COPING PRIA DEWASA MADYA YANG SINGLE

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai seorang ibu. Wanita sebagai Ibu adalah salah satu dari kedudukan sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan adalah suatu bentuk organisasi yang didirikan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari

BAB I PENDAHULUAN. mencapai kebahagiaan seperti misalnya dalam keluarga tersebut terjadi

STRATEGI KOPING PADA LANSIA YANG DITINGGAL MATI PASANGAN HIDUPNYA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Stres merupakan kata yang sering muncul dalam pembicaraan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan suatu lembaga yang memberikan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang otomotif, setiap perusahaan

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkualitas tinggi. Perkembangan masyarakat dengan kemajuan

Abstrak. Kata kunci:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan. Penyakit-penyakit kronis tersebut, di antaranya: kanker,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang melakukan. pembangunan pada berbagai bidang. Dalam melaksanakan pembangunan dan

INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA (IPD)

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini banyak bermunculan berbagai jenis penyakit yang tidak dapat

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang untuk dapat beraktivitas dengan baik. Dengan memiliki tubuh yang

BAB I PENDAHULUAN. maupun eksternal. Secara internal, kedaulatan NKRI dinyatakan dengan keberadaan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

L1. Aktivis Gereja. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era pasar bebas banyak tantangan dan persaingan harus dihadapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak

STUDI KASUS GAMBARAN COPING STRES PADA MAHASISWI PEKERJA SEKS KOMERSIAL

BAB V PEMBAHASAN. kelompok berdasarkan atribut khas seperti ras, kesukubangsaan, agama, atau

PERBEDAAN TINGKAT KESEPIAN BERDASARKAN STATUS PADA WANITA DEWASA AWAL. Dwi Rezka Kemala. Ira Puspitawati, SPsi, Msi

Lampiran 1 : Data Penunjang dan Kuesioner Strategi Penanggulangan Stres. Kuesioner Strategi Penanggulangan Stres

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki masa pensiun merupakan salah satu peristiwa di kehidupan

BAB III METODE PENELITIAN. Bab ini berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan penelitian. Dalam

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB I. Indonesia terdiri dari beberapa pulau yang tersebar begitu luas dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Strategi Coping. ataupun mengatasi Sarafino (Muta adin, 2002). Perilaku coping merupakan suatu

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dari variabel-variabel yang terkait

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai

KATA PENGANTAR KUESIONER. Dalam rangka memenuhi persyaratan pembuatan skripsi di Fakultas

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

COPING STRESS PADA WANITA YANG MENGALAMI KEMATIAN PASANGAN HIDUP. Skripsi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. dididik, dan dibesarkan sehingga seringkali anak memiliki arti penting dalam

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. masa-masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN TERHADAP PENYAKIT DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA KANKER PAYUDARA BANDUNG CANCER SOCIETY RIO HATTU ABSTRAK

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. membangun bangsa ke arah yang lebih baik. Mahasiswa, adalah seseorang

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perawat dalam pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai tenaga

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. emosional yang positif karena telah terpenuhinya kondisi-kondisi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. mengurangi distres. Menurut J.P.Chaplin (Badru, 2010) yaitu tingkah laku

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif,

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress/Coping Stress MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 10

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia saat ini telah memasuki era reformasi yang

(Elisabeth Riahta Santhany) ( )

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Adaptational Outcomes pada Remaja di SMA X Ciamis yang Mengalami Stres Pasca Aborsi

HUBUNGAN TINGKAT STRES DENGAN PENGGUNAAN STRATEGI COPING PADA MAHASISWA YANG SEDANG MENYUSUN SKRIPSI DI JURUSAN BK ANGKATAN 2008 FIP UNJ

Tahap-tahap Tumbuh Kembang Manusia

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang layak bagi kehidupan mereka,

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. banyaknya perusahaan yang terancam mengalami kebangkrutan karena tidak

NASKAH PUBLIKASI TWIBLING RIVALRY

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih besar, sebab seiring dengan bertambahnya usia seseorang maka

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

STRATEGI KOPING PADA ORANG YANG MEMILIKI INDERA KEENAM (COPING STRATEGIES OF PEOPLE WHO HAVE SIXTH SENSE)

BAB I PENDAHULUAN. pada pembangunan di sektor ekonomi. Agar dapat bersaing antar bangsa, Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dengan kata lain masa dewasa adalah masa di mana seseorang semestinya sudah

Transkripsi:

COPING PRIA DEWASA MADYA YANG SINGLE OLEH NOVA ANGGARINI 802009001 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015

COPING PRIA DEWASA MADYA YANG SINGLE Nova Anggarini Chr. Hari Soetjiningsih K.D. Ambarwati Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015

ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah menggambarkan coping pria dewasa madya yang single. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik purposive sampling. Metode pengambilan data penelitian ini adalah wawancara, dan observasi. Partisipan dalam penelitian ini adalah tiga orang dewasa madya berusia 40 tahun sampai dengan 65 tahun yang belum menikah sejak muda, dan berdomisili di kota Salatiga. Hasil penelitian menunjukkan seluruh partisipan mengalami bermacam-macam masalah yang timbul dari status single, dan menggunakan tipe coping yang tepat, dan efektif untuk mengatasi masalah status single. Seluruh partisipan menggunakan dua tipe coping, namun cenderung lebih banyak menggunakan emotional focused coping daripada problem focused coping. Masalah status single yang dialami P1 adalah masalah keuangan, belum menemukan jodoh yang tepat, fokus pada perkerjaan yang penghasilannya jelas, mendapatkan kebebasan, dan mencari pengetahuan astral. Masalah status single yang dialami P2 adalah masalah keuangan, fokus pada perkerjaan, menikah sesuai dengan keinginan orang tua, pengalaman pernikahan saudara tanpa restu orang tua, pengalaman perceraian saudara, seks bebas, dan memutuskan single. Masalah status single yang dialami P3 adalah masalah keuangan, belum menemukan jodoh yang tepat, fokus pada perkerjaan, dan mendapatkan kebebasan. Faktor yang memengaruhi coping partisipan adalah dukungan sosial, pendapatan bertambah, stressor sosial, belajar dari pengalaman teman, kepribadiain, jenis kelamin pria, usia, dan level pendidikan. Kata Kunci: Coping, Pria Dewasa Madya, Single i

ABSTRACT The purpose of this study is to describe coping middle adulthood single men. This study uses a qualitative method with purposive sampling technique. Data collection methods are interview, and observation. Participants in this study are three middle-aged adulthood 40 year up to 65 year people who do not marry, and live in Salatiga. The results showing all participants are to experience various problems appearing from single status, and to use the right types, and effective of coping to overcome the problem of single status. All participants use two types of coping, but tend to use emotional focused coping instead of problem focused coping. Problems experienced by single status P1 are financial problems, not finding the right spouse, focusing on jobs with clear income, the freedom, and the search for knowledge of astral. Problems experienced by single status P2 are financial problems, focusing on jobs, married because of the wishes of parents, sibling s wedding experience without parents blessing, sibling s divorce experience, pre-marital sex, and deciding single. Problems experienced by single status P3 are financial problems, not finding the right spouse, focusing on jobs, and the freedom. Factors which affect the participants coping are social support, increasing income, social stressor, learning from a friend s experience, personality, male gender, age, and education level. Keywords: Coping, Middle Adulthood, Single ii

PENDAHULUAN Dewasa madya merupakan waktu yang paling lama dialami setiap manusia dalam rentang kehidupan karena batasan usia dewasa madya adalah 40 tahun sampai 65 tahun (Berk, 2012). Dalam usia tersebut, tugas perkembangan dewasa madya adalah membantu anak-anak remaja menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab, dan bahagia; mencapai tanggung jawab kemasyarakatan secara dewasa, dan tanggung jawab kewarganegaraan; mencapai, dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karir pekerjaan; mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu luang yang dewasa; menghubungkan diri sendiri dengan mengurangi kebiasaan tergantung pada pasangan; menerima, dan menyesuaikan diri terhadap perubahan psikologis diusia pertengahan; dan menyesuaikan diri dengan penuaan orangtua (Havighurst, dalam Sugarman 2001). Manusia yang sudah memasuki usia dewasa madya mulai melaksanakan tugas perkembangan dewasa madya, dan dianggap sudah memenuhi tugas perkembangan dewasa muda, seperti memilih pasangan hidup, belajar hidup dengan suami atau istri, membentuk keluarga, mengasuh anak, dan mengelola atau mengemudikan rumah tangga. Saat pria dewasa madya sudah memenuhi tugas perkembangan dewasa muda, pria secara budaya menempati urutan teratas, dan memiliki peran penting di keluarga, serta masyarakat. Menjadi seorang suami kemudian menjadi seorang ayah merupakan kodrat, dan amanah budaya. Pria merupakan orang yang memiliki peran, dan posisi penting dalam keluarga atau masyarakat, serta mendapatkan kedudukan pertama daripada wanita. Pria menjadi kepala keluarga, dan penentu aktivitas masyarakat (Dagun, 1992). Selain itu, dewasa madya harus menyesuaikan diri dengan minat, nilai, pola hidup yang baru (Hurlock, 1999). 1

Namun terdapat pria yang sudah memasuki usia dewasa madya, dan belum memenuhi semua tugas perkembangan dewasa mudanya dengan berstatus pria single. Tugas perkembangan dewasa awal tidak terselesaikan, maka berpengaruh pada tugas perkembangan dewasa madya, dan akhir (Harvighurst, dalam Hurlock, 1999). Badan Pusat Statistik tahun 2010 menunjukkan penduduk pria Jawa Tengah yang belum menikah di usia dewasa madya dengan rentang usia 40 tahun sampai dengan 64 tahun sebanyak 42.885 jiwa dengan persentase 1,99%. Menemukan pasangan hidup yang tepat merupakan hal yang menarik, dan mengganggu dalam tugas perkembangan awal karena tugas perkembangan di setiap periode tidak seluruhnya dikuasai dalam waktu, dan cara yang sama oleh setiap individu (Harvighurst dalam Hurlock, 1999). Beberapa tugas dikuasai pada awal periode, dan lainnya di akhir periode (Hurlock, 1999). Tidak semua individu pada periode dewasa madya dapat menemukan pasangan hidup, menikah, dan membentuk keluarga pada waktu, dan cara yang sama. Norma dalam masyarakat mendesak pria dewasa madya yang single untuk segera memilih pasangan, menikah, dan membentuk keluarga. Dengan bertambahnya usia, pria dewasa madya yang single semakin dikejar oleh tuntutan masyarakat untuk segera menikah (Santrock, 2002). Pria dewasa madya yang single akan mengalami stressor psikologis, dan sosial budaya (Alloy dkk, dalam Kawuryan 2009). Stressor psikologis berupa perasaan takut, khawatir, cemas, marah, kecewa, dan kesepian. Stressor sosial budaya berupa perselisihan, dan tuntutan untuk sesuai dengan norma masyarakat. Stressor psikologis yang dialami pria dewasa madya yang single dapat menjadi tuntutan spesifik internal. Selain itu, kepribadian, usia, dan jenis kelamin dapat berperan sebagai tuntutan spesifik internal. 2

Sedangkan tuntutan spesifik ekternal pria dewasa madya yang single dapat berupa masalah keuangan yang kurang, menjadi pemimpin keagamaan, belum menemukan pasangan hidup yang tepat, memperjuangkan keluarga dari kesulitan ekonomi, pengalaman pribadi yang menyakitkan, dan keinginan mandiri (Faturochman, 1993). Perselisihan, dan perbincangan teman-teman, keluarga, dan masyarakat merupakan tuntutan spesifik ekternal yang menuntut pria dewasa madya menjadi kepala keluarga, dan penentu aktivitas masyarakat (Dagun, 1992). Tuntutan spesifik tersebut menyebabkan pria dewasa madya yang single perlu melakukan coping yang tepat, dan efektif. Coping stress yang tepat, dan efektif memiliki tujuan mengatasi masalahmasalah, dan stress; membantu seseorang mentoleransi, dan menerima situasi menekan; dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya (Kawuryan 2009). Coping terdiri dari dua jenis yaitu, problem focused coping, dan emotional focused coping (Lazarus & Folkman, 1984). Individu dapat menggunakan problem focused coping atau emotional focused coping atau keduanya untuk mengatasi situasi penuh stress tergantung pada situasi stress (Folkman & Lazarus dalam Taylor, 2006). Pria menggunakan problem focused coping nampak pada kecenderungan lebih banyak aktif bertindak menyelesaikan permasalahan daripada banyak berbicara (Boverman, dkk dalam Dagun, 1992). Pria cenderung berbicara, dan menangani konflik secara langsung, dan sulit meminta tolong karena status, kemandirian, dan superioritasnya. Selain itu, pria cenderung menyingkir ke suatu tempat untuk merenungkan masalahnya sendiri, dan memprosesnya karena ingin mencari solusi sendiri (Sanders, 2006). Di sisi lain, pria cenderung menggunakan emotional focused coping ketika percaya dapat melakukan sedikit perubahan pada kondisi penuh stress. Pendekatan kognitif yang digunakan emotional focused coping mencoba membuat pria memikirkan 3

kembali gambaran tentang situasi yang penuh dengan stress (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 2012). Pria diharapkan menghadapi situasi penuh stress dengan tidak memikirkan hal-hal buruk, membuat perbandingan seseorang yang tidak bisa berbuat apa-apa, dan melihat suatu perkembangan yang baik pada masalah (Taylor dalam Sarafino, 2012). Pria dapat menggunakan kedua tipe coping. Oleh karena itu, permasalahan penelitian ini adalah bagaimana coping pria dewasa madya yang single? Tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan coping pria dewasa madya yang single. TINJAUAN PUSTAKA Coping sebagai upaya terus berubah secara kognitif, dan perilaku untuk mengelola tuntutan spesifik eksternal, dan internal yang dinilai sebagai beban atau melebihi sumber daya orang tersebut (Lazarus & Folkman, 1984). Strategi coping (Lazarus & Folkman, 1984; Folkman & Lazarus dalam Madu & Roos, 2006) terdiri dari dua tipe meliputi: problem focused coping, dan emotional focused coping. Problem focused coping adalah upaya fokus pada masalah diarahkan pada mendefinisikan masalah; menghasilkan solusi alternatif yang memberatkan pilihan biaya, dan manfaat; serta bertindak. Problem focused coping terdiri dari: planful problem solving (membandingkan dengan sengaja upaya fokus pada masalah untuk menguasai situasi, ditambah dengan pendekatan analitik untuk memecahkan masalah), confrontative coping (upaya agresif untuk mengubah situasi, dan menunjukkan beberapa tingkat permusuhan, serta mengambil resiko), dan seeking social support (upaya mencari dukungan informasi, dukungan nyata, dan dukungan emosional). Emotional focused coping adalah coping berfokus pada emosi yang cenderung tepat ketika ada penilaian tidak ada yang dapat dilakukan untuk memodifikasi kondisi 4

lingkungan yang berbahaya, mengancam atau menantang. Emotional focused coping terdiri dari: distancing (upaya kognitif untuk melepaskan diri sendiri, dan untuk meminimalkan pentingnya situasi), escape-avoidance (memikirkan apa yang diimpikan, dan upaya perilaku untuk melarikan diri atau menghindari masalah), self control (upaya seseorang mengatur perasaan, dan tindakan), acepting responsibility (mengakui perasaan diri sendiri dalam masalah bersamaan dengan mencoba untuk mendapatkan hal yang benar), dan positive reappraisal (upaya menciptakan makna positif dengan berfokus pada pertumbuhan pribadi, dan memiliki dimensi religius). Pria dewasa madya yang single adalah laki-laki yang telah tumbuh menjadi kekuatan, dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa (Hurlock, 1999) dengan batasan usia 40 tahun sampai dengan 65 tahun (Berk, 2012), dan sekarang tidak menikah atau termasuk dalam hubungan eksklusif hetroseksual atau hubungan homoseksual (Stein, 1976). Pria memiliki karakteristik seperti: agresif, menyukai situasi agresif, berambisi, bebas, dominan, aktif, kompetisi, tidak ada ketergantungan, tidak suka berbicara, sangat menggunakan logika, sangat terus terang, sangat obyektif, sangat percaya diri, petualang. Selain itu, pria tidak tergugah dengan kekrisisan yang kecil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, sulit menangis, tidak mudah meluapkan perasaan, tidak mudah terluka hati, hampir meredamkan emosi, dan mudah memisahkan pikiran, serta perasaan (Broverman dkk dalam Dagun, 1992). Dewasa madya memiliki karakteristik yang dibedakan berdasarkan usia, yaitu 40 tahun sampai dengan 50 tahun, dan 50 tahun sampai dengan 65 tahun (Berk, 2012). Pada usia 40 tahun sampai dengan 50 tahun dewasa madya mengalami fungsi indera penglihatan, dan pendengaran; berkurangnya elastisitas kulit; penurunan massa tubuh (otot, dan tulang); intensitas respon seksual menurun; frekuensi aktivitas seksual sedikit 5

menurun; dan angka penyakit kanker, dan kardiovaskular meningkat. Secara kognitif, sadar akan penuaan; kecerdasan mengkristal bertambah tinggi; kemampuan untuk membagi, dan mengendalikan atensi, serta mengolah informasi menurun. Pemecahan masalah praktik, dan keahlian semakin bagus karena diimbangi pengalaman, dan praktik. Pengetahuan umum faktual, prosedural, kreativitas, dan terkait dengan pekerjaan tetap tidak berubah atau mungkin meningkat. Secara emosional, generativitas, dan fleksibilitas kognitif semakin meningkat yang membuat mampu mandiri; identitas gender lebih androgini; lebih banyak memelihara kekerabatan; kepuasan kerja meningkat; dan mempersiapkan diri untuk melepas anak yang hendak meninggalkan rumah. Pada usia 50 tahun sampai dengan 65 tahun kemampuan fisik, dan kognitif secara signifikan menurun, serta angka penyakit kanker, dan kardiovaskular meningkat. Bantuan orangtua pada anak berkurang, sedangkan bantuan dari anak ke orangtua bertambah, dan kemungkinan pensiun. Tugas perkembangan dewasa madya meliputi, membantu anak-anak remaja menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab, dan bahagia; mencapai tanggung jawab kemasyarakatan secara dewasa, dan tanggung jawab kewarganegaraan; mencapai, dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karir pekerjaan; mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu luang yang dewasa; menghubungkan diri sendiri dengan mengurangi kebiasaan tergantung pada pasangan; menerima, dan menyesuaikan diri terhadap perubahan psikologis diusia pertengahan; dan menyesuaikan diri dengan penuaan orangtua (Havighurst, dalam Sugarman 2001). METODE Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang, dan 6

perilaku yang dapat diamati (Bogdan & Taylor dalam Moleong, 2013). Penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu merinci kekhususan yang ada di dalam konteks yang unik, dan menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul (Moleong, 2013). Pengumpulan data menggunakan wawancara, dan observasi (Moleong, 2013). Keabsahan data diperoleh dari member check dan trianggulasi sumber (Moleong, 2013). Teknik analisa dalam penelitian ini meliputi reduksi data, kategorisasi, penafsiran data, dan kesimpulan (Moleong, 2013). Partisipan Penelitian ini melibatkan tiga partisipan warga kelurahan Mangunsari, kecamatan Sidomukti, kota Salatiga. Karakteristik partisipan dalam penelitian ini adalah pria dewasa madya yang berusia 40 tahun sampai dengan 65 tahun, belum menikah sejak muda, dan berdomisili di kota Salatiga. P1 adalah pria berusia 47 tahun, single, dan tinggal di kota Salatiga. Secara fisik memiliki tubuh kurus, tinggi, kulit berwarna putih langsat, dan sedikit uban di rambut kepala, dan jenggot. Selain itu, P1 adalah orang yang ramah, belas kasih dengan kebutuhan orang lain, dan membalas seseorang sesuai dengan perbuatannya. Pada tahun 1989 P1 berusia 22 tahun, memiliki hubungan dekat dengan seorang wanita, dan ingin menikah dengan wanita tersebut. Himbauan dari bapak RT, pekerjaan, modal terbatas, dan keyakinan berbeda membuat P1 mengakhiri hubungan tersebut di usia 23. Pada tahun 1990an hingga 2014 P1 mencari pengetahuan astral secara berkelompok untuk kepentingan pribadi, dan membantu oranglain. P1 bertatus single dari tahun 1990 hingga tahun 2014. Pada tahun 2009 P1 berusia 43 tahun mulai menyadari status single, dan memerlukan coping yang efektif karena status single menjadi masalah keluarga, dan masyarakat. Seiring berjalannya waktu, diusia 47 tahun 7

P1 masih memiliki keinginan untuk menikah dengan jodoh yang tepat, dan tetap melakukan coping status single karena masih mengalami stressor psikologis, dan sosial budaya, serta fokus pada kontrak pekerjaan yang jelas daripada menikah. Konsekuensi yang harus diterima oleh P1 selama single adalah mendapatkan label patok an, diremehkan, dan didekati keluarga, serta tetangga saat memiliki uang lebih. P2 adalah pria berusia 59 tahun, single, dan tinggal di kota Salatiga. Secara fisik P2 memiliki tubuh yang tidak terlalu gemuk, tinggi, kulit berwarna coklat tua, dan memiliki rambut lebih sedikit di bagian depan dibandingkan rambut di bagian kiri, kanan, dan belakang kepala. P2 merupakan seorang pekerja keras, baik, pendiam, tertutup, kecil hati, dan apa adanya. Sejak dewasa muda hingga 2014 P2 berstatus single karena belum pernah berpacaran, belum pernah mengajak teman wanita ke rumah, dan harus menikah dengan pilihan orangtua. Orangtua tidak mementingkan pendidikan, dan masa depan anak, sehingga pendidikan yang tidak selesai membuat P2 kurang mampu menyadari status single, peka dengan keadaan masyarakat, dan melakukan coping yang efektif. Seiring berjalan waktu, P2 berusia 59 tahun tetap memutuskan single, dan melakukan coping yang terbatas karena pendidikan yang terbatas, dan ada stressor sosial budaya dari teman-teman. P3 adalah pria berusia 45 tahun, single, dan tinggal di kota Salatiga. P3 memiliki ciri fisik seperti berambut hitam, sedikit uban, rambut pendek, tidak terlalu tinggi, dan kurus. P3 merupakan orang yang mudah belas kasih dengan orang lain, dan suka menolong orang lain. Pada tahun 1990 P3 berusia 21 tahun, dan dekat dengan seorang wanita namun pendekatan tersebut berhenti karena perbedaan keyakinan. Tahun 1990 sampai dengan tahun 2014 P3 berstatus single. Tahun 1997 P3 berusia 28 tahun mulai menyadari status single karena sibuk bekerja, ingin menghidupi orangtua, ingin 8

menjalani hidup single, dan mulai menghindari pembicaraan keluarga tentang status single yang membuat tidak nyaman. Tahun 2000 P3 berusia 31 tahun menganggap status single sebagai masalah serius, dan membutuhkan coping yang efektif karena harus merawat orangtua yang sakit, dan tidak bekerja. Diusia 45 tahun P3 masih memiliki keinginan untuk menikah, dan tetap melakukan coping terhadap masalah status single karena ingin mengatasi masalah status single dengan pertimbangan sendiri, dan masih merasakan stressor sosial budaya dari keluarga. Konsekuensi yang harus diterima oleh P3 selama single adalah bertambah usia, tidak punya anak, dan tidak punya keluarga sendiri. Identitas partisipan dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Identitas Partisipan Partisipan P1 P2 P3 Inisial Nama U T X Umur 47 tahun 59 tahun 45 tahun Agama Islam Islam Islam Jenis kelamin Laki-laki Laki-laki Laki-laki Suku Jawa Jawa Jawa Status marital Single Single Single Tempat, tanggal lahir Salatiga, 1967 Salatiga, 12 Desember 1954 Tegalsari RT 4 RW 8 Kelurahan Mangunsari 14 April 1969 Alamat Pengilon RT 3 RW 3 Kelurahan Mangunsari Banjaran RT 1 RW 7 Kelurahan Mangunsari Anak ke 2 dari 6 bersaudara 3 dari 9 bersaudara 3 dari 3 bersaudara Pendidikan terakhir yang berijazah Pekerjaan SMA Tidak sekolah SMA Satpam Beternak sapi, dan berkebun Karyawan swasta HASIL PENELITIAN Gambaran Coping Partisipan 1 P1 harus mencari pekerjaan dengan penghasilan yang jelas, untuk mengatasi masalah keuangan pribadi, keluarga, dan melunasi hutang keluarga. P1 harus fokus bekerja daripada menikah karena penghasilan kurang. Di sisi lain, P1 masih memiliki 9

keinginan untuk menikah, dan belum menemukan jodoh yang tepat. Hal tersebut didorong keinginan menjaga trah, dan nama baik keluarga supaya tidak diremehkan anggota keluarga yang lain. Masalah keuangan, fokus pada pekerjaan, dan belum menemukan jodoh yang tepat merupakan masalah status single P1 yang diatasi menggunakan planful problem solving. P1 berusaha menjadi yang terbaik dalam kelompok kita, menggunakan shio kuda untuk mengukur kekuatan diri, mengikuti pengajian, dan beradaptasi dengan katakata tetangga yang kurang berkenan. Kita adalah orang-orang berbeda usia, dan jenis kelamin yang terbiasa hidup susah, senang, dan saling memberi. rencana saya menjadi final the best final. Jadi sesuai dengan shio yang berjalan tahun ini (P1W2 86-87) P1 menggunakan confrontative coping untuk mengubah cara berpikir orang lain tentang status single, dan mengatasi masalah status single sendiri. P1 menggunakan pengetahuan astral untuk membantu diri sendiri, keluarga, dan tetangga, serta agar tidak diremehkan. mencari pengetahuan untuk membantu satu untuk diri pribadi, dua keluarga bila perlu tetangga kanan kiri (P1W1 236-238) P1 menerima; dan mencari dukungan dari masyarakat, dan tokoh agama yang dianggap sebagai penasihat mengenai status single. Selain itu, seeking social support P1 ditunjukkan dengan hubungan erat dengan kelompok kita. Hanya yang memberi dorongan itu hanya penasehat (P1W2 188) P1 menggunakan distancing untuk menepis kata-kata negatif, dan prasangka dari saudara, dan tetangga; tidak terlalu memikirkan permasalahan; dan melupakan memori yang tidak menyenangkan. 10

Jadi bagaimana kita menepis dari semua prasangka-prasangka mereka (P1W1 63-64) P1 belum menemukan jodoh yang seagama, sehingga P1 mengkhayal, dan menyesal tentang apa yang seharusnya dilakukan di masa lalu tanpa melakukan tindakan. Bekerja sampingan seperti tukang bangunan, mengecat, kerja sosial tanpa digaji merupakan escape-avoidance yang digunakan P1 untuk menekan memori yang membangkitkan emosi tentang hubungan dekat dengan wanita. P1 mengakui ada rasa marah, jengkel, sedih, dan kesepian. P1 mengalihkan rasa sedih dengan minum minuman keras, dan berjudi. Selain itu, P1 menyibukkan diri dengan mencari pengetahuan astral. Ya cuman banyak angan-angan itu. Menghayal bagaimana-bagaimana (P1W1 60) P1 menggunakan self control dengan cara bertindak, dan berpikir positif; serta tidak bertindak berlebihan kepada orang lain yang ingin mengetahui masalah single. Bergerak positip, berpikir positip kita itu bergerak yang sifatnya satu menguntungkan pribadi, keduanya keluarga (P1W2 67-69) Selama berstatus single P1 menemukan kebebasan mencari pengetahuan umum maupun astral, pengalaman penting, dan tumpuan untuk melangkah. Selain itu, P1 tetap menggunakan acepting responsibility untuk mengubah penampilan fisik, pola pikir, serta pola hidup setelah ditetapkan sebagai tenaga kerja kontrak, dan mendapat penambahan gaji. Ya ingin kebebasan pengalaman ataupun pelajaran untuk tumpuan langkah berikutnya (P1W1 53-57) P1 belajar dari pengalaman teman yang tidak mampu mengembalikan uang peningset agar tidak menikah tanpa persiapan yang matang. P1 bersyukur dengan 11

keadaan fisik yang masih sehat, tempat tinggal yang berangsur membaik, dan pekerjaan yang jelas. Selain itu, P1 menunjukkan positive reappraisal dengan menikmati kehidupan, dan berdoa kepada Tuhan meminta kelancaran menjalani hidup, dan rejeki. Gambaran Coping Partisipan 2 P2 menggunakan seeking social support untuk menerima dukungan dari teman, kerabat, dan orang yang paham mengenai masalah status single. Ya itu ya wong biasa karepe tu ngkon nikah ning saya sing ndak (P2W1 312) P2 cenderung melakukan distancing dengan menjawab tidak tahu, ketika temanteman menanyakan keadaan status single P2. Ndak tau itu (P2W1 222) Masalah lain yang muncul selama P2 single adalah menikah sesuai dengan keinginan orangtua, pengalaman pernikahan saudara yang tidak direstui orangtua, pengalaman perceraian saudara, seks bebas, dan fokus bekerja. P2 menggunakan escape-aviodance untuk mengatasi masalah tersebut. P2 melakukan pekerjaan sampingan untuk mengatasi pendapatan yang kurang, memenuhi kebutuhan makan, mengindari stress, hiburan, dan olahraga. Pekerjaan yang dilakukan seperti mencangkul, mencari rumput, mencari kayu, dan menjadi tukang bangunan. Selain itu, P2 bekerja keras, dan memberikan seluruh penghasilan kepada orangtua sebagai tanda bakti. P2 mengutamakan kepentingan orangtua, dan tidak tidak menggunakan penghasilannya untuk membangun rumah sendiri, dan menikah. P2 menyalurkan nafsu biologis lewat pekerja seks komersial karena tidak perlu menanggung beban biaya keluarga, dan istri. Pengalaman pernikahan, dan perceraian membuat P2 berpikir ulang untuk menikah karena saudara ada yang single; ditinggalkan suami secara sepihak; bercerai, dan 12

memiliki anak tidak terdaftar sebagai warga; dan saudara nekat menikah tanpa restu, serta kehadiran orangtua. Kanggo hiburan, ndak stress (P2W2 149) Kanggo olahraga (P2W2 153) P2 memutuskan single, dan menggunakan acepting responsibility untuk mengakui tidak menyukai wanita, merasa senang single, serta menganggap status single sebagai hal yang biasa. Tetap tidak menikah (P2W1 356) Seneng tidak menikah (P2W2 58) Gambaran Coping Partisipan 3 Selama single P3 sibuk bekerja, dan menggunakan planful problem solving untuk tetap fokus bekerja. P3 mengerjakan pekerjaan dari termudah sampai tersulit sesuai dengan batas kemampuan tanpa pengaturan khusus, dan menjalin relasi dengan lingkungan, serta keluarga. kerja... mengatur kesibukan berhubungan dengan tetangga, lingkungan, saudara, berkegiatan (P3W1 8-10) P3 menggunakan confrontative coping untuk mengubah cara pandang keluarga, dan teman dengan memberitahu positif, dan negatif status single. Untuk mengubahnya positif dengan negatinya (P3W1 189-190) P3 menggunakan seeking social support ketika menerima, dan mencari dukungan dari keluarga, dan teman, serta sharing dengan teman-teman untuk memperluas wawasan mengatasi masalah. mungkin untuk bertemu sama saudara-saudara biar lebih dekat sama saudara-saudara itu, kakak, keponakan (P3W1 56-57) 13

P3 menggunakan distancing untuk mencoba melihat sisi baik dari masalah status single dengan berpikir positif, dan tidak terlalu memikirkan masalah status single. Saya tu nggak terlalu memikirkan untuk masalah single (P3W1 34-35) P3 mengalami masalah keuangan karena belum mampu menghidupi diri sendiri, dan mudah kasihan dengan kebutuhan saudara, teman, serta orang lain mengenai uang. Selain itu, P3 belum menemukan jodoh yang seagama. P3 menghindari masalah status single menggunakan escape-avoidance dengan bekerja, tidur, mengikuti kegiatan di kampung, mengalihkan pembicaraan tentang masalah status single, dan berkumpul dengan keluarga, teman, serta tetangga....mengalihkan sesuatu yang ke hobi atau masalah lain yang tidak terlalu menjurus gitu (P3W1 97-98) P3 menggunakan self control untuk mengatur pikiran, dan tindakan orang lain yang ingin mengetahui masalah status single. P3 tidak membiarkan teman dekat, dan orang yang dipercaya tahu tentang masalah status single, namun P3 merasa perlu menjawab apa adanya tentang masalah status single. Saya tidak pernah untuk menjelaskan masalah ini karena selama itu karena pribadi juga (P3W2 164) Status single bagi P3 adalah kebebasan menjalani cara hidup, dan tidak terikat dengan keluarga, serta orang lain. Masalah kebebasan, P3 diatasi menggunakan acepting responsibility. P3 leluasa memberikan bantuan, bebas mengadakan kegiatan di luar namun tidak sebebas waktu muda, dan bebas bekerja. Status single soal pilihan. Tuntutan atau tata caranya yang saya kan menjalankan kehidupan sehari-hari seperti mandiri, saya bekerja bebas (P3W2 18-20) 14

P3 menggunakan positive reappraisal dengan mencoba hidup mandiri, memahami batas kemampuan mengatasi masalah status single, dan membantu teman, keluarga, serta orang lain. Selain itu, P3 mencoba memecahkan masalah status single berdasarkan pengalaman teman, dan diharapkan memiliki hasil yang sama. mandiri dulu kadang-kadang ada orang, teman-teman, saudara, atau ada yang mungkin membutuhkan (P3W1 135-139) PEMBAHASAN Seluruh partisipan mengalami masalah status single, dan memerlukan coping yang tepat, dan efektif. Masalah tersebut terjadi sebelum, dan sesudah partisipan menyadari status single. P1 berstatus single sejak usia 22 tahun sampai dengan usia 47 tahun. Pada usia 43 tahun, P1 menyadari status single, dan membutuhkan coping untuk mengatasi masalah single. Sebelum menyadari status single, P1 mengalami masalah keuangan, fokus pada pekerjaan, dan belum menemukan jodoh yang tepat, yang diatasi dengan plantful problem solving, dan escape-avoidance. P1 melakukan pekerjaan sampingan yang belum pasti penghasilannya, dan menggunakan pekerjaan tersebut untuk menekan memori yang membangkitkan emosi tentang wanita yang pernah dekat. Individu memikirkan apa yang diimpikan, dan upaya perilaku untuk melarikan diri atau menghindari masalah (Lazarus & Folkman dalam Madu & Ross, 2006). P1 belum menemukan jodoh yang seagama, dan berusaha memecahkan masalah dengan menggunakan shio kuda, mengikuti pengajian, dan beradaptasi dengan cemooh tetangga. Individu membandingkan dengan sengaja upaya fokus pada masalah untuk menguasai situasi ditambah dengan pendekatan analitik untuk memecahkan masalah (Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). P1 pernah dekat dengan seorang wanita, namun mengakhiri hubungan tersebut karena perbedaan agama. Individu yang tidak memperoleh jodoh merasa tidak sesuai dengan kriteria pilihannya, dan merasa 15

trauma dengan ditinggalkan pacar atau merasa dipermalukan (Dariyo, 2003). P1 mengakui ada rasa marah, jengkel, sedih, dan kesepian. P1 mengalihkan rasa sedih dengan minum minuman keras, dan berjudi. seorang pria itu memendamkan perasaannya; dan tidak mudah merasakan, dan mengungkapkan emosinya, maka seorang pria yang tertekan, barangkali lebih sering lari ke hal-hal lain seperti menjadi peminum, pemabuk, dan bunuh diri (Dagun, 1992). Masalah selanjutnya adalah mendapatkan kebebasan yang diatasi dengan acepting responsibility. P1 bebas mencari pengatahuan umum, dan astral yang digunakan sebagai pengalaman penting, dan tumpuan melangkah. Individu bebas menentukan arah, dan perjalanan hidup sendiri tanpa merasa cemas atau takut terhadap tuntutan dari orang lain atau norma sosial masyarakat karena semuanya tidak ada yang mengganggu orang lain (Dariyo, 2003). Masalah terakhir adalah mencari pengetahuan astral, dan diatasi dengan confrontative coping, serta escape-avoidance. P1 berusaha mengubah cara berpikir keluarga, dan tetangga menggunakan pengetahuan astral untuk membantu diri sendiri, keluarga, dan tetangga, serta tidak diremehkan lagi. Individu berupaya agresif untuk mengubah situasi, dan menunjukkan beberapa tingkat permusuhan, serta mengambil resiko (Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). Selain itu, P1 menyibukkan diri mencari pengetahuan astral. Sesudah menyadari status single, P1 mengalami masalah yang sama dengan penjelasan yang bertambah. Masalah keuangan, fokus pada pekerjaan, dan belum menemukan jodoh yang tepat diatasi dengan plantful problem solving, dan escapeavoidance. P1 telah ditetapkan sebagai tenaga kerja kontrak, dan tetap melakukan melakukan pekerjaan sampingan karena harus mencukupi kebutuhan pribadi, keluarga, dan melunasi hutang keluarga. P1 menjadi lebih fokus dengan pekerjaan daripada 16

menikah. Dewasa madya lebih banyak mengalami stress yang berhubungan dengan pekerjaan, keuangan, keluarga, dan teman-teman (Sarafino, 2012). P1 masih memiliki keinginan untuk menikah, dan memersiapkan modal untuk menikah. P1 ingin menjaga trah, nama baik keluarga, tidak mau melanggar norma masyarakat, dan tidak mau diremehkan anggota keluarga lain. P1 belum menemukan jodoh yang seagama, dan mengkhayal, serta menyesal tentang apa yang seharusnya dilakukan di masa lalu tanpa melakukan tindakan. P1 menggunakan acepting responsibility untuk mengatasi masalah fokus pada pekerjaan. P1 mengubah penampilan, pola pikir, dan pola hidup setelah ditetapkan sebagai tenaga kerja kontrak, dan mendapatkan penghasilan tetap. Masalah mendapat kebebasan diatasi dengan acepting responsibility. P1 mendapatkan kebebasan mencari pengetahuan astral untuk menolong diri sendiri, keluarga, dan tetangga. Individu mengakui perasaan diri sendiri dalam masalah bersamaan dengan mencoba mendapatkan hal yang benar (Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). Masalah terakhir adalah mencari pengetahuan astral yang diatasi dengan confrontative coping, dan escape-aviodance. Selain mengubah cara pandang, P1 mencoba menjadi yang terhebat di kelompok kita dalam pengetahuan astral. Pengetahuan astral merupakan penyemangat hidup P1. P2 berstatus single sejak dewasa muda sampai usia 59 tahun. P2 menyadari status single sejak dewasa muda, dan melakukan coping yang terbatas karena tingkat pendidikan yang rendah. Sebelum menyadari status single, P2 mengalami masalah keuangan, fokus pada pekerjaan, menikah sesuai keinginan orangtua, pernikahan saudara tanpa restu orangtua, perceraian saudara, dan seks bebas. Masalah tersebut diatasi dengan escape-avoidance. P2 bekerja keras, dan memberikan seluruh penghasilan kepada orangtua sebagai tanda bakti. P2 mengutamakan kepentingan 17

orangtua, dan tidak menggunakan penghasilannya untuk membangun rumah sendiri, dan menikah. P2 harus menikah sesuai dengan pilihan orangtua, tidak pernah pacaran, dan tidak berani melanggar perintah orangtua. P2 berpikir ulang untuk menikah karena saudara nekat menikah tanpa restu, dan kehadiran orangtua. Saudara P2 masih ada yang single; ditinggalkan suami secara sepihak; dan bercerai, serta memiliki anak tidak terdaftar sebagai warga. P2 menyalurkan dorongan seksual lewat pekerja seks komersial karena tidak perlu menanggung beban biaya keluarga, dan istri. Individu yang single bebas menjalin hubungan seksual dengan siapa saja, dapat berkonsentrasi mencapai keinginan yang dicita-citakan tanpa terganggu oleh suami atau istri atau anak, dan memungkinkan mengambil keputusan ingin hidup sendiri ketika sakit hati dengan pengalaman perceraian (Dariyo, 2003). Setelah menyadari status single, P2 mengalami masalah yang sama dengan penjelasan bertambah, dan menemukan masalah baru. P2 mengalami masalah keuangan, fokus pada pekerjaan, menikah sesuai dengan keinginan orangtua, pengalaman pernikahan saudara tanpa restu orangtua, pengalaman perceraian saudara, dan seks bebas. Masalah tersebut diatasi dengan escape-avoidance. P2 fokus bekerja sebagai hiburan, olahraga, dan menghindari stress. P2 melakukan pekerjaan yang tidak tetap, sehingga penghasilan tidak tetap, dan fisik semakin melemah. Pekerjaan tersebut dilakukan P2 untuk mengatasi pendapatan yang kurang, dan memenuhi kebutuhan makan. Meskipun orangtua sudah meninggal dunia, P2 tetap tidak mencari pasangan. P2 berpikir ulang untuk menikah karena pernikahan saudara berlangsung tanpa restu, dan kehadiran orangtua, serta perceraian saudara. P2 lebih banyak menyalurkan dorongan seksual lewat pekerja seks komersial daripada menanggung beban biaya keluarga, dan istri, serta mengalami perceraian seperti saudaranya. Masalah baru yang ditemukan 18

adalah memutuskan single, dan diatasi dengan acepting responsibility. P2 memutuskan single karena mengakui tidak menyukai wanita, merasa senang single, dan menganggap single sebagai hal biasa. Banyak orang dewasa yang hidup sendirian membuat suatu keputusan sadar untuk menikah atau tetap melajang (Santrock, 2002). P3 berstatus single sejak usia 21 tahun sampai dengan usia 45 tahun. Pada usia 28 tahun, P3 menyadari status single. P3 memerlukan coping terhadap masalah status single pada usia 31 tahun. Sebelum menyadari status single, P3 mengalami masalah keuangan, dan belum menemukan jodoh yang tepat yang diatasi dengan escapeavoidance. P3 beberapa kali berpindah tempat kerja, sehingga belum mendapatkan penghasilan yang cukup untuk diri sendiri. P3 belum menemukan jodoh yang seagama, dan orangtua ingin P3 menemukan jodoh yang seagama. Masalah fokus pada pekerjaan diatasi dengan planful problem solving, dan escape-avoidance. P3 sempat menganggur, dan berpindah tempat kerja. P3 mengalihkan pembicaraan mengenai status single dengan fokus bekerja. Masalah terakhir adalah mendapatkan kebebasan yang diatasi dengan acepting responsibility. P3 bebas menjalani cara hidup sebagai seorang yang single tanpa terikan dengan keluarga, dan oranglain. Setelah menyadari status single, P3 mengalami masalah yang sama dengan penjelasan yang bertambah. P3 mengalami masalah keuangan, dan belum menemukan jodoh yang tepat yang diatasi dengan escape-avoidance. P3 masih belum mampu menghidupi diri sendiri, dan mudah kasihan dengan kebutuhan saudara, teman, dan oranglain mengenai uang. P3 belum menemukan jodoh yang seiman, dan membiarkan hidup berjalan apa adanya. Jika memiliki kesempatan bertemu dengan jodoh yang tepat, P3 ingin menikah. Masalah fokus pada pekerjaan diatasi dengan planful problem solving, dan escape-avoidance. P3 sudah mendapatkan pekerjaan tetap sebagai seorang 19

karyawan dengan penghasilan yang tetap. P3 mulai mengerjakan pekerjaan yang termudah sampai tersulit sesuai dengan kemampuan tanpa pengaturan khusus. P3 fokus pada pekerjaan untuk menghindari rasa sedih, jengkel, marah, kecewa, dan kesepian. Masalah terakhir adalah mendapatkan kebebasan yang diatasi dengan acepting responsibility. P3 bebas menjalani cara hidup single seperti bebas memberi bantuan, bekerja, dan mengadakan kegiatan di luar rumah tidak sebebas waktu muda. Seluruh partisipan mengatasi masalah status single secara keseluruhan menggunakan beberapa coping. P1, P2, dan P3 melakukan seeking social support karena dukungan sosial berupa perhatian dari orang penting dalam hidup yang bisa diandalkan merupakan perlindungan terhadap stress (Kawuryan, 2009). Individu berupaya mencari dukungan informasi, dukungan nyata, dan dukungan emosional (Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). P1 menerima; dan mencari dukungan dari masyarakat, tokoh agama, dan kelompok kita. P3 menerima, dan mencari dukungan dari keluarga, dan teman. P2 menerima dukungan dari teman, kerabat, dan orang yang paham mengenai masalah status single. Seorang laki-laki yang mengalami depresi bergaul dengan teman-teman atau kelompok yang terus menekankan pentingnya menjadi tegar, dan mandiri, bahkan menolong orang lain yang mengalami depresi, maka orang tersebut mendapatkan stimulasi optimis, memiliki kendali, mendorong untuk memecahkan masalah, tidak menyalahkan orang lain, dan tidak menekan perasaanperasaan diri sendiri (Wade, 2012). P1, P2, dan P3 menggunakan distancing. Individu melakukan upaya kognitif untuk melepaskan diri, dan meminimalkan pentingnya situasi (Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). P1 mencoba menepis kata-kata negatif, dan prasangka dari saudara, dan tetangga; tidak terlalu memikirkan permasalahan, dan melupakan memori 20

yang tidak menyenangkan. P2 menjawab tidak tahu, ketika teman-teman menanyakan keadaan status single. P3 mencoba melihat sisi baik dari masalah status single dengan berpikir positif, dan tidak terlalu memikirkan masalah status single. P1, dan P3 menggunakan self control dengan cara menjaga perasaan, dan tindakan terhadap orang lain yang ingin mengetahui masalah status single. Individu berupaya mengatur perasaan, dan tindakan (Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). P1 bertindak, dan berpikir positif, serta tidak bertindak berlebihan. P3 tidak membiarkan teman dekat, dan orang yang dipercaya tahu, namun P3 merasa perlu menjawab apa adanya tentang masalah status single. P1, dan P3 menggunakan positif reappraisal. P1 bersyukur dengan keadaan fisik yang masih sehat, tempat tinggal yang membaik, dan pekerjaan yang jelas. P1 menikmati kehidupan, dan berdoa kepada Tuhan meminta kelancaran menjalani hidup, dan rejeki. P3 mencoba hidup mandiri, memahami batas kemampuan mengatasi masalah status single, dan membantu teman, keluarga, serta orang lain. Individu berupaya menciptakan makna positif dengan berfokus pada pertumbuhan pribadi, dan memiliki dimensi religius (Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). Selain itu, P1, dan P3 belajar dari pengalaman teman mengenai masalah status single. P1 belajar dari pengalaman teman yang tidak mampu mengembalikan uang peningset agar tidak menikah tanpa persiapan yang matang. P3 mencoba memecahkan masalah status single berdasarkan pengalaman teman, dan diharapkan memiliki hasil yang sama. Pengalaman orang lain membantu seseorang memiliki toleransi terhadap tekanan yang dihadapi dan setiap orang akan mempunyai toleransi terhadap stress yang berbeda (Kawuryan, 2009). P3 menggunakan confrontative coping untuk mengubah cara berpikir keluarga, dan teman dengan memberitahu positif, dan negatif mengenai status single. 21

Coping yang dilakukan seluruh partisipan untuk mengatasi masalah status single juga dipengaruhi oleh identitas partisipan. Kepribadian partisipan yang berbeda memberi dampak pada cara mengatasi situasi stress (Taylor, 2006). P1 adalah orang yang ramah, belas kasih dengan kebutuhan orang lain, dan membalas seseorang sesuai dengan perbuatannya. P2 merupakan seorang pekerja keras, baik, pendiam, tertutup, kecil hati, dan apa adanya. P3 merupakan orang yang mudah belas kasih dengan orang lain, dan suka menolong orang lain. Partisipan merupakan pria yang memiliki perbedaan umur. P1 berusia 47 tahun, P2 berusia 59 tahun, dan P3 berusia 45 tahun. Semakin bertambah usia, dewasa madya cenderung lebih banyak menggunakan problem focused coping untuk mengatasi situasi stress, dan sedikit menggunakan emotional focused coping (Sarafino, 2012). P2 melakukan coping yang terbatas dibandingkan P1, dan P3 karena level pendidikan P2 lebih rendah. Pendidikan yang telah ditempuh P1, dan P3 adalah SMA, sedangkan P2 pernah bersekolah sampai dibangku SD kelas 3. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh, individu akan cenderung mempunyai ingatan, dan perasaan yang lebih luas, lebih fleksibel, lebih terbuka terhadap pembaharuan, dan semakin baik pula penilaian terhadap masalah atau situasi yang menekan (Marco dalam Sarafino, 2012). Masalah status single, dan coping partisipan dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Masalah Status Single, dan Coping Partisipan Partisipan P1 Masalah Status Single Masalah keuangan Belum menemukan jodoh yang tepat Coping Sebelum Menyadari Status Single Plantful problem solving, dan Escape- Avoidance Plantful problem solving, dan Escape- Avoidance Sesudah Menyadari Status Single Plantful problem solving, dan Escape-Avoidance Plantful problem solving, dan Escape-Avoidance 22

P2 P3 Fokus pada pekerjaan Plantful problem solving, dan Escape- Avoidance Plantful problem solving, Escape- Avoidance, dan Acepting responsibility Acepting Mendapatkan kebebasan Acepting responsibility responsibility Mencari pengetahuan astral Confrontative Confrontative coping, dan Escape- coping, dan Avoidance Escape-Avoidance Masalah keuangan Escape-Avoidance Escape-Avoidance Fokus pada pekerjaan Escape-Avoidance Escape-Avoidance Menikah sesuai dengan Escape-Avoidance Escape-Avoidance keinginan orangtua Pengalaman pernikahan Escape-Avoidance Escape-Avoidance saudara tanpa restu orangtua Pengalaman perceraian Escape-Avoidance Escape-Avoidance saudara Seks bebas Escape-Avoidance Escape-Avoidance Memutuskan single Acepting responsibility Acepting responsibility Masalah keuangan Escape-Avoidance Escape-Avoidance Belum menemukan jodoh Escape-Avoidance Escape-Avoidance yang tepat Fokus pada pekerjaan Plantful problem Plantful problem solving, dan Escape- solving, dan Avoidance Escape-Avoidance Mendapatkan kebebasan Acepting responsibility Acepting responsibility KESIMPULAN, DAN SARAN Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah partisipan menggunakan problem focused coping, dan emotional focused coping, namun cenderung lebih banyak menggunakan emotional focused coping khususnya escape-avoidance. P1 mengatasi masalah keuangan, dan belum menemukan jodoh yang tepat menggunakan plantful problem solving, dan escape-avoidance. Masalah fokus pada pekerjaan diatasi menggunakan plantful problem solving, escape-avoidance, dan acepting responsibility. Masalah memperoleh kebebasan diatasi menggunakan acepting responsibility. Masalah 23

mencari ilmu pengetahuan astral diatasi menggunakan confrontative, escape-avoidance, dan acepting responsibility. Secara keseluruhan seeking social support, distancing, self control, dan positive reappraisal digunakan P1 mengatasi masalah status single. Dukungan sosial memengaruhi P1 menggunakan seeking social support. Stressor sosial memengaruhi P1 melakukan distancing. Belajar dari pengalaman teman memengaruhi P1 melakukan positive reappraisal. P2 mengatasi masalah keuangan, fokus pada pekerjaan, menikah sesuai dengan keinginan orangtua, pengalaman pernikahan saudara tanpa restu orangtua, pengalaman perceraian saudara, dan seks bebas menggunakan escape-avoidance. P2 mengatasi masalah memutuskan single menggunakan acepting responsibility. Secara keseluruhan P2 menggunakan seeking social support, dan distancing untuk mengatasi masalah status single. Dukungan sosial memengaruhi P2 menggunakan seeking social support, dan stressor sosial memengaruhi P2 melakukan distancing. P3 mengatasi masalah keuangan, dan belum menemukan jodoh yang tepat menggunakan escape-avoidance. Masalah fokus pada pekerjaan diatasi menggunakan plantful problem solving, dan escape-avoidancei. Masalah memperoleh kebebasan diatasi menggunakan acepting responsibility. Secara keseluruhan P3 menggunakan confrontative coping, seeking social support, distancing, self control, dan positive reappraisal untuk mengatasi masalah status single. Dukungan sosial memengaruhi P3 menggunakan seeking social support. Belajar dari pengalaman teman memengaruhi P3 melakukan positive reappraisal. Identitas partisipan memengaruhi partisipan melakukan coping. Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti mengajukan saran kepada beberapa pihak. Pertama, bagi pria dewasa madya yang single diharapkan menjalin komunikasi yang baik dengan keluarga, dan tetangga dekat mengenai masalah yang timbul selama 24

berstatus single. Perlu dilakukan untuk mengurangi stressor psikologi, dan sosial budaya pria dewasa madya yang single. Bagi peneliti selanjutnya dapat menggambarkan coping pria dewasa madya yang single dengan memerhatikan rentang usia yang hampir sama, dan menambahkan kriteria sosial demografik (pekerjaan, status sosial budaya, dan latar belakang pendidikan) yang beragam sehingga menghasilkan informasi yang lebih luas. Bagi penelitian selanjutnya dapat meneliti coping pria dewasa madya single dengan metode kuantitatif. DAFTAR PUSTAKA Berk, L. E. (2012). Development through the lifespan: dari masa dewasa awal sampai menjelang ajal. (5 th Ed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Biro Pusat Statistik. (2010). Penduduk berumur 10 tahun keatas menurut kelompok umur dan status perkawinan provinsi jawa tengah. Retrieved from http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?wid=1700000000&tid=271&fi1=58& fi2=1. Diakses pada 23 Februari 2013. Dagun, S. M. (1992). Maskulin dan feminin, perbedaan pria-wanita dalam fisiologi, psikologi, seksual, karier dan masa depan. Jakarta: Rineka Cipta. Dariyo, A. (2003). Psikologi perkembangan dewasa muda. Jakarta: Grasindo. Faturochman. (1993). Meningkat, proporsi anggota masyarakat yang tidak menikah. Retrieved from http://fatur.staff.ugm.ac.id/file/koran%20- %20Meningkat%20Proporsi%20Anggota%20Msy%20yg%20Tidak%20Menikah. pdf. Diakses tanggal 14 Februari 2013. Folkman, S & Lazarus, R, S. (1988). Ways of coping questionnaire. Retrieved from www.mindgarden.com. Diakses 23 Juli 2013. Hurlock, E. (1999). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga. Kawuryan, F. (2009). Tinjauan faktor-faktor psikologis dan sosial dalam mempengaruhi stress. Jurnal Mawas, 1 11. Lazarus, Richard. S. & Folkman, S (1984). Stress, appraisal, and coping [DX Reader Version]. Retrieved from http://books.google.co.id/books?id=iysqquupr8c&printsec=frontcover&dq=lazarus+and+folkman+1984&hl=id&sa =X&ei=vQXzU7afAdWfugSKhoK4Bg&redir_esc=y#v=onepage&q=lazarus%20 and%20folkman%201984&f=false. Diakses 23 Juli 2013. 25

Madu, S. N., & Roos, J. J. (2006). Depression among mothers with preterm infants and their stress-coping strategies. Social Behavior and Personality. 34(7), 877 890. Moleong, L. J. (2013). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset. Sanders, J. (2006). Gender smart, memecahkan teka-teki komunikasi antara pria dan wanita. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. Santrock, J. W. (2002). Life span development: perkembangan masa hidup jilid 2. (Ed. 5 th ). Jakarta: Erlangga. Sarafino, E, P., & Smith, T. W. (2012). Health psychology: biopsychosocial interactions. (Ed. 7 th ). New Jersey: Wiley. Stein, P. J. (1976). Single. New Jersey: Prentice Hall. Sugarman, L (2001). Life span development: frameworks, accounts and strategies [DX Reader Version]. Retrieved from https://books.google.co.id/books?id=ya4eaqaaqbaj&pg=pa109&dq=havigh urst+developmental+tasks&hl=id&sa=x&ei=sirqvizhly29ugs9nidgcq&redir_ esc=y#v=onepage&q=havighurst%20developmental%20tasks&f=false. Diakses tanggal 23 Februari 2015. Taylor, S. E. (2006). Health psychology. (Ed. 6 th ). New York: McGraw-Hill. Wade, C., & Travis, C. (2012). Psikologi jilid 2. (Ed. 9 th ). Jakarta: Erlangga. 26