaan dan Belanja Kabupaten Dairi TA URAIAN TARGET REALISASI 2001 Anggaran Pendapatan 155.017.112.423 139.597.863.805 Anggaran Belanja 144.221.444.000 140.357.684.827 Anggaran Pendapatan 173.335.124.225 165.924.058.218 2002 Anggaran Belanja 146.212.351.433 137.834.275.854 2003 Anggaran Pendapatan 200.228.023.000 190.138.761.286. Anggaran Belanja 152.331.222.350,- 148.470.361.291 Anggaran Pendapatan 159.030.187.000 162.813.774.769,34 Anggaran Belanja 177.613.986.575 172.376.819.068 2004 Anggaran Penerimaan 13.617.537.000 13.617.537.167,47 Pembiayaan Anggaran Pengeluaran 1.595.128.000 1.594.947.539,35 dari Pembiayaan Anggaran Pendapatan 181.488.248.000 182.682.556.892,7 Anggaran Belanja 204.246.333.000 197.728.269.973,36 2005 Anggaran Penerimaan 15.779.885.000 13.286.921.141,66 Pembiayaan Anggaran Pengeluaran 901.800.000 8.514.888.678,63 dari Pembiayaan Anggaran Pendapatan 345.175.840.000 343.689.372.086,97 Anggaran Belanja 357.238.280.000 327.994.400.048,74 2006 Anggaran Penerimaan 15.760.853.000 97.943.842.170,00 Pembiayaan Anggaran Pengeluaran 48.381.248.500 46.232.180.324,00 dari Pembiayaan Anggaran Pendapatan 390.630.510.000 399.191.003.523,05 Anggaran Belanja 420.352.682.500 370.418.427.774,12 2007 Anggaran Penerimaan 31.875.899.500 19.875.899.656,59 Pembiayaan Anggaran Pengeluaran dari Pembiayaan 2.153.727.000 1.936.456.869,64 Sumber : Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset Kabupaten Dairi Sedangkan penerimaan Pemerintah Kabupaten Dairi, baik yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah maupun tranver dari pemerintah pusat dapat dilihat dalam tabel 1.2 sebagai berikut :

Tabel. 1.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan Kabupaten Dairi Periode Tahun 2001-2007 No Tahun PAD Dana Perimbangan 1 2001 3.356.788.051 139.597.863.805 2 2002 3.920.291.480 165.924.058.218 3 2003 4.140.808.868 181.448.030.714 4 2004 4.723.253.513 158.090.521.255 5 2005 5.678.963.000.- 163.851.181.334,- 6 2006 8.481.049.000,- 343.689.372.086,- 7 2007 8.788.285.788,- 375.847.564.623,- Sumber : Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset Kab. Dairi. Kebutuhan fiskal yang dimiliki oleh daerah juga berhubungan dengan pembangunan sosial di masing-masing daerah. Pembangunan sosial merupakan aspek yang penting setidaknya karena tiga alasan. Pertama, aspek sosial adalah ukuran yang jelas sebagai hasil pembangunan ekonomi. Peningkatan dalam indikator-indikator ekonomi tidak banyak artinya jika tidak ada peningkatan indikator-indikator sosial. Kedua, ada keterkaitan (nexus) antara dua rangkaian ini. Pendapatan yang tinggi menghasilkan kapasitas untuk tingkat kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya standar kesejahteraan yang lebih besar akan menghasilkan produktivitas dan efisien yang lebih tinggi. Ketiga, kemajuan sosial berperan dalam kohesi dan kerukunan masyarakat. Beranjak dari uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh kapasitas fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah kabupaten Dairi periode 2001-2007.

1.2 Rumusan Masalah Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah Berapa besar pengaruh kapsitas fiskal yang terdiri dari: 1) Bagaimana pengaruh Dana Alokasi Umum Terhadap Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) Kabupaten Dairi? 2) Bagaimana pengaruh Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Terhadap Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) Kabupaten Dairi? 3) Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) Kabupaten Dairi? 4) Bagaimana pengaruh PDRBt-1 Terhadap Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) Kabupaten Dairi? 1.3 Tujuan penelitian Dari masalah yang dikemukakan, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini secara khusus adalah untuk : 1) Menganalisis pengaruh Dana Lokasi Umum Terhadap Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) Kabupaten Dairi 2) Menganalisis pengaruh Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Terhadap Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) Kabupaten Dairi. 3) Menganalisis Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) Kabupaten Dairi.

4) Menganalisis pengaruh PDRBt-1 Terhadap Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) Kabupaten Dairi. 1.4 Manfaat penelitian 1) Sebagai masukkan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Dairi, terutama para pengambil keputusan maupun pelaksana pembangunan daerah untuk penyusunan dan merumuskan perencanaan pembangunan daerah tahap berikutnya. 2) Memperkaya kajian dan bahan referensi bagi penulis selanjutnya yang berminat mengkaji pertumbuhan ekonomi regional. 3) Bagi penulis dalam memperluas pengetahuan dan wawasan tentang pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Dairi.